Part 2. Kontroversi Satuan
Pagi sekali, rumah yang Sheina tempati bersama keluarganya sangat ricuh sekali. Seperti ayah Sheina yang mencak-mencak mencari dasi tapi tidak ketemu-ketemu, atau mama-nya yang mendadak jadi teko siul mengomentari ayahnya yang sama-sama berisik. Sheina pernah bilang nggak sih, kalo dia punya adek cewek yang kelakuannya itu lempeng banget, sebelas dua belas dengan Lando? Jika belum, lihatlah kelakuan bocah satu itu.
Sebut saja namanya set— tidak Sheina bercanda. Nama adiknya adalah Niana, diantara hiruk-pikuk kegiatan orang-orang rumah, adiknya yang satu itu malah melahap sarapannya dengan tenang. Membuat Sheina yang keriwehan hilir mudik mencari sepatunya yang kemarin dipinjam Niana menggerutu berkali-kali.
"Niaa! Disimpan di mana, sih?! Enggak ketemu nih, bantuin-bantuin kek! Bekas minjem kamu juga!" Sheina menutup pintu tekas dengan kencang, yang berhasil membunyikan teko siul di rumahnya lagi.
"Aku bilang di rak sepatu Kak, Kakak nggak lihat apa?"
Bukannya beranjak, Niana malah asik menikmati sarapannya. Entah dosa besar apa yang Sheina perbuat hingga memiliki adek modelan begitu, tidak punya hati. Pagi ini Sheina kesiangan setelah semalaman belajar fisika setengah mati, Lando benar-benar menguras tenaga dan otak Sheina dari sore hingga menjelang malam.
Sebenarnya, pukul tujuh sore juga Lando sudah kembali pulang ke rumahnya, tapi Sheina yang keasikan mengerjakan soal malah bablas hingga tengah malam. Alhasil paginya dia bangun pukul enam dengan kelopak matanya yang memilki gadis melingkar sedikit gelap.
Tahu alasan Sheina asik mengerjakan soal? Soalnya mudah, hanya menghitung angka penting, kemudian mengubahnya ke dalam sepuluh pangkat. Sheina mendadak suka materi notasi ilmiah karena menurutnya itu mudah. Padahal, yang Lando ajarkan bukan notasi ilmiah—maksudnya, materi intinya bukan itu— tapi berhubung yang masuk ke kepala Sheina cuma itu ... ya, tentu saja itu yang harus Sheina pelajari bukan?
"NIANA! SPEATUNYA KENAPA KOTOR BANGET?!" Sheina yakin, tanpa perlu tes MBTI, adiknya itu punya salah satu huruf T. Ya, Sheina yakin, tidak mungkin ada huruf F di MBTI-nya!
"Lah, kan bekas pake Kak, kemarin juga hujan. Aku lupa buat lap dulu sebelumnya," balas Niana yang wajahnya seperti tidak punya dosa sama sekali. Polos, bersih, murni, mulutnya kayak tai.
Dengan kepala yang sudah mendidih karena kesal bukan main, Sheina menyimpan sepatu tersebut di depan pintu, ia sendiri buru-buru kembali masuk ke kamar untuk segera mengganti baju tidurnya dengan seragam sekolah. Mandi? Apa itu mandi? Saat genting begini, mandi tidak diperlukan. Yang penting Sheina wangi.
Walaupun pada akhirnya Sheina tahu dia akan kesiangan, Sheina tetap pergi ke sekolah, dengan keadaan tanpa mandi, mata masih sedikit berat, perut keroncongan minta diisi. Dan berdirilah Sheina di sini, di depan ruang guru yang saat pagi hari, matahari menyoroti ruangan itu dengan suka rela. Ya, Sheina dijemur di sana alih-alih hormat di depan tiang bendera. Alasannya sederhana, benderanya telah diturunkan karena kemarin hujan.
Selain itu, penderitaan Sheina pagi ini belum berhenti. Dua teman jeniusnya tengah menatap Sheina dengan tatapan yang ... entahlah Sheina tidak tahu.
"Kenapa kalian di sini, sih?" tanya Sheina yang lelah memilih diam karena dipelototi temannya.
"Kan gue udah bilang, abis nganterin tugas catatan ke meja bu Isa. Eh, malah lihat lo di sini," ujar Rima yang sudah berkacak pinggang penuh peringatan.
Sheina meringis pelan, berada di depan ruang guru karena dihukum itu benar-benar memalukan, ini kali pertama Sheina berdiri di sana. Biasanya ia hanya melihat beberapa siswa lain berdiri dengan gabutnya, bahkan ditegur atau disapa guru saja tidak. Dan Sheina kini mengalaminya, bedanya kedua teman Sheina ini memandangi Sheina penuh penghakiman.
"Ini gara-gara Lando tau! Dia kemarin ke rumah gue, belajar fisika sampe gue capek banget!" balas Sheina menuduh-nuduh Lando, padahal jelas-jelas yang salah dirinya.
"Gue sekitar jam tujuh malem udah pulang, Shei. Keasikan belajarnya, ya?" sahut Lando dengan senyuman miring yang sumpah wajah dia berubah nyebelin.
Sheina mencebik, Lando tidak salah ia alasan saja tadi. Lagipula ucapan Lando barusan tidak ada salahnya, ya karena Sheina benar-benar keasikan belajar.
Setelahnya, Sheina memilih diam dan fokus berdiri tanpa melakukan apapun di sana. Lando dan Rima pun sudah berlalu untuk kembali ke kelas. Sheina harus berdiri di depan ruang guru sampai jam istirahat pertama. Penyiksaan yang sempurna.
Tahu begini, dihukum di depan tiang bendera lebih baik daripada di depan ruang guru. Sheina harus menahan malu dua kali lipat saat guru-guru berlalu keluar masuk, menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan, lalu diabaikan. Ternyata terlambat datang sekolah kemudian di hukum itu tidak enak! Apalagi tadi guru fisika favoritnya tidak menatap Sheina sama sekali, Sheina takut itu merusak reputasinya selama sekolah di sini. Ditambahkan, niat Sheina tahun ini ingin ikutan olimpiade. Mati ini, mah!
Tapi satu sisi, Sheina ingin menyoraki bagaimana kondisi tubuhnya yang tidak merasa lemas walaupun berdiri sangat lama. Apalagi seraya disinari cahaya matahari yang pagi ini lumayan terang. Sepertinya matahari ingin balas dendam karena hujan pagi hari kemarin membuatnya tidak bisa bersinar seperti biasanya.
Kini, Sheina tengah merebahkan kepala di atas meja dalam kelas. Tepat setelah bell istirahat berbunyi, Sheina langsung izin kepada guru piket yang memantaunya untuk memasuki kelas. Rima mengomelinya kenapa bisa sampai kesiangan, dan Lando dengan setia mengipasi Sheina menggunakan buku catatan entah milik siapa.
"Jadi gimana? Pengalaman dihukumnya enak?" tanya Rima sarkas. Rima bisa sangat menyebalkan jika berhubungan dengan hal yang menurutnya itu tidak disiplin.
"Enak banget! Udah ah, berisik." Sheina menggerakkan tangannya mengusir Rima. "Lan, kipasi deket leher dong, gerah banget."
Dan anehnya, Lando menurut saja. Mukanya yang lempeng itu membuat Rima menganga tidak percaya, Lando yang biasanya mengomeli Sheina karena tidak pernah mengerti belajar fisika, kini iya-iya saja disuruh mengipasi.
"Dasar bocah prik! Gue mau ke kantin, siapa yang mau ikut?"
"Gue bawa bekal," jawab Sheina.
"Elo Lan?"
"Sama," jawab Lando yang kini akhirnya berhenti mengipasi Sheina. Dia beralih ke bangku belakang, mengambil kotak bekal dan menaruhnya di meja Sheina.
Setelah berpamitan, Rima benar-benar pergi ke kantin setelah mengajak temannya yang lain. Sementara Sheina dan Lando memilih menghabiskan bekal makanan mereka dalam diam, dengan Lando yang fokus memainkan ponselnya, dan Sheina yang sibuk sembari mencatat.
