Pagi itu, Karina duduk di meja makan. Di tengah-tengah Ayah dan Ibunya yang sibuk dengan tablet dan laptop masing-masing. Sedangkan Karina memakan yogurt dengan granola di atasnya dengan sedikit enggan karena tak benar-benar merasa lapar dan dengan pikiran yang melayang entah kemana.
Pagi ini penampilan Karina terlihat sempurna seperti biasa. Dengan sepoles bedak di pipi, sepoles lip balm di bibir, dan rambutnya yang dibiarkan tergerai panjang membuat semuanya tampak normal dan tak terlihat menyedihkan. Ditambah karena ia sudah terbiasa dengan semua ini.
"Mama udah daftarin kamu les privat baru dan mulai minggu depan kamu les di sana." Ujar Irene tanpa menoleh
"Iya, Ma"
"Belajar yang serius. Bayar les itu mahal dan kamu cuma bisa bayar itu dengan prestasi yang kamu dapat di sana. Paham?"
"Iya, Pa" Lagi-lagi Karina hanya menjawab pendek. Percakapan seperti itu sudah menjadi makanannya sehari-hari baginya, hingga ia sendiri kadang muak meski hanya untuk sekedar meladeni.
Di sekolah, siswi bernama Karina Nadila Ernesta itu adalah kebanggaan bagi siapapun. Semua guru menyayanginya dan teman-temanpun menghormatinya karena ia adalah sosok yang disiplin dan pintar sampai dijadikan panutan oleh siapa saja meski ia masih duduk di bangku kelas sebelas.
"Kok tumben dapet 80? Biasanya kan Lo dapet 95" Tanya Anya, sahabatnya keheranan ketika melihat hasil ujian matematika Karina tidak seperti biasa.
Karina mengangkat bahu sembari memasukkan kertas itu ke dalam tasnya "Mungkin lagi kurang fokus"
Anya manggut-manggut meski dalam hatinya ia tahu bahwa Karina sedang tidak baik-baik saja.
---
"Karina, gue suka sama Lo" Kalimat itu ia dengar dari Alex yang mencegatnya sewaktu Karina hendak pulang
Karina menatap kakak kelasnya itu dengan datar "Aku gak punya waktu buat pacaran apalagi sama playboy kayak kakak." Karina lalu melangkah pergi. Meninggalkan Alex yang termangu seolah tak percaya bahwa dirinya baru saja ditolak mentah-mentah oleh primadona sekolah.
Mahesa yang sejak tadi berada di belakang Alex dan mendengar percakapan itu langsung terbahak "Makanya, Lo itu harus ngeluarin effort lebih buat dapetin cewek kayak Karina" Alex berkata dengan nada mengejek sambil memegangi perutnya yang sakit karena tertawa.
Alex menatap Mahesa sinis, lalu melirik Karina yang meninggalkan dirinya dengan langkah ringan. "Cewek itu... Aneh"
Mahesa menggeleng. "Bukan Karina yang aneh, tapi Lo yang terlalu geer sampai berpikir kalau semua cewek bakal klepek-klepek sama Lo."
Alex menatap punggung Karina yang menghilang begitu gadis itu masuk mobil. Tapi kepalanya dipenuhi oleh nama Karina dan tembok tak kasat mata yang Karina bangun diantara mereka.
Di sisi lain, Karina terdiam sambil menatap keluar jendela. Mobil itu membawanya melewati jantung kota dengan melewati pohon-pohon dan gedung-gedung tinggi untuk sampai ke tempat lesnya. Percakapan dengan Alex tadi kembali terngiang di kepalanya. Ia bukan tidak mau menghabiskan masa remajanya dengan melakukan hal-hal seperti yang dilakukan teman-temannya termasuk soal asmara, tapi... Ia tidak pernah punya waktu untuk itu. Bahkan untuk sekedar mencintai dirinya sendiri saja ia tidak punya waktu dan tidak tahu bagaimana caranya.
Begitu tiba di tempat les, Karina kembali menjadi dirinya yang 'baik-baik saja'. Ia menyapa semua guru les dengan sopan, tersenyum pada teman-teman sekelasnya, dan menjawab seperlunya jika ditanya mengenai kabarnya. Karina tetap menjadi dirinya yang dikenal ambisius dan ceria, meski hatinya terasa semakin berat karena beban yang ia pikul seorang diri tanpa ada yang pernah tahu.
---
Malam mulai menyapa.
Mobil keluarganya kembali menjemput. Tak ada percakapan apapun antara Karina dan sopir keluarganya yang sudah bekerja belasan tahun. Hanya ada suara lagu Roma Irama khas seorang Pak Asep yang mengalir dari radio.
Karina lagi-lagi hanya terdiam sambil menatap bangunan-bangunan tinggi yang kini menyala dari dalam. Karina duduk dengan di kursi penumpang belakang, tapi hatinya sedari tadi mendesak ingin mengeluarkan bebannya. Namun begitu lagu 'Camfire' Seventeen mulai mengalun pelan dari earphonenya, air mata Karina mengalir perlahan tanpa bisa ditahan lagi. Ia menangis perlahan, tanpa suara hingga akhirnya ia memilih untuk menutup mata, berpura-pura tidur agar tak ketahuan.
Tengah malam, ia kembali menyendiri. Di atas tempat tidurnya, Karina menatap view kota Jakarta dari jendela besar. Ia mulai menuliskan kata demi kata di buku diarynya yang langsung terisi penuh dengan tumpahan isi hatinya dalam sekejap.
"Apa aku gak boleh gagal?" Ia menuliskannya dengan air mata yang mengalir deras.
***
Hujan mengguyur kota Jakarta malam itu, begitu deras seolah langit sedang menangis. Petir menyambar, menerangi langit gelap sesekali. Karina yang saat itu masih SMP duduk sendirian di depan tempat lesnya, menunggu seseorang.
[Karina, kamu pulang sendiri aja, ya? Kasihan kakak kamu baru pulang dari Amsterdam tadi siang.] Pesan itu disampaikan oleh ibunya di grup keluarga mereka.
[Gak mau, Ma. Tadi kak Juna bilang kalau dia mau jemput Rina, kok.] Balasnya
[Karina! Kasihan kak Juna.] Kali ini Ayahnya yang memberi pesan dengan nada tajam. [Naik ojek online aja.]
Karina tetap kukuh. [Gak mau! Rina takut kalau naik ojek online sendirian malam-malam dan Rina juga gak mau kalau dijemput sama Pak Asep.]
[Udah Ma, Pa, gak apa-apa. Lagian Juna juga udah janji tadi siang sama Adek.] Juna memberikan pesan final
***
Ingatan itu seketika kembali. Rasa bersalah mulai menggerogoti perasaan Karina kala itu.
"Kak, maafin Adek..." Lirihnya pelan. Karina menarik rambutnya untuk mengurangi rasa sakit yang menyerang kepalanya.
Hujan masih deras membasahi kaca jendela kamar Karina. Kota Jakarta yang biasanya bising kini terasa lebih hening, seolah memberikan ruang bagi setiap suara di hati Karina untuk berseru lebih keras. Tangannya berhenti menulis, tapi air matanya masih jatuh dan membuat noda hitam di atas petak putih itu karena tinta yang belum sepenuhnya kering.
"Aku capek jadi anak baik yang selalu membanggakan." Ia kembali terisak. Memeluk lututnya erat dan menangis di dalam sana agar tak terdengar.
Langit masih gelap dari balik jendela. Disertai petir yang membelah kegelapan itu dengan cahayanya, tapi Karina tak bergeming. Justru dalam kegelapan malam seperti ini, pikirannya menjadi lebih terang. Semua rasa lelah, marah, dan kecewa juga kesepian berkumpul jadi satu.
