"Beberapa nama tidak mati saat dilupakan. Mereka hidup dalam ruang di antara sunyi dan ingatan, menunggu seseorang cukup berani untuk menyebutnya lagi."
Setiap kali aku membuka jendela di Solita, angin yang datang membawa suara yang tak selalu bisa dijelaskan. Bukan derit atau desir biasa—tapi gema samar dari suara yang pernah memanggil namaku ketika aku kecil. Suara itu, kini, tidak lagi menakutkan.
Ada masa ketika aku ragu. Tentang Ethan. Tentang Eden. Tentang diriku sendiri. Tapi kini aku tahu, yang paling penting bukan apakah mereka nyata menurut dunia, tapi apakah aku telah memberi mereka ruang untuk hidup kembali dalam cara yang bisa dipercaya oleh hati.
Di ruang arsip Solita, aku menyimpan semua yang tak bisa dipublikasikan. Surat-surat, kliping yang dihapus, rekaman mimpi yang hanya kumengerti sendiri. Bagi orang lain, itu mungkin delusi. Tapi bagiku, itu jejak.
Ethan memang tak pernah berdiri di hadapan dunia. Tapi ia berjalan di sisiku dalam cara yang lebih halus—dalam keberanian untuk mengingat, dalam keputusan untuk tidak mengingkari apa yang pernah kurasakan, sekacau apa pun bentuknya.
Eden? Ia tak pernah menangis. Tapi ia menunggu. Dan kini, ia telah punya nama. Sebuah tempat. Sebuah pohon rambutan yang akhirnya kembali berbunga.
Dan aku?
Aku tidak lagi mencari jawaban mutlak. Karena aku telah menemukan satu hal yang lebih penting dari kebenaran: penerimaan.
Jika kamu pernah bertanya, “Apakah semua ini sungguhan?”
Maka jawabanku adalah:
Tidak perlu nyata untuk menjadi benar.
Dan jika suatu saat kamu bermalam di Solita, dan merasakan seseorang duduk diam di sebelahmu saat kamu membaca, atau mendengar ketukan pelan di jendela saat hujan turun—jangan takut.
Itu bukan hantu.
Itu hanya kenangan, yang akhirnya menemukan rumah.