Loading...
Logo TinLit
Read Story - Semesta Berbicara
MENU
About Us  

Di rumah besar bergaya kolonial di sudut kota Bogor, Suci berjalan di halaman luasnya menuju pintu masuk diiringi Tougo. Ini kediaman Tougo sejak pria itu pindah ke Bogor saat lulus SMA. Sejak anak-anak dulu Tougo dan Suci memang selalu dekat hingga jenjang SMA, meski umur mereka selisih dua tahun, sampai hubungan di antara mereka ambigu, tidak jelas labelnya. Selepas SMA Tougo berkuliah di Bogor, sementara Suci menunggu lulus SMA untuk kemudian menyusul ke Bogor, merantau demi menjauhi bapaknya yang dirasanya kolot, menghalangi mimpinya untuk bisa mandiri. Saat itulah ia menemukan pekerjaan di kantor RumahWaktu yang dirasanya nyaman hingga sekarang.

Suci tidak menyangka, hingga kini pun ia harus menuruti Tougo. Namun karena ini permintaan orang tua pemuda itu, Suci tidak bisa menolaknya.

Sore itu aroma teh melati dan kudapan tradisional memenuhi ruang tamu bergaya vintage. Ibu Tougo tampak sumringah menyambut Suci.

“Suci, kamu makin cantik aja. Udah lama banget nggak main ke sini!” serunya sambil menggenggam tangan Suci erat.

Suci tersenyum sopan. “Maaf ya, Tante. Suci memang sibuk kerja.”

Tougo datang dari arah dapur membawa nampan minuman, tersenyum janggal, “Hallah kerjaan office girl aja sok sibuk, paling ngapain sih? Nyapu ngepel,” ujarnya santai, membuat Suci terhenyak, namun berusaha tetap kalem.

“Tougo, nggak boleh begitu. Dia kerja juga buat cari uang kuliah. Nggak kayak kamu, kuliah dibayarin orang tua, nyapu ngepel masih nggak bisa. Kalah kamu, Go!” ibu Tougo membela Suci, “Berarti calon istri kamu ini ulet, pekerja keras.”

Mereka pun duduk di sofa, meski Suci menahan rasa risihnya. Ibu Tougo terus saja membanggakan masa kecil Suci dan Tougo, berharap mereka bisa membangun masa depan bersama. Sementara Suci dan Tougo saling melirik, saling memberi senyum ganjil.

Saat ibu Tougo ke dapur mengambil camilan tambahan, Suci mendekat demi berbisik tajam, “Kamu bisa berhenti sok akrab sekarang.”

Tougo menyilangkan kaki, tangannya memainkan gelas teh. “Aku cuma jaga perasaan Ibu. Lagian dari dulu kita memang teman kan? Jadi santai aja.”

Tiba-tiba Tougo menceletuki, “Aku lihat kamu semakin dekat sama Fabian. Jangan bilang kamu mengharap dia buat jadi pacar?” ia menyeringai, tampak meremehkan. “Saranku sebagai teman ya, mending cari yang selevel deh Ci, nanti kamu sakit hati. Dia arsitek ternama, orang Belanda pula, kamu apa? Kuliah aja nggak.”

Suci menarik napas panjang, menahan diri. “Bukan urusan kamu Go, urusin aja Anya dengan semua dramanya itu.”

Tougo terdiam, senyum congkaknya sedikit mencair. Ia teringat sikap Anya yang menolak mengaku bersalah perihal proposal kemarin. Tougo mulai sadar kelicikan dan sifat kekanakan Anya yang kini membuatnya kerepotan. Bahkan sejujurnya, pemuda itu merasa Anya dengan tingkahnya itu mulai menyebalkan.

“Aku bukannya nggak kuliah, cuma mau kuliah dengan uang sendiri kok, supaya nggak ngerepotin ortu. Ini cuma proses, aku kerja begini cuma sampai aku wisuda, begitu aku punya gelar, aku tunjukin ke depan muka kamu deh ijazahnya. Kita bandingin GPA aja. Gimana?” Suci membalas pongah.

Tougo lanjut sambil tertawa kecil, “Nggak semua orang punya privilage buat sekolah tinggi, ya. Tapi kamu gigih, itu bagus kok. Aku salut, sedikit.”

Suci menunduk. Dadanya sesak, tapi ia tetap tenang. Ia menahan kata-kata yang membuncah di tenggorokannya. Bukan karena tidak bisa membalas, tapi karena terlalu terkejut. Pria yang dulu tumbuh bersamanya, yang ia kira mengenal baik siapa dirinya, ternyata memandangnya seremeh itu, rendah, kecil, tak berharga.

“Kenapa diam?” cecar Tougo, “Jangan baper gitu dong. Kita kan udah kayak keluarga. Santai aja. Lagian…soal pertunangan kita itu kan cuma celetukan masa kecil, jangan dianggap serius.”

Suci menarik napas panjang. Tatapannya kosong, nyaris sendu, tapi ia tak menangis. Ia hanya berkata pelan, “Ternyata segitu doang ya kamu melihat aku?”

Kemudian ia bangkit dari sofa, membungkuk sopan. “Titip salam buat Tante.” Dan ia melangkah keluar. Punggungnya tegak, tapi langkahnya sedikit gontai. Ia tak menangis, tapi luka itu dalam.

Dari balik lorong, ayah Tougo yang sedari tadi diam di ruang sebelah, memandang Suci dengan sorot mata berbeda. Seakan baru menyadari, bukan Suci yang kekurangan, melainkan putranya yang kehilangan arah.

 

-oOo-

 

Anya semakin kesal kepada Suci sejak kejadian proposal kemarin. Rekan-rekannya yang percaya Anya cuma “salah taruh” kerap menyalahkannya telah menuduh Suci seenaknya. Padahal kalau rencananya berjalan mulus, ia berencana menyisipkan proposal itu di tas Suci, agar Suci mendapatkan teguran yang lebih serius dari perusahaan. Kini Tougo yang dikiranya akan memihaknya justru marah kepadanya. Ia mulai merencanakan sesuatu lagi, sebuah skema perangkap, ia sangat ingin Suci dikeluarkan dari perusahaan itu.

Hari itu hari yang hampa bagi Suci. Tiga hari ini Fabian dinas keluar daerah, sehingga tidak ada lagi sosok rupawan yang menyemangati harinya. Di depan lift, ia hanya melamun menunggu lift menjemputnya.

 “Suci, ini nitip dong, tolong bawain ke mejaku di lantai 3!” Fida menitipkan sebuah map dan sebuah flashdisk hitam ke Suci dengan terburu-buru. “Aku lupa beli sesuatu, tolong taruh di laciku supaya nggak hilang. Isinya penting,” pinta wanita itu.

Suci hanya mengangguk tanpa rasa curiga apapun. Tanpa tahu di tangannya merupakan perangkap yang akan menjebloskannya ke masalah baru.

 

Beberapa jam kemudian terdengar pekikan dari arah lantai tiga. “Sucii! Kok flashdisk-nya nggak ada di laciku?” Fida mengamuk ketika Suci di ruangan itu, ia sibuk mencari di semua bagian laci dan sudut mejanya. “Itu isinya tender penting kantor, Ci.”

“Saya yakin udah saya taruh di laci kok, sesuai permintaan Teteh,” Suci heran, ia ikut bantu mencarikan. “Saya taruh di laci ini tadi.”

“Adanya map-nya aja, Suci. Kamu jatuhin dimana?” Fida menegaskan. Pegawai lain mulai tertarik perhatiannya karena keributan itu.

“Kebawa kali sama kamu, coba cek bawaannya!” Anya yang meja kerjanya di ruangan yang sama, memberi saran sambil menoleh ke arah Suci.

Satu pegawai membantu memeriksa kantung pakaian Suci, pegawai lain meminta Suci memeriksa tasnya.

Suci memutar bola matanya. “Aku aja nggak bawa tas ke sini, kan ditaruh di loker,” Suci berkata yakin. “Ayo ke lokerku kalau nggak percaya!” ajaknya optimis.

Beberapa pegawai ikut ke ruang loker bersama Anya dan Suci. Satu pegawai mengecek tas di loker yang Suci bukakan sendiri. Sementara pegawai yang lain memerhatikan sebagai saksi. “Nggak ada!” simpulnya setelah mengeluarkan semua isi tasnya.  Suci bernapas lega.

Sementara satu pegawai yang mengecek lokernya menemukan sesuatu. “Ini apa?” tangannya meraih sesuatu di pojok loker, sebuah flashdisk hitam persis seperti yang sedang dicari.

“Kalau di tas sih bisa dimaklumi ya, mungkin kebawa. Tapi kenapa sampai disembunyikan di pojok loker?” Anya memanas-manasi.

“Anya, jangan ngomporin ya!” Suci kesal, mencurigai ini perbuatan Anya.

“Kamu nggak mau bawa pulang data kantor sepenting itu kan Ci? Buat apa?” Fida mendelik ke arah Suci.

“Suci kayaknya kenal banyak orang penting di dunia bisnis. Aneh ya buat ukuran office girl. Apa mungkin data itu…dibocorin?” Anya menunjukkan foto Suci bersama Kakaknya, Surya, yang berjas rapi selayaknya petinggi perusahaan. Entah didapatkannya dari mana.

Yang selanjutnya terjadi tidak terelakkan, Suci dipanggil ke ruangan kerja Head Project, untuk dimintai keterangan.

Irfan, sang Kepala Proyek mempersilakannya duduk di depan mejanya, pegawai lain yang bersaksi berdiri, termasuk Anya.

“Sebenarnya keributan ini akan langsung tenang, kalau kamu mau mengakui kesalahan, Ci,” pria berkumis itu menyarankan. “Bilang aja kamu lalai, salah taruh, lalu minta maaf. Saya akan anggap selesai.”

“Tapi saya yakin sudah menaruh flashdisk itu ke meja kerja Fida, Pak. Bapak bisa periksa CCTV kantor untuk membuktikannya!” Suci kukuh, ia pantang meminta maaf jika tidak merasa salah.

Petugas pengawas CCTV masuk ke ruangan membawa rekaman CCTV dalam bentuk micro-SD, yang kemudian dipasang ke laptop milik bapak Irfan. Mereka menonton rekaman bersama. Pada waktu kejadian memang Suci mendekati meja Fida dan menaruh sesuatu, hanya saja tidak terlalu jelas barang-barang yang ditaruhnya.

“Tuh Pak, saya sempat ke meja Teh Fida. Saat itu saya taruh di sana semuanya, map sekaligus flashdisk-nya!” Suci menjelaskan.

“Cuma taruh map aja kali Pak, nggak kelihatan jelas tuh. Kalau map memang ada,” Fida menambahkan.

“Ya kalau saya berniat mencuri data seperti kecurigaan kalian kenapa nggak saya ambil semuanya? Pakai capek-capek ke meja Teh Fida buat taruh map. Map itu kan juga berisi data penting kantor,” Suci membalas dengan rasionalitas. “Saya merasa dijebak ini, Pak.”

Semua terdiam. “Ada benarnya,” Irfan mengangguk, “lalu foto yang ditunjukkan Anya itu siapa, Ci?”

Suci mengingat foto Surya dan dirinya yang ada di ponsel Anya. ‘Nggak mungkin aku ngaku kalau aku adiknya pemilik perusahaan Klassiek coorporation kan?’ pikirnya terdiam.

“Tuh kan, nggak bisa jawab! Gimana orang nggak mau curiga.” Anya merasa menang.

“Itu keluarga saya, Pak,” Suci menerangkan. “Emang susah dipercaya ya, orang biasa kayak saya punya keluarga yang sudah mapan? Bapak sekeluarga nasibnya juga beda-beda kan?” Suci berusaha menjelaskan sebias mungkin.

Irfan menyimak dan mempertimbangkan pernyataannya.

“Permisi!” Tobi masuk untuk mengantarkan teh manis hangat pesanan Bapak Irfan.

“Sekalian tolong sapuin kolong meja saya, Bi. Kotor banget!” pinta bapak Irfan.

“Oke, Pak!” Tobi mengangguk, lalu menepuk punggung Suci untuk menguatkan, sebelum berlalu keluar lagi.

