Loading...
Logo TinLit
Read Story - Solita Residen
MENU
About Us  

Setelah menghabiskan cukup waktu untuk merenung dan menata pikiranku di bawah pohon flamboyan, aku melangkah masuk ke dalam rumah. Udara dalam rumah terasa hangat dan sedikit berdebu, namun ada aroma khas bunga melati kering yang seolah menetap di dinding-dinding tuanya. Ibu Rita sudah selesai menyapu dan merapikan rumah. Pantas saja meski rumah ini sudah lama kosong, namun tetap bersih. Rupanya Ibu Rita yang merawatnya.

Aku menghampiri beliau yang sedang menyeduh teh di dapur. Uap teh menguar pelan dari cangkir porselen yang diletakkannya di atas nampan. Ibu Rita yang menyadari keberadaanku menoleh dan memintaku untuk menunggu di ruang makan saja. Tak lama kemudian ia datang dengan nampan berisi dua cangkir teh dan sepiring biskuit.

"Jadi Rembulan, ada urusan apa kamu datang ke rumah ini? Aku tidak menyangka akan melihatmu lagi setelah kepindahan keluargamu. Terlebih di sini, di rumah ini."

Aku pun menjelaskan tujuanku datang ke sini untuk melakukan penelitian demi memenuhi tugas kuliahku. Sekaligus menemukan sedikit jawaban atas keanehan yang kurasakan tentang diriku sendiri, aku juga ingin mengenang masa kecil.

"Ibu, bisakah aku bertanya sesuatu?" kataku pelan, takut beliau tidak berkenan, karena setelah aku menyinggung perihal masa kecil, raut wajahnya berubah.

"Tentu saja Rembulan, ibu sudah bilang kita akan membicarakan semuanya hari ini kan? Apa yang ingin kamu tanyakan, Nak?" Ibu Rita menjawab dengan tenang meski ada sedikit getaran di matanya.

Aku terdiam sejenak sebelum akhirnya bertanya, "Bu... bagaimana Ibu bisa langsung mengenaliku kemarin? Bahkan mengatakan bahwa aku dulu sering bermain dengan Ethan? Sudah lama sekali sejak aku pindah dari sini, dan setahuku tidak ada warga yang mengenal Ethan sebelumnya."

Ibu Rita tersenyum samar, namun sorot matanya serius. "Karena aku ingat. Matamu, cara kamu tersenyum kaku saat gugup, bahkan caramu memanggil namaku dari pintu depan. Tidak banyak anak yang seperti kamu, Rembulan. Apalagi yang begitu dekat dengan Ethan. Kalian itu seperti saudara."

"Kau tidak ingat sama sekali, Rembulan?" suara Ibu Rita terdengar pelan namun mantap, seolah ia menyampaikan kebenaran yang telah lama ia simpan rapat-rapat.

Aku memandangi wajahnya yang mulai menua. Garis-garis halus di sekitar matanya tampak semakin dalam saat ia tersenyum getir. Di tangannya, secangkir teh menghangatkan telapak yang gemetar ringan.

Ibu Rita tersenyum tipis, lalu menatap mataku dalam-dalam.

"Ethan itu nyata. Kalian sering bermain bersama dulu, di halaman belakang rumah ini. Kadang-kadang kalian membangun tenda dari seprai tua, lalu pura-pura jadi penjelajah hutan. Aku sering mengintip dari jendela dapur, melihat kalian tertawa-tawa seperti dunia hanya milik berdua."

Seketika, seberkas cahaya muncul di dalam pikiranku—bayangan kain putih melambai-lambai di bawah sinar matahari, suara Ethan memanggil namaku dari balik tenda. Tapi bayangan itu lenyap secepat ia datang.

