Siang itu terik, pegawai RumahWaktu disibukkan oleh pekerjaannya masing-masing. Telepon kantor sesekali berdering, suara mesin printer menyala nyaring.
Fabian terus mencari kesempatan mengamati Suci di kantor, terheran dengan kejutan yang terus diperlihatkannya. Kini, Suci bahkan mengubah penampilannya seiring posisinya yang diangkat sebagai IT Support Specialist, jabatan yang menuntut kemampuan komputer lebih dalam.
Bagaimana latar belakang Suci sebenarnya? benaknya bertanya penasaran. Namun, ia tak menampik kejutan gadis itu justru kian menariknya untuk mencari tahu. Apakah Suci benar-benar Guardian Angel dan MidnightFox seperti kecurigaannya. Pasalnya, Suci sudah terlalu lama berakting sederhana.
Saat tenggelam dalam perenungan, ponselnya berdering. Fabian mengangkatnya. Seseorang dari Jakarta membutuhkan jasanya untuk merestorasi sebuah rumah tua, mungkin dibangun sekitar tahun 80-an. Fabian awalnya menolak, namun sang penyewa—seorang pengusaha—menjanjikannya bayaran besar, juga menanggung ongkos dan biaya tempat tinggal di Jakarta untuk sementara. Fabian mengiyakan, sebab setelah beberapa proyek kerja sama dengan PT Sentani Jaya dibatalkan, ia jadi punya banyak waktu luang.
Suci senang dengan pekerjaan barunya ini. Menduduki jabatan IT Support Specialist memberinya banyak waktu luang di kantor, tak seperti pegawai lainnya. Sebenarnya ia pun tak harus mendatangi kantor setiap hari, hanya saat diperlukan. Sebab sistem IT perusahaan sudah relatif teratur, kecuali jika ada kendala, atau jadwal maintenance dan pembaruan sistem. Namun, motivasinya rajin masuk kantor adalah pria Kaukasia itu.
Di sisi ruang arsitek yang berdinding kaca, Fabian berdiri menghadap jendela besar, sibuk berbicara melalui ponselnya, tangan kirinya menyelip di saku celana.
Suci duduk di bangku panjang dekat pot monstera, diam-diam memandangi sosok pria itu dari kejauhan. Jemarinya lincah di atas kertas putih dalam buku sketsa spiral yang selalu dibawanya. Garis-garis cepat namun penuh perasaan mulai membentuk sosok Fabian: pose khasnya yang tenang, postur tinggi atletis, rambut coklat yang tampak sedikit berantakan karena angin dari jendela, dan sorot mata fokus yang tak pernah gagal membuat jantung Suci berpacu.
Kamu selalu sibuk, tapi di mataku… kamu lukisan yang selalu ingin aku selesaikan, benak Suci berujar.
Ia sudah sering menggambar Fabian. Dalam diam, dengan kekaguman yang hanya ia simpan sendiri. Di halaman-halaman buku itu tersusun puluhan sketsa: wajah Fabian dari berbagai sudut, tangannya saat menulis, lengkung senyumnya yang hanya muncul sesekali, bahkan potongan kecil dari cara jalan santainya di lorong kantor.
Tiba-tiba terdengar suara pintu dibuka. Suci terlonjak, buru-buru menutup bukunya dan menaruhnya ke belakang badan. Jantungnya berdegup panik, takut ada yang melihat. Namun tak ada siapa-siapa. Ia mengembuskan napas lega, lalu berdiri, bersiap mengambil tas di meja kerjanya untuk pulang, terlupa akan bukunya. Begitu berdiri, tanpa sadar buku sketsanya tergelincir, jatuh ke kolong tempat duduknya tadi.
Beberapa menit kemudian, Fabian masuk dari arah berlawanan, hendak mencari file yang ditinggalkan di meja resepsionis. Tapi matanya justru tertumbuk pada sebuah buku spiral lusuh yang terbuka di kolong bangku.
Ia mendekat, sempat ragu, tapi akhirnya menunduk memungutnya. Saat satu halaman tak sengaja terbuka, ia terpaku.
Itu gambar dirinya, dalam coretan pensil yang detail dan hidup. Fabian terdiam, lalu membalik halaman berikutnya. Dirinya lagi, dan lagi, dan lagi. Beberapa bahkan diberi catatan kecil.
