Loading...
Logo TinLit
Read Story - Semesta Berbicara
MENU
About Us  

Sejak malam itu di klub, sosok Fabian membekas di kepala Suci—jernih, serupa potret dalam cahaya sempurna yang tak lekang oleh waktu. Ia tak tahu sejak kapan rasa itu tumbuh, hanya saja, setiap langkah Fabian tak terelakkan lagi seperti magnet yang menyeret pandangan Suci.

Rambut Fabian cokelat terang dan selalu tampak teratur, meski tiap pagi tersapu angin dari jendela yang ia buka. Tiap helainya seolah diatur semesta untuk tampak dramatis. Suci diam-diam menikmati pemandangan itu dari jauh. Mata hijau zamrudnya kontras dengan kulit pucat khas Eropa, menatap seakan menembus jiwa.

Tubuhnya tinggi dan atletis tanpa kesan pamer. Fabian berjalan santai tapi tegap—seumpama model runway yang tak sadar sedang dilihat. Suci suka cara lelaki itu menekuni berkas kerja atau mencoret sketsa desain dengan tangan mantap. Bahkan cara dia bekerja pun terlihat memesona.

Meski mereka jarang berinteraksi lama, selalu saja ada jeda di mana dunia mereka bersinggungan. Saat Suci mengantar dokumen ke ruang kerja arsitek di lantai dua, Fabian kerap menoleh, menyapanya dengan senyum kecil yang membuat detak jantung Suci memompa lebih keras.

 

Pernah suatu hari, ia menahan Suci sejenak. Menunjukkan foto sebuah bangunan tua peninggalan Belanda.

“Kalau kamu lihat bangunan tua ini…kamu bayanginnya jadi apa?”

Suci sempat terpaku saat menyodorkan berkas. Fabian benar-benar serius menunggu pendapatnya.

“Aku… bayanginnya jadi perpustakaan terbuka, ada kafe di tengahnya,” jawabnya pelan.

Fabian tersenyum sambil menelusuri sketsanya. “Not bad. Fresh banget idenya. Mungkin kamu lebih peka dari sebagian tim desainku.”

 

Sejak hari itu, Suci selalu menyiapkan satu-dua kalimat untuk berjaga-jaga jika Fabian tiba-tiba bertanya lagi. Ia tahu lelaki itu terlalu tinggi untuk dijangkau. Tapi tidak ada salahnya mengagumi dari jauh, bukan?

Karena meski hanya sapaan singkat atau senyum yang dilempar tanpa pretensi, bagi Suci setiap momen bersama Fabian seperti catatan kecil dalam bukunya yang diam-diam selalu terbuka pada halaman yang sama.

 

-oOo-

 

Tougo mulai merasa Suci berbeda sikap kepadanya. Tentu saja, sejak kejadian di klub malam gadis itu menjauh. Dan kini Tougo mulai merasa kehilangan sosok Suci yang dulu senantiasa menemaninya, berusaha selalu ada untuknya.

Ia rindu bekal makan siang buatan Suci. Ia tidak bisa lagi seenaknya memanggilnya saat butuh teman bercerita atau lawan bermain game. Ia bingung—siapa lagi yang bisa diajak mencari jajanan murah di pinggir jalan? Jelas bukan levelnya Anya. Semua posisi itu dulu diisi oleh satu orang, Suci. Dan sekarang hubungan pertemanan mereka pun canggung, entah masih bisa dikatakan berteman atau tidak.

Tougo resah. Ia dirundung malu—dan penyesalan yang baru terasa pahit—karena Suci melihatnya bermesraan dengan Anya malam itu. Tougo tak pernah menduga hal itu akan menjadi keributan sebesar ini, sebab selama ini Suci selalu saja mengalah kepadanya. Biasanya Suci yang lebih dewasa menyelesaikan masalah. Tapi kali ini Tougo harus berusaha memulai untuk memulihkan keadaan. Anya memang menarik, tapi sosoknya tidak bisa menggantikan peran Suci di hidupnya yang sudah terlanjur melekat dan…sejujurnya dibutuhkan.

 

Sore itu langit Bogor terkesan melankolis. Awan kelabu menggantung seperti selimut lembab yang siap luruh jadi hujan—seolah mengerti hati Suci. Ia sedang mengisi botol air di pantry ketika suara langkah familiar menghampirinya. Tougo berdiri di ambang pintu, wajahnya agak kikuk, tapi berusaha terlihat santai.

“Ngomong sebentar yuk,” ajaknya. Nada suaranya terdengar ragu, tidak seperti biasanya yang penuh percaya diri.