Aku menggeleng pelan. "Tapi aku benar-benar tidak ingat, Bu. Aku tahu aku pernah bermain dengan dia, tapi tidak ada yang pernah melihatnya, tidak ada yang mengenalnya. Ibu, jujurlah padaku, aku tidak apa-apa. Ibu tahu rumor tentangku kan, aku bisa melihat hantu, aku lebih percaya Ethan salah satu dari mereka."

Ibu Rita meletakkan cangkirnya, lalu membuka laci di lemari kayu dekat meja makan. Ia mengeluarkan sebuah kotak kecil berwarna biru langit. Di dalamnya, ada beberapa foto yang sudah menguning. Ia mengeluarkan dua lembar sekaligus dan meletakkannya di atas meja.

Yang pertama menampilkan seorang anak laki-laki berdiri di sampingku. Kami tersenyum lebar, berlumuran lumpur, tampak seperti habis bermain di tanah. Yang kedua adalah foto berwarna pudar namun masih cukup jelas. Tampak seorang anak laki-laki berambut coklat gelap, bergelombang halus, dengan kulit pucat yang hampir transparan. Matanya besar dan coklat kehijauan, menyiratkan keceriaan yang tenang. Senyumnya hangat, tapi ada sesuatu yang mengendap di balik matanya—seperti kesedihan yang tersembunyi rapi. Ia mengenakan sweter rajut tua dan duduk di pinggir jendela besar dengan cahaya sore yang menyinarinya dari samping. Di pojok kanan bawah tertera sebuah nama: Ethan S. Alviano.

Kemudian Ibu Rita mengeluarkan satu foto lagi. Kali ini, foto itu memperlihatkan Ethan kecil sedang bermain congklak di teras depan rumah besar di bukit itu. Di sampingnya duduk seorang anak perempuan—aku. Terlihat tawa di wajah keduanya, namun yang mencolok adalah infus yang terpasang di tangan kanan Ethan.

Aku menatap foto-foto itu dengan dahi mengernyit. Aku ingin mengingat, ingin merasakan kedekatan itu, namun bayangan di pikiranku masih kabur. Wajah Ethan dalam mimpiku selama ini samar, tak pernah benar-benar jelas. Melihat foto itu membuat hatiku nyeri—bukan hanya karena kejanggalan, tapi karena rasa kehilangan yang tak kumengerti.

"Aku... tidak ingat ini..." bisikku lirih.

"Itu karena tubuh dan pikiranmu terlalu kecil waktu itu untuk menyimpan luka sebesar kehilangan. Ethan sakit parah. Pneumonia akut. Ia hanya tinggal di sini sekitar empat bulan terakhir hidupnya. Tapi selama itu, kalian tak terpisahkan," jelas Ibu Rita.

Aku berdiri tiba-tiba, dada terasa sesak oleh dorongan yang tak bisa kutahan. "Tidak! Itu tidak masuk akal! Kalau dia nyata, kenapa tak ada catatan tentangnya? Aku membawa dokumen ini..."

Kugenggam map lusuh yang sudah kususun dengan rapi sejak beberapa hari lalu. Kutarik lembar demi lembar fotokopi tua.

"Ini silsilah keluarga Van Der Maes-Sutrisno yang kutemukan setelah melalukan sedikit pencarian. Keturunan terakhir yang tercatat hanyalah perempuan yang tidak menikah. Tidak ada Ethan. Dan ini..."

Kuangkat satu foto lawas—potongan koran yang mengabarkan kematian anak laki-laki keluarga Van Der Maes yang terjadi pada tahun 1987. Disebutkan bahwa ia diduga tenggelam di sungai, namun jasadnya tak pernah ditemukan. Di sudutnya, ada foto buram seorang anak lelaki. Wajahnya tidak bisa dikenali—terlalu rusak oleh waktu.

