Loading...
Logo TinLit
Read Story - Solita Residen
MENU
About Us  

Ketika punggung bukit Cisarua Lama menghilang di balik cangkokan kabut, aku menatap layar ponsel dengan jemari yang sedikit gemetar. Hari itu, aku dan keluargaku berkemas untuk pindah ke Temanggung, tempat keluarga kami sebenarnya berasal. Bukan karena pekerjaan, tetapi untuk merawat nenek dari pihak ibuku yang mulai renta. Rumah tua kami di Cisarua Lama pun dijual, menyisakan ruang kosong di hatiku yang belum sepenuhnya siap melepas.

Meski keluargaku menetap di Temanggung, aku sendiri diterima di sebuah universitas di Yogyakarta. Aku merantau sendiri, tinggal di asrama, dan memulai kehidupan baru sebagai mahasiswa. Pilihan jurusan Sastra dan Budaya membawaku pada banyak perjumpaan dengan dunia imajinasi—namun dalam ruang yang lebih terstruktur dan aman.

Hari-hariku berjalan tenang dan teratur. Aku terbiasa duduk di taman kampus dengan novel atau jurnal kecil. Sering kali aku ditemani Lintang, sahabat sekaligus teman diskusi yang kritis namun penuh perhatian, dan Dira, teman ekskul fotografi yang sering memotretku diam-diam lalu mengirim hasilnya lewat pesan singkat, menyelipkan pujian aneh-aneh seperti "cahayamu pas sekali" atau "punggungmu punya cerita."

Kami bertiga sering berbagi senja di kantin belakang kampus, saling mengejek puisi masing-masing, menertawakan makna yang terlalu rumit atau terlalu jujur. Aku tertawa lepas tanpa rasa takut ditatap aneh. Untuk pertama kalinya, aku merasa utuh.

Kadang-kadang aku berpikir: mungkin ini yang disebut bahagia. Tapi ada momen tertentu—di sela gelak tawa, atau saat pulang malam dan mendapati lampu kamar menyala sendiri—yang membuatku berhenti sejenak. Seperti ketika mendengarkan lagu lama dan menemukan satu nada yang sedikit miring. Bukan cukup kuat untuk disebut gangguan, tapi cukup terasa untuk membuat alis terangkat barang sedetik.

***

Tentang Ethan? Sudah lama tak melintas dalam benakku. Tak ada lagi suara bisik dalam kabut, tak ada lagi rasa bersalah yang menusuk diam-diam. Aku telah menempatkan Ethan di tempat yang damai dalam diriku—sebagai bagian dari masa kecil, sebagai sosok hantu seperti banyak lainnya yang dulu pernah kulihat, tanpa ikatan personal. Tidak kutolak, tapi juga tidak lagi kutunggu.

Malam-malamku diisi dengan menulis esai, menonton film dokumenter bersama Lintang, atau berburu langit malam bersama Dira. Kadang-kadang, salah satu dari mereka akan membuka obrolan ringan tentang hal-hal magis seperti lintasan mimpi, perasaan deja vu, atau cerita rakyat yang mereka baca di jurnal kampus.

Dulu aku mungkin akan menanggapi dengan gelisah atau terhanyut terlalu dalam, tapi sekarang aku hanya mengangguk, tersenyum, dan merespons dengan cara yang lebih rasional. Seolah aku adalah peneliti yang mempelajari cerita lama dengan kepala dingin, bukan lagi anak kecil yang tenggelam dalamnya.

Kadang, aku menyelipkan sesi konsultasi daring singkat dengan psikolog kampus—bukan lagi terapi intensif, hanya ruang kecil untuk menjaga kewarasan tetap selaras. Obat yang dulu sempat rutin diminum kini hanya tinggal catatan dalam riwayat medis. Dokter terakhir yang kutemui bahkan menyebutku "stabil dan adaptif". Kata-kata yang dulu terasa asing, kini mulai kupahami sebagai bentuk baru dari sembuh.

Sesekali, saat mengedit foto atau menyalin puisi, aku menyentuh jurnal lamaku, tapi tak merasa perlu membuka halaman yang lama. Namun entah kenapa, setiap kali tanganku menyentuh kulit sampulnya, selalu ada jeda singkat—seolah jari-jariku mengenali sesuatu yang belum rampung. Seolah bagian kecil dalam diriku masih menunggu sesuatu, meski aku tak tahu apa. Aku tak sedang menyangkal, hanya merasa tak perlu kembali.