"Lan, ini kenapa nilai pangkatnya jadi berkurang?" tanya Sheina karena bingung mengapa soal matematika yang dikerjakannya membuat angka pangkat diatasnya berubah.
Dan Lando menjelaskan alasannya.
Begitu terus hingga makanan mereka akhirnya habis. Sheina menutup kotak bekalnya yang sudah kosong, menoleh pada Lando yang kini mulai berkutat bersama buku catatan. Sheina tebak, Lando tengah mengerjakan latihan soal fisika, terlihat dari rumus dan angka-angkanya.
"Itu soal apa, Lan?" tanya Sheina penasaran, ia mencondongkan kepalanya untuk membaca penyelesaian soal Lando yang selalu diberi keterangan di tiap langkahnya.
"Soal Olimpiade tahun lalu." Ya kalau itu Sheina tahu, orang dari modul yang Lando buka saja sudah terlihat.
"Maksud gue materinya Lan, bukan sumber soalnya." Sheina memutar bola mata malas, akhirnya ia menjauhkan kepala dan memilih meneguk airnya kembali.
"Oh, materi Usaha dan Energi. Mau nyoba?"
Kata keramat Lando saat Sheina menanyakan jenis soal atau materi itu pasti 'mau nyoba?', padahal Sheina hanya penasaran bukan benar-benar ingin mengerjakannya. Seperti sore kemarin saat Lando tiba-tiba datang karena ia iseng bertanya tentang satu jenis soal. Ingatkan Sheina suntuk tidak. ertanya hal serupa ke depannya.
"Mau deh, biar kemampuan fisika gue sekelas lo," jawab Sheina dengan lagak sombong yang memang sudah mendarah daging.
Akhirnya, mereka berdua menghabiskan sisa jam istirahat dengan mengerjakan soal fisika. Meski sesekali Lando menipiskan bibir karena kesal, Sheina tidak peduli. Karena menurutnya ini lumayan menyenangkan, menantang, dan ... mendebarkan. Bukankah itu tanda jatuh cinta?
"Ini kenapa jadi 72 ribu aja? Lo konversi nilai kecepatan, 'kan?" tanya Lando seraya memijat pangkal hidungnya pelan. Bibirnya menipis lagi.
"Iyalah, kan 72 km dikali seribu," jawab Sheina yang kini kebingungan. Ia tadi mengerjakan soal GLBB karena kata Lando Usaha dan Energi pelajari nanti saja.
"Gue tanya, satuan kecepatan itu apa?"
"Meter per detik?"
Lando mengangguk membenarkan, dia menaikkan kacamata yang bertengger lebih rendah dari biasanya. "Ada satuan apa aja di sana?"
"Hah?" Sheina tidak mengerti maksud Lando, tolooong!
Dan Lando kembali menipiskan bibir, tingkat kesabaran Lando sesuai dengan penipisan bibirnya. Semakin tipis bibirnya, maka semakin menipis pula kesabarannya. "Satuan jarak atau perpindahan apa?"
"Meter."
"Kalo satuan waktu?"
"Sekon atau detik."
"Satuan kecepat—"
"Kan tadi udah gue bilang, meter per detik Lando. Atau harus meter per sekon?!" Sheina mengacak rambutnya frustasi.
"Kan lo tahu satuan kecepatan meter per detik, kenapa lo konversi dari km per jam ke meter per detik jadi 72 ribu?" tanya Lando dengan nada yang kentara sekali ditahan, demi tetap berusaha sabar.
"Iya terus? Digiminain dong? Gue kan enggak tau." Sheina menatap Lando kesal sekarang.
"Waktu itu kita belajar mengkonversi satuan dari kilometer ke meter, begitupun sebaliknya, dari meter per detik ke kilometer per jam, lo lupa?"
