Suci merebahkan tubuh lelahnya ke atas kasur. Pemandangan durjana itu masih tertinggal di ingatannya. Namun, percuma menangisi pria laknat itu. Tougo—kesalahan yang terlalu lama ditolerirnya. Kini, waktunya menyelesaikan semuanya. Dan penyelesaian itu, Suci tahu, akan dimulai di kantornya esok pagi.
Di pantry gedung perusahaan RumahWaktu yang biasanya jadi tempat ternyaman di kantor ini, Suci menemukan dirinya menghadapi kenyataan pahit. Mesin kopi canggih mendesis, rak-rak camilan ramai dipenuhi biskuit, sereal, kripik, chocolate bar, dan beragam varian teh. Sofa empuk diletakkan menghadap pemandangan kota Bogor dari balik kaca besar. Beberapa karyawan duduk santai, ada yang ngemil, ada yang sekadar mengobrol ringan.
Suci memilih yogurt rasa persik di depan kulkas. Gerakannya pelan tapi ekspresinya jauh dari damai. Ketika suara langkah kaki mendekat ke arahnya, ia sudah tahu hal yang akan dibicarakannya.
“Suci, kita bisa bicara?” Tougo muncul di hadapannya, wajahnya datar, nada suaranya lembut, berlagak perhatian.
Suci tidak menjawab, hanya meliriknya, lalu membuka tutup yogurt, menghisap dari sedotannya, dan duduk di kursi tinggi dekat bar kopi. “Silakan, aku nggak larang. Sekarang!”
“Di sini?” Tougo melirik sekeliling, raut wajahnya menunjukkan kebingungan yang risih. Suci hanya mengangguk, pandangannya tajam dan tak bergeming. Akhirnya Tougo mengalah. “Tentang kejadian malam itu, jangan salah paham lah. Aku cuma main-main sama dia, itu kan klub, aku cuma menyesuaikan dengan suasana tempat.”
Suci mengangkat alis, lalu menatapnya malas. “Oh gitu. ‘Main-main’ versi cowok tuh artinya nyosor bibir cewek sembarangan?” sindirnya telak.
Beberapa karyawan melirik. Suasana mengerut. Tapi Tougo tetap menyeringai penuh kepura-puraan.
“Suci, jangan kolot. Aku ini cowok, wajar kalau sesekali have fun. Yang penting kan nanti aku nikahnya sama kamu, sesuai rencana keluarga kita,” bujuk pria itu tanpa nada penyesalan.
Suci menghentikan gerakannya, ia mendongak, memandang Tougo datar.
“O iya, aku kan cuma tiket masuk ke resepsi keluarga. Atau backup plan setelah kamu puas have fun dengan sembarang perempuan?” Suci menyimpulkan sambil terkekeh sinis. “Jijik!”
Tougo membuka mulut, ingin membalas, tapi suara berat dari ujung pantry memotong.
“Well, barusan adalah definisi dari pria modern: selingkuh sekarang, nikah nanti, tapi tetap nggak sadar di mana salahnya.”
Semua orang menengok ke asal suara. Fabian mengambil es krim cup di kulkas lalu membuka dan menyendoknya perlahan. Ekspresinya sinis saat ia bersandar ke dinding sebelah kulkas es krim.
“Toge, kamu hebat banget. Satu kalimatmu bisa bikin sepuluh orang kehilangan selera makan.” Fabian mengacungkan jempolnya.
Gelak tawa pelan terdengar dari sudut sofa. Suci bahkan tak menahan senyum tipisnya.
“Dan FYI, pria dewasa nggak perlu izin dari keluarga untuk memilih mau menikah dengan siapa. Kecuali kamu…masih pakai remot kontrol nyokap bokap,” timpalnya slengean.
Wajah Tougo mengeras, tapi dia tak bisa membalas. Fabian hanya mengangkat cup es krimnya ke arah Suci.
“Kalau kamu mau mendinginkan hati, mending makan es krim. Tuh masih banyak di kulkas,” Fabian memberinya saran.
Suci membawa yogurt-nya berdiri dan melangkah pergi tanpa menoleh ke belakang. Fabian mengikutinya, mulai penasaran dengan gadis ini.
Sementara Tougo mematung dengan harga dirinya yang retak.
Fabian mendekatkan diri ke arah Suci. “Kamu keren! Kamu pasti bisa dapat cowok yang jauh lebih baik dari dia.” Fabian berlalu mendahuluinya sambil melambaikan tangan.
Suci terhibur, bibirnya menyungging naik. Seandainya cowok itu… kayak kamu, batinnya lirih.
Sesaat ia baru menyadari isi pikirannya. Astaga, aku berharap apa? Dia Fabian—arsitek Belanda, tinggi tegap, wajah flawless kayak dewa Yunani. Definisi pria ideal. Mana mungkin dia melirik aku, cuma office girl.
Jantungnya ribut. Ia menggeleng cepat, mencoba menghapus wajah Fabian dari pikirannya. Tapi malam belum selesai. Dan pikirannya, juga belum.
-oOo-
Waktu sudah menjelang tengah malam. Suara jangkrik dan deru kipas laptop menemani Suci yang masih terpaku di depan layar. Kuliah online barusan membosankan, tapi tangannya terasa pegal bukan karena kuliah, melainkan karena malam ini giliran MidnightFox memecahkan sistem keamanan berlapis dari perusahaan raksasa.
Notifikasi dari Mr. Wolf muncul di layar ponselnya. Ia adalah salah satu anggota aktif di sebuah forum rahasia—bekerja sama dengan rekan-rekannya untuk menyelesaikan berbagai misi hacking dan cracking dengan tujuan mengungkap kejahatan. Di balik nama samaran MidnightFox, tak ada yang tahu identitas aslinya. Begitupun Mr. Wolf. Pesannya selalu datang tengah malam. Suci tak pernah tahu wajah atau nama aslinya, tapi entah kenapa, ia selalu merasa dibayangi.
Mr. Wolf :
Yo, Midnight Fox. Ada job baru.
Target : front-end login PT Adiwara.
Bypass captcha, scrape data user aktif. Lo bisa?
MidnightFox :
Bisa. Deadline?
Mr. Wolf :
48 H. Fee usual + bonus kalau clean trace.
MidnightFox :
Deal. Kirim creds & dummy traffic-nya.
Mr. Wolf :
Udah di folder Hades. Jangan bikin drama ya, ini klien lama gue.
MidnightFox :
Drama? Gue? Lu ketuker sama skrip telenovela?
Mr. Wolf :
Sikat Fox. Dunia gelap ini butuh bintang kayak lo.
Suci tersenyum kecil, ia memasang headphone di telinganya, lalu asyik mengetik. Kamar kontrakan kecil itu rapi dan nyaman, cukup untuk hidup dan bermimpi. Di luar mulai turun hujan, udara malam semakin bertambah dingin.
Suci menatap laptopnya serius. Headphone bertelinga kucing yang dipasang menelan suara hujan, diganti irama R&B yang sedang didengarkan. Meja belajarnya penuh catatan memo tentang tugas hacking dan tumpukan buku-buku berkaitan dengan mata kuliahnya.
Di layar, halaman login PT Adiwara terpampang seolah menantang.
“Captcha sok suci,” gumamnya sambil menyeringai. Ia membuka terminal. Jari-jarinya menari, perlahan tapi pasti.
Step 1: Inject script bypass.
Step 2: Spoof user agent, samarkan IP
Step 3: Jalankan custom tool untuk scraping backend, ia namai sendiri : ReaperLite.
Baris kode meluncur.
Server delay setengah detik.
Senyum tipis muncul di bibirnya.
Peringatan akses tak sah muncul di layar. Suci menarik napas, tangannya mengetik cepat. Satu baris script. Dua detik delay. Alarm digital itu padam. “Gue bukan anak magang, bro!”
Hening.
“Dan pintu neraka pun terbuka, Adiwara,” bisiknya. Satu klik terakhir, dan firewall ketiga runtuh.
Semua user aktif masuk ke log lokalnya. Bersih. Tanpa jejak.
Butuh 4 jam bagi hacker lain, tapi baginya cukup 15 menit. Ia menutup layar laptop, mencabut koneksi VPN.
Mr. Wolf :
Damn, baru juga nyeduh kopi, lo udah beres?
MidnightFox :
Gue kan bukan lo. Gue kerja dulu, baru chill.
Mr. Wolf :
Gila. Lo kayak cheat code dunia nyata.
MidnightFox :
Bukan cheat, cuma bug yang manusia nggak siap hadapi.
Suci kemudian teringat beban pikirannya. Ia menggulir video itu beberapa kali di ponselnya. Jari-jarinya ragu di atas keyboard. Tapi suara lelaki itu—arogansi, meremehkan—masih terngiang di telinganya.
Kenapa aku nggak selesaikan masalah ini dengan caraku aja ya? Ia menyeringai.
Ia memasukkan video dari Fabian ke laptopnya, rekaman yang menyorot kemesraan Tougo dan Anya di klub, tampak sensual dan menjijikkan. Dengan kemampuan hacking ia memasuki akun Anya untuk menyebarkannya di grup internal pegawai kantor, ia setel timer untuk besok pukul sepuluh pagi, saat pegawai kantor sedang ramai-ramainya beraktifitas di grup itu. Mereka hanya akan tahu Anya sendiri yang menyebarkannya, sementara Suci bisa memiliki alibi sempurna.