Kilasan-kilasan kenangan masa lalu terus menari di kepalanya. Sejak SMP, ia sudah terbiasa mandiri, menahan tangis, pura-pura kuat agar tak menyusahkan siapapun semenjak kakaknya meninggal. Tapi semakin ia dewasa, semakin ia besar, semakin Karina menyadari bahwa itu menyiksanya secara perlahan.
---
Karina duduk di kursi belajar. Siluet sinar matahari senja menyinari dinding kamarnya yang tertutup oleh rak buku yang berisi buku-buku pelajaran dan jurnal-jurnal belajar. Di atas meja, laptopnya menyala, menampilkan dokumen kosong yang belum ia sentuh sejak tadi. Karina menghela napas panjang, lalu jari-jarinya mulai menari di atas keyboard.
"Aku gak tahu apa yang aku rasain akhir-akhir ini, tapi rasanya berat banget. Aku pengen manjalani hidup kayak orang normal yang bertahan karena keinginan diri mereka sendiri. Sedangkan aku? Aku bertahan cuma buat memenuhi ekspektasi orang lain. Aku capek dan sekarang aku cuma pengen berhenti sebentar. Apa boleh?."
Karina menatap kalimat itu dengan tatapan kosong. Mungkin ia akan menghapusnya suatu saat nanti, tapi mungkin juga tidak. Ia sendiri belum tahu apa yang sebenarnya ingin ia perjuangkan selama hidupnya. Semua ini berjalan dalam lintasan panjang yang tak berarah dan tanpa ujung yang pasti.
Tiba-tiba layar handphonenya menyala dan banyak chat yang masuk dari grup kelasnya. Di sana para siswa sedang ribut membahas rencana kelulusan semester di puncak, sesekali para guru mereka ikut menimpali. Semua tampak antusias memberi komentar meski sebagian lainnya hanya memberikan beragam emoji.
Karina menatap pesan itu dengan tatapan datar, lalu pesan dari Anya masuk.
[Kamu ikut acara kelulusan ya, Na? Masa nanti kita difoto tanpa ada kamu lagi kayak tahun kemarin.]
Anya
Karina mengetik pesan balasan dan kembali menghapusnya sebelum sempat dikirim. Ia seolah tidak yakin akan datang, atau tidak. Tapi benar yang dikatakan Anya, tahun lalu ia tidak bisa ikut karena mengikuti olimpiade Nasional.
Karina menyimpan handphonenya lagi. Ia memeluk lutut, membiarkan hening memenuhi kamarnya. Samar, ia mendengar suara klakson kendaraan saling bersahutan dari kejauhan dan mendengar suara tawa anak-anak yang berlarian di sekitar kompleks. Dulu, anak-anak itu adalah Karina dan sekarang ia merindukan masa-masa itu.
Matahari mulai terbenam, menyisakan garis merah di ujung sana. Dan malam itu, ia membiarkan dirinya tidur sedikit lebih lama dengan earphone yang masih menggantung di telinganya. Mengalungkan Seventeen soft playlist yang menjadi lagu pengantar tidur.
---
Esoknya, Karina kembali menjadi dirinya yang biasa. Senyumnya ia lukis dengan rapi, suaranya terdengar lembut dan sopan, juga langkahnya yang senantiasa teratur. Tidak ada yang tahu bahwa di balik semua itu ia menyimpan luka yang begitu dalam yang membuat hatinya remuk, hanya sesekali Anya yang mencurigainya namun tetap tidak pernah bertanya karena tidak tahu harus memulai dari mana.
"Lo beneran baik-baik aja, Na?" Tanya Anya saat istirahat.
Karina menoleh "Iya, gue beneran baik-baik aja. Emang kenapa?"
Anya masih menatap Karina dalam-dalam. "Lo kelihatan beda akhir-akhir ini."
Karina tersenyum. "Thank you for caring about me, but I'm really okay, Anya. Cuman tadi pagi gue belum sempet sarapan aja."