***

Pada suatu sore, saat menunggu kelas dimulai, aku membuka galeri ponsel dan menemukan foto lama pohon flamboyan yang masih berdiri di tengah halaman rumah tua itu, sendirian. Aku tersenyum pelan. "Kadang, melihat saja sudah cukup," bisikku, sebelum layar ponsel padam dan suara dosen memanggil masuk.

Hari itu langit di Yogyakarta cerah, tapi dedaunan di taman depan fakultas bergerak seolah ada angin yang datang dari arah yang tak biasa. Dira sempat menoleh dan berkata, "Kok merinding ya, tiba-tiba." Aku hanya tertawa, padahal bulu kudukku sendiri berdiri sejenak tanpa sebab yang jelas. Kutepis.

Dalam mimpi singkat malam itu, kabut berbaur suara tawa seorang anak laki-laki. Aku terjaga, jantung berdebar, menatap langit-langit asrama. Sebuah rasa rindu samar menetes di hatiku—sebuah bisik bahwa masa lalu belum sepenuhnya pergi.

Aku tidak langsung memikirkannya. Aku menyibukkan diri keesokan harinya, menyapu gangguan itu ke bawah permadani aktivitas: kelas pagi, diskusi puisi, latihan fotografi. Tapi saat senja turun dan angin menerobos sela jendela kamar, bayangan pohon flamboyan itu kembali hadir. Bukan dalam bentuk trauma, hanya sebagai getar kecil dalam dada.

Beberapa tahun terakhir, sejak masa-masa akhir SMA hingga menjelang kepindahan ke Temanggung, aku memang sudah tidak lagi mengunjungi Danau Diam atau pondok bambu itu. Tidak lagi berdiri di bawah flamboyan sambil memanggil-manggil namanya. Aku tak merasa perlu. Bahkan ketika aku tahu rumah kami akan dijual, aku hanya sekali mampir ke halaman belakang untuk mengambil satu foto pohon flamboyan itu. Kupotret dengan tenang, tanpa air mata.

Aku rasa itu momen pertamaku menyadari bahwa aku telah mulai memindahkan Ethan dari ruang luka ke ruang damai. Ia bukan lagi sosok yang membelenggu, bukan sosok yang kurindukan dengan getir. Ethan tetap ada, tapi seperti potongan puisi yang sudah tak kubaca lantang—hanya kupeluk dalam hati sebagai bagian dari siapa diriku hari ini.

***

Penerimaan itu tidak terjadi dalam semalam. Ia tumbuh pelan, seperti kabut pagi yang mundur perlahan saat matahari naik. Awalnya terasa seperti pengkhianatan: bagaimana bisa aku melanjutkan hidup tanpa terus memanggilnya? Tapi kemudian aku sadar, aku tidak meninggalkan Ethan. Aku hanya meletakkan dia di tempat yang lebih layak—bukan di altar kesedihan, melainkan dalam bingkai kenangan yang sunyi dan hangat.

Jadi ketika mimpi itu datang—suara tawa dalam kabut—aku tidak merasa terseret. Aku hanya menatap langit-langit dan tersenyum kecil. Lalu kembali tidur. Besok masih ada kelas, dan aku ingin bangun dengan pikiran ringan.

Meski di balik kelopak tidurku, masih tersisa sesuatu seperti embun tipis—tidak dingin, tidak menusuk, hanya cukup untuk mengingatkan bahwa tidak semua yang telah selesai benar-benar hilang.

Beberapa hari kemudian, saat merapikan buku dan berkas di rak kamar, jari-jariku tanpa sengaja menyentuh jurnal lamaku. Sampulnya yang mulai lusuh masih terasa hangat di telapak tangan. Entah dorongan dari mana, aku membukanya ke halaman yang tak terkunci.

Di sana, tertulis puisi yang tidak kuingat kapan aku menulisnya:

"Ada yang tinggal di antara pagi dan kabut, Tak bersuara tapi tak pernah pergi. Bukan bayangan, bukan juga mimpi. Hanya gema yang tahu kapan harus kembali."

Aku membacanya tanpa sesak. Bahkan ada sedikit senyum yang muncul di ujung bibirku. Aku menutup jurnal itu dengan pelan, lalu meletakkannya kembali. Kali ini, tidak dalam laci, tidak di balik buku tebal lain. Tapi di meja kecil dekat jendela, di tempat yang bisa ku sapa setiap hari tanpa harus membukanya lagi.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
BestfriEND
43      37     1     
True Story
Di tengah hedonisme kampus yang terasa asing, Iara Deanara memilih teguh pada kesederhanaannya. Berbekal mental kuat sejak sekolah. Dia tak gentar menghadapi perundungan dari teman kampusnya, Frada. Iara yakin, tanpa polesan makeup dan penampilan mewah. Dia akan menemukan orang tulus yang menerima hatinya. Keyakinannya bersemi saat bersahabat dengan Dea dan menjalin kasih dengan Emil, cowok b...
Jalan Menuju Braga
464      358     4     
Romance
Berly rasa, kehidupannya baik-baik saja saat itu. Tentunya itu sebelum ia harus merasakan pahitnya kehilangan dan membuat hidupnya berubah. Hal-hal yang selalu ia dapatkan, tak bisa lagi ia genggam. Hal-hal yang sejalan dengannya, bahkan menyakitinya tanpa ragu. Segala hal yang terjadi dalam hidupnya, membuat Berly menutup mata akan perasaannya, termasuk pada Jhagad Braga Utama--Kakak kelasnya...
The DARK SWEET
705      502     2     
Romance
°The love triangle of a love story between the mafia, secret agents and the FBI° VELOVE AGNIESZKA GOVYADINOV. Anggota secret agent yang terkenal badas dan tidak terkalahkan. Perempuan dingin dengan segala kelebihan; Taekwondo • Karate • Judo • Boxing. Namun, seperti kebanyakan gadis pada umumnya Velove juga memiliki kelemahan. Masa lalu. Satu kata yang cukup mampu melemahk...
Sweet Like Bubble Gum
1354      912     2     
Romance
Selama ini Sora tahu Rai bermain kucing-kucingan dengannya. Dengan Sora sebagai si pengejar dan Rai yang bersembunyi. Alasan Rai yang menjauh dan bersembunyi darinya adalah teka-teki yang harus segera dia pecahkan. Mendekati Rai adalah misinya agar Rai membuka mulut dan memberikan alasan mengapa bersembunyi dan menjauhinya. Rai begitu percaya diri bahwa dirinya tak akan pernah tertangkap oleh ...
Smitten Ghost
210      172     3     
Romance
Revel benci dirinya sendiri. Dia dikutuk sepanjang hidupnya karena memiliki penglihatan yang membuatnya bisa melihat hal-hal tak kasatmata. Hal itu membuatnya lebih sering menyindiri dan menjadi pribadi yang anti-sosial. Satu hari, Revel bertemu dengan arwah cewek yang centil, berisik, dan cerewet bernama Joy yang membuat hidup Revel jungkir-balik.
Aku yang Setenang ini Riuhnya dikepala
69      60     1     
True Story
Dear Future Me: To The Me I'm Yet To Be
399      289     2     
Inspirational
Bagaimana rasanya jika satu-satunya tempat pulang adalah dirimu sendiri—yang belum lahir? Inara, mahasiswi Psikologi berusia 19 tahun, hidup di antara luka yang diwariskan dan harapan yang nyaris padam. Ayahnya meninggal, ibunya diam terhadap kekerasan, dan dunia serasa sunyi meski riuh. Dalam keputusasaan, ia menemukan satu cara untuk tetap bernapas—menulis email ke dirinya di masa dep...
FLOW : The life story
97      87     0     
Inspirational
Dalam riuh pikuknya dunia hiduplah seorang gadis bernama Sara. Seorang gadis yang berasal dari keluarga sederhana, pekerja keras dan mandiri, gadis yang memiliki ambisi untuk mencari tujuannya dalam berkehidupan. Namun, dalam perjalanan hidupnya Sara selalu mendapatkan tantangan, masalah dan tekanan yang membuatnya mempertanyakan "Apa itu kebahagiaan ?, di mana itu ketenangan ? dan seperti apa h...
Jadi Diri Sendiri Itu Capek, Tapi Lucu
2420      909     5     
Humor
Jadi Diri Sendiri Itu Capek, Tapi Lucu Buku ini adalah pelukan hangat sekaligus lelucon internal untuk semua orang yang pernah duduk di pojok kamar, nanya ke diri sendiri: Aku ini siapa, sih? atau lebih parah: Kenapa aku begini banget ya? Lewat 47 bab pendek yang renyah tapi penuh makna, buku ini mengajak kamu untuk tertawa di tengah overthinking, menghela napas saat hidup rasanya terlalu pad...
Ruang Suara
205      144     1     
Inspirational
Mereka yang merasa diciptakan sempurna, dengan semua kebahagiaan yang menyelimutinya, mengatakan bahwa ‘bahagia itu sederhana’. Se-sederhana apa bahagia itu? Kenapa kalau sederhana aku merasa sulit untuk memilikinya? Apa tak sedikitpun aku pantas menyandang gelar sederhana itu? Suara-suara itu terdengar berisik. Lambat laun memenuhi ruang pikirku seolah tak menyisakan sedikitpun ruang untukk...