Kalau dia tahu aku perhatikan, aku pasti malu banget.
Kenapa gayanya kayak tokoh utama film ya? Terlalu keren, ngeselin!
Hari ini dia nggak datang, padahal cuma mau lihat mukanya supaya hari nggak terlalu berat.
Fabian terkesima. Seseorang benar-benar memperhatikanku selama ini? Pikirnya, tersanjung.
Ia menutup buku itu pelan, menatap sampulnya seolah sedang melihat sesuatu yang sangat berharga. Pandangannya lalu mengarah ke lorong, ke arah Suci baru saja pergi.
Pria yang dicintai gadis itu pasti sangat beruntung! pikirnya, sedikit iri.
-oOo-
Di rooftop kantor RumahWaktu, Suci mengembuskan napas lega. Ia telah berhasil naik kasta di kantor ini, merasa tenang semua berjalan mulus. Setidaknya, orang-orang di kantor akan lebih segan kepadanya, termasuk Anya. Begitulah harapannya. Ia berpegangan pada teralis atap yang tinggi, memandang pemandangan Bogor sore itu.
Saat sedang menikmati waktu kesendiriannya, terdengar lagi suara langkah kaki yang kokoh. Fabian muncul dari tangga.
“Kamu di sini lagi,” sapa Fabian.
“Iya, maaf ya, jadi harus sharing tempat menyendiri,” Suci merasa tidak enak hati.
“Nggak perlu minta maaf, bukan punyaku juga kok,” Fabian tertawa kecil. Ia lalu berdiri di sebelah Suci, ikut berpegangan pada teralis.
Ia melempar pandangannya pada gedung-gedung di sekitar mereka, lalu menatap Suci dengan takjub. “Kamu penuh kejutan ya.”
Suci tersenyum, Ini belum semua, benaknya menahan geli. “Aku cuma muak diremehkan.”
“Ini semua mengenai rencana balas dendammu ya?” Fabian menebak alasan di balik perubahan signifikan itu.
“Kamu masih ingat ternyata,” Suci cengengesan. “Iya, aku puas banget udah berhasil membalikkan keadaan.”
Fabian teringat buku sketsa yang ditemukannya. Ia lalu merogoh tasnya untuk mengambilnya.
Wajah Suci memerah saat Fabian menyodorkan buku sketsa itu padanya. Ia merasa seperti ditelanjangi. Gadis itu malu; kebiasaannya ketahuan, dan mungkin juga ketertarikannya. “Ini punyamu kan? Aku temukan di kolong bangku,” Fabian berkata santai.
Apa dia sadar perasaanku ya? Suci menggigit bibirnya cemas. Mengingat isi buku sketsa itu seluruhnya adalah sosok Fabian.
“Gambarmu ternyata bagus. Kamu benar-benar punya banyak kejutan,” Fabian menatap wajahnya lekat. “Kamu seperti bawang merah, dengan banyak lapisan rahasia yang bisa dikupas,” ia mengutarakan dengan terbuka. “Apa ada rahasia lain selain ini, ya?” Tatapan pria itu menghujam jiwa Suci, membuatnya lemas. Fabian menatap penuh makna.
“Aku suka kamu,” kalimat itu meluncur begitu saja dari mulut mungil Suci.
“Hah?” Fabian terkesiap, mulutnya menganga, tak menyangka malah menerima pernyataan cinta. Padahal ia hanya berharap Suci berbagi sedikit rahasia mengenai jati dirinya. Ini benar-benar di luar ekspektasi. “O…kay… terima kasih sudah jadi pengagumku,” ia mencoba berpikiran positif. Mengingat Suci senang sekali menggambar sosoknya.
Suci menggeleng. “Aku jatuh hati ke kamu, sebagai Fabian. Bukan cuma kagum karena kamu arsitek dari Belanda,” ia berusaha jujur.
“Memang… apa yang kamu tahu tentang seorang Fabian?” pemuda berkulit putih itu mengujinya. Seingatnya ia belum terlalu banyak berbincang dengan Suci.