---
Sementara itu, di lorong sekolah, Alex sedang berdiri sambil memainkan kunci motornya. Mahesa menghampiri, mengangkat alis begitu melihat raut wajah Alex yang tak seperti biasanya.
"Cie... Ada yang masih kepikiran soal Karina nih ceritanya." Gada Mahesa sembari menyikut bahu temannya.
Alex mendesah pelan. "Gue pikir dia bakal nerima gue selayaknya cewek-cewek lain Nerima gue dengan mudah. Gak nyangka kalau jawabannya bakal semurah itu."
Mahesa tertawa puas. "Lo jangan samain Karina sama sepuluh mantan Lo itu, bro. Tuh cewek beneran beda dari yang lain soalnya. Limited edition kalau istilahnya. Jadi hati-hati."
Alex menggerutu. "Gue penasaran, tuh cewek beneran gak punya waktu buat pacaran atau emang cuma gak suka sama cowok kayak gue."
Mahesa mengangkat bahu. "Mungkin dua-duanya."
---
Malam harinya, Karina kembali duduk di meja belajar. Bukan untuk belajar, melainkan untuk membaca kembali setumpuk kertas berisikan puisi-puisi yang ia tulis saat SMP. Ia mengambil pulpen dan mulai kembali menulis.
"Kenapa hidup ini seperti ujian yang gak pernah berhenti?
Kenapa aku terus menerus dipaksa buat sempurna? Padahal aku juga manusia yang bisa ngerasa capek, kan? Tapi kenapa aku selalu gak boleh nunjukin hal itu? Bahkan cuma sekedar bilang aja gak boleh.
Aku tahu kalau semua orang menganggap aku kuat. Tapi di balik kuat itu... Aku juga rapuh?"
Air matanya kembali turun perlahan dan membasahi ujung kertas. Tapi kali ini ia tidak menyekanya. Ia membiarkan semuanya untuk keluar sampai hatinya terasa lebih ringan walau hanya sedikit.
---
Hari itu, Karina berjalan pelan menyusuri lorong sekolah yang sudah mulai sepi dan hanya menyisakan para murid yang mengikuti ekskul. Walau kelasnya sudah berakhir tiga puluh menit yang lalu, Karina tetap duduk di bangku belakang sembari menatap keluar kelas sebelum akhirnya bangkit dan menjadi murid terakhir yang keluar. Bukan karena ia terlalu rajin, tapi karena ia membutuhkan semacam jeda sebelum kembali menghadapi dunia yang terus menuntut begitu banyak darinya.
Di taman depan, Alex dan Mahesa sedang duduk di bangku taman. Keduanya masih mengenakan seragam, namun dengan dasi yang dilepas dan dua kancing teratas kemeja mereka yang sudah dilepas seenaknya. Mereka tertawa kecil sembari membicarakan hal-hal remeh dengan ditemani sekaleng soda yang mereka dapatkan dari vending machine kantin, hingga Mahesa melihat Karina yang sedang menuruni anak tangga.
"Eh, itu Karina." Katanya sambil menyenggol bahu Alex
Alex menoleh. Senyumnya langsung terbit begitu melihat sang pujaan hati. Seolah refleks.
"Pasti baru beres bimbingan, ya? Gila nih cewek kagak ada capeknya emang." Gumamnya.
Mahesa terkekeh. "Gue penasaran, sebenernya Karina itu manusia atau robot. Perfect banget, heran gue."
"Makanya gue naksir sama dia." Balas Alex ringan.
Mahesa menoleh, ekspresi geli muncul di wajahnya. "Lo beneran serius sama dia? Bukan cuma ngejadiin Karina sebagai pelarian doang kan?."
"Emang gue kelihatan gak serius dan main-main gitu dengan semua effort gue selama ini?."
"Bukan gitu, Lex. Cuman... Gimana ya, satu sekolah ini tuh udah terlanjur tahu kalau Lo itu playboy." Mahesa menyengir "Dan lagi... Lo itu terlalu Alex buat seorang cewek se-angel Karina."
Alex menatap Mahesa tak percaya. "Heh, gue udah tobat, ya!" Alex berkata tak terima. "Lagian... Cowok se-devil gue itu cocok punya cewek se-angel Karina."
Mahesa menggeleng. "Serah Lo deh." Ia lalu memanggil Karina dari kejauhan.
Karina mendekat, ia berhenti di depan mereka, menyelipkan senyum tipis. "Ada apa, kak?"
Alex bangkit berdiri. "Minta waktunya bentar ya. Gue cuma pengen kita ngobrol lagi soal yang kemarin-"
"Tentang penolakan?" Sela Karina dengan senyum yang tetap sopan.
Mahesa yang mendengarkan percakapan mereka hampir saja menyemburkan soda dari mulutnya karena ingin tertawa dan sekarang ia tahan di balik tangan.
Alex gelagapan. "Gak gitu juga, Na. Maksud gue...ya, siapa tahu Lo berubah pikiran setelah tiga bulan ini."
Karina tersenyum tipis dan menggeleng pelan. "Maaf ya, kak. Tapi aku belum bisa berubah pikiran. Bahkan setelah semua perhatian yang kakak kasih ke aku sejak itu."
"Kenapa sih? Alex akhirnya nekat bertanya. "Emang semua cowok di mata Lo sama semua, ya?"
Karina menggulum bibirnya. "Aku cuma belum selesai sama diri aku sendiri, kak. Dan... Karena kakak juga bukan member Seventeen."
Karina berkata ringan lalu melangkah pergi meninggalkan Alex yang terdiam dan Mahesa yang kini tertawa keras.
"Gue udah bilang, Lex. Dia bukan cewek biasa." Mahesa merangkul Alex. "Terus Lo denger sendiri kan, bro. Lo itu bukan member Seventeen yang jelas-jelas jadi ideal tipenya Karina selama ini."
Alex menoleh. "Emang siapa sih Seventeen itu? Bukannya mereka udah gak ada karena kena tsunami, ya?"
Mahesa kembali tertawa keras yang membuat Alex menjitak dahi Mahesa saking kesalnya. "Aduh, sadis amat." Mahesa pura-pura memegangi dahinya. "Lo tuh gimana sih. Katanya naksir sama dia, tapi sekedar grup K-Pop favoritnya aja Lo gak tahu."
---
Begitu tiba di rumah, Karina kembali dipanggil ke ruang kerja ayahnya seperti beberapa hari lalu. Di atas meja, terdapat setumpuk dokumen dan grafik-grafik pendidikan. Irene berdiri di belakang, menatap Karina dengan sorot mata yang tegas.
"Kamu udah lihat hasil try out kemarin?"
"Sudah, Pa"
"Turun. Dua poin. Kamu pikir dia poin itu kecil? Bagi anak-anak biasa mungkin. Tapi kamu bukan anak biasa, Karina."
Karina terdiam.
"Kamu ingat kan kalau sekarang kamu bertanggung jawab atas semua mimpi kakak kamu yang belum sempat dia capai?" Tanya Irene
Karina mengangguk pelan.
"Dan kakak kamu mencapai semua mimpinya karena dia berjuang mati-matian."
"Papa dan Mama gak minta kamu buat menjadi sempurna seperti mendiang kakakmu. Kami cuma minta kamu buat jadi yang terbaik." Sambung Hartono.
Dua kalimat itu terasa menampar. Tidak minta jadi yang sempurna tapi harus tetap menjadi yang terbaik. Bukannya kedua itu hal yang sama?
“Mulai minggu depan, kamu tambah jadwal les malam. Mama udah atur dengan pengajar dari alumni UGM. Dia top, kamu harus bisa belajar dari dia.”
Karina hanya mengangguk. Ia tidak mau berdebat. Tak ada gunanya.
---
Malam itu, setelah semua lampu dipadamkan dan orangtuanya masuk kamar, Karina kembali ke jendela kamarnya.
