Sudah tiga hari sejak grup itu diam. Tidak ada balasan, tidak ada tanda akan dilanjutkan.
Tapi aku tak bisa berhenti.
Karena anak itu terus muncul—tidak lagi dalam mimpi, tapi dalam refleksi kaca jendela, dalam kerlip lampu kamar, dalam suara-suara samar di antara detik jam. Seolah realitas mulai bocor, memberi jalan bagi sesuatu yang tak kasatmata.
Dan setiap kali ia muncul, matanya berkata satu hal yang sama:
"Kamu belum membuka pintunya."
Aku tak tahu pasti apa maksudnya. Tapi rasa dorongan itu tumbuh setiap malam, seperti jantung yang berdetak di tempat seharusnya tak ada kehidupan. Ada sesuatu yang menunggu di balik kenyataan.
Sejujurnya aku tidak tahu harus mulai dari mana. Tapi aku tidak bisa menunggu teman-temanku untuk percaya dan memutuskan membantu. Seperti kata lintang, hanya aku yang bisa melihat ‘mereka’ dan hanya aku yang ‘dia’ cari. Ini adalah pertarunganku sendiri.
Dan sekuat apa pun aku menyangkal, aku tahu dia benar. Ini bukan ilusi. Ini bukan kelelahan atau paranoia. Ini adalah jejak—seseorang yang ingin ditemukan. Atau mungkin… ingin dikenang.
***
Aku ingat percakapanku dengan Ibu Rita saat awal penelitianku dulu, ketika semuanya masih bisa dianggap teori.
Tentang potret seorang anak laki-laki tanpa nama dari potongan koran usang—liputan kecelakaan tragis keluarga Van Der Maes. Wajah anak itu kabur, seolah tak ingin dikenali, tapi perawakannya... mirip Ethan. Saat kutunjukkan padanya, Ibu Rita sempat mengernyit, "Mungkin itu Daniel..." katanya, sebelum menggeleng. "Tidak mungkin. Daniel memang pernah kecelakaan waktu kecil, tapi dia selamat. Hidup sehat, punya anak. Bahkan menantu."
Tapi rasa tak puas tetap menggantung. Ada detail kecil dalam kisah Ibu Rita yang terus menggangguku—tentang sebuah “foto salah cetak”.
"Ulang tahun keluarga Van Der Maes. Di korannya, ada anak laki-laki berdiri di pojok, tidak dikenal siapa pun. Katanya tamu. Tapi tidak ada yang ingat mengundang."
Dan semua itu terulang lagi dalam mimpi.
Hanya kali ini, tidak ada pesta. Tidak ada tawa. Hanya seorang anak laki-laki berdiri di lorong panjang berdebu, menatapku dari kejauhan, bibirnya bergerak tapi suaranya tidak sampai.
Aku temukan arsip foto keluarga itu, tersimpan di rumah keluarga Alviano. Dua ranjang bayi dalam kamar bernuansa pastel. Di bawah satu ranjang tertulis nama: Daniel. Yang satu lagi, kosong.
Hampa.
Dalam mimpi terakhirku, aku duduk bersama Ethan di tengah taman lavender. Senja di sana membeku. Angin tidak bergerak. Waktu seperti menahan napas.
"Aku tahu dia," Ethan berkata pelan. "Dia yang pertama kutemui... setelah aku ingat jalan kembali ke kamu. Dulu aku takut padanya. Sekarang tidak lagi. Dia kuat. Tapi mereka bilang dia hanya bayangan."
Aku menatap Ethan, napas tercekat.
“Tapi kamu tahu dia nyata.”
Ethan mengangguk. "Dia ingin dikenali."
***
Musim liburan di Temanggung berlangsung penuh ketenangan. Udara lebih jernih dari biasanya, dan suara jangkrik menyatu dengan desau angin dari ladang tembakau. Semua terasa biasa. Tenang. Terlalu tenang.
Tapi bagiku, ketenangan itu justru ruang kosong yang membuat pikiranku semakin gaduh.
Aku menghabiskan sebagian besar hariku di kamar tidur, membongkar-bongkar tumpukan dokumen yang dulu dikumpulkan bersama Lintang. Meski Lintang dan Dira sudah lama menarik diri dari penyelidikan ini. Aku masih menyimpan semua salinan dan catatan mereka dalam sebuah kotak plastik besar bertuliskan “RISIKO PRIBADI”.
Setelah berjam-jam mencari, tanganku terhenti di satu berkas fotokopi catatan medis. Kertasnya sudah menguning di tepi, seperti telah disentuh terlalu sering. Ada satu kalimat yang dilingkari dengan stabilo oleh tangan Lintang:
“Donor internal — tidak teridentifikasi secara administratif.”
Tak ada nama. Tak ada tanggal. Tapi frasa itu... seperti luka lama yang baru disadari keberadaannya. Aku menelusuri ulang konteks dokumen itu, dan pelan-pelan, potongan memori bermunculan.
Ranjang bayi tanpa nama.
Foto ulang tahun keluarga dengan anak asing berdiri di pojok.
Suara dalam mimpi yang berkata: “Kamu belum membuka pintunya.”
"Bulan," panggil suara ibu dari ruang makan. "Ngapain di kamar terus? Ini liburan, bukan UTS."
Aku turun perlahan, membawa berkas itu bersamaku. Kemudian ikut duduk di meja makan, mengambil segelas teh hangat.
Ayah ikut duduk di seberang, membuka koran pagi yang belum disentuh.
"Apa yang kamu kerjakan, Bulan?" tanya ayah sambil tersenyum. "Kamu kelihatan... kepikiran sesuatu."