-oOo-
Langit pagi yang cerah menyapa. Udara dingin sisa hujan semalam masih terasa menusuk. Meski begitu burung-burung berterbangan dengan semangat, seolah memberikan tarian penyambutan pada mentari yang baru datang.
Tougo mendatangi kontrakan Suci dengan mobil mewahnya tepat sebelum gadis itu berangkat kerja. Pemuda itu membuka pintu kontrakan dan masuk dengan seenaknya, kebiasaan lama.
“Yuk berangkat bareng!” Tougo menawarkan, “Sekalian meluruskan kesalahpahaman.”
Suci yang sudah siap dengan seragam kerjanya mengernyitkan dahi. “Kesalahpahaman yang mana?” herannya.
“Udah masuk dulu ke mobil, nanti kesiangan!” ajak Tougo masih dengan tangan dimasukkan ke sakunya, santai. Suci menurut dan berjalan menuju bangku depan.
Tougo menahan pintu depan demi menghentikan Suci. “Di belakang aja, supaya nggak ketahuan orang sekantor.”
Meski muak, Suci menurut. Ia sudah terbiasa begini. Ia duduk di belakang dengan bersungut-sungut. Mobil Tougo mulai melaju membelah jalanan pagi. Di balik amarahnya, Suci sempat mengingat—Tougo kecil yang dulu sering memberinya permen dan menulis namanya di buku tulis. Tapi lelaki itu sudah mati di balik jas mahal ini.
“Kenapa kamu marah banget sih soal ini? Kamu nggak bisa loh sikapi aku seolah aku selingkuh. Kita kan bukan pacaran,” Tougo masih berupaya menjustifikasi sikapnya.
“Terus kenapa selama ini kamu minta bekal ke aku? Kenapa rajin banget hubungi aku? Larang aku ini, itu, larang aku pergi malam, larang pergi sama cowok. Suruh laporan setiap mau pergi, tiap sampai rumah. Ajakin jalan berdua, makan bareng. Itu kamu anggap apa?” cecar Suci penuh emosi.
“Yaa…aku kan care sama kamu, sebagai teman sejak kecil,” Tougo beralasan.
“Teman kecil?” Suci tertawa pedih. “Setelah semua ucapan gombal kamu?”
“Ya maaf kalau kamu salah tangkap. Tapi aku sayang kok sama kamu, cuma kayaknya kita nggak cocok dalam hubungan romantis aja. Kita cuma dua orang yang terjebak dalam planning perjodohan orangtua. Sebenarnya aku mau cari pasanganku sendiri,” Tougo menegaskan pandangannya.
Suci diam, “Kalau begitu jangan larang aku untuk begitu juga.” Ia melirik Tougo tajam dari spion depan mobil. “Dan jangan atur aku lagi, kamu nggak punya hak.”
Mobil telah mendekati gedung perkantoran RumahWaktu. Tanpa disangka Tougo menghentikan mobil di pinggir trotoar.
“Kamu turun di sini aja ya. Nggak jauh kok jalannya.” Tougo melirik dengan cuek.
“Takut ketahuan sama cewek itu ya?” sindir Suci menebak.
“Ya kamu aja pakai seragam office girl, bisa heboh kantor kalau ketahuan berangkat bareng Project Manager kayak aku,” Tougo memberi alasan yang lebih pahit, merendahkan dan menyakitkan.
Suci mengangguk menahan pedih di hatinya. “Terserah.” Ia keluar dari mobil dan menutup pintunya kencang-kencang. Kali ini ia merasa dibuang.
Suci berjalan memasuki lobi kantor dengan wajah kesal, ia merasa terhina oleh Tougo. Kemudian ia ingat, pukul sepuluh pagi hari ini akan ada pembalasan bagi pria itu.
Ia menoleh ke jam dinding di lobi. Dua jam lagi sebelum reputasi pria itu hancur. Ia berjalan sambil menyeringai.
Fabian yang berpapasan dengan gadis itu di lobi melirik sekilas, menemukan wajah penuh optimisme Suci. Pria Amsterdam itu mengangguk tipis. Ia lega melihat gadis itu berjalan tanpa beban.
-oOo-
Seisi kantor gempar, di grup internal kantor tempat para pegawai biasa bercakap di sela pekerjaan mereka, tersiar video Tougo dan Anya yang tampak dekat, terlalu dekat hingga menjurus ke sensual. Mereka berangkulan mesra di klub malam, namun sudut pengambilan gambarnya jelas menyorot wajah mereka berdua.