Sejak kecil, jendela itu adalah tempat favoritnya. Dari sana, ia bisa melihat dunia bergerak tanpa harus ikut bergerak. Bisa menangis diam-diam tanpa harus menjelaskan alasannya. Bisa menjadi dirinya sendiri—yang tidak harus selalu terlihat sempurna.
Ia membuka diary
"Aku hidup dalam rumah yang tidak pernah benar-benar jadi rumah. Aku tinggal bersama dua orang dewasa yang menganggapku proyek. Aku tak pernah bisa gagal, karena itu sama artinya dengan mengecewakan mereka. Aku iri pada anak-anak yang bisa menangis di pelukan ibunya. Aku iri pada anak-anak yang bisa bilang 'aku lelah' tanpa dimarahi. Aku bahkan iri pada diriku sendiri di masa kecil—saat aku belum tahu apa itu ekspektasi."
Air matanya jatuh lagi. Hujan kembali turun di luar sana. Jakarta malam itu kembali gelap dan sunyi, dan hanya suara hujan yang menemani Karina hingga ia terlelap, masih dengan earphone yang menyanyikan lagu Seventeen.
---
Di ruang kerja ayahnya, Hartono menatap Karina dengan tatapan yang tajam. "Karina, kita perlu bicara tentang hasil try out kemarin. Kamu turun dua poin. Itu bukan angka yang bisa dianggap remeh."
"Aku sudah coba yang terbaik, Pa," jawab Karina pelan.
"Yang terbaik? Kamu tahu apa yang diharapkan darimu," kata Irene dengan nada yang lebih tegas. "Kami ingin kamu jadi yang terbaik, seperti kakakmu."
Karina menunduk. Ia tidak tahu lagi harus berkata apa. Setiap kata yang keluar dari mulutnya hanya terasa kosong, seolah tidak bisa mengubah apa pun. Ia hanya mengangguk, menerima semua yang diputuskan untuknya.
Padahal rasanya ini masih terlalu pagi untuk membahas masalah try out. Akhirnya Karina berangkat ke sekolah dengan hati yang masih saja terasa berat. Lagi-lagi ia berusaha untuk menutupi semua kepedihan yang ia rasakan pada semua orang.
Di kelas, hampir seluruh siswa membicarakan soal tugas ataupun acara kelulusan nanti. Tapi Karina tak tertarik dan lebih memilih untuk membaca novel di mejanya sembari mendengarkan Seventeen playlist dengan volume cukup tinggi untuk meredam kebisingan di sekitarnya.
Sampai akhirnya Anya kembali dari kantin dan langsung melepas satu earphone yang Karina pakai agar gadis itu dapat mendengarkannya.
"Na, Lo ikut acara kelulusan tahun ini kan?"
Karina mengangkat bahu, pandangannya masih fokus pada paragraf yang tengah ia baca. "Iya, mungkin."
Anya seketika cemberut. "Why? Tahun kemarin Lo gak ikut gara-gara ikut lomba olimpiade Nasional, tahun ini apa lagi?"
"Mamaku baru nambahin jadwal les baru."
Anya tampak terkejut. "Are you serious?"
Karina mengangguk.
Anya masih ingin bertanya, tapi kedatangan Bu Tiara menyela mereka.
---
Malam itu, Karina menatap ke langit-langit kamarnya. Di luar sana, hujan kembali turun dengan deras. Dan dunia tetap berjalan seolah tak peduli, sementara di dalam hatinya, segala sesuatu terasa terhenti.
"Aku benci semuanya." Gumam Karina pelan, lebih seperti bisikan untuk dirinya sendiri.
Langit-langit kamarnya menatap balik tanpa ekspresi, seperti orang tuanya. Karina berbaring tanpa bergerak, selimut menutupi tubuhnya hingga dagu, namun dingin tetap menyelinap ke dalam tulangnya. Di layar ponsel yang menyala samar, ada pesan belum terbaca dari Nadine—sahabat penanya sejak SMP. Namun Karina terlalu letih, bahkan untuk sekadar mengetuk layar dan membalasnya.
