Loading...
Logo TinLit
Read Story - Solita Residen
MENU
About Us  

Aku tidak tidur malam itu. Bukan karena takut, tapi karena aku tidak tahu lagi apa yang harus dipercaya.

Jam di ponsel menunjukkan pukul tiga lebih lima, tapi rasanya seperti waktu di rumah ini sudah berhenti sejak kemarin—sejak aku melihat bayangan itu berdiri di balik jendela.

Aku duduk di lantai kamar dengan punggung menyentuh tembok. Lampu kupadamkan sejak lama, tapi cahaya samar dari jalan masih menyelinap lewat kisi jendela. Cukup untuk melihat bentuk-bentuk kasar di ruangan. Cermin. Gantungan baju. Laci kecil. Dan kertas itu... masih ada di meja.

Sudah berkali-kali aku mencoba mengabaikannya. Sudah kucoba membuktikan bahwa gambar itu cuma ilusi. Tapi tiap kali kutinggalkan, entah bagaimana... kertas itu selalu kembali ke tempatnya.

Pagi menjelang seperti kabut. Tidak ada suara ayam. Tidak ada sinar matahari. Tapi langkah kaki terdengar dari dapur.

Kupikir itu Ibu. Tapi saat aku tiba di sana, dapur kosong. Tidak ada kompor menyala. Tidak ada gelas kotor. Bahkan sendok-sendok di rak tampak terlalu rapi. Sunyi seperti museum.

Lalu kudengar suara pelan, nyaris bisikan, dari ruang tengah:
"Bulan..."

Aku mematung.

Itu bukan suara Ibu. Suara itu lebih kecil. Seperti milik anak kecil. Tapi ada sesuatu yang tidak beres di nada suaranya. Seolah ia tidak memanggilku... tapi mengingatku.

Aku mendekat, perlahan. Ruang tengah remang, tapi cukup terang untuk melihat jam itu masih mati. Dua lewat dua.
Selamanya dua lewat dua.

Aku berdiri diam di depan jam itu, lagi. Dan di detik itu—seperti bisikan di belakang telinga—aku merasa ada seseorang berdiri di belakangku.

Aku menoleh cepat.

Tak ada siapa-siapa.

Tapi aku tahu aku tidak sendirian.

*****8*****Bagian Atas Formulir

Hari mulai benar-benar terang sekitar pukul tujuh. Ibu sedang menyiram tanaman di teras, seperti biasa, seolah malam tadi tidak pernah terjadi. Aku hampir bertanya apakah dia mendengar sesuatu—suara anak kecil, langkah kaki di dapur. Tapi kutelan pertanyaan itu.
Aku tidak siap menghadapi ekspresi khawatir di matanya lagi.

Setelah sarapan dan cuci piring, aku kembali ke kamar dan mengunci pintu.

Tanganku gemetar sejak tadi. Ada denyut asing di pelipis, seperti sesuatu yang ingin keluar dari kepalaku sendiri. Jantungku berdebar, bukan karena takut, tapi karena terlalu banyak yang tak bisa kupahami.

Aku duduk di lantai, menarik koper hitam dari bawah ranjang. Resletingnya seret, karena sudah terlalu sering dibuka dan ditutup sejak pindah dari Temanggung. Aku tahu apa yang kucari—kotak kecil plastik transparan, isinya sisa-sisa masa lalu yang tak pernah benar-benar kulepaskan.

Obat penenang. Lorazepam. Resep lama, dari masa ketika aku menjalani terapi skizofrenia. Tidak semua orang tahu. Bahkan Ethan... mungkin cuma tahu sedikit.

Kupindai isinya. Obat itu masih ada. Dua butir tersisa.

Aku menatapnya lama. Ada rasa malu yang aneh. Seolah mengaku pada diriku sendiri bahwa aku tidak pernah benar-benar pulih. Bahwa aku hanya belajar menyembunyikannya lebih baik.

Tapi sebelum sempat kuambil satu butir, aku melihat sesuatu yang lain. Di balik tumpukan baju dan buku, ada binder berwarna merah tua. Kertasnya sedikit lecek, ada noda tinta di tepinya.

Itu milik Ethan.

Aku menarik napas pelan, lalu membukanya.

Di dalamnya, surat-surat. Tulis tangan. Rapi, dengan tanggal di setiap sudut kanan atas. Surat-surat itu ditulis untukku, selama masa dia “menghilang” dan kami hanya bisa berkomunikasi lewat catatan dan suara di kepala kami masing-masing.