“Anya, lu nyebar video panas?” tanya Winny, teman di sebelah meja kerjanya.
“Sumpah, bukan gue yang kirim!” Anya kelabakan.
“Lu sama Tougo sekarang? Bukannya dia udah punya cewek ya?” Wildan ikut menegurnya.
“Eh tapi itu masih desas-desus kan, ceweknya aja nggak jelas yang mana,” Riri berkomentar, “Berani juga lu Nya, main sosor aje!”
“Bagus. Ini baru pemanasan,” gumam Suci sambil menyusun dokumen.
Belum lagi obrolan di grup yang memanas menyikapi video yang terlampau mesra itu. Anya dan Tougo merasa privasinya dilanggar, mereka kesal. Namun keduanya tidak tahu harus menyalahkan siapa. Mereka hanya bisa panik dan bingung mengenai siapa yang menyebarkan video tidak senonoh itu.
Anya mengatupkan bibir. Ia tahu video itu bisa membunuh kariernya. Tapi dalam dunia ini, perempuan tidak bisa terlihat lemah. Jadi ia tetap tersenyum.
Suci hanya bersenandung santai sambil berlalu lalang membersihkan ruangan kantor, sesekali menduplikasi dokumen atau membawakan minuman dan camilan pesanan para staf.
Fabian menghentikan langkahnya, tertegun saat sadar video yang tersebar di grup pegawai adalah video yang direkamnya dan dikirimkan ke Suci. Pemuda kaukasia itu melirik Suci dalam diam, merasa curiga sekaligus terkesan. Apa mungkin gadis ini nggak sesederhana penampilannya? pikirnya dengan tatapan menyelidik.
-oOo-
Lantai marmer bersih memantulkan cahaya matahari pagi yang jatuh dari jendela kaca lebar. Lobi ini adalah ruang pamer kemewahan kantor, dengan pot keramik artistik, aroma kopi dari kantin kecil di pojokan, dan suara heels Anya yang terdengar teratur melangkah bersama Tougo. Bukannya malu, mereka malah mengambil momen tersebut untuk menunjukkan kedekatan mereka dengan terang-terangan.
Anya mengenakan kemeja putih ketat dan rok pensil khaki, tablet di tangannya jadi aksesoris kesombongan. Bibirnya melengkung saat melihat beberapa staf wanita berkumpul menunggu lift.
“Tadi malam seru banget ya Go. Kamu harus ceritain yang bagian kamu…” Anya bicara sambil tertawa kepada Tougo yang bersandar santai ke dinding marmer, Mereka berdua tampak seperti poster iklan pasangan pekerja sukses.
Salah satu staf perempuan melihat mereka dengan sorot mata penasaran. Anya pura-pura malu dan berkata sambil melirik-lirik ke Suci yang baru datang membawa boks arsip. “Eh jangan salah paham ya, kami tuh baru pendekatan. Nggak kayak beberapa orang yang sering ke-GR-an cuma karena pernah main dari kecil.”
Gelak tawa kecil terdengar. Suci hanya lewat tanpa melihat mereka, tapi satu alisnya naik sedikit. Rahangnya mengeras. Boks di tangannya ditaruh dengan kencang ke meja resepsionis, menimbulkan bunyi yang cukup keras.
Anya melangkah ke depan, menegakkan punggung, lalu membisikkan sesuatu ke salah satu staf baru namun cukup keras didengar, “Katanya dulu dijodohin. Kasian ya kalau cuma dia yang anggap mereka jodoh.”
“Beberapa orang memang nggak ngerti posisi. Mungkin karena terlalu lama di bawah, jadi lupa kalau yang di atas punya pilihan lebih layak.” Anya menyeringai sinis ke arah Suci yang terdiam.
Lift terbuka. Anya masuk lebih dulu, lalu menarik Tougo genit seakan kekasih. Tapi sebelum pintu menutup, suara dari belakang mengejutkan semua orang.
“Yang merasa paling di atas… biasanya jatuhnya paling keras.” Fabian muncul dari arah belakang lift dengan tangan di saku celana, melemparkan kalimat itu tanpa ekspresi, tapi tepat sasaran. “Masih main kasta? Primitif.”
Lift menutup, semua terdiam. Suci berjalan meninggalkan tempat itu tanpa menoleh. Fabian hanya diam. Tapi pandangannya mengikuti Suci lebih lama dari biasanya. Mungkin, untuk pertama kalinya… ia penasaran.
Menarik
Comment on chapter PrologSelalu penasaran kedepannya