Tobi tidak tinggal diam. Ia masuk ke ruang kerja Kepala Proyek dengan membawa teh hangat—alasan untuk bisa mendekat.
“Gimana, Pak? Ada yang mencurigakan di rekaman CCTV yang saya serahkan?” tanya Tobi tak sabar.
“Nggak ada, Tob. Cuma kalian sesama petugas OB dan OG, nggak ada orang luar,” jawab Irfan.
Tobi terkejut, tidak menyangka jalannya buntu sekarang. Ia kira Anya akan tampak di CCTV, ternyata ia tidak turun langsung. Anya pasti menyuruh petugas Asisten Umum Kantor sepertinya, tapi siapa?
Kemudian Tobi teringat kunci cadangan loker yang hanya dipegang oleh Pak Sapri, Petugas Keamanan kantor khusus kunci loker.
“Permisi, Pak. Saya ingin memeriksa sesuatu.” Ia segera melesat keluar, mencari Pak Sapri.
Tobi menemukan Pak Sapri di pos keamanan bersama petugas lainnya. Ia memberi isyarat agar pria itu mendekat.
“Naon sih Tob? Penting pisan kayakna,” celetuk Pak Sapri sambil mengernyit.
Tobi mengajaknya duduk, menyerahkan sebungkus rokok, segelas kopi hitam, lalu bertanya, “Hari Senin kemarin, ada yang pinjam kunci cadangan loker, Pak?”
Pak Sapri sempat terkejut dengan tingkah Tobi, namun tetap berusaha mengingat-ingat. “Aya sih Tob, Bu Anya, QS perusahaan kita.”
Mata Tobi berbinar. Gotcha! pikirnya sambil menyeringai. “Kejadiannya di mana, Pak?”
“Di depan situ saya serahinnya. Dia udah balikin kuncinya kok. Aman!” Pak Sapri menunjuk sebuah sudut di pojokan luar kantor yang masih terekam CCTV.
“Yaudah, terima kasih ya, Pak!” ucap Tobi sebelum berlari ke ruang CCTV untuk memeriksa rekaman di area yang ditunjuk tadi, kemudian menyimpan buktinya dalam sebuah flashdisk.
Tobi berpapasan dengan Pak Irfan saat Kepala Proyek itu hendak ke ruangannya. Ia lalu berbisik, “Kalau Suci memang dijebak, pasti pelakunya pakai kunci loker cadangan, kan Pak? Tinggal tanya Pak Sapri aja, kalau di hari kejadian ada yang pinjam, kita langsung tahu siapa yang framing Suci.”
Ia berusaha menggiring pemikiran atasannya itu sambil memberikan flashdisk berisi rekaman CCTV saat Pak Sapri memberikan Anya kunci loker. Kemudian ia berlalu untuk menyelesaikan tugas-tugasnya bersama Suci.
Irfan sebagai Kepala Proyek mengambil tindakannya sendiri. Setelah mengecek isi flashdisk yang diberi Tobi, ia mengkonfirmasi langsung ke Pak Sapri sebagai penjaga kunci cadangan loker. Ternyata benar, ia temukan satu nama yang meminjam cadangan kunci loker yang spesifik, nomor 17, loker Suci.
Irfan memanggil wanita itu ke ruang kerjanya. Ia datang tanpa curiga.
“Ada apa ya, Pak?” tanya Anya sambil menutup pintu ruang kerja.
“Duduk, Nya!” Pak Irfan mempersilakan sambil menunjuk ke bangku depan meja kerjanya. Anya menurut untuk duduk.
“Saya to the point aja ya,” Irfan menumpukan dagu di kedua tangannya, “kenapa kamu melakukan itu, Nya?”
Anya tersentak. “Maksudnya apa, Pak?” ujarnya gugup, peluh dingin membasahi pelipisnya.
“Pak Sapri, Fida, dan Laksmi, masuk sekarang!” seru Irfan dari balik pintu ruangannya.