Sebagian besar pernah kubaca. Sebagian lain terlalu menyakitkan. Tapi ada satu yang belum pernah kubuka.

Satu amplop.

Tebal. Disegel dengan lilin merah tua. Capnya adalah kelopak flamboyan yang pernah kami lihat saat kecil di halaman belakang rumah nenek. Aku mengenali cap itu. Kami pernah membuatnya dari cetakan kayu, waktu bermain sebagai “penjaga rahasia”.

Tanganku bergetar saat menyentuhnya. Di atas permukaan amplop tertulis dengan tangan Ethan, miring sedikit ke kanan, huruf-hurufnya kecil dan hati-hati:

"Untuk hari ketika kamu benar-benar tahu siapa dirimu."

Aku menatap tulisan itu lama. Rasanya seperti sedang dipanggil dari dalam diriku sendiri. Bagian yang lebih tua. Lebih tahu.

Aku belum membukanya.

Belum.

Tapi aku tahu, ketika surat ini terbuka... aku tidak akan jadi orang yang sama lagi.

***

Aku tidak tahu sudah berapa lama duduk di lantai dengan amplop itu di tanganku. Cahaya sore mengendap pelan di jendela, berubah keemasan lalu memudar jadi abu-abu. Aku baru sadar Ayah memanggil dari luar kamar.

“Bul, lihat ini sebentar, deh.”

Aku menyimpan amplop di bawah bantal, lalu keluar.

Ayah sedang duduk di ruang kerja Pakde, membuka kembali album-album lama. Aku bergabung tanpa banyak bicara, berharap menemukan petunjuk, atau sekadar... sesuatu. Tapi yang kutemukan malah lebih mengganggu.

"Ini foto waktu Pakde KKN, yah?" tanyaku, melihat foto yang ayah perlihatkan padaku.

Sebuah foto hitam putih, pinggirannya mulai menguning. Di dalamnya, Pakde masih muda—rambutnya belum sepenuhnya gondrong seperti sekarang, tapi sudah mulai keriting di ujungnya. Ia duduk di kursi plastik, memegang tensimeter, memeriksa lengan seorang pasien wanita.

Di belakangnya, beberapa pria berdiri: dua di antaranya memakai jas laboratorium, kemungkinan besar dosen pembimbing dan petugas klinik. Seorang lagi memegang clipboard. Semuanya terlihat biasa saja—kecuali satu.

Wanita muda itu.

Dia duduk di kursi pasien, mengenakan rok panjang dan blus lengan tiga perempat. Kulitnya gelap, rambutnya hitam legam dan bergelombang sampai ke bahu. Senyumnya tipis, tapi sorot matanya tajam. Tidak seperti seseorang yang sedang sakit.

Dan entah kenapa, melihat wajahnya membuatku... tidak nyaman. Ada sesuatu yang tidak pas. Bukan karena dia asing—justru karena dia terasa familier, tapi aku tidak tahu dari mana.

“Siapa dia?” tanyaku pelan.

Ayah menggeleng. “Di balik fotonya cuma ditulis ‘KKN, tahun 1981. Desa Cisarua’. Gak ada apa-apa lagi.”

Aku membalik kertasnya. Benar. Tulisan tangan dengan spidol hitam. Tidak membantu.

Pakde Raka sedang duduk di kursi rotan di sudut ruangan, memandangi langit sore. Aku membawa foto itu ke arahnya.

“Pakde, ini siapa ya?” tanyaku, hati-hati.

Ia menyipitkan mata, menerima fotonya. Lama ia memandanginya, mengernyit.

“Wah, ini waktu aku KKN, iya... iya, di klinik desa waktu itu... Tapi…” Ia mengetuk-ngetuk sudut foto dengan kukunya. “Perempuan ini siapa, ya?”

“Pakde gak ingat?” aku dorong pelan.

Ia menggeleng. “Nggak. aku ingat nama dosenku, ingat Pak Joni dari puskesmas. Tapi dia ini... bukan warga lokal. Waktu itu belum banyak orang luar datang ke desa ini.”

“Dia bukan pasien?” tanyaku lagi.

Pakde memiringkan kepala. “Harusnya pasien. Tapi... anehnya, aku merasa dia bukan dari hari yang sama.”

Aku diam. “Maksudnya?”