Suci menghembuskan napas kecewa. Awalnya ia kira CCTV akan cukup memberi bukti bahwa ia tidak bersalah. Kepala Proyek itu juga tampak pening.

“Sudah kalian bubar dulu deh!” Irfan memerintahkan.

Akhirnya semua pegawai yang ada di ruang kerja Kepala Proyek itu keluar, termasuk Suci dan Anya, untuk memberi ruang bagi bapak Irfan berpikir jernih.

“Permisi, Pak!” Tobi kembali masuk, menyerahkan sebuah flashdisk ke meja di depan pria berkumis itu. “Ini titipan dari pengawas CCTV, rekaman di depan pintu ruang loker seharian ini. Bukan nggak mungkin kecurigaan Suci benar kan, Pak? Bagaimana kalau benar dia dijebak?” bisiknya sebelum menyapu kolong meja seperti perintah Irfan sebelumnya.

Pria paruh baya itu menghembuskan napas, “Buat selidiki lalu lintas orang ke ruang loker karyawan sih butuh seharian, Tob. Saya ngerti sih kekhawatiran kamu terhadap rekanmu. Saya bawa pulang aja ya, supaya lebih teliti selidikinya,” ucapnya di dekat Tobi.

Tobi mengangguk, berharap banyak pada rekaman CCTV yang ia ambil dan simpan sendiri itu, dengan mencatut nama pengawas CCTV.

 

Jam pulang kerja hari ini Suci tampak lebih lesu. Tobi menyadari wajah murung gadis itu. “Lights up, Ci! Kebenaran akan temukan jalannya kok,” Tobi menyemangati.

“Semoga benar begitu,” Suci bergumam. “Gue cuma kesal, gue tahu dalangnya, tapi nggak bisa buktiin.”

Gadis itu merenung, ‘Selama ini aku kira, aku bisa mengungkap segala hal. Ternyata nggak, aku bahkan nggak bisa menolong diriku sendiri sekarang. Aku terlalu pongah,’ ia tertunduk. Kebanggaannya sebagai hacker koyak dalam keraguan.

“Lihat aja besok. Pasti ada petunjuk!” Tobi menyemangati. “Sorry ya, hari ini gue nggak bisa nganter lu pulang. Mau langsung ke stasiun.”

“Mau ngapain lu ke stasiun?” Suci heran.

Tobi hanya tersenyum simpul, “Jemput teman,” jawabnya singkat sebelum berlalu lebih dulu ke parkiran motor.

“Hah, pesan ojek dulu deh.” Suci membuka ponselnya.

 

-oOo-

 

Di suatu ruang kerja di gedung kantor sebuah kawasan industri, seorang pria terduduk di ruang kerjanya. Malam ini kantor sepi, hanya ada pria berpakaian necis itu, duduk di bangku kokoh di belakang meja kerja mengilap. Ia seperti menunggu seseorang.

“Tok tok tok…” Terdengar suara ketukan.

“Masuk!” pria itu menyuruh dengan suara berat tapi nadanya santai. “Udah sampai? Sini duduk dulu!” pria itu menunjuk bangku di depan mejanya.

Pria berhoodie itu menurut, ia duduk. Ia merogoh tasnya dan mengeluarkan sebuah map. “Ini laporan minggu ini, Pak Surya,” katanya dengan penuh hormat.

Surya mengambil map itu, berisi foto-foto adiknya, Suci, selama seminggu ini di  kantor dan aktivitasnya. Ada juga catatan yang telah rapi diketik mengenai permasalahan kantor yang terjadi melibatkan Suci.

“Suci lagi kena masalah ya?” Surya menangkap isi laporan terbaru.

“Maaf, iya Pak.” Pria berhoodie menunduk.

“Lu nggak bisa buktiin dia clean?” Surya meminta pertanggung-jawabannya sebagai orang yang diam-diam diamanahkan menjaga dan mengawasi adiknya itu.

“Belum Pak, maaf,” pemuda itu membuka hoodie-nya. “Tapi saya ada rencana mengumpulkan petunjuk lagi besok.”

