Namaku Daniel Van Der Maes-Sutrisno. Orang mengenalku sebagai simbol keberhasilan generasi baru dari keluarga Van Der Maes. Anak lelaki yang lahir "tanpa kekurangan" dari garis keturunan yang dihantui kelemahan, kegagalan, dan kematian dini.
Aku dibesarkan untuk menjadi pewaris. Bukan hanya pewaris kekayaan, tapi juga pewaris ilusi. Ilusi bahwa kutukan keluarga bisa ditebus dengan keajaiban buatan.
Sejak kecil, tubuhku lemah. Setiap langkahku diawasi, setiap batukku diperiksa, setiap waktu makanku dicatat. Tidak ada luka yang boleh dibiarkan. Tidak ada napas yang boleh tersendat. Ayahku, Brandon, memutuskan bahwa aku adalah anak yang akan membuktikan bahwa garis ini bisa dilanjutkan. Apa pun caranya.
Aku tidak tahu kapan tepatnya proyek "cadangan" itu dimulai. Tapi sejak aku mulai mengerti ucapan orang dewasa, aku sering mendengar kalimat seperti: "Pastikan objek utama tetap stabil." "Donor harus dijaga sterilitasnya." Aku tidak paham, dulu. Aku hanya anak yang sering sakit, sering dibawa ke tempat yang sunyi dan jauh dari ibukota. Salah satunya, rumah istirahat kami di Cisarua Lama.
Di sana, aku bertemu Mari.
Dia tidak seperti perawat-perawat lain. Ia tak memegang clipboard atau mengenakan jas putih. Ia mengikat rambutnya dengan pita polos, mencuci tangannya sebelum menyentuhku, dan saat berbicara, ia seperti bicara pada anak kadungnya, bukan “tuan muda”. Tangannya lembut, suaranya pelan. Ia membacakanku buku, membuatkan kue kecil dari tepung yang dibawanya sendiri, dan memelukku saat malam turun terlalu dingin.
Tapi ada hal yang aneh.
Kadang, saat memelukku, Mari akan terdiam lama. Seolah mencari sesuatu. Seolah berharap ada sesuatu dari tubuhku yang bisa menyalakan kembali kenangan. Aku merasa hangat, tapi sekaligus seperti... kosong. Lalu aku menyadari: ia tidak mencari aku. Ia mencari jejak seseorang dalam diriku. Seseorang yang aku tidak kenal. Tapi Mari mengenalnya sangat baik.
Menjelang ulang tahunku yang ketujuh, aku melihat Mari berdiri lama di depan lukisan potretku yang baru selesai digantung. Wajahnya sedih. Matanya menyimpan sesuatu yang tak bisa dikatakan. Setelah ia pergi, aku penasaran dan mendekati lukisan itu. Di belakangnya, aku menemukan secarik kertas kecil.
"Di balik wajah yang mereka banggakan... tersembunyi anak yang tak pernah mereka akui."
Jantungku seperti berhenti sejenak.
Malam itu aku mulai menggeledah ruang kerja ayah. Aku tak tahu apa yang kucari, tapi kutemukan kunci tua dan lemari besi yang kosong. Suatu malam, aku mendengar pelayan-pelayan berbisik. "Objek cadangan harus diamankan menjelang prosedur besar." Aku mengikuti mereka. Lalu kutemukan kamar rahasia di seberang kamarku. Di dalamnya, seorang anak laki-laki duduk diam di ranjang logam.
Dia lebih muda. Wajahnya tenang, mata hazelnya menatap kosong ke dinding. Tapi ada sesuatu dalam dirinya yang... familier. Seperti bagian dari diriku yang selama ini hilang. Aku tahu, dia-lah yang dicari Mari.
Malam sebelum ulang tahunku, aku menyusun rencana.
Lewat ventilasi tersembunyi, aku menyelipkan surat:
"Kaburlah. Temui ibumu."
Tak hanya itu. Beberapa hari sebelumnya, aku mengirimkan surat pada Ayunda Retma, sepupuku, yang dulu pernah berkata bahwa keluarga kami dibangun dari darah dan pengorbanan. Di dalam amplop kecil itu, kuselipkan kunci mini berukir flamboyan yang kusulap menjadi jepit rambut—agar mudah disimpan tanpa menarik perhatian siapa pun.
Dalam surat itu kutulis: “Kau benar. Selalu benar. Ada anak lain yang disembunyikan di rumah ini. Dan aku sudah membebaskannya. Kau hanya perlu datang ke Indonesia, cari bukti, dan gunakan itu untuk mengklaim posisi pewaris keluarga. Karena aku tahu, Ayunda... kaulah yang sebenarnya pantas.”
Aku tak tahu apakah surat itu sampai tepat waktu. Yang kutahu, anak itu berjalan keluar. Bingung, takut. Tapi juga penasaran. Ia tidak tahu ke mana harus pergi. Tapi kata "ibu" membuatnya berjalan. Tanpa sadar, siluetnya terekam dalam satu foto perayaan. Foto yang kemudian dimuat oleh surat kabar lokal karena dianggap aneh.
Sementara orang dewasa mulai panik, aku berpura-pura ingin pergi memancing. Aku bilang, ulang tahunku tidak lengkap tanpa satu momen di air terjun.
Itu kesalahan terbesarku.
Aku tak tahu bahwa tubuhku yang rapuh tak mampu melawan arus deras. Aku terpeleset. Terbawa air. Panik. Tak bisa berenang. Aku ingat tangan Mari meraihku. Ia melompat tanpa ragu, memelukku, menyelamatkanku. Tapi batu-batu di dasar sungai terlalu tajam. Aku merasakan tubuhku tertarik. Dunia berputar. Lalu gelap.
Aku bangun di rumah sakit. Di Italia.
Ingatan tentang sungai, tentang Mari, tentang anak itu, semuanya kabur. Mereka bilang aku trauma. Mereka bilang Mari... sudah tidak bersama kita.
Aku hanya anak kecil waktu itu. Tapi tubuhku tak pernah sama. Jantungku melemah. Dan beberapa bulan kemudian, aku harus menjalani operasi transplantasi.
Sebelum aku dibius, aku melihat wajah seorang anak laki-laki.
Ia berdiri di sisi meja, dikelilingi orang-orang berseragam. Ia tak menangis. Hanya diam. Matanya kosong, tapi penuh luka yang tak punya suara. Mereka bilang setelah ini ia akan bertemu ibunya.
Aku ingin bicara padanya. Tapi tubuhku tak bisa digerakkan.
Gelap.
Hingga hari ini, tak seorang pun di keluarga kami pernah menyebut nama Mari lagi.
Ayunda akhirnya datang ke Indonesia. Mencari, menelusuri jejak surat dan kunci kecil itu. Tapi ia tak pernah berhasil menemukan anak atau ibu yang kusebutkan. Jejak mereka hilang. Tertelan oleh sistem yang terlalu lihai menyembunyikan bukti. Atau mungkin... mereka telah dikubur bersama rahasia keluarga kami.
Tapi aku ingat. Aku tahu.
Bahwa ulang tahunku yang ke-7 bukan hari yang pantas dirayakan.
Itu adalah hari ketika dua orang yang paling tulus dalam hidupku...
Dikorbankan.
Untuk membuatku tampak sempurna.