Suci menoleh sekilas, lalu kembali pada aktivitasnya. “Kalau ini soal kerjaan, taruh di meja. Kalau bukan, mending cepetan.”

Tougo mengembuskan napas kasar. “Suci, aku tahu kamu marah… tapi aku nggak pernah bermaksud buat nyakitin kamu.”

Suci menatapnya datar. “Nggak usah khawatir. Aku sudah nggak merasa apa-apa.”

Tougo melangkah lebih dekat. “Kita nggak pernah pacaran, Ci. Aku sayang kamu, tapi sebagai teman. Kamu udah kayak rumah buat aku sejak kecil.”

Suci terdiam. Bukan karena kata-kata itu menyentuh, tapi karena terlalu familiar. Rumah, tempat pulang, tapi kenapa sekarang terasa begitu jauh?

“Aku cuma pengin kita tetap dekat kayak dulu. Nggak usah mikirin soal…tunangan atau hal yang ribet. Kita jalanin aja kayak biasa. Gimana?” Tougo membujuknya.

Suci menatap wajah Tougo lama. Pria itu masih sama—kekanak-kanakan, dan tetap bingung membedakan sayang dan cinta.

“Kalau kamu udah anggap kita cuma teman, ya aku anggap kamu juga cuma kenalan lama. Dan jangan heran kalau aku berubah.”

“Aku nggak mau menyimpan dendam,” Suci menambahkan, suaranya kini tenang, penuh tekad. “Aku cuma mau bertumbuh.”

Suci menyesap airnya, menatap embun di jendela pantry.

Tougo tersenyum kecut, tapi mengangguk. “Ya… makasih masih mau ngomong baik-baik.”

Sementara Tougo pergi dengan langkah pelan, Suci memejamkan mata sebentar.

Aku sudah selesai membaca babmu, Go. Sekarang aku menulis bab baru.

Ia tak marah lagi. Hanya lega. Akhirnya bisa menggantungkan masa lalu itu di dinding kenangan—tidak dirobohkan, tapi juga tak ingin dihuni lagi.

 

Fabian berdiri di ambang koridor. Suara rendah Tougo terdengar dari pantry—seperti gelembung emosi yang pecah di antara kesibukan kantor. Dari balik rak tanaman, ia melihat Suci—diam, tenang, tapi jelas berbeda.

Fabian tidak berniat menguping, tapi pandangannya tak bisa lepas. Suci yang biasanya terkesan pemalu dan patuh, kini berdiri tegak layaknya seseorang yang tahu persis ke mana harus melangkah.

“Aku cuma mau bertumbuh.”

Kalimat itu meluncur begitu saja dari bibir Suci. Tenang. Penuh kesadaran . Tidak ada air mata. Tidak ada nada tinggi. Hanya keberanian—yang bagi Fabian justru paling menggetarkan.

Lucu, seseorang yang terlihat tenang bisa membuatku merasa belum cukup dewasa untuk menyentuhnya.

Ia tak tahu seperti apa masa lalu gadis itu. Tapi satu hal kini lebih jelas: Suci bukan sekadar petugas yang datang dan pergi mengantar dokumen. Ia adalah seseorang yang sedang menulis ulang hidupnya dengan pena milik sendiri.

Beberapa menit setelah Tougo pergi, Fabian melangkah perlahan ke arah pantry. Tangannya meraih teko kopi di rak—seolah hanya kebetulan lewat.

“Yang barusan itu… keren,” katanya sambil menatap gelas kosong.

Suci menoleh, “Apanya?”

Fabian tersenyum, kecil dan pelan. “Cara kamu menutup pintu tanpa membantingnya.”

Ia tidak menunggu jawaban. Hanya memberikan satu anggukan pelan, sebelum berbalik dan pergi. Aroma kopi tertinggal bersama kesan hangat—membuat Suci tak bisa menahan senyum tipis di tengah sunyi ruang pantry.

 

-oOo-

 

Anya geram. Video itu tersebar dari akun pribadinya sendiri—ia tak paham bagaimana itu bisa terjadi, tapi yakin Suci pelakunya.

Gadis itu ada di sana malam itu. Sekarang apa pun mungkin dilakukan, cukup dengan sedikit uang dan niat buruk. Anya tidak peduli soal bukti. Ia hanya butuh satu alasan untuk benar-benar membenci.

Saat mengadukan kecurigaannya kepada Tougo, pemuda itu hanya mengibaskan tangan.

“Suci mana bisa begitu!” katanya remeh. “Dia bukan tipe yang main kotor.”