Sial! rutuk Anya dalam hati. Ia meremas ujung blazernya, menyadari tak ada jalan keluar. Kini ia benar-benar tersudutkan.
oOo
Fabian menelepon juniornya di RumahWaktu sambil bersandar di kusen jendela hotel, memandang kota Bandung dari lantai atas.
“Hei Vinda, aku udah kirim email-nya ya. Kamu tinggal print aja, lalu kasih ke Pak Irfan,” pesannya kepada juniornya di telepon. Ia sesaat teringat mengenai Suci dan merasa sedikit khawatir.
“Di perusahaan ada kabar baru apa?” tanyanya iseng.
Vinda, di seberang sambungan telepon teringat tuduhan yang menjerat Suci hingga ia terancam dikeluarkan. Pelan-pelan ia menerangkannya kepada Fabian.
Fabian terkesiap. Kekhawatirannya terjawab, tapi justru membuatnya semakin resah.
“Lalu sekarang bagaimana perkembangannya?” Fabian memastikan.
“Tadi sih beberapa pegawai dipanggil ke ruangan Pak Irfan. Semoga aja udah ada penyelesaian. Soalnya menurut saya juga tuduhannya janggal banget. Masa Suci langsung dituduh mau membocorkan data perusahaan, nggak mungkin orang awam mikir sejauh itu.”
Fabian terdiam. “Oke, besok aku akan ke kantor deh,” ia memutuskan. Padahal rencananya ia ingin menginap semalam lagi di kota itu, tapi tampaknya ia harus berkemas sekarang agar pagi nanti bisa langsung berangkat masuk kerja tanpa terlambat, meski harus berkendara pagi buta. Ia terlanjur khawatir pada sosok Suci yang tampak riskan di matanya. Seolah butuh perlindungan.
Keesokan harinya Anya, Fida, dan Laksmi tidak masuk kerja, kemungkinan kena sanksi dari atasan. Pegawai lain bisa menebak sebabnya terkait dengan kasus baru-baru ini. Mereka mulai paham Suci hanya korban.
Sementara di pagi itu Fabian mendatangi kantornya dengan koper dan bawaan lain masih ditinggalkan di mobil dinasnya. Ia terburu-buru masuk ke gedung kantor RumahWaktu yang bergaya mediteranian industrial itu.
“Gimana kasusnya, Vinda?” tanyanya begitu melihat arsitek junior itu.
“Suci udah aman. Anya dan kawanannya yang sekongkol diskors oleh atasan. Semua mulai bisa menebak, siapa pelaku dan korbannya,” Vinda melaporkan, kemudian heran menyadari Fabian sudah berada di sini. “Bukannya kamu semalam masih di Bandung? Kamu buru-buru ke sini karena khawatir, ya?” tebaknya.
Fabian hanya terdiam, namun matanya menangkap sosok Suci berjalan di dekat tempatnya berdiri. Ia melambaikan tangan gestur menyapa, tapi Suci malah menunduk dan melanjutkan langkahnya.
“Kenapa ya dia?” Fabian heran.
“Masih sedih kali, karena kesaksiannya kurang dipercaya sebelumnya,” Vinda menebak-nebak. “Eh iya, senior. Pak Anjar itu…kayak gimana sih?” ia memberanikan diri meminta pendapat pria kaukasia di depannya.
Fabian tersenyum menggoda, “Penasaran yaa?”
“Ceritain dulu, dia red flag atau nggak. Dia kirim pesan melulu, aku cuma mau menghindari predator aja nih,” Vinda menampik.
oOo
Sementara Suci yang sejak tadi melihat keakraban Fabian dan Vinda hanya menghela napas pasrah.
‘Vinda arsitek juga, penampilannya juga stylish, cantik, intelek, anggun lagi. Mereka kelihatan dekat dan…serasi. Apalah aku dibanding dia?’ pikirnya, salah mengira.
“Wooi, ngelamunin apa?” seru Tobi, mengagetkan Suci.
“Ih, Tobi tob tob! Nguji kesehatan jantung gue aja?!” Suci sempat kesal dan menepaknya dengan nampan yang dibawanya sedari tadi.
