Desa kami nyaris tak ada di peta.
Terletak di kaki Pegunungan Halimun-Salak, tersembunyi di balik kabut yang turun setiap sore. Orang kota menyebutnya Cisarua Lama. Tapi bagiku, tempat ini lebih dari sekadar deretan rumah kayu dan kebun teh. Ia adalah dunia yang diam-diam bernafas, menyimpan rahasia, dan kadang berbisik lewat angin.
Setiap pagi, saat membuka jendela, bau tanah basah dan kayu lapuk menyapa. Sungai Cikaniki mengalir di kejauhan, suaranya seperti lagu yang tak pernah selesai. Rumah-rumah berdinding papan tua dengan atap seng berkarat berdiri rapat. Saat hujan turun, suara tetesannya jadi musik latar kami—pilu atau tenang, tergantung dari mana kau mendengarnya. Bahkan ketika matahari bersinar terang, tempat ini tak pernah benar-benar terang. Selalu ada bayangan yang tertinggal di balik pintu, atau di bawah ranjang.
Orang luar bilang desa ini menyeramkan. Terlalu sunyi, terlalu tua. Tapi buatku, anak perempuan delapan tahun yang lebih suka diam, ini rumah. Meski tak semua penghuni bisa dilihat dengan mata biasa. Kadang, aku merasa desa ini seperti labirin kenangan—lorong-lorongnya sunyi, tapi penuh bisikan.
Suatu malam, ibuku berkata saat hendak menidurkanku, "Kalau kau bisa melihat hal-hal yang orang lain tak bisa, bukan berarti kau harus menunjukkannya pada semua orang. Dunia belum tentu siap."
Aku hanya mengangguk. Nasihat itu masuk pelan, seperti kabut—dingin, tapi meresap. Aku tak sepenuhnya mengerti, tapi aku percaya ibu. Percaya pada cara ia menatap kegelapan seolah tahu isinya.
***
Kami tinggal di rumah paling ujung desa. Halamannya luas, dinaungi pohon rambutan tua, dan di tengahnya berdiri sebuah tugu batu berlumut. Ayah membersihkannya setiap Jumat pagi. Tidak pernah ada penjelasan, hanya kebiasaan. Tak ada yang berani menyentuh tugu itu. Bahkan aku. Katanya, itu tanda. Tapi tanda untuk apa, tak pernah ada yang benar-benar tahu.
Ayah tak banyak bicara. Tangannya keras karena membuat batu bata dari tanah yang ia aduk dan cetak sendiri. Setelah bekerja, ia duduk menatap pegunungan, diam. Wajahnya jarang tersenyum, tapi dalam diamnya, aku tahu ada sesuatu yang disimpan—sesuatu yang tak bisa diceritakan. Kadang aku mengira ia bisa melihat hal-hal yang sama denganku, tapi memilih berpaling. Mungkin ia tahu: beberapa hal lebih baik dibiarkan tidak disebut.
Ibuku, Niken, berasal dari Temanggung. Ia membawa warisan tak kasat mata: tradisi kuda lumping, barongan, dan doa-doa lama yang mengikat tubuh dan roh. Ia tidak banyak menjelaskan, tapi ajarannya tertanam lewat isyarat, larangan, dan tatapan yang membuatmu paham meski tanpa kata. Kadang, aku terbangun di malam hari karena bau dupa yang menyelinap dari bawah pintu. Ibu duduk sendiri di ruang depan, bibirnya komat-kamit, tangannya menggenggam kain tua.
"Jangan tatap balik kalau makhluk itu menatapmu," ucapnya saat menyisir rambutku. "Kalau kau jawab, pintunya terbuka."
Aku hanya mengangguk. Ada banyak yang ingin kutanya, tapi tak tahu harus mulai dari mana. Dan kadang, rasa takut lebih kuat daripada rasa ingin tahu.
***
Namaku Rembulan. Kakek buyut yang memilih nama itu, berharap aku bisa bersinar sendirian meski di kegelapan malam. Saat aku lahir, hujan turun tiga hari tiga malam. Warga bilang itu pertanda baik. Tapi ibuku tahu: aku berbeda. Bayi yang tak menangis, hanya menatap langit-langit bambu dengan mata lebar.
