Di dalam sebuah kontrakan sederhana, pemuda berjaket hoodie sedang asyik berseluncur di dunia maya dengan laptopnya. Kemudian perhatiannya tertuju pada map yang diberikan Surya sebelumnya.
PT Sentani Jaya.
Isi informasinya sangat membantunya untuk membobol sistem perusahaan itu. Perusahaan yang kebetulan dimiliki Anya dan keluarganya. Ia kemudian mengambil map tersebut dan membukanya.
-oOo-
Notifikasi Foxshell di ponsel Suci masuk, untung Suci sudah menyelesaikan kuliah online. Ia membuka aplikasi tersebut.
Mr. Wolf :
Ada target baru. Nama perusahaan: PT Sentani Jaya.
Butuh semua transaksi dan project tender dalam 1 bulan terakhir
Prioritas: Bukti kecurangan atau permainan harga.
Suci sempat terkejut. Ini perusahaan keluarga Anya, kenapa kebetulan sekali? matanya menyipit, benaknya curiga sesaat. Namun jika ia melakukan ini, ia bisa membalaskan dendamnya kepada Anya dengan menjatuhkan kredibilitas perusahaan itu di mata perusahaan rekanannya. Perusahaan tanpa kredibilitas perlahan akan runtuh. Ia menyeringai, ini seperti menyelam sambil minum air. Ia bisa menjatuhkan Anya, menyelamatkan perusahaan RumahWaktu tempatnya bekerja, sekaligus mendapat bayaran.
MidnightFox :
I get it!
Ia menggulung lengan sweatshirt-nya, memasang VPN, lalu membuka terminal hacking tools. Tangan Suci bergerak cepat di keyboard. Foxshell menyala, dan notifikasi muncul: ‘Foxshell collaboration on’
Mr. Wolf :
Gue buka pintu belakangnya, lu fokus dump database.
MidnightFox :
Copy that. Target : Data tender, invoice, payment log.
Dalam beberapa menit, server Sentani Jaya mulai terbuka. Suci melihat tender proyek restorasi, menemukan mark up harga material. Terdapat invoice-invoice palsu untuk pengadaan barang. Ada pula dokumen transaksi mencurigakan ke dalam rekening pribadi seseorang.
Gadis itu berbisik kecil, “Ini sih lebih parah dari perkiraanku.”
Semangatnya bertambah, ia meng-copy semua file dan mengarsipkannya ke dalam drive terenkripsi. Saat proses hampir selesai, Suci sempat berpikir.
Kenapa Mr. Wolf tahu harus menyasar perusahaan ini? Masa sih kebetulan? Tapi kenapa juga aku peduli? Ini tugas freelance, professional!
Ia lalu mengetik dengan cepat.
MidnightFox :
Data udah diambil. Gue nemu indikasi penggelapan.
Mr. Wolf :
Nice, simpan cadangan di drive aman. Bayaran akan masuk malam ini.
Suci tersenyum puas. Target selesai, bayaran aman, tanpa ia tahu ada hal yang lebih besar di balik semua ini.
Suci melanjutkan aksinya. Di ruang tidur kontrakan sederhananya, ia menatap layar laptop. Tangannya bergerak cepat menciptakan email anonim guardianangel@mailer.com
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Subject : Tindak lanjut urgent mengenai PT Sentani Jaya
Isi :
Kepada General Manager PT RumahWaktu
Kami menemukan indikasi kuat bahwa rekanan PT Sentani Jaya telah melakukan mark up harga dan manipulasi laporan.
Untuk bukti lengkap mohon hadir di ruang meeting lantai 3 gedung kantor RumahWaktu. Selasa, 23 April pukul 19.00 WIB.
Temui kebenarannya
Hormat kami
Guardian Angel
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Dengan satu klik, email itu melesat.
-oOo-
Langit malam itu gelap dan basah, kabut tipis menyelimuti pelataran kantor RumahWaktu. Jam menunjukkan 18.52 saat Suci menahan napas dan menyelinap ke dalam gedung.
Dengan ID stafnya, ia masuk dan menyalakan lampu kecil di ruang meeting. Komputer di tengah ruangan dinyalakan. Dengan gerakan cepat ia mencolokkan flashdisk berisi presentasi seluruh kecurangan : dokumen transfer, perbandingan harga, serta bukti email transaksi ilegal. Proyektor menyala, menampilkan satu halaman besar :
‘Bukti Pengkhianatan PT Sentani Jaya terhadap PT RumahWaktu’
Suci meninggalkan flashdisk itu tercolok pada CPU, lalu buru-buru merapikan semuanya. Ia memastikan tak ada jejak, hanya cahaya biru dari proyektor nenyala sunyi.