“Cowok percaya diri yang omongannya savage. Kopinya secangkir kecil, pakai susu kental manis tanpa gula. Suka sereal rasa madu dan es krim vanila. Suka menjajal makanan lokal; kalau ada penjual makanan gerobak lewat, langsung diberhentikan tanpa pikir panjang meski belum tahu apa yang dijual. Kalau capek kerja, sering ngulet, lalu pergi ke balkon kantor untuk memandang ke kejauhan,” Suci membabar apa saja yang diingatnya dari sosok tinggi tegap itu.
Fabian tak pelak tersipu, wajahnya merona, merasa tersanjung mendengar seberapa jauh gadis itu memerhatikannya. “O-kay, cukup,” pemuda itu bingung bagaimana harus meresponnya. Sejujurnya, ia tertarik dan penasaran dengan sosok Suci, namun bukan ketertarikan sebagai lawan jenis, melainkan curiga Suci adalah MidnightFox sekaligus Guardian Angel.
Tapi nggak mungkin kan ini kuungkap sebagai jawaban, pria itu tak enak hati untuk menolak perasaan gadis di depannya ini.
“Maaf Suci, tapi aku cuma anggap kamu sebagai teman,” Fabian mengungkapkan dengan lugas.
Suci berdiri mematung, seolah menahan keras kesedihannya. Ada rasa bersalah di dada Fabian melihat wajah gadis itu yang sontak murung. “Lalu kenapa selama ini baik banget ke aku? Membelaku…” Ia menunduk.
“Maaf kalau aku bikin kamu salah paham, mungkin kamu bikin aku teringat sahabatku, Akasia,” Fabian akhirnya berkata jujur.
“Akasia?” Suci mengulang nama itu.
“Dan aku rasa kita belum terlalu mengenal. Aku khawatir kamu kecewa jika tahu masa laluku di Belanda dulu,” Fabian mencari-cari alasan yang logis untuk mendukung penolakannya.
“Kalau begitu kasih tahu aku,” ucapan Suci membuat Fabian terkejut. “Gimana kalau kita saling kenal dulu? Jawabannya ditunda aja untuk… enam bulan ke depan,” gadis itu menyuarakan gagasannya, tampak kembali riang. Itu sebenarnya bujukan, ia berencana untuk mengambil hati pemuda itu. Fabian terdiam bingung.
“Diam berarti setuju ya. Nanti deadline-nya tanggal 3 September tahun ini. Kamu bisa tolak aku lagi nanti, nggak apa-apa, tapi aku berharap bisa mengubah jawaban kamu. Kalau begitu, anggap aja hari ini kamu nggak dengar apa-apa. Aku duluan ya, bye!” Suci kabur menuruni tangga dengan cepat, meninggalkan Fabian yang masih mencerna apa yang baru saja terjadi.
Ia lalu terkekeh sambil menggelengkan kepala mengingat tindakan gadis itu yang selalu membuatnya terkejut. Dasar cewek aneh! pikirnya.
Sementara Suci menuju pintu keluar kantor, berniat pulang sekaligus mencari tahu mengenai Akasia. Ia merasa Fabian dan Akasia bukan sahabat biasa, pasti ada hal spesial mengenai perempuan itu.
-oOo-
Begitu sampai di kontrakannya, Suci mencari tahu mengenai Akasia lewat internet. Karena dia sahabat Fabian di Belanda selama kuliah, dia pasti mahasiswi indonesia yang kuliah di Belanda! ia menyimpulkan satu hal.
Syukurnya nama Akasia jarang dipakai, sehingga kecurigaannya terpusat pada satu tokoh yang berkuliah di Amsterdam Academy of Architecture: Akasia Melani Darmahadi. Ia lalu mengulik blognya untuk menelisik karakter wanita yang terasa spesial di hati Fabian. Suci iri dan cemburu.
Sahabat apanya, jelas banget dia pernah suka! pikirnya yakin saat menemukan foto-foto Fabian dengan gadis itu di media sosial selama masa perkuliahan mereka. Nuraninya sedikit risih, merasa ia bertindak seperti penguntit. Aku kan cuma mau tau aja, perempuan seperti apa yang membuat Fabian jatuh hati dan susah move on, benaknya membela diri, menjustifikasi sikapnya.
