Atmosfer ruang sidang terasa berat, seakan setiap napas membawa beban yang tak tertanggungkan. Liansyah Dwi Charka duduk di kursi terdakwa, punggungnya kaku, jemarinya bertaut erat, menekan jempolnya silih bergantian. Pandangannya terpaku pada lantai dingin di bawahnya, mencoba mengalihkan pikiran dari tatapan hakim yang bersiap membacakan putusan. Dapat ia bayangkan bagaimana kegelisahan orangtua dan isak tangis ibunya yang saat ini duduk di belakang. Lian menggigit bibirnya, mencoba menahan gemetar di tangannya, tapi degup jantungnya semakin keras, menggema di rongga dadanya.
"Menyatakan bahwa terdakwa, Liansyah Dwi Charka, telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana penganiayaan sebagaimana dalam dakwaan tunggal ..." suara hakim memecah ketegangan, menggetarkan setiap tulang dalam tubuh Liansyah.
Tubuhnya terasa dingin. Setiap kata dari bibir hakim terasa seperti palu godam yang menghantam keras. Pandangannya mulai kabur, tidak lagi melihat ruangan di sekitarnya. Dalam sekejap, pikirannya kembali ke hari itu—hari yang mengubah segalanya.
Sore yang sedang didera hujan deras. Semua murid kelas 9 berkumpul di aula menghadiri acara sosialisasi masuk SMA. Tidak dengan Liansyah dan seorang remaja laki-laki yang bolos di taman belakang berakhir terlibat adu mulut sampai baku hantam. Lian berlari melintasi lorong mengejar korban yang melarikan diri sampai ke tengah lapang, napasnya memburu, tangan kanannya terkepal erat mengesampingkan nyeri dari pukulan sebelumnya.
"Tarik ucapanmu!" suaranya parau, penuh amarah dan putus asa mendorong kencang korban dengan tangannya. Wajahnya sudah pias, terjatuh di atas paving block melukai lutut, sikut, dagu, dan keningnya.
Seragam mereka kotor, penuh tanah dan rona merah terguyur hujan. Tanpa merasa iba, ia meraih kerah baju siswa itu, menariknya hingga wajah mereka hanya berjarak beberapa sentimeter.
"Kau yang salah! Bodoh! Pengecut yang bisanya mengadu!" teriaknya sebelum satu pukulan keras menghantam wajah lawan hingga kepalanya terhantuk ke permukaan bata yang basah.
Sebelum tangannya menghantam sekali lagi, pandangannya bertemu dengan raut ketakutan. Mata yang penuh penyesalan. Liansyah terdiam sejenak karena emosinya lebih kuat dari logika. Hujan menutupi air matanya yang mulai mengalir disertai napas yang terengah-engah. Ketika korban sudah tidak berdaya, ia baru menyadari banyak handphone tertuju padanya; samar-samar teriakan guru mulai berdatangan menghampiri mereka di tengah lapang.
"Menjatuhkan pidana kepada Anak dengan pidana penjara selama enam bulan penjara dan satu bulan pelatihan." suara hakim kembali membawanya ke kenyataan. Keheningan kembali menyelimuti ruang sidang. Liansyah menundukkan kepala, menyesal tanpa tahu harus bagaimana lagi.
Kini ia duduk sendiri—di sudut kamar hunian mengisolasi diri dari yang lain. Bayangan sore itu terus menghantuinya. Ditambah pikiran yang selalu berkecamuk kehilangan momentum dan masa depan. Tujuh bulan yang terasa sangat panjang.
"Kenapa aku bertindak bodoh?" gumamnya pelan, suaranya nyaris tak terdengar di antara derit langkah sipir yang berlalu di lorong wisma hunian.
***