Saat ia hendak keluar, pintu lift berbunyi lembut, langkah kaki terdengar. Suci mematung di balik bayangan lorong.
Fabian.
Dengan kemeja santai yang belum diganti, pria kaukasia itu berjalan ke arah kantornya sendiri, sepertinya mencari sesuatu. Langkah pemuda kulit putih itu berhenti saat melihat sosok wanita yang tergesa-gesa.
“Suci?” Fabian memanggil, mengenal siluet itu.
Jantung Suci hampir copot, namun ia menetralkan perasaannya demi menunjukkan ekspresi tenang. “Baru selesai nyuci perabotan makan di pantry,” akalnya reflek mencari alasan.
“Sekarang? Jam segini?” Fabian heran.
“Takut besok keburu bau,” Suci menjelaskan sedikit gelagapan. Ia menunduk, mencengkram tasnya erat-erat, Tolong jangan curiga, aku cuma perlu selangkah lagi agar ini selesai! benaknya berharap.
Fabian sempat menoleh ke ruang rapat, ada cahaya biru samar. Tapi saat ingin bertanya lebih jauh, Suci sudah nyaris berlari menuruni tangga. Fabian menyernyit, sesuatu terasa tidak biasa malam ini.
Pukul 19.07, pintu ruang rapat terbuka. General Manager RumahWaktu, Arman, melangkah masuk sendirian. Gelap, kecuali sorot biru dari proyektor yang masih menyala.
Arman memperhatikan layar. Semakin ia membaca setiap slide wajahnya berubah: kaget, marah, dan penuh kekecewaan.
Matanya menangkap flashdisk yang bercokol di komputer. Ia menatap sekeliling, mencari siapa yang meninggalkannya. Tak ada satu pun bayangan, hening, misterius. Di slide terakhir menunjukkan satu kalimat pendek. ‘Pilihan di tanganmu!’
Suci kembali pulang ke kontrakannya di malam itu dengan dada berdegup kencang. Langkah pertama balas dendam selesai, meski tidak bisa dianggap sempurna. Ia kepergok Fabian, meski ia sudah memberikan alasan yang cukup masuk akal, ia khawatir Fabian tetap curiga dengannya. Ia meringkuk gelisah, matanya menatap kosong langit-langit kamar.
Apa Fabian percaya? pikirnya, tak bisa memejamkan mata.
-oOo-
Fabian menyetir mobil dinasnya dengan gelisah, teringat pertemuannya tadi dengan Suci.
-Flashback-
Selepas ia mengambil dompet yang ketinggalan di laci meja kerjanya. Ia kembali memeriksa ruang rapat yang tadi menarik perhatiannya karena tampak cahaya berasal dari dalamnya. Di dalamnya General Manager perusahaan, Arman, tampak syok.
“Bapak kenapa, Pak?” tanya Fabian khawatir sambil memegangi pria yang tampak limbung itu.
“Kamu…yang beri flashdisk ini?” tanya pria paruh baya itu curiga, tangannya menunjuk ke belakang CPU komputer ruang rapat. Terpasang flashdisk hitam disana.
“Flashdisk apa ya, Pak?” pria berambut cokelat itu justru bingung. “Saya kesini cuma ambil dompet yang ketinggalan,” Fabian lalu teringat perjumpaannya dengan Suci tadi. “Memang isinya apa, Pak?” ia menebak isinya pasti mengejutkan hingga membuat petinggi perusahaan ini syok.
“Bukti-bukti pengkhianatan PT Sentani Jaya terhadap perusahaan kita,” ucap Arman dengan ekspresi kecewa yang terlihat jelas. “Tapi kamu tutup mulut ya Fab, anggap kamu nggak tahu apa-apa. Biar saya yang menindak lanjuti ini,” atasannya itu berpesan.
Selanjutnya, saat mengantarkan Arman ke mobilnya, pria itu bercerita sebelumnya mendapat email dari pihak yang mengatasnamakan diri Guardian Angel. Dia memberitahukan adanya penyelewengan yang dilakukan PT Sentani Jaya terhadap perusahaan RumahWaktu. Bagaimanapun, ia merasa berterima kasih dengan orang itu, meski tidak tahu siapa orangnya.
Fabian teringat wajah polos Suci. Jangan-jangan… dia? pikirnya bimbang.
Suci… terlalu tenang untuk sekadar staf. Dan tatapannya… seolah menyembunyikan sesuatu. Tapi kenapa aku malah ragu?