“Wih, Fabian udah balik? Cepet amat!” komentar Tobi, melirik ke arah pria itu dan wanita yang bersamanya. “Itu arsitek baru kan, Vinda?”
“Iya, cakep ya?” Suci menggumam dengan rasa rendah diri.
“Ya cakep sih. Tunggu, lu cemburu ya sama dia?” Tobi menggodanya. “Duilee belum jadi apa-apa aja udah berani cembokur!”
“Ssttt! Jangan kencang-kencang Tob! Nanti kedengeran!” Suci berusaha keras membungkam mulut pria rekan kerjanya itu dengan tangannya.
Fabian memandangi interaksi itu, Mereka memang dekat banget ya, pikirnya, sedikit terusik.
-oOo-
Senja selalu datang, meski suasana hati tak menentu. Ia tetap hadir dengan kecantikannya yang tak pernah absen. Seperti juga saat ini, Suci kembali ke tempat pengaduannya kepada langit di atap gedung tiga lantai kantor RumahWaktu. Saat itu ia sedikit bersyukur namanya sudah bersih dari tuduhan, dan pelaku yang merekayasa kasusnya sedang diberi hukuman. Meski menurutnya hukuman itu terlalu ringan, malah lebih seperti diberi liburan. Bisa dimengerti, karena orangtua Anya pemilik perusahaan Sentani Jaya yang sudah bekerja sama dengan perusahaan RumahWaktu dalam rentang waktu yang lama.
Suara langkah dari arah tangga terdengar, kokoh dan teratur, membuat degup jantung Suci meningkat mengantisipasinya.
Fabian muncul sambil tersenyum tenang. “Kamu disini lagi,” ucapnya pelan sambil melangkah mendekat.
“Mau kemana lagi?” Suci merespon. “Ini tempat yang paling dekat untuk menenangkan diri,” katanya sambil menahan debaran dadanya. Tapi jujur, selama ada kamu, bukannya tenang… aku malah makin gugup, batinnya. Ia meringis, wajah tetap dipaksa tenang meski jantungnya gaduh.
“Iya juga, sejak kasus kemarin, kamu pasti nggak tenang,” Fabian mengerti betapa gelisahnya Suci beberapa hari ini.
“Kamu tahu?” Suci menoleh heran, sementara Fabian tersenyum penuh arti. Oh iya, udah jadi buah bibir sekantor sih ya? pikirmya. Ia hanya bisa maklum.
Suci menghela napas. “Sebenarnya udah selesai. Tapi aku baru sadar—jabatan menentukan seberapa didengar suara kita. Sejak kemarin aku membantah tuduhan, bilang ada kemungkinan aku dijebak, tapi nggak dianggap serius oleh atasan. Sekalinya Quantity Surveyor kita menuduh aku mau mencuri dan membocorkan data, atasan dan semuanya langsung percaya,” ia mengungkapkan ketidakadilan yang pahit ia alami. “Kemarin aku disuruh minta maaf dengan ancaman diberhentikan dari pekerjaan, sementara mereka yang sudah terbukti berniat menjebak aku dan merekayasa tuduhan… cuma diskors sementara. Adil nggak sih?”
Fabian menyeringai, “Kalau kamu merasa nggak adil, balas aja pakai tanganmu sendiri.”
“Hah?” Suci yang terkesiap sontak menoleh. “Kukira kamu bakal bilang, ‘sabar aja, nanti juga dibalas,’ kayak orang-orang!” Ia terkekeh, sedikit terhibur dengan respon yang diluar ekspektasinya ini.
“Menunggu balasan, dari siapa? Sabar, sampai kapan?” Fabian mengkritisi. “Orang yang disakiti boleh kok balas balik, supaya pelakunya tahu rasanya. Jangan jahat kalau nggak mau dijahatin balik, jangan nyubit kalau nggak mau dicubit, kan begitu prinsipnya.”
Suci tersenyum sambil memandang pria berambut cokelat itu kagum. “Jadi kamu mendukung balas dendam, nih?”
“Asal setimpal dan nggak berlebihan sih menurutku nggak apa-apa, justru itu jadi defense mechanism kamu. Semut aja kalau diinjak bisa menggigit, loh. Masa kita diam aja waktu diinjak?” Fabian kembali memberinya inspirasi.