Nada suaranya terlalu yakin. Seolah Suci makhluk polos tanpa sisi gelap, seolah siapa pun yang menuduhnya pasti salah.

 

Anya panas. Sakit hati. Ia merasa tidak didengar—dan lebih dari itu, kalah.

Lalu ia menciptakan senjatanya sendiri.

Sebuah tangkapan layar;

Fake chat seolah-olah Suci mengirim pesan ancaman. Kata-katanya tajam, terarah. Didesain untuk menyulut rasa bersalah sekaligus benci.

 Dengan air mata yang diperas setengah hati, ia menunjukkannya pada Tougo.

“Aku nggak tahu kenapa dia benci banget sama aku. Padahal aku nggak pernah ganggu dia. Mungkin dia nggak terima… kamu udah pilih aku.”

Hasutan itu berhasil.

 

Dengan ego pria yang sedang terluka, Tougo langsung menelan mentah-mentah kebohongan itu

Di tengah jam kerja, ia mendatangi Suci tanpa aba-aba.

“Kamu kirim pesan apa ke Anya? Ternyata kamu belum selesai juga, ya, sama drama posesifmu? Sampai Anya pun harus kamu intimidasi?”

Selesai bicara, ia pergi. Tidak menunggu jawaban. Tidak peduli klarifikasi.

Suci hanya berdiri, terhenyak. Bukan karena dituduh, tapi karena pria itu tetap memilih percaya pada trik murahan dari orang yang baru dikenalnya, bukan dirinya yang sudah lama ada di hidupnya.

 

-oOo-

 

Briefing diadakan di ruang rapat kantor RumahWaktu. Suci menjalankan tugasnya menyiapkan fotokopi berkas dan membagikan konsumsi kepada para peserta.

Anya melirik Suci, lalu menyindirnya dengan licik, “Kita harus profesional, ya. Jangan bawa urusan pribadi ke pekerjaan. Kita semua sama di sini, walau ada yang merasa punya sejarah lebih panjang dengan atasan.”

Beberapa orang tersenyum simpul, mata mereka melirik ke arah Suci.

Look who’s talking. Kayak nggak punya cermin, dia yang mulai drama,” Fabian menimpali sambil membolak-balik berkas di tangannya, seolah tak terlalu peduli. Kalimatnya mampu membuat seisi ruang rapat terdiam sungkan. Dalam diamnya Suci tersentuh dengan pembelaan Fabian.

 

Tougo yang hadir di situ hanya diam, tapi saat istirahat menghampiri Suci dengan pandangan dingin. Ia berkata, “Nggak usah terlalu reaktif. Anya cuma bicara fakta.”

Itu membuat Suci semakin jengkel. “Fakta yang mana? Fakta apa yang kamu tahu? Aku aja nggak punya nomor cewek itu, nih periksa kalau nggak percaya!” ia menyerahkan ponselnya ke tangan Tougo tanpa ragu. Tougo terkejut dengan keberanian Suci menyerahkan ponselnya. “Jangan bilang kamu nggak tahu adanya fitur fake chat ya? Coba periksa HP Anya, itupun kalau dia berani. Sebelum terlanjur malu,” tantang gadis itu balik dengan alis terangkat sebelah.

Tougo benar-benar tidak menemukan nomor kontak Anya di ponsel Suci, ia lalu merasa dibodohi. Terlanjur malu, ia hanya mengembalikan ponsel Suci tanpa berkata apapun, kemudian berlalu. Menyimpan murkanya untuk diledakkan di depan Anya.

 

-oOo-

 

Tougo mengonfrontasi Anya ketika mereka berdua menghabiskan waktu di apartemen wanita itu.

“Kamu bikin aku malu! Buat apa kamu bikin chat palsu begitu tentang Suci?” Tougo mengamuk. “Udah bagus dia mau memaafkan aku. Padahal aku lagi berusaha memulihkan pertemanan,” sesalnya.

“Buat apa sih berteman sama dia?” Anya cemburu.

“Karena… aku masih butuh dia, oke?” Tougo menegaskan dengan sinar mata tajamnya. “Dia temanku sejak kecil, keluarga kami dekat, jangan coba usir dia dari hidupku. Histori kami nggak sedangkal yang kamu pikir.” Ia sedikit membelanya.

Anya memendam kekecewaan lagi. Dengan amarah meluap ia mendorong Tougo keluar kediamannya itu. “Pilih aku atau dia? Tapi jangan keduanya.” pekiknya sebelum menutup pintu kencang.

Anya membenci perasaan ini. Perasaan kalah sebelum bertanding. Seolah Tougo punya tempat pulang lain yang tak bisa ia usik.

Tougo pening dengan keadaan yang berbalik menekannya ini. Ia baru sadar: bermain hati tak semudah bermain game. Tidak semua peran bisa ia kendalikan. Harusnya ia yang memegang kontrol atas semuanya. Harga dirinya sebagai pria terluka. Kekecewaannya kepada respon Anya tak terelakkan, perempuan itu tidak menunjukkan penyesalan sedikit pun atas perbuatannya. Baru kali ini Tougo sadar: tidak semua perempuan punya ketenangan seperti Suci saat menyelesaikan masalah.

 

-oOo-

 

Lorong kantor RumahWaktu di sebelah ruang arsip sudah lengang. Langit jingga memantul di lantai yang baru dipel. Tobi masih mengenakan seragam kerjanya, mengepel sambil bersenandung kecil. Di bangku kayu panjang, Suci duduk menyandarkan kepala ke dinding, menatap kosong ke arah lantai.

Tobi meliriknya. “Lu ngelamunin apa sih tiap sore? Jangan-jangan tungguin lantai kering supaya bisa nangis estetik di lantai kinclong?”

Suci terkekeh kecil. “Nangis estetik tuh gimana?” Ia lalu menunduk. “Biasa, lagi mikirin hidup, dan seseorang yang nggak mungkin tergapai.”

Tobi menghentikan aktivitasnya, ia menyandarkan dagunya ke gagang pel. “Fabian ya?” tebaknya.

Suci terdiam, lalu mengangguk kecil. “Aneh ya. Cuma karena diramahin dikit, otak gue udah bikin naskah sinetron tiga musim.”

Tobi menunjukkan cengiran tipis, “Fabian itu emang ramahnya kelewatan. Gue aja yang sering ketemu banyak orang, nggak pernah langsung dirangkul akrab kayak sama dia.”

Suci tersenyum lemah, “Dia terlalu di atas. Cerdas, elegan, good looking. Gue cuma alas bakiak. Mana bisa sejajar sama dia.”

 “Justru bakiak itu istimewa loh di mata orang Belanda—nggak ada di sana, kan?” Tobi mendekat lalu ikut duduk di sebelah gadis itu. “Dengar ya. Orang berkualitas itu bukan yang sekadar bisa gambar gedung menjulang atau ngomong tiga bahasa. Tapi juga yang tahan banting, jujur, dan tulus. Kayak kita.”

Suci masih ragu. “Lihat dong kesenjangannya, gue cuma petugas fasilitas kantor, dia arsitek Belanda andalan kantor. Beda dunia.”

Tobi mengangkat bahu santai. “Justru itu. Lu hidup di dunia nyata. Mandiri, kerja keras, tahan omelan, bahkan sering bantu orang lain. Banyak yang cuma bisa gaya, tapi nggak punya isi.”

Suci memandang Tobi, perlahan menyunggingkan senyum. “Bisa aja lu!”

Tobi berdiri lagi, ia melanjutkan tugasnya sambil cengengesan. “Lagian who knows? Siapa tahu si good looking itu lagi mikirin lu sekarang.”

Suci berbisik lirih, “Kalau benar begitu, gue curiga genre dunia ini komedi romantis sih, bercanda aja.”

Tobi mengepel penuh semangat, suaranya menggema di lorong yang senyap, “Atau dunia lagi bikin plot twist! Siapin diri, siapa tahu tiba-tiba diajak ngopi bareng.”

Suci tertawa kecil. Di luar, langit mulai gelap, cahaya jingga memudar dari kaca jendela. Di antara lantai yang basah dan suara pel yang menyapu senyap, harapan kecil tumbuh—pelan, tapi pasti.

Di luar, lampu-lampu mulai menyala satu per satu. Suci tidak tahu apa yang akan ditulis takdir di bab berikutnya—tapi kali ini, ia siap menapaki halaman kosong itu tanpa takut lagi.

How do you feel about this chapter?

0 0 1 0 0 0
Submit A Comment
Comments (4)
  • papah.al

    Menarik
    Selalu penasaran kedepannya

    Comment on chapter Prolog
  • baba

    Ceritanya mindblowing ya ..

    Comment on chapter 6. Semut pun Bisa Menggigit
  • guardian angel

    Prolognya menarik.

    Comment on chapter Prolog
  • guardian angel

    Mulai seru... hacker perempuan keren bgt!