Sejak umur dua tahun, aku mulai melihat mereka. Sosok hitam tinggi di dapur. Perempuan tua di atas ayunan. Anak kecil duduk di bawah pohon rambutan. Mereka tidak selalu menyeramkan. Kadang hanya kesepian. Kadang mereka datang dengan suara seperti desir angin atau tangisan pelan yang tertahan.
Aku menggambar mereka diam-diam dengan arang. Wajah-wajah kosong, rambut kusut. Kulempar ke balik pagar, kuselipkan di bawah tikar, di antara celah bambu yang menopang genteng. Suatu kali, ibuku melihat gambar perempuan tua di ayunan. Ia hanya berkata, "Kalau bertemu yang seperti itu, jangan ajak bicara. Tutup matamu. Jalan terus."
Aku menurut. Selalu.
Ayah tak pernah bertanya soal gambar-gambar itu. Tapi suatu malam, saat aku bilang ada anak kecil di jendela dapur, ia berdiri, menaburkan garam di tanah, lalu kembali duduk tanpa sepatah kata. Itu caranya percaya. Diam-diam, tanpa suara.
Aku tak bermain seperti anak lain. Tidak ikut lomba makan kerupuk, tak mengejar layangan. Aku lebih senang menggambar, atau duduk di bawah pohon memperhatikan dunia yang tak bisa dilihat orang lain. Dunia yang hening tapi padat. Dunia yang penuh tatapan tanpa wajah.
Di sekolah, aku seperti bayangan. Duduk diam, menulis rapi, nilai bagus, tapi lebih sering menatap jendela daripada papan tulis. Guru-guru suka tulisanku, tapi khawatir pada tatapanku. Anak-anak lain memanggilku "bulan seram" setelah melihatku bicara sendiri. Kadang mereka menaruh serangga di dalam tasku. Kadang mereka hanya menatapku seperti menatap sesuatu yang tak mereka mengerti.
Aku tidak marah. Dunia luar terlalu bising. Dunia di kepalaku lebih jujur.
Meski aku terbiasa sendiri, kadang aku ingin menyentuh tangan ibu saat ia memasak. Ingin membawakan air untuk ayah yang terbatuk. Tapi tubuhku beku, lidahku kelu. Seolah semua rasa tertahan di tenggorokan. Aku ingin berkata, "Aku ingin jadi biasa saja," tapi kata-kata itu hanya berputar di dalam kepala.
Setiap pagi aku membantu menjemur cetakan bata. Tanganku sudah terbiasa dengan panas, bekerja cekatan tanpa banyak mengeluh. Kata ibu, "Kerja membuatmu lupa hal-hal yang tak perlu." Maksudnya tentu saja mereka yang berdiri di antara bayangan. Tapi kadang, aku merasa mereka justru semakin mendekat saat aku terlalu lelah untuk melawan.
***
Waktu di desa seperti tak bergerak. Radio tua tetap memutar lagu keroncong, anak-anak masih berlarian tanpa alas kaki, kakek-nenek setia duduk di bangku panjang, asyik bercerita tenang tradisi dan masa depan. Tapi dunia dalam kepalaku berjalan sendiri. Kadang lambat, kadang terlalu cepat. Dan tak pernah berhenti.
Sampai sore itu. Saat kabut turun lebih awal. Udara lebih dingin. Langit makin kelabu.
Aku berjalan ke tepi hutan, ke pohon flamboyan yang sering muncul dalam mimpiku. Duduk di bawahnya.
Dadaku sesak. Mataku basah.
Aku menangis. Tanpa suara.
Lalu dari balik kabut, muncul seorang anak laki-laki. Bajunya lusuh, wajahnya pucat. Tapi bersih. Ia tidak seperti sosok lain yang biasa kulihat, tapi juga bukan anak desa. Matanya tidak kosong. Ada sesuatu di sana—keheningan yang kukenal.
Ia duduk di sampingku. Mengulurkan tangan.
"Jangan menangis," katanya. "Aku bisa jadi temanmu."
Dan sejak hari itu, hidupku berubah.