Kini Suci yakin dengan pemikirannya. “Terima kasih, Fabian. Sekarang aku tahu apa yang harus kulakukan.”
Di luar dugaan, Fabian mengacak rambut Suci ringan, senyum geli tersungging di wajahnya. “Bagus deh. Tunjukkan taji kamu. Aku dukung!”
Suci tersipu, wajahnya memerah—tidak bisa menyembunyikan gejolak yang tumbuh diam-diam.
-oOo-
Tougo melangkah memasuki gedung apartemen yang biasa ia datangi, ia mulai iba dengan Anya dan berniat menghiburnya setelah jam kerjanya usai. Ia tahu Anya salah, tapi ia juga pasti perlu teman untuk menghadapi ini. Pintu apartemen dibukakan oleh Anya dengan wajah cemberut.
“Ngapain kamu kesini?” sambutnya dengan nada kesal, menahan pintu yang hanya dibuka sedikit, sekadar untuk memperlihatkan wajahnya.
“Aku boleh masuk ya?” pinta Tougo dengan senyum manis. “Cewek cantik nggak boleh lama-lama kesalnya, nanti cantiknya hilang,” ia berusaha keras membujuk. “Nih aku bawain camilan kesukaan kamu. Sekarang jadi cheat day aja dari diet, badan kamu udah bagus kok!” ia berkata dengan persuasif. Setidaknya ia harus masuk dulu ke dalam agar semua obrolan mereka terjaga privasinya.
“Yaudah, masuk!” Anya membuka pintu dengan nada malas. Ia kembali menutup pintu setelah Tougo memasuki ruang apartemennya.
Tougo menaruh tas tentengannya di island bar yang ada di ruangan itu, Anya menghampiri ingin tahu. Selagi Anya mengecek barang bawaan Tougo di dalam tote bag itu, Tougo memerhatikan wanita itu. Anya tampak seksi dengan silk onesie yang biasa dipakainya untuk santai, rambut bob sebahu berwarna strawberry blonde membuatnya tampak sophisticated. Wanita ini benar-benar tampak berkelas, tubuhnya pun berlekuk indah. Bukan cuma cantik, Anya juga pewaris salah satu perusaan besar, PT Sentani Jaya. Tougo tidak ingin melepasnya sebelum mendapatkan keuntungan. Perangai perempuan ini memang sedikit buruk, tapi kalau aku bisa menutup mata dengan kelakuan buruknya… mungkin aku masih bisa mendapat keuntungan dari Anya, pikirnya culas.
Saat Anya masih sibuk membuka kemasan camilan, Tougo tiba-tiba memeluknya dari belakang. “Kangen!”
“Kemarin-kemarin kamu ke mana aja? Waktu aku susah, kamu kemana?” dumal Anya penuh emosi. Tougo membalik badannya untuk menatap wajah wanita itu, cantik, meski sedang merengut. “Harusnya kamu bela aku!” tambah Anya.
“Iya, maaf ya!” Tougo menjawab cari aman. “Mungkin aku bisa sedikit tutup mata dengan kelakuan licik kamu, aku cuma menolak untuk terlibat. Bagaimana?” ia membuat kesepakatan.
Anya memikirkan kembali, “Okay, nggak apa-apa. Asal jangan menceramahiku kayak sebelumnya!”
Mereka lalu menyatukan kening dan ujung hidung mereka, saling tersenyum. “Jangan kelewatan ya ngerjainnya!” pesan Tougo.
“Tuh kan kamu khawatirin dia lagi!” protes Anya.
“Bukan, aku cuma takut disalahin keluarganya. Keluarga kami kan dekat,” Tougo berusaha menetralkan posisinya kembali.
“Whatever. Aku nggak mau ngomongin dia!” Anya masih kesal.
“Yaudah, nonton bareng aja yuk. Keluarin camilannya,” ajak Tougo sambil berusaha menenangkan hati Anya.
Menarik
Comment on chapter PrologSelalu penasaran kedepannya