Sheina terdiam, benar juga. Tapi sumpah yang Sheina ingat cuma dikali seribu! Dia pernah ngerjain soal mengkonversi satuan begini, tapi kenapa konversi satuan kecepatan malah salah? Entahlah Sheina pusing! Dia menutup bukunya dengan segera, memilih menelungkup di atas meja mengabaikan Lando yang sudah menghela napas pasrah.
"Harusnya lo bagi 72 ribu itu sama 3600. Kan satuan kecepatan itu meter per detik, jadi lo harus kali nilai 72 sama seribu, terus dibagi sama 3600." Lando mulai mencatat apa yang ia jelaskan di buku catatan Sheina yang kembali dibukanya. "Lo masih inget nggak kenapa nilai dari kilometer ke meter seribu?"
Sheina yang mendengarkan penjelasan Lando beserta pertanyaannya mengangkat kepala dengan perlahan, mulutnya gatal sekali ingin menjawab. "Karena turun tiga tangga."
"Terus tahu kenapa dibagi 3600?"
Sheina berpikir lama, dia penasaran. Akhirnya meraih buku catatannya yang dipegang Lando. Sheina mulai menuliskan digit-digit angka di sana, mencari tahu. "Kecepatan itu meter per detik, berarti ... gue harus tahu nilai per detik dalam satu jam?"
Lando mengangguk yakin.
"60 detik itu satu menit, jadi ...," gumam Sheina yang mulai fokus mencoret bukunya lagi. "3600 itu jumlah detik dalam satu jam."
"Lo bagi dah itu, 72 ribu sama 3600. Dapet berapa?"
Sheina menurut, dia mulai fokus membagi angka-angka yang tertera di sana tanpa menggunakan kalkulator. Membutuhkan waktu yang cukup lama karena ia bukan Lando ataupun Rima yang kemampuan hitung-hitungannya sudah di luar nalar.
"Jadi 20 ... 20 meter per detik?" Sheina mengangkat kepalanya dengan antusias. Kini angka tersebut terlihat normal dibanding tadi yang ... nilainya terlalu besar.
Lando memberikan senyuman lebar seraya mengacungkan jempolnya.
Apa yang dilakukan Sheina? Seperti biasa bocah satu itu tersenyum bangga, mengangkat alis, bersedekap dada. Kali ini ada tambahan sedikit, dia menyelipkan sebagian rambutnya ke belakang telinga dengan penuh gaya. Hal itu berhasil membuat Lando tergelak pelan.
"Sekarang lo kerjain soal tadi sampe selesai, udah dapat nilai kecepatan yang udah dikonversi, 'kan?"
Dasar kanebo kering!
Dan saat itu juga senyuman bangga Sheina berhasil luntur, menyisakan kedutan-kedutan kecil di bibirnya yang ingin sekali mengumpati Lando habis-habisan! Maka dengan kesal, Sheina tetap mengerjakan soal yang Lando beri itu dengan telaten. Seharusnya tidak sesusah itu sampai Sheina harus bertanya pada Lando, dia malas untuk bertanya-tanya pada makhluk satu itu.
"Gue tahu lo lagi kesel, mungkin lagi anjing-anjingin gue. Tapi beresin dulu soalnya, nanti gue traktir cilok di depan, extra bumbu kacang."
Cilok extra bumbu kacang! Siapa yang menolak? Meskipun ucapan Lando terlalu hiperbola mengatakan dia anjing-anjingin Lando, yang penting traktiran cilok tetap jalan. Cilok extra bumbu kacang, tunggu Sheina!
Maka dengan kecepatan turbo dan kesadaran yang penuh Sheina segera memberikan hasil jawaban yang sudah Sheina kerjakan dengan sepenuh hati kepada Lando untuk diperiksa. Tapi kemudian—
"Shei? Masa mobilnya diperlambat tapi tanda percepatan positif, sih?" Bibir Lando kembali menipis.
Ini Sheina salah mulu, deh? Heran. Apa Lando cuma jahil aja kali? Atau memang Sheina-nya saja yang agak-agak? Tapi sumpah! Dia ngerjain dengan sepenuh hati tadi, sudah sangat begitu teliti! Mengapa tetap salah, sih?!
#TBC