Malamnya, aku kembali ke rumah lamaku. Tempat segala kenangan dibiarkan menggantung seperti sarang laba-laba di langit-langit. Duduk di ayunan tua, rantainya berderit ringan di bawah pohon mangga yang tak lagi berbuah.
Di sana, di ujung bayangan, Eden muncul.
Tampak nyata namun juga seperti kabut.
Mata hazelnya, sama dengan warna liontin ini. Liontin miliknya… yang menggantung di leherku.
“Kau di sini...” bisikku.
Eden tersenyum tipis. “Aku baik-baik saja.”
Aku menatap lurus ke matanya, ingin marah, ingin menangis.
“Kau tidak marah? Kau dulu... penuh amarah. Penuh dendam. Kau membakar. Kau menjerit. Apa itu semua hilang?”
Eden menatap ke langit, sejenak diam.
Dan untuk pertama kalinya, ia menatapku bukan dengan luka, tapi dengan damai.
“Tidak... karena sesaat sebelum jantungku diambil untuk diberikan pada Daniel, seorang dokter membisikkan sesuatu di telingaku.”
Ia menunduk, matanya berkilat.
“‘Setelah ini, kau bisa menemui ibumu.’”
Aku terdiam.
“Aku tidak pernah punya ibu. Tidak benar-benar. Tapi kata itu... ibu... itu satu-satunya hal yang kubawa bersamaku ke dunia setelah mati. Satu-satunya hal yang membuatku tetap ada. Aku menunggu. Lama. Tapi tidak ada yang datang, dan aku tidak tahu ke mana harus mencari.”
Eden duduk di tanah, tangannya menyentuh rerumputan kering.
“Lama-lama, aku tak lagi sendirian. Ada anak-anak lain... yang seperti aku. Jiwa-jiwa yang juga diambil untuk alasan yang sama. Mereka bergabung denganku. Amarah mereka menjadi dagingku. Dendam mereka menjadi suaraku. Aku tak lagi tahu siapa aku. Wajahku kabur. Namaku hilang. Seperti legenda... seperti Gashadokuro... tulang-tulang dari mereka semua menempel dalam tubuh ini.”
Aku menahan napas, tenggorokanku terasa kering. Ini pertama kalinya kami berbicara seperti ini.
“Lalu kau datang.”
Ia menatapku, kini tubuh itu tak lagi kabur. Wajahnya kini jelas—begitu mirip dengan Ethan.
"Kau melihatku. Kau memberiku nama. Kau membuatku tahu, aku pernah diinginkan. Itu... menyelamatkanku."
Ia menarik napas perlahan, seperti menghela beban yang tak terlihat.
"Dulu aku ingin semuanya terbakar," Eden berbisik. "Agar mereka tahu rasanya dicuri dari dunia. Agar mereka takut."
"Tapi sekarang aku tahu... dikenali dunia bukan jaminan untuk dipahami. Aku tidak ingin menjadi luka yang dipamerkan. Aku hanya ingin dikenang oleh satu hati... yang tidak pernah melupakanku."
Aku terisak. “Kau masih ingin dunia tahu tentangmu?”
Eden menggeleng. “Tidak perlu. Aku sudah menemukan ibuku.”
Aku terdiam, dada sesak. Sesaat, aku ingin memaksakan dunia tahu tentangmu. Aku ingin dunia melihatmu, mengenalimu, bahkan jika itu berarti kau harus terluka lagi. Tapi aku tahu... itu bukan yang kau mau.
Rasa bersalah mengoyak dadaku—aku yang terlalu ingin dunia mengenal Eden, tapi ternyata aku malah ingin mengorbankan kedamaian yang dia raih.
Dan saat itu, angin lembut bertiup dari arah taman, membawa aroma samar bunga mawar liar dan tanah basah. Di bawah cahaya remang, sosok lain muncul di samping Eden—seorang perempuan dengan wajah tenang, rambut hitam bergelombang, dan sorot mata yang seperti memanggil.
Mari.
Ia tak berkata apa-apa. Hanya menatapku sambil tersenyum… dan mengangguk pelan ke arahku, seperti mengatakan ‘Terima kasih’.
Eden menoleh ke arahnya, lalu kembali padaku.
“Ia menunggu... bahkan ketika aku hampir menjadi api selamanya. Dan sekarang... aku tak sendiri lagi.”
Tangannya mengusap liontin giok yang entah sejak kapan terpasang padanya.
Dan malam itu, aku tahu:
Kadang, kebenaran tidak butuh panggung. Cukup satu hati yang mendengar.
Cukup satu janji untuk menjaga. Dan cukup satu rasa... untuk mengingat nama yang pernah dicuri dari dunia.
Eden. Kau sudah pulang.
***
Aku memutuskan untuk tidak membuka kasus Eden ke publik.
Bukan karena aku menyerah. Tapi karena aku memilih cara lain untuk bertarung.
Lintang benar—dunia terlalu kejam untuk menerima kebenaran ini dengan hati yang murni. Mereka yang terlalu berkuasa akan menyangkal, membungkam, dan menghapus jejak. Mungkin kebenaran itu hanya akan jadi bahan sensasi. Atau lebih buruk: dilahap, dikunyah habis oleh dunia yang lapar akan drama, lalu dilupakan begitu saja.
Tapi yang membuatku berhenti bukan ketakutan. Bukan pula kekalahan.
Aku hanya... ingin Eden berhenti menjadi api.
Ia telah cukup lama dibakar. Oleh dendam. Oleh kehilangan. Oleh tubuh yang diambil dan nama yang dicuri.
Jadi aku menyimpan semua dokumen itu—foto, surat, catatan Pakde Raka—dalam kotak kayu berukir yang dulu kutemukan di bawah tugu kecil itu. Aku menutupnya perlahan, seperti seseorang yang menutup luka, bukan untuk menguburnya, tapi untuk menyembuhkannya.
Lalu aku menguburnya kembali. Di tempat yang sama.
Tapi kali ini, aku menanam pohon di atasnya.
Bukan untuk melupakan. Tapi untuk mengakar. Untuk bertumbuh.
Karena aku percaya, ada bentuk lain dari keadilan.
Yang tidak berteriak, tapi tetap hidup. Yang tidak menghukum, tapi menjaga. Menjaga kenangan sebagai bentuk perlawanan paling setia.
Dan Eden, kini, hidup di taman itu.
Setiap sore, aku duduk di bawah pohon baru itu, membaca ulang surat Mari. Kalung liontin hazel menggantung di leherku, hangat seperti dulu.
Kadang aku merasa angin sore membawa suara tawa kecil—seperti gema yang tak hilang.
Aku tak tahu apakah dunia akan berubah. Tapi aku tahu: Eden telah menemukan rumah.
Dan aku telah memilih untuk menjadi penjaganya.
Bukan di panggung. Tapi di antara daun.
Di antara akar.
Di antara nama yang akhirnya diingat, meski hanya oleh satu hati.