“Entahlah. Kadang, ada foto yang lebih dulu datang daripada orangnya.”

***

Aku bawa foto itu ke kamar. Pelan-pelan, seperti takut menjatuhkan sesuatu yang jauh lebih rapuh dari kertasnya. Sinar senja sudah hilang saat aku menutup pintu, menyisakan cahaya pucat dari lampu meja di sudut ruangan.

Kutelungkupkan tubuh di atas ranjang, foto itu kuletakkan di depanku.

Aku menatap wajah wanita itu.

Entah kenapa, matanya terus menarik perhatianku. Bukan karena keindahannya—karena sejujurnya, ia tidak menatap ke kamera. Pandangannya sedikit ke samping, seolah sedang memperhatikan sesuatu di luar bingkai. Tapi tetap saja... sorot itu terasa hidup.

Aku memiringkan kepala. Mencoba mengira-ngira apa yang mungkin sedang ia lihat saat difoto. Mungkin Pakde sedang bercanda waktu itu. Mungkin ada anak-anak desa yang mengintip dari balik jendela. Tapi semakin lama kupandangi, semakin tidak masuk akal rasanya. Ada intensitas dalam sorot itu. Bukan tatapan biasa.

Aku memejamkan mata sebentar. Lalu membuka kembali.

Dan tanpa sadar, mataku beralih ke arah jendela kamar.

Jantungku berhenti sesaat.

Di luar, di balik tirai tipis yang menggantung setengah terbuka, seseorang berdiri.

Anak laki-laki itu.

Tubuhnya kurus, mengenakan kaus tipis dan celana pendek yang tampak kebesaran. Rambutnya lepek, seperti habis kehujanan. Tapi wajahnya... tetap kabur. Seolah ditutupi kabut tipis yang tak bisa dibersihkan oleh cahaya atau jarak.

Tapi matanya terlihat jelas.

Hazel. Coklat keemasan, seperti batu akik yang ditempa cahaya sore.

Cantik sekali. Tapi bukan itu yang membuatku terpaku.

Matanya tidak menatapku.

Ia menatap ke arah foto di tanganku.

Dan saat aku menyadarinya, sesuatu merambat naik dari perutku. Sebuah kesadaran yang dingin dan berat: anak itu tahu siapa perempuan dalam foto ini. Lebih dari itu—ia mengenalnya.

Aku berbalik perlahan ke arah gambar itu lagi.

Sorot mata si wanita masih sama. Tidak berubah. Tapi sekarang aku sadar: dia tidak sedang melihat seseorang di sana, melainkan seseorang di sini. Di sisi kamera. Di sisi tempat kita berdiri sebagai penonton. Dan untuk sesaat, ada koneksi aneh antara mereka—anak laki-laki di luar jendela, dan wanita di dalam foto.

Dan aku?

Aku hanya semacam jembatan. Atau pintu. Atau...

Bagian dari mereka.

Tanganku gemetar saat meletakkan kembali foto itu di meja. Tirai di jendela bergoyang pelan oleh angin malam yang entah datang dari mana.

Ketika aku kembali menatap ke luar, anak itu sudah tidak ada.

Yang tersisa hanya pantulan samar diriku sendiri di kaca jendela. Tapi bahkan itu... terlihat sedikit kabur.

Atau terlalu jelas?