-oOo-
Exit Jalan Suryakencana - Car Free Day Bogor - 08.20
Pagi itu cerah, ramai oleh keluarga, sekumpulan remaja, atau para lansia yang menikmati udara Bogor yang sejuk. Di antara keramaian itu, Widuri Grace Sentani, perempuan tua berambut perak yang masih tampak gesit dan elegan, berjalan pelan di trotoar, menikmati euforia keramaian hiruk pikuk orang yang berolahraga maupun berjualan. Meski sendiri, ia tampak menikmati suasana, musik akustik dari pengamen, aroma kopi dari booth, dan tawa riang anak-anak.
Namun tiba-tiba langkahnya terhenti. Ia memegang lututnya, nyeri sendinya kambuh.
“Dasar umur,” gumamnya menahan sakit.
Ia mencari tempat duduk terdekat, tapi trotoar penuh. Di saat itu Suci yang sejak awal sudah mengintai mendekatinya.
“Bu, nggak apa-apa? Sakit kaki ya? Sini saya bantu jalan,” Suci segera menopang tubuh Widuri dengan lengan kecilnya. Widuri terkejut dengan respon sigap gadis ini.
“Kamu…nggak keberatan? Terima kasih, Nak,” Widuri mengangguk, napasnya tertahan.
“Nggak apa-apa, Bu. Saya teringat Nenek saya.” Suci menuntunnya sambil tersenyum menenangkan. “Ibu datang sendiri?”
Widuri mengangguk. “Nanti antarkan sampai mobil saya aja, diparkir di ujung. Tadi saya kira saya bisa jalan sendiri. Ternyata…”
Suci menuntun Widuri, dengan hati-hati menghindari kerumunan. Mereka sampai di tepi jalan, tempat seorang supir berpakaian rapi panik menghampiri.
“Bu Widuri, astaga. Ibu kenapa?” supir itu segera membukakan pintu belakang mobil.
“Tenang. Anak ini membantu saya tadi, kalau nggak saya nggak bisa sampai sini.”
Widuri mengajak Suci untuk masuk ke dalam mobil, “Ikut yuk. Temani saya makan siang, sebagai ucapan terima kasih. Supir saya tahu tempat makan yang enak.”
Suci menurut, ia memasuki mobil dengan sungkan. Selama di perjalanan Widuri begitu penasaran dengan Suci.
“Kamu tinggal di Bogor?” tanya wanita tua itu.
“Iya, Bu. Saya kerja di sini juga,” Suci menjawab.
“Kerja apa?” wanita berambut keperakan itu tampak tertarik.
“Asisten Umum Kantor, Bu, di perusahaan RumahWaktu,” Suci dengan sabar meladeni.
Mata Widuri berbinar, “RumahWaktu, perusahaan di bidang restorasi gedung tua itu kan? Saya kenal pemiliknya, teman lama almarhum suami saya.”
Suci sebenarnya sudah tahu, namun ia berpura-pura terkejut, “Oh…wah, saya baru tahu, Bu.”
“Jangan panggil Ibu, panggil aja Nenek,” pinta Widuri. Tepat saat itu mobil sudah melipir ke tempat parkir sebuah rumah makan.
Makan siang sederhana di restoran lawas kota Bogor menjadi awal dari obrolan panjang mereka. Mereka berbincang tentang keluarga, kesulitan hidup, kerja keras, dan mimpi.
Widuri kagum setelah mendengar perjuangan Suci. “Kamu luar biasa. Kerja merantau untuk biaya kuliah, sangat berani. Nenek nggak bisa tinggal diam dengar ceritamu.”
Suci tersipu, “Saya cuma ingin bangun hidup saya sendiri, Nek.”
“Kalau begitu, biar saya bantu. Kamu harusnya bisa menempati posisi yang lebih layak menghargai potensimu. Jabatan apa yang kira-kira kamu minati dan sesuai kemampuanmu?” nenek Widuri menawarkan.
Suci tersenyum, “Saya tertarik di bidang sistem IT. Hobi saya utak-atik software sejak SMA.”
Widuri tersenyum, “Bagus kalau kamu tahu yang cocok. Saya akan diskusikan dengan pimpinannya. Anggap saja ini hadiah dari Nenek barumu.”
Suci tertegun mendengarnya. “Nenek baru?”
Widuri menunduk lesu, “Nenek selama ini kesepian, jarang ketemu teman mengobrol. Anak dan cucu kandung Nenek juga cuma mendatangi kalau sedang butuh aja. Boleh kan Nenek anggap kamu cucu sendiri? Sekadar alasan supaya kamu sering datang menemani Nenek ngobrol.”
Suci mengangguk, “Dengan senang hati, Nek. Terima kasih. Kita tukeran nomor, yuk Nek!” ajaknya senang. Andai bukan karena misi ini, mungkin ia bisa sayang sungguhan pada wanita tua itu.
Suci diantar pulang ke kontrakannya dengan mobil mewah Nenek Widuri. Begitu pintu tertutup, senyum licik mengembang.
Semua berjalan sesuai rencana, pikirnya puas. Ini semua memang skema besar Suci untuk menyusup masuk ke dalam lingkup keluarga Sentani.
Ini bentuk dari pembalasannya. Orang-orang yang memiliki kekayaan mungkin akan balas dendam dan menyombongkan diri dengan uang dan jabatannya, mudah ditebak. Ia tidak mau memakai cara pasaran itu. Ia ingin menunjukkan kemampuannya tanpa melibatkan harta. Ia akan menaklukkan keluarga besar Sentani, keluarga dari Anya, dengan kecerdikannya. Dimulai dari mencari hati Widuri yang tampaknya sudah terpikat denganya.
Keluarga Sentani cukup besar, dengan Yudha Richardo Sentani sebagai anak tertua menjadi CEO perusahaan, Bapak dari Anya Eileen Sentani. Adik-adiknya pun ditempatkan di posisi penting perusahaan tersebut, menjadi kaki tangannya. Tapi pemilik kedudukan tertinggi keluarga itu bukanlah dari mereka, melainkan dari satu sosok terkuat sekaligus terlembut di keluarga itu. Nyonya Widuri Grace Sentani, Nenek dari Anya, Ibu dari para pimpinan perusahaan itu. Nyonya Widuri Grace Sentani tinggal sendiri di rumah tuanya yang megah, namun seringkali kesepian. Celah inilah yang dimanfaatkan Suci untuk masuk.
oOo
Ruang rapat bergaya industrial dengan tirai tertutup dan cahaya lampu gantung menyorot meja rapat panjang. Di satu sisi duduk para petinggi RumahWaktu, di sisi lain delegasi PT Sentani Jaya. Ketegangan bisa dirasakan di udara.
Arya, Managing Director PT RumahWaktu, meletakkan map berisi dokumen di atas meja perlahan. Suaranya tenang, tapi tiap kata seperti disusun rapi agar menusuk.
“Kami sudah memverifikasi semua data pengadaan, invoice, dan bukti pembayaran. Laporan audit internal kami menyebutkan adanya penggelembungan harga dalam empat proyek terakhir, dengan selisih yang tidak masuk akal.”
Yudha Richardo Sentani, Direktur Utama PT Sentani, hanya menghela napas, mencoba tetap tenang. “Saya rasa ini bisa diselesaikan secara baik-baik. Mungkin ini hanya kesalahan administrasi.”
Perwakilan keuangan RumahWaktu menggeser dokumen lain. “Kesalahan administrasi tidak akan membuat satu vendor fiktif menerima pembayaran milyaran rupiah, Pak Yudha.”
Semua hening sejenak, suasana semakin menegang.
Arya melanjutkan, menatap lurus ke arah lawannya. “Kami tidak serta-merta membawa hal ini ke ranah hukum. RumahWaktu tetap menjunjung relasi yang baik. Tapi…kami tidak bisa membiarkan perusahaan kami dirugikan.”
Ia menarik napas, lalu menyodorkan dokumen berstempel. “Ini adalah pernyataan pembatalan kontrak dan tuntutan ganti rugi sebesar 12,4 milyar rupiah, yang mencakup pengembalian dana, serta kompensasi atas keterlambatan proyek akibat manipulasi data di lapangan.”
Yudha menegang. “Ini terlalu besar. Kami-”
“Jika anda tidak bersedia mengganti, maka seluruh dokumen akan kami serahkan ke pihak yang lebih berwenang!” Arya memotong tanpa meninggikan suara. “Dan saya yakin, media akan sangat tertarik melihat bagaimana perusahaan yang dulu disegani, mengkhianati mitra yang pernah disokongnya.”
Tim dari Sentani Jaya saling bertukar pandangan, beberapa tampak gelisah.
Yudha mengepalkan tangan. “Ibu saya belum tahu soal ini,” gumamnya pelan pada asistennya. Sayangnya, mikrofon kecil di mejanya tetap menyala tanpa disadarinya, “Kalau dia tahu…kita semua habis.”
Arya menangkap ucapan itu. Namun ia tak berkomentar, hanya menyandarkan punggung. “Kami beri waktu 7 hari kerja untuk menyepakati dan menandatangani ganti rugi. Jika lewat, kami tidak segan menempuh jalur hukum.”
Ia menutup map rapatnya dengan satu tangan. “Rapat selesai.”
Di balik layar, Mr. Wolf tersenyum. Semua bergerak sesuai rencananya.
Yang tidak Suci tahu, semesta pun mulai memperhatikan permainan yang baru saja dimulai. Dan semua pion sedang bergerak.
Menarik
Comment on chapter PrologSelalu penasaran kedepannya