---
Hari-hari Karina terasa begitu monoton. Sekolah. Belajar. Bimbel. Pulang. Ulang. Semua seperti roda yang dipaksa berputar tanpa jeda. Bahkan saat ia merasa ingin berhenti, ia tidak tahu bagaimana caranya tanpa merusak semuanya.
“Aku nggak tahu siapa diri aku lagi,” ucapnya pelan, suaranya tercekat.
Ia mulai meragukan segalanya. Apakah dirinya memang pantas di jalur ini? Apakah dirinya hanya sekadar produk dari ambisi orang tuanya? Ia bukan anak yang tidak bersyukur, tapi mengapa beban ini terasa begitu berat, sampai ia bahkan tak bisa bernapas?
---
Sepulang sekolah, Karina tak langsung pulang. Ia memilih ke perpustakaan umum kota, tempat yang jarang dikunjungi siswa SMA. Di sana, ia duduk di sudut paling sepi, membuka buku sastra klasik yang bahkan tak benar-benar ia pahami.
Ia hanya ingin diam. Ingin punya ruang untuk bernapas. Di rumah ia harus sempurna. Di sekolah ia harus menjadi panutan. Di mana tempat untuk dirinya sendiri?
Di sela halaman buku, ia menulis di kertas bekas jadwal pelajaran:
"Kenapa hidupku seperti skrip yang orang lain tulis? Aku mainkan peran, tapi tak tahu siapa tokoh utamanya."
---
Hari Sabtu, Karina berbohong untuk pertama kalinya.
“Mau ikutan bimbel tambahan,” katanya pada Ibunya.
Padahal ia pergi ke taman kota, hanya untuk duduk sendirian di bangku kayu sambil memperhatikan keluarga-keluarga yang piknik atau anak-anak kecil yang bermain gelembung sabun dengan lagu-lagu Seventeen yang terus mengalir dari earphonenya.
Ia memperhatikan seorang anak perempuan kecil yang tertawa lepas saat ayahnya menggendongnya. Karina menggigit bibir, menahan sesak yang mulai naik ke dadanya.
Ia membuka handphone menuliskan catatan:
"Kalau aku bisa memilih ulang hidupku, aku pengen jadi anak kecil itu. Yang bisa tertawa, berlari, dan tahu kalau dirinya dicintai tanpa syarat."
---
Beberapa minggu kemudian, sekolah mengadakan konseling rutin.
Psikolog sekolah—Bu Lestari—mengajak Karina bicara. Mungkin karena laporan wali kelas yang mulai merasa Karina tampak "kurang fokus".
“Kamu kelihatan lelah, Karina. Apa kamu mau cerita?”
Karina tersenyum. Sopan. Seperti biasa. “Saya baik-baik saja, Bu.”
"Kadang 'baik-baik saja' itu cuma versi aman dari 'aku takut hancur'," kata Bu Lestari lembut.
Kalimat itu menempel di kepala Karina. Mengikutinya bahkan sampai di rumah, bahkan sampai ia menatap langit-langit kamar malam itu. Ia menuliskannya dalam buku diary-nya, lalu menambahkan:
"Mungkin aku lelah bukan karena harus berlari, tapi karena tak tahu ke mana arahku."
---
Minggu pagi, Karina bangun lebih awal dari biasanya. Ia berlari kecil keliling kompleks tanpa tujuan jelas. Udara pagi menyapa wajahnya, dan untuk sesaat, ia merasa bebas.
Tentu, tekanan itu belum hilang. Tugas-tugas tetap menumpuk. Orangtuanya masih sama. Tapi hari itu, Karina merasa ada ruang kecil dalam dirinya yang berhasil ia buka. Ruang untuk dirinya sendiri. Ruang untuk merasa cukup, tanpa harus sempurna.