    Comment on chapter 1. Kekecewaan Menghentak
Similar Tags
Unknown
264      214     0     
Romance
Demi apapun, Zigga menyesal menceritakan itu. Sekarang jadinya harus ada manusia menyebalkan yang mengetahui rahasianya itu selain dia dan Tuhan. Bahkan Zigga malas sekali menyebutkan namanya. Dia, Maga!
MALAM DALAM PELUKAN
644      464     3     
Humor
Apakah warna cinta, merah seperti kilauannya ataukah gelap seperti kehilangannya ?
Monokrom
128      106     1     
Science Fiction
Tergerogoti wabah yang mendekonstruksi tubuh menjadi serpihan tak terpulihkan, Ra hanya ingin menjalani kehidupan rapuh bersama keluarganya tanpa memikirkan masa depan. Namun, saat sosok misterius bertopeng burung muncul dan mengaku mampu menyembuhkan penyakitnya, dunia yang Ra kenal mendadak memudar. Tidak banyak yang Ra tahu tentang sosok di balik kedok berparuh panjang itu, tidak banyak ju...
Melihat Tanpamu
181      141     1     
Fantasy
Ashley Gizella lahir tanpa penglihatan dan tumbuh dalam dunia yang tak pernah memberinya cahaya, bahkan dalam bentuk cinta. Setelah ibunya meninggal saat ia masih kecil, hidupnya perlahan runtuh. Ayahnya dulu sosok yang hangat tapi kini berubah menjadi pria keras yang memperlakukannya seperti beban, bahkan budak. Di sekolah, ia duduk sendiri. Anak-anak lain takut padanya. Katanya, kebutaannya...
40 Hari Terakhir
1221      755     1     
Fantasy
Randy tidak pernah menyangka kalau hidupnya akan berakhir secepat ini. Setelah pertunangannya dengan Joana Dane gagal, dia dihadapkan pada kecelakaan yang mengancam nyawa. Pria itu sekarat, di tengah koma seorang malaikat maut datang dan memberinya kesempatan kedua. Randy akan dihidupkan kembali dengan catatan harus mengumpulkan permintaan maaf dari orang-orang yang telah dia sakiti selama hidup...
KAMUFLASE KAMERA DAN CINTA
655      460     1     
Short Story
lelaki bertubuh besar berjaket hitam menunjukan senyum simpul yang khas .senyum yang membuat jantungku berdegup tak beraturan, dan senyum yang selalu mengingatkanku pada perpisahan di bulan Januari. Konflik antara Mas Pras dan Om Tegar tak kunjung usai ,Kamera lah yang membawa aku dan dia pada satu titik dan kameralah yang membuat kita....
LELAKI DENGAN SAYAP PATAH
8730      2782     4     
Romance
Kisah tentang Adam, pemuda single yang sulit jatuh cinta, nyatanya mencintai seorang janda beranak 2 bernama Reina. Saat berhasil bersusah payah mengambil hati wanita itu, ternyata kedua orang tua Adam tidak setuju. Kisah cinta mereka terpaksa putus di tengah jalan. Patah hati, Adam kemudian mengasingkan diri dan menemukan seorang Anaya, gadis ceria dengan masa lalu kejam, yang bisa membuatnya...
Merayakan Apa Adanya
607      429     8     
Inspirational
Raya, si kurus yang pintar menyanyi, merasa lebih nyaman menyembunyikan kelebihannya. Padahal suaranya tak kalah keren dari penyanyi remaja jaman sekarang. Tuntutan demi tuntutan hidup terus mendorong dan memojokannya. Hingga dia berpikir, masih ada waktukah untuk dia merayakan sesuatu? Dengan menyanyi tanpa interupsi, sederhana dan apa adanya.
Sweet Seventeen
1680      1035     4     
Romance
Karianna Grizelle, mantan artis cilik yang jadi selebgram dengan followers jutaan di usia 17 tahun. Karianna harus menyeimbangkan antara sekolah dan karier. Di satu sisi, Anna ingin melewati masa remaja seperti remaja normal lainnya, tapi sang ibu sekaligus manajernya terus menyuruhnya bekerja agar bisa menjadi aktris ternama. Untung ada Ansel, sahabat sejak kecil yang selalu menemani dan membuat...
Monday vs Sunday
282      212     0     
Romance
Bagi Nara, hidup itu dinikmati, bukan dilomba-lombakan. Meski sering dibandingkan dengan kakaknya yang nyaris sempurna, dia tetap menjadi dirinya sendiricerewet, ceria, dan ranking terakhir di sekolah. Sementara itu, Rei adalah definisi murid teladan. Selalu duduk di bangku depan, selalu ranking satu, dan selalu tampak tak peduli pada dunia luartermasuk Nara yang duduk beberapa meja di belaka...