-oOo-
Pagi itu, kantor RumahWaktu masih lengang. Suci sengaja menyusup ke kantor arsitek sebelum kedatangan Fabian. Ia tahu kelemahan Fabian, karena itu ia menaruhnya dalam thinwall di meja Fabian, beserta surat yang diselipkan di bawahnya.
Saat Fabian baru sampai di mejanya, ia terkejut menemukan kotak thinwall, berisi kue yang cantik berwarna-warni, dengan cairan cokelat terpisah seperti sausnya. Fabian mengambilnya, lalu menemukan sepucuk kertas terlipat di bawahnya.
“Ini namanya kue Putri Mayang, khas Jakarta. Aku sengaja beli ini di pasar subuh sebelum berangkat ke kantor, jadi harus dimakan ya. Semoga suka.
-Suci-”
Fabian mengernyitkan kening. Tahu darimana dia kalau aku penasaran dengan kue jajanan pasar? heran pria Belanda itu dalam hati. Ini pemberian manis yang sulit ia tolak, jadi ia nikmati saja. Gadis ini benar-benar berusaha keras mencari perhatiannya. Fabian membuka kotak thinwall, lalu menuangkan kuahnya. Ia memakai sendok kecil yang disediakan, menyuap satu potongan kecil. Seketika itu juga matanya berbinar. Ia merasakan surga di lidahnya. Sudah lama ia menyadari telah jatuh cinta dengan rasa gula merah, tapi paduan dengan kue lembut nan cantik ini dirasanya sempurna. Bagaimanapun, ia harus berterima kasih pada Suci telah memperkenalkannya dengan kue ini.
-oOo-
Setiap Suci melangkah di kantor, terdengar bisik-bisik pegawai di sekitarnya, melirik Suci seolah ia bakteri merugikan. Sejak Suci masuk ke divisi IT perusahaan, banyak yang meragukan kemampuannya. Bahkan santer isu menuduhnya mendapatkan posisi itu karena menjadi peliharaan bos besar, alias punya sugar daddy. Rekan-rekan di divisi IT pun memandangnya sebelah mata. Suci sebenarnya bisa menebak dari mana isu itu datang—Anya—namun ia biarkan saja, sebab sejauh ini tidak mengganggu pekerjaannya.
Lagipula, nanti pasti ada saatnya aku membuktikan kemampuanku, pikirnya.
Ia masih merasa geli dengan tuduhan itu, seolah ia perempuan genit yang mengandalkan pria kaya untuk panjat karier. Padahal, yang dipakai foto saudara kandungnya sendiri.
Mungkin karena setiap pulang kantor, Nenek Widuri selalu menjemput aku dengan mobil mewahnya ya? pikir Suci, maklum dengan kesalahpahaman ini.
Widuri memang rutin menjemput Suci sepulang bekerja dari kantornya. Selain memastikan Suci baik-baik saja, Widuri merasa senang punya kawan yang menemaninya setiap pulang bekerja. Karena belakangan ini Nenek Widuri sibuk mengurus perusahaan Sentani Jaya di siang hari, sore hari menjadi waktu mereka melepas penat. Sepulang kerja Widuri kerap mengajak Suci belanja terlebih dulu, atau sekadar makan enak mencicipi restoran baru, atau mengelilingi mal tanpa tujuan jelas.
Anya menyeringai melihat Suci berjalan disambut tatapan sinis pegawai-pegawai lain. Kini, Suci punya julukan baru di kantor: nepobaby. Semua begitu yakin kalau Suci memanfaatkan hubungannya dengan pria mapan untuk bisa berada di posisinya sekarang. Anya hanya tinggal memperlihatkan foto Suci dengan saudara prianya, Surya—yang berpenampilan layaknya eksekutif muda dan tampak sangat akrab—dan itu cukup meyakinkan orang-orang di kantor bahwa Suci tidak sesuci namanya.
Sepulang bekerja, Suci melangkah keluar kantor. Saat menunggu Widuri menjemputnya, ia malah dikejutkan oleh tangan yang membekap mulutnya, menariknya masuk ke dalam sebuah mobil SUV hitam. Suci panik, namun pintu mobil terlanjur tertutup dan terkunci.
Menarik
Comment on chapter PrologSelalu penasaran kedepannya