Ibu Rita memeriksanya dengan seksama, alisnya berkerut. "Seingatku itu foto Daniel Van Der Maes-Sutrisno. Dia sepupu Ayunda Retma, ibu Ethan, sekaligus anak yang ditunjuk untuk menjadi pewaris keluarga ini. Tapi sepertinya berita ini salah. Daniel jelas tidak meninggal di usia semuda itu. Memang ada kecelakaan yang terjadi pada tahun 1987, saat usia Daniel masih 7 tahun, tetapi dia berhasil selamat. Sosok dewasa Daniel bisa kamu lihat di berbagai situs internet. Dan jika kau ingin, kau bisa melihat-lihat dokumen yang tersimpan di rumah ini"

Ia menghela napas dalam. "Dokumen ini valid. Tapi ada hal-hal yang tak tercatat di atas kertas. Hal-hal yang tetap hidup karena dikenang, bukan karena ditulis. Ethan adalah salah satunya."

Aku menggigit bibir, mencoba menahan guncangan dalam dadaku.

"Kalau dia benar-benar nyata, kenapa dia tidak menolongku saat aku hampir hanyut di sungai?" tanyaku akhirnya, suara tercekat oleh emosi yang tak kumengerti.

Ibu Rita menatapku dalam, lalu menjawab pelan, "Karena dia tidak mampu, Nak. Tapi dia ada di sana. Ia melihatmu tergelincir dari kejauhan, dan karena tubuhnya sedang sangat lemah, ia tidak bisa langsung menolong. Namun ia berlari—berlari sekuat tenaga kembali ke rumah dan memanggil para pelayan. Saat mereka tiba di sungai, kamu sudah tidak ada di sana. Beberapa menit kemudian, kami mendengar kabar dari penduduk desa bahwa kamu sudah ditemukan oleh seorang warga dan dibawa ke klinik desa."

Aku membeku. Hatiku berdegup semakin kencang.

"Ethan ingin menyusulmu ke klinik. Tapi tubuhnya kolaps. Ia pingsan karena kelelahan, sekaligus mengalami serangan panik. Hari itu juga ia dilarikan ke rumah sakit. Setelah itu... dia tidak pernah kembali," suara Ibu Rita mengecil, nyaris seperti bisikan.

Aku terdiam, hatiku dihantam kenyataan yang lebih pahit dari penolakan. Rasa bersalah, kehilangan, dan bingung menyatu dalam gelombang yang sulit kutahan. Di kepalaku, sebuah kilasan muncul—seorang anak laki-laki berlari dengan langkah pincang di jalan setapak berbatu, meneriakkan namaku sambil terisak.

"Tapi kamu ada di sana, Nak. Kamu memang ada di sana," ucap Ibu Rita lembut, sambil meremas tanganku.

Di antara kebingungan, kegetiran, dan rindu yang tak terucapkan, aku hanya bisa memeluk foto itu—memeluk serpihan masa lalu yang perlahan mulai kembali, meski belum utuh sepenuhnya.