Aku menatap mereka berdua. Biasanya, aku lebih memilih menyimpan semuanya sendiri. Tapi entah kenapa kali ini terasa berbeda. Mungkin karena tak ada lagi yang bisa kuandalkan. Mungkin... sudah waktunya aku membuka diri.
“Aku sedang menyelidiki sesuatu,” kataku pelan, nyaris seperti berbisik—seperti takut suaraku sendiri akan membuat semuanya terdengar terlalu gila. “Tentang seorang anak... yang mungkin tidak pernah tercatat, tapi nyata. Dia muncul dalam mimpiku, dalam pantulan kaca... kadang lewat suara-suara kecil yang cuma aku yang dengar. Aku rasa... dia sedang mencoba bicara padaku.”
Ibu tidak berkata apa-apa. Tapi beliau menatapku—penuh, utuh. Tidak ada tawa, tidak ada gelagat menyindir. Hanya perhatian yang hening, yang membuat dadaku terasa lebih tenang.
Ayah, yang sejak tadi duduk dengan koran di tangan, akhirnya meletakkannya di meja.
“Anak?” tanyanya, datar tapi dalam.
Aku mengangguk pelan. “Ya. Aku curiga... mungkin keluarga Van Der Maes pernah menyembunyikan anak lain. Aku belum tahu siapa dia. Tapi terlalu banyak petunjuk, Yah. Foto tanpa nama. Ranjang bayi kosong. Anak yang muncul berulang kali di mimpiku. Ini... bukan kebetulan.”
Ayah tak langsung menjawab. Ia bersandar, seperti mengingat sesuatu yang sudah lama dikunci dalam ingatan. Lalu ia berkata dengan suara yang lebih pelan, “Ayah jadi ingat sesuatu...”
Aku dan Ibu saling melirik.
“Waktu kita masih tinggal di rumah lama, di Cisarua,” lanjut Ayah. “Ingat tugu batu kecil di halaman belakang? Ayah selalu bersihkan setiap hari Jumat. Sudah jadi semacam kebiasaan. Tapi... malam-malam setelahnya, sering muncul mimpi.”
Aku menegakkan tubuh. “Mimpi apa, Yah?”
“Wajah anak kecil. Berdiri diam, kadang cuma menatap. Kadang tanya arah pulang.”
Aku merasakan bulu kudukku berdiri. Jantungku berdebar tanpa aba-aba. Suara dalam mimpiku... juga bertanya hal yang sama.
“Kenapa Ayah nggak pernah cerita?”
Ayah mengangkat bahu ringan. “Ayah kira cuma mimpi biasa. Tapi setelah kamu cerita begini…”
Ibu ikut menyambung, “Lagian minggu depan kita memang mau ke Cisarua, kan? Mau nengok Pakde Raka. Sekalian bersih-bersih rumah juga. Kalau kamu mau ikut... boleh saja.”
Aku menatap kertas di tanganku. Catatan Lintang yang dilingkari stabilo kuning itu seperti menyala di kepalaku.
“Bolehkah... aku ikut? Aku rasa tempat itu... mungkin bisa kasih aku jawaban.”
Ayah mengangguk, matanya menerawang.
“Tentu saja. Kita akan kembali... ke tempat di mana semua ini dimulai.”
***
Perjalanan ke Cisarua selalu membawa rasa aneh—seperti menjejak waktu yang tak benar-benar pergi. Jalanan menanjak yang berkabut, aroma kayu lembap, dan suara tonggeret dari kejauhan... semuanya masih sama. Hanya aku yang berbeda.
Kami mampir ke rumah Pakde Raka lebih dulu. Ia terbaring di ranjang kecil di ruang tengah, wajahnya pucat tapi senyumnya tetap hangat. Ibu dan Ayah sibuk berbincang, membawakan buah dan makanan dari Temanggung. Aku ikut duduk sebentar, tapi pikiranku melayang—entah sejak kapan, aku terus menatap keluar jendela, ke arah jalan kecil yang dulu sering kulalui sepulang sekolah.
Lalu, di tengah obrolan tentang rumah-rumah tetangga yang kini banyak berubah jadi vila sewaan, aku mendengar satu kalimat Ayah yang membuatku langsung menoleh.
“Rumah kita yang lama itu... kosong lagi, ya? Katanya penyewa terakhir pindah mendadak.”
Aku memotong, cepat. “Lho, kukira rumah itu sudah dijual?”
Ayah menggeleng sambil tersenyum kecil. “Belum. Masih atas nama kita. Waktu itu Ayah dan Ibu sepakat untuk sewakan dulu. Siapa tahu suatu saat mau kembali.”
Dadaku terasa bergetar halus. Rumah itu... masih milik kami. Dan sekarang kosong.
“Ayah...” suaraku nyaris tercekat. “Kita bisa ke sana sebentar?”
Mereka saling berpandangan, tapi tak ada penolakan. Hanya satu anggukan kecil dari Ayah. Dan dalam waktu tak lama, kami sudah berdiri lagi di depan gerbang berkarat itu—cat hijau pupusnya mulai terkelupas, dan rumput di pekarangan dibiarkan tumbuh liar.
Langkahku pelan saat memasuki halaman. Udara di sini lebih dingin. Atau mungkin hanya kenangan yang membuatnya terasa demikian.
Mataku langsung tertuju ke ayunan besi di bawah pohon mangga. Masih ada. Meski tali tambangnya sudah diganti, dan cat dudukannya pudar, bentuknya tak berubah.
Di sