Cinta pertamaku punya sepatu paling bersih di kelas. Setiap pagi, sebelum pelajaran pertama dimulai, ia menyemirnya pelan-pelan sambil bersenandung kecil. Aku duduk di belakangnya dan pura-pura memerhatikan papan tulis, padahal diam-diam menghitung jumlah bintang di ranselnya yang sudah mulai pudar.
Ia tidak pernah tahu: aku sengaja membawa pensil tumpul setiap hari. Supaya bisa meminjam rautannya.
Kadang aku bahkan mematahkan pensil itu dua kali, agar bisa pinjam dua kali. Dan setiap kali ia menyodorkan rautannya tanpa banyak bicara, aku merasa jadi murid paling beruntung di dunia.
Cinta pertama itu seperti pensil HB: mudah patah, tapi tulisannya tetap abadi di halaman-halaman buku catatan yang kini kusimpan di laci paling bawah.
Di sana juga ada kertas ulangan fisika yang pernah kutitipkan coretan kecil: "Aku suka caramu menoleh." Tapi ia tidak pernah membacanya. Ulangannya dapat nilai 100, dan aku? Dapat kenangan.
Sekarang, sepatu sekolahku sudah lama pensiun. Tapi kalau mencium bau semir sepatu di pagi hari, kadang-kadang aku masih teringat dia dan pensil HB-ku yang tak pernah benar-benar ingin diraut.