“Kamu nih, katanya hacker handal, gimana sih!” Surya meledek. “Ya udah, tuntaskan secepatnya ya. Jangan sampai saya turun tangan nih.”

“Baik, Pak!” pemuda itu berdiri dan mengangguk hormat.

“Ini!” Surya menyerahkan sebuah map padanya. Mata pemuda itu melirik isi map itu, berlabel ‘PT Sentani Jaya’. Ia bisa menebak isinya berbagai informasi detail mengenai perusahan itu, meski ia bingung peruntukannya.. Ia lalu melirik lagi Surya karena tidak yakin. “Ambil, kali aja butuh.”

Pemuda akhirnya mengambil map yang dijulurkan, namun ditahan Surya, hingga mereka tarik-tarikan. “Kamu nggak demen sama Adik saya kan?”

Pemuda berjaket hoodie itu terkesiap dengan pertanyaan itu. “Nggak Pak, saya mana berani. Cuma teman kok, Pak.”

Surya melepas tangannya dari map, membiarkan pemuda itu mengambilnya. Pemuda itu mengenakan kembali hoodie-nya, menunduk, dan berbalik menuju pintu keluar.

 

-oOo-

 

Irfan, Kepala Proyek perusahaan RumahWaktu, berdiam di kamarnya malam itu. Matanya lekat ke arah monitor laptop yang menampilkan rekaman CCTV di depan ruang loker khusus asisten umum kantor, atau yang orang biasa sebut OB atau OG. Tidak ada kejanggalan, semua yang masuk dan keluar tidak ada lagi selain pekerja Asisten Umum Kantor.

 

-oOo-

“Udah dengar belum. Suci mau curi data kantor!”

“Kok berani sih? Kan cuma office girl.”

Flashdisk data tender rahasia perusahaan sempat hilang, ternyata diumpetin sama dia di lokernya.”

Anya menikmati desas-desus yang beredar dengan seringai kemenangan. Hari kedua ini isunya semakin santer mengenai Suci dan kecurigaan ia mencuri data perusahaan untuk dijual ke perusahaan lain. Siapa lagi yang menyebarkan gosip kalau bukan Anya. Ia sudah merekayasa ini sedemikian rupa agar perbuatannya tidak terendus. Ia selalu melakukan pertemuan secara langsung di luar kantor, belajar dari pengalaman bahwa jejak digital mudah dilacak. Begitupun pertemuannya dengan Fida dan Laksmi, untuk merencanakan persekongkolan mereka sebelum itu. Laksmi sebagai petugas asisten kantor (office girl), sangat menolongnya untuk menyusup ke ruang loker khusus petugas asisten kantor, lalu menaruh flashdisk itu ke dalam loker Suci.

Suci frustrasi, hanya tinggal besok waktu yang diberikan perusahaan untuk membuat surat permintaan maaf. Jika menolak mengakui kelalaian dan meminta maaf, ia akan segera dikeluarkan dari kantor tersebut.

Ia menenangkan diri di atap kantor, kali ini tanpa Fabian. Kalau Fabian ada di sini mungkin pria kulit putih itu akan langsung membelanya. Entah sejak kapan, tapi ia mulai mengandalkan Fabian.

Kemudian ia sadar, ia tidak sepatutnya begitu. Fabian bukan tempat sandarannya. Ia masih bukan siapa-siapa, jadi tidak boleh ketergantungan dengan pertolongannya dan banyak berharap.

‘Sadar Suci, kamu dan dia bukan apa-apa!’ ia menepuk pipinya.

How do you feel about this chapter?

0 1 0 0 0 1
Submit A Comment
Comments (4)
  • papah.al

    Menarik
    Selalu penasaran kedepannya

    Comment on chapter Prolog
  • baba

    Ceritanya mindblowing ya ..

    Comment on chapter 6. Semut pun Bisa Menggigit
  • guardian angel

    Prolognya menarik.

    Comment on chapter Prolog
  • guardian angel

    Mulai seru... hacker perempuan keren bgt!

