Fabian Meijer
Klub malam itu layaknya replika dari seribu tempat lain, termasuk yang pernah Fabian datangi di Amsterdam—strobo menyilaukan, musik berdentum liar, dan senyum palsu yang menyakitkan mata. Hanya saja, di sini, bau kretek lebih pekat menusuk hidung. Fabian menyandarkan tubuhnya di bar, sementara jarinya menggulir layar ponsel tanpa tujuan.
Malam itu bukan untuk mencari siapa pun—hanya pelarian dari blueprint, deadline, dan kekacauan di kepalanya. Lalu dia melihatnya.
Seorang perempuan muda, berdiri kaku di ambang pintu masuk klub. Pakaiannya terlalu polos untuk tempat semegah ini. Tapi matanya… tajam, siaga, nyaris seperti prajurit yang kehilangan arah. Tegang, terluka.
Ada gejolak asing yang memilin dada Fabian.
Matanya terpaku pada sosok di pintu—Suci, gadis sederhana yang sering membawa alat pel dan menyapa sopan di kantor. Tapi malam ini, tak ada keramahan di wajah mungil itu. Hanya diam yang berbicara—penuh keterkejutan, kecewa, dan amarah yang tertahan.
Pandangannya mengikuti arah tatapan Suci—ke pasangan yang sedang tertawa mesra di sofa lounge. Fabian tidak kenal mereka, tapi ia mengenali raut di wajah Suci: ekspresi seseorang yang baru saja dikhianati oleh orang yang ia percaya. Mengingatkannya pada satu sosok wanita.
Akasia—sahabat masa kuliah di Amsterdam. Cinta diam-diam yang tumbuh bersama kopi pagi dan tumpukan tugas akhir. Akasia yang pada suatu malam, menyusulnya ke klub di negara yang berbeda, dengan dentuman yang sama, lalu memergokinya menari liar bersama para wanita asing.
Wajah Akasia waktu itu masih menghantui pikirannya—wajah terluka dan penuh kecewa, yang hanya berkata pelan.
“Kupikir aku mengenalmu, Fabian.”
Malam itu Fabian kehilangan dua hal: sahabat dan kepercayaan yang dibangun sekian lama.
Kini, melihat Suci terpaku di tengah keramaian, hatinya kembali berdesir. Ia belum selesai menebus masa lalu—dan kali ini, ia ingin menjadi seseorang yang tak lagi melarikan diri.
Kemudian ia mendekatinya.
Malam itu, takdir memberi mereka kesempatan kedua—walau tak ada yang tahu, siapa yang akan lebih dulu berani mendekat.
Sementara itu, dari sisi lain ruangan…
-oOo-
Suci Riganna Latief
Lampu-lampu gemerlap berkedip liar di udara yang sarat asap, dentuman musik menghentak lebih keras dari detak jantungnya. Suci berdiri di ambang pintu, enggan melangkah lebih jauh. Ini bukan dunianya, tapi malam ini, ia butuh jawaban.
Dan jawabannya ada di sana—di sofa, duduk santai dan memeluk wanita lain. Tougo, teman masa kecilnya yang seharusnya menjaga janji untuk menikahinya.
Dan ia bahkan mengenal wanita itu, Anya.
Suci tidak bergerak. Kepalanya kosong, namun dadanya berdenyut perih. Ia tahu sejak awal tak sepenuh hati memilih Tougo—tapi melihat pengkhianatan itu dengan mata kepala sendiri, rasanya jauh lebih menusuk dari yang ia bayangkan.
“Are you okay?” seorang pria menyapa Suci yang mematung dengan penuh perhatian. “Kamu tampak syok.” Ia mengikuti arah pandangan gadis itu untuk mencari tahu penyebab syoknya.
Suci menoleh. Berdiri di sampingnya seorang pria kaukasia tinggi berwajah tenang dengan rambut acak yang tampak kontras di tengah gemerlap klub, menatapnya dengan mata tajam namun tak menghakimi. Fabian.
Ia mengenal wajah itu. Arsitek asing yang baru bergabung tiga bulan lalu di kantor tempatnya bekerja. Tidak disangka, ia akan bertemu Fabian di tempat seperti ini.
“Pacarmu?” tanya Fabian hati-hati, seperti menyelidik tanpa ingin menyakiti.
“Ini rumit,” Suci berbisik, suaranya tercekat. “Kami dekat sejak kecil, dijodohkan orangtua. Dia berjanji mau nikah denganku, tapi malah begini,” ia tertawa hambar, meski sorot matanya bicara lain.
Fabian menatap Suci dengan pandangan penuh rencana. “Kalau kamu butuh bukti… aku bisa bantu rekam.”
Suci mengerutkan kening. “Maksudnya?”
“Dia kenal kamu, tapi dia nggak mengenalku. Aku bisa mendekat untuk dapat sudut terbaik.” Fabian menyentuh saku jaketnya, menunjukkan ponsel dengan kamera aktif.
Suci terpaku beberapa detik, sebelum akhirnya mengangguk pelan. “Kalau kamu bersedia…aku akan sangat berterima kasih.”
Fabian mengambil posisi di sudut yang tak mencolok, pura-pura sibuk dengan ponsel, sementara kameranya merekam diam-diam.
Setelah merekam dua manusia tak tahu malu itu, Fabian kembali ke gadis berambut panjang, menggoyangkan ponselnya dengan gaya pamer. “Mau kukirim sekarang? Minta nomornya.”
Suci mengangguk dan meminjam ponsel Fabian sesaat. Saat itu juga Tougo menyadari keberadaan Suci di sana. Dengan jari gemetar, Suci memastikan video itu terkirim, sebelum napasnya tercekat oleh tatapan marah Tougo.
“Ngapain kamu di sini?” tanyanya sambil mendekat.
“Santai dong, bukan kamu aja yang boleh have fun kan? Cewek kamu udah mulai bosan nunggu tuh!” Suci menyeringai kecil, lalu berbalik tanpa menunggu jawaban.
“Aku bisa jelasin!” Tougo mencengkeram tangannya erat.
“Sakit, lepasin!” Suci menggeliat panik. Separuh dirinya ingin berteriak, separuh lain masih berusaha tampak kuat.
Fabian menyergap pergelangan tangan Tougo dengan satu gerakan cepat, mencengkeramnya hingga pria itu meringis. “Jangan kasar sama perempuan,” gumamnya dingin, nyaris seperti ancaman.
Suci memanfaatkan momentum itu untuk kabur keluar klub.
Suci keluar terburu-buru, menembus udara dingin malam yang lebih jujur daripada siapa pun di dalam sana.
Di luar klub, Tobi sudah menunggu di atas motornya seperti bayangan setia. Pemuda itu masih mengenakan helm full face-nya. Ia melihat kedatangan gadis yang ditunggunya, menyambutnya dengan ekspresi khawatir.
“Gimana Ci? Si kampret itu beneran selingkuh sama cewek?” ia menyodorkan helm untuk Suci.
“Udah jalan dulu, nanti diceritain sambil jalan.” Suci mengenakan helm dan naik ke belakang moto. Mereka melesat jauh menembus dingin malam kota, sampai motor itu tiba-tiba berhenti.
“Mau gue traktir sekoteng dulu nggak?” Tobi menepikan motornya saat melihat penjual sekoteng di pinggir jalan.
“Udah berhenti baru nanya.” Suci tersenyum geli. “Nggak bisa nolak lah.”
Mereka pun turun untuk memesan sekoteng, lalu duduk berdampingan di pinggir trotoar.
“Jadi benar ya?” Tobi menyimpulkan dari ekspresi sendu Suci. “Siapa ceweknya? Kenal?”
“Anya, Quantity Surveyor perusahaan kita.” Suci mengingat wajah yang sudah tak asing baginya.
“Ah, pantes aja dia nempelin Project Manager sombong itu,” Tobi mengangguk paham, “Tougo bego sih.”
“Yaudahlah…” Suci menghembuskan napas berat, terlanjur malu. Matanya berkaca-kaca. “Terima kasih hiburannya,” ia mengangkat mangkuk kecil sekotengnya.
“Masih banyak ikan di lautan, Ci,” Tobi berupaya meredakan kemurungan gadis itu.
“Tapi gue nggak pacaran sama ikan,” sahut Suci jenaka. Mereka tertawa. Dalam hati Suci sangat menghargai upaya sahabat sekaligus rekan sejawatnya itu untuk menghiburnya dari patah hati.
Ia mengecek notifikasi HP yang bergetar pelan di sakunya.
[Foxshell]: Transaksi anonim sukses. +0.08 BTC masuk.
Suci hanya tersenyum tipis, lalu menghapus notifikasi itu sebelum siapa pun melihat. Di balik sorot matanya yang tenang, Suci menghitung kemungkinan reaksi, seperti biasa—dengan presisi dingin yang tak diketahui siapa pun.
Bagi dunia, dia hanya petugas umum kantor yang pemalu, tapi di balik layar, Suci Riganna Latief bukanlah siapa yang mereka kira.
Suci tak tahu, malam kelabu yang disangkanya sekadar tentang patah hati itu akan membawanya jauh—menuju rahasia semesta yang selama ini diam, dan cinta yang tak terduga.
Menarik
Comment on chapter PrologSelalu penasaran kedepannya