Pagi itu, sinar matahari merangkak pelan melalui jendela-jendela tinggi rumah lamaku — rumah yang dulu hanya menyimpan bisu dan kehilangan, kini berdenyut dengan kehidupan yang baru. Rumah lama keluarga kami, yang pernah menjadi saksi sunyi duka, kini diberi nama baru.
Solita Residen.
Sebuah guest house kecil dengan halaman luas dan jendela-jendela tinggi, bukan sekadar tempat singgah, tapi ruang untuk dikenang. Nama ini kuberi bukan hanya untuk mempercantik bangunan tua, tapi sebagai simbol warisan yang tak ingin hilang.
Dari surat Mari, aku tahu nama lengkap Eden adalah: Dietrich Erthen Solita.
“Yang Terlahir Sempurna Tapi Tak Pernah Dianggap Hidup.”
Dietrich, pemberontakan ibunya—“penguasa rakyat”, nama asing yang tak bisa dijinakkan.
Erthen, tanah, kehidupan yang mengakar.
Dan Solita, sunyi, yang terbiasa sendiri.
Nama itu lahir dari luka, tapi juga dari cinta yang berani melawan dunia yang tak mengerti.
“Jika dunia hanya memberimu dinding, jadilah tanah. Jangan biarkan mereka mengurungmu dalam nama yang bukan milikmu,” tulis Mari.
Aku ingin membalas pesan itu. Maka rumah ini kusebut Solita, agar Eden tahu: namanya tidak terkubur. Nama itu tumbuh, hidup, dan berakar kuat.
***
Solita Residen kini menjadi tempat bagi mereka yang kehilangan. Orang-orang datang bukan hanya untuk menginap, tapi untuk mencari. Mencari seseorang, sesuatu, atau bahkan diri mereka sendiri. Ada yang menangis di depan lukisan, ada yang duduk diam di taman belakang, mendengarkan angin yang membawa bisikan halus tak terjelaskan.
Mereka bilang tempat ini terasa ‘hidup’.
Beberapa bermimpi bertemu orang yang telah lama pergi.
Beberapa merasa pulang, meski tak tahu mengapa.
Mungkin itu Eden. Atau mereka yang pernah sunyi.
Solita bukan tempat suci. Tapi tempat yang jujur. Di sini, kami tidak mengusir hantu. Kami mendengarkan mereka.
Dan aku?
Aku menjaga.
Karena kadang, kebenaran tak perlu diumumkan. Cukup disimpan dengan hormat. Karena keadilan tak selalu harus mengguncang dunia, cukup menyentuh satu hati yang pernah terluka.
***
Tapi sebelum semua itu, sebelum cat dinding baru, sebelum lampu-lampu gantung dan pengunjung yang datang dari jauh, aku membangun dua nisan. Satu untuk Eden. Satu lagi untuk Mari. Keduanya berdiri berdampingan, di sudut halaman belakang yang tenang, di bawah pohon Rambutan yang lama tak berbunga.
Di batu nisan Eden, tertulis:
Dietrich Erthen Solita
Yang Tak Pernah Diakui, Tapi Selalu Ada
Pulang Dengan Nama
Di batu nisan Mari, tertulis:
Merilyn Dianne Solita
Yang Bertempur Tanpa Senjata
Ibu yang Tidak Pernah Lelah Menunggu
Tak ada jasad yang terbaring di sana, hanya tanah dan puing masa lalu. Tapi itu cukup. Karena kadang, yang kita butuhkan bukan tempat untuk berbaring, tapi tempat untuk dikenang.
***
Aku duduk di beranda, memandang bukit-bukit yang dulu jadi latar masa kecil kami. Aku merenung bukan hanya tentang kenangan, tapi tentang orang-orang lain yang punya luka tak tuntas. Aku ingin rumah ini jadi ruang aman bagi siapa pun yang pernah kehilangan.
Bersama penduduk desa dan sumbangan dari dosen serta kampus yang tersentuh kisahku, rumah ini direnovasi tanpa menghilangkan jati dirinya. Ruang-ruang tematik kubangun—ada kamar kenangan, perpustakaan mini berisi jurnal pribadi dan catatan penelitianku.
Di luar, taman belakang disulap jadi rumah kaca penuh bunga liar dan pohon kenangan. Orang-orang bisa menggantung surat atau benda kecil untuk orang yang dirindukan.
Setelah tugasku dipublikasikan dan menjadi sorotan media, pengunjung berdatangan. Teman kuliah, alumni, hingga masyarakat umum yang ingin berbagi kisah. Solita menjadi tempat terapi kolektif, healing retreat, dan ruang refleksi batin.
Anak-anak sekolah datang belajar sejarah lokal, membaca kisah Ethan dan aku, menonton dokumentasi, dan ikut seni edukasi. Beberapa hanya duduk di beranda, ngobrol dengan kenangan sambil menyeruput teh hangat dan biskuit resep ibuku—termasuk biskuit yang dulu kuingin hadiahkan ulang tahun Ethan yang kesembilan.
Mereka datang dengan lukisan, puisi, atau foto orang yang dirindu. Menatap lembah, membaca surat cinta masa lalu.
Aku mengelola semuanya dengan cermat, menjadi pemandu, pendengar, pencatat. Karena aku percaya: setiap cerita layak hidup, setiap kenangan berhak dikenang.
Dalam merawat kisah itu, aku memulihkan diriku sendiri.
Solita Residen bukan hanya rumah tua. Ia jadi tempat di mana kenangan hidup kembali. Tempat di mana cinta tak pernah benar-benar hilang, bahkan setelah kematian.
***
Kadang, keadilan tak datang lewat pengadilan atau sorotan kamera. Tapi lewat nisan kecil bertuliskan nama yang sempat hilang.
Kadang, seseorang tak perlu dikenal dunia untuk layak dikenang.
Kini, rumah ini menjagamu. Menjaga mereka yang datang membawa kenangan. Menjadi pelindung sunyi bagi hal-hal yang belum selesai.
Aku duduk di beranda, mendengarkan desir angin dan suara dedaunan yang saling bersentuhan. Di kejauhan, lembah tetap diam, seperti dulu, seperti selalu.
Tapi kini aku tahu, diam tak selalu berarti kehilangan. Diam bisa jadi bentuk cinta yang lain—yang menjaga tanpa memaksa.
Aku tak lagi mencari jawaban.
Aku tinggal di sini.
Untuk menjaga nama yang pernah terlupakan.
Untuk menyimpan surat yang tak pernah dibalas.
Untuk mendengarkan mereka yang tak pernah bersuara.
Dan mungkin... untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku tahu siapa aku.
Bukan lagi gadis yang kehilangan, tapi perempuan yang memilih tinggal.
Dan untuk kali ini,
aku tidak sendiri.