    Comment on chapter 1. Kecewa Menghentak
Similar Tags
Mimpi & Co.
496      330     2     
Fantasy
Ini kisah tentang mimpi yang menjelma nyata. Mimpi-mimpi yang datang ke kenyataan membantunya menemukan keberanian. Akankah keberaniannya menetap saat mimpinya berakhir?
Sebuah Jawaban
394      283     2     
Short Story
Aku hanya seorang gadis yang terjebak dalam sebuah luka yang kuciptakan sendiri. Sayangnya perasaan ini terlalu menyenangkan sekaligus menyesakkan. "Jika kau hanya main-main, sebaiknya sudahi saja." Aku perlu jawaban untuk semua perlakuannya padaku.
7°49′S 112°0′E: Titik Nol dari Sebuah Awal yang Besar
288      183     0     
Inspirational
Di masa depan ketika umat manusia menjelajah waktu dan ruang, seorang pemuda terbangun di dalam sebuah kapsul ruang-waktu yang terdampar di koordinat 7°49′S 112°0′E, sebuah titik di Bumi yang tampaknya berasal dari Kota Kediri, Indonesia. Tanpa ingatan tentang siapa dirinya, tapi dengan suara dalam sistem kapal bernama "ORIGIN" yang terus membisikkan satu misi: "Temukan alasan kamu dikirim ...
Wabi Sabi
19      12     1     
Fantasy
Seorang Asisten Dewi, shinigami, siluman rubah, dan kucing luar biasa—mereka terjebak dalam wabi sabi; batas dunia orang hidup dan mati. Sebuah batas yang mengajarkan jika keindahan tidak butuh kesempurnaan untuk tumbuh.
Loveless
3678      1672     574     
Inspirational
Menjadi anak pertama bukanlah pilihan. Namun, menjadi tulang punggung keluarga merupakan sebuah keharusan. Itulah yang terjadi pada Reinanda Wisnu Dhananjaya. Dia harus bertanggung jawab atas ibu dan adiknya setelah sang ayah tiada. Wisnu tidak hanya dituntut untuk menjadi laki-laki dewasa, tetapi anak yang selalu mengalah, dan kakak yang wajib mengikuti semua keinginan adiknya. Pada awalnya, ...
Lost & Found Club
285      232     2     
Mystery
Walaupun tidak berniat sama sekali, Windi Permata mau tidak mau harus mengumpulkan formulir pendaftaran ekstrakurikuler yang wajib diikuti oleh semua murid SMA Mentari. Di antara banyaknya pilihan, Windi menuliskan nama Klub Lost & Found, satu-satunya klub yang membuatnya penasaran. Namun, di hari pertamanya mengikuti kegiatan, Windi langsung disuguhi oleh kemisteriusan klub dan para senior ya...
P.E.R.M.A.T.A
1850      926     2     
Romance
P.E.R.M.A.T.A ( pertemuan yang hanya semata ) Tulisan ini menceritakan tentang seseorang yang mendapatkan cinta sejatinya namun ketika ia sedang dalam kebahagiaan kekasihnya pergi meninggalkan dia untuk selamanya dan meninggalkan semua kenangan yang dia dan wanita itu pernah ukir bersama salah satunya buku ini .
Spektrum Amalia
573      393     1     
Fantasy
Amalia hidup dalam dunia yang sunyi bukan karena ia tak ingin bicara, tapi karena setiap emosi orang lain muncul begitu nyata di matanya : sebagai warna, bentuk, dan kadang suara yang menghantui. Sebagai mahasiswi seni yang hidup dari beasiswa dan kenangan kelabu, Amalia mencoba bertahan. Sampai suatu hari, ia terlibat dalam proyek rahasia kampus yang mengubah cara pandangnya terhadap diri sendi...
Anikala
400      153     2     
Romance
Kala lelah terus berjuang, tapi tidak pernah dihargai. Kala lelah harus jadi anak yang dituntut harapan orang tua Kala lelah tidak pernah mendapat dukungan Dan ia lelah harus bersaing dengan saudaranya sendiri Jika Bunda membanggakan Aksa dan Ayah menyayangi Ara. Lantas siapa yang membanggakan dan menyanggi Kala? Tidak ada yang tersisa. Ya tentu dirinya sendiri. Seharusnya begitu. Na...
Aku yang Setenang ini Riuhnya dikepala
61      53     1     
True Story