Dan entah kenapa, aku tahu ini baru permulaan.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
MANITO
1362      933     14     
Romance
Dalam hidup, terkadang kita mempunyai rahasia yang perlu disembunyikan. Akan tetapi, kita juga butuh tempat untuk menampung serta mencurahkan hal itu. Agar, tidak terlalu menjadi beban pikiran. Hidup Libby tidaklah seindah kisah dalam dongeng. Bahkan, banyak beban yang harus dirasakan. Itu menyebabkan dirinya tidak mudah berbagi kisah dengan orang lain. Namun, ia akan berusaha untuk bertahan....
Senja di Balik Jendela Berembun
23      23     0     
Inspirational
Senja di Balik Jendela Berembun Mentari merayap perlahan di balik awan kelabu, meninggalkan jejak jingga yang memudar di cakrawala. Hujan turun rintik-rintik sejak sore, membasahi kaca jendela kamar yang berembun. Di baliknya, Arya duduk termangu, secangkir teh chamomile di tangannya yang mulai mendingin. Usianya baru dua puluh lima, namun beban di pundaknya terasa seperti telah ...
Sendiri diantara kita
1246      719     3     
Inspirational
Sendiri di Antara Kita Arien tak pernah benar-benar pergi. Tapi suatu hari, ia bangun dan tak lagi mengingat siapa yang pernah memanggilnya sahabat. Sebelum itu, mereka berlima adalah lingkaran kecil yang sempurna atau setidaknya terlihat begitu dari luar. Di antara canda, luka kecil disimpan. Di balik tawa, ada satu yang mulai merasa sendiri. Lalu satu kejadian mengubah segalanya. Seke...
Lantunan Ayat Cinta Azra
988      609     3     
Romance
Perjalanan hidup seorang hafidzah yang dilema dalam menentukan pilihan hatinya. Lamaran dari dua insan terbaik dari Allah membuatnya begitu bingung. Antara Azmi Seorang hafidz yang sukses dalam berbisnis dan Zakky sepupunya yang juga merupakan seorang hafidz pemilik pesantren yang terkenal. Siapakah diantara mereka yang akan Azra pilih? Azmi atau Zakky? Mungkinkah Azra menerima Zakky sepupunya s...
Metanoia
50      43     0     
Fantasy
Aidan Aryasatya, seorang mahasiswa psikologi yang penuh keraguan dan merasa terjebak dalam hidupnya, secara tak sengaja terlempar ke dalam dimensi paralel yang mempertemukannya dengan berbagai versi dari dirinya sendiri—dari seorang seniman hingga seorang yang menyerah pada hidup. Bersama Elara, seorang gadis yang sudah lebih lama terjebak di dunia ini, Aidan menjelajahi kemungkinan-kemungkinan...
Fragmen Tanpa Titik
44      40     0     
Inspirational
"Kita tidak perlu menjadi masterpiece cukup menjadi fragmen yang bermakna" Shia menganggap dirinya seperti fragmen - tidak utuh dan penuh kekurangan, meski ia berusaha tampak sempurna di mata orang lain. Sebagai anak pertama, perempuan, ia selalu ingin menonjolkan diri bahwa ia baik-baik saja dalam segala kondisi, bahwa ia bisa melakukan segalanya sendiri tanpa bantuan siapa pun, bahwa ia bis...
Atraksi Manusia
514      380     7     
Inspirational
Apakah semua orang mendapatkan peran yang mereka inginkan? atau apakah mereka hanya menjalani peran dengan hati yang hampa?. Kehidupan adalah panggung pertunjukan, tempat narasi yang sudah di tetapkan, menjalani nya suka dan duka. Tak akan ada yang tahu bagaimana cerita ini berlanjut, namun hal yang utama adalah jangan sampai berakhir. Perjalanan Anne menemukan jati diri nya dengan menghidupk...
Deep End
46      43     0     
Inspirational
"Kamu bukan teka-teki yang harus dipecahkan, tapi cerita yang terus ditulis."
Time and Tears
302      234     1     
Romance
Rintik, siswi SMA yang terkenal ceria dan berani itu putus dengan pacarnya. Hal berat namun sudah menjadi pilihan terbaik baginya. Ada banyak perpisahan dalam hidup Rintik. Bahkan temannya, Cea harus putus sekolah. Kisah masa remaja di SMA penuh dengan hal-hal yang tidak terduga. Tak disangka pula, pertemuan dengan seorang laki-laki humoris juga menambah bumbu kehidupan masa remajanya. Akankah Ri...
God, why me?
213      173     5     
True Story
Andine seorang gadis polos yang selalu hidup dalam kerajaan kasih sayang yang berlimpah ruah. Sosoknya yang selalu penuh tawa ceria akan kebahagiaan adalah idaman banyak anak. Dimana semua andai akan mereka sematkan untuk diri mereka. Kebahagiaan yang tak bias semua anak miliki ada di andine. Sosoknya yang tak pernah kenal kesulitan dan penderitaan terlambat untuk menyadari badai itu datang. And...