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Fidelia
2065      887     0     
Fantasy
Bukan meditasi, bukan pula puasa tujuh hari tujuh malam. Diperlukan sesuatu yang sederhana tapi langka untuk bisa melihat mereka, yaitu: sebentuk kecil kejujuran. Mereka bertiga adalah seorang bocah botak tanpa mata, sesosok peri yang memegang buku bersampul bulu di tangannya, dan seorang pria dengan terompet. Awalnya Ashira tak tahu mengapa dia harus bertemu dengan mereka. Banyak kesialan menimp...
Loveless
5675      2929     604     
Inspirational
Menjadi anak pertama bukanlah pilihan. Namun, menjadi tulang punggung keluarga merupakan sebuah keharusan. Itulah yang terjadi pada Reinanda Wisnu Dhananjaya. Dia harus bertanggung jawab atas ibu dan adiknya setelah sang ayah tiada. Wisnu tidak hanya dituntut untuk menjadi laki-laki dewasa, tetapi anak yang selalu mengalah, dan kakak yang wajib mengikuti semua keinginan adiknya. Pada awalnya, ...
Bunga Hortensia
1610      68     0     
Mystery
Nathaniel adalah laki-laki penyendiri. Ia lebih suka aroma buku di perpustakaan ketimbang teman perempuan di sekolahnya. Tapi suatu waktu, ada gadis aneh masuk ke dalam lingkarannya yang tenang itu. Gadis yang sulit dikendalikan, memaksanya ini dan itu, maniak misteri dan teka-teki, yang menurut Nate itu tidak penting. Namun kemudian, ketika mereka sudah bisa menerima satu sama lain dan mulai m...
Time and Tears
234      184     1     
Romance
Rintik, siswi SMA yang terkenal ceria dan berani itu putus dengan pacarnya. Hal berat namun sudah menjadi pilihan terbaik baginya. Ada banyak perpisahan dalam hidup Rintik. Bahkan temannya, Cea harus putus sekolah. Kisah masa remaja di SMA penuh dengan hal-hal yang tidak terduga. Tak disangka pula, pertemuan dengan seorang laki-laki humoris juga menambah bumbu kehidupan masa remajanya. Akankah Ri...
Di Punggungmu, Aku Tahu Kau Berubah
1520      701     3     
Romance
"Aku hanya sebuah tas hitam di punggung seorang remaja bernama Aditya. Tapi dari sinilah aku melihat segalanya: kesepian yang ia sembunyikan, pencarian jati diri yang tak pernah selesai, dan keberanian kecil yang akhirnya mengubah segalanya." Sebuah cerita remaja tentang tumbuh, bertahan, dan belajar mengenal diri sendiri diceritakan dari sudut pandang paling tak terduga: tas ransel.
DocDetec
238      177     1     
Mystery
Bagi Arin Tarim, hidup hanya memiliki satu tujuan: menjadi seorang dokter. Identitas dirinya sepenuhnya terpaku pada mimpi itu. Namun, sebuah tragedi menghancurkan harapannya, membuatnya harus menerima kenyataan pahit bahwa cita-citanya tak lagi mungkin terwujud. Dunia Arin terasa runtuh, dan sebagai akibatnya, ia mengundurkan diri dari klub biologi dua minggu sebelum pameran penting penelitian y...
Sebab Pria Tidak Berduka
105      89     1     
Inspirational
Semua orang mengatakan jika seorang pria tidak boleh menunjukkan air mata. Sebab itu adalah simbol dari sebuah kelemahan. Kakinya harus tetap menapak ke tanah yang dipijak walau seluruh dunianya runtuh. Bahunya harus tetap kokoh walau badai kehidupan menamparnya dengan keras. Hanya karena dia seorang pria. Mungkin semuanya lupa jika pria juga manusia. Mereka bisa berduka manakala seluruh isi s...
Lost & Found Club
358      299     2     
Mystery
Walaupun tidak berniat sama sekali, Windi Permata mau tidak mau harus mengumpulkan formulir pendaftaran ekstrakurikuler yang wajib diikuti oleh semua murid SMA Mentari. Di antara banyaknya pilihan, Windi menuliskan nama Klub Lost & Found, satu-satunya klub yang membuatnya penasaran. Namun, di hari pertamanya mengikuti kegiatan, Windi langsung disuguhi oleh kemisteriusan klub dan para senior ya...
The First 6, 810 Day
578      417     2     
Fantasy
Sejak kecelakaan tragis yang merenggut pendengarannya, dunia Tiara seakan runtuh dalam sekejap. Musik—yang dulu menjadi napas hidupnya—tiba-tiba menjelma menjadi kenangan yang menyakitkan. Mimpi besarnya untuk menjadi seorang pianis hancur, menyisakan kehampaan yang sulit dijelaskan dengan kata-kata. Dalam upaya untuk menyembuhkan luka yang belum sempat pulih, Tiara justru harus menghadapi ke...
Switch Career, Switch Life
346      290     4     
Inspirational
Kadang kamu harus nyasar dulu, baru bisa menemukan diri sendiri. Therra capek banget berusaha bertahan di tahun ketiganya kerja di dunia Teknik yang bukan pilihannya. Dia pun nekat banting setir ke Digital Marketing, walaupun belum direstui orangtuanya. Perjalanan Therra menemukan dirinya sendiri ternyata penuh lika-liku dan hambatan. Tapi, apakah saat impiannya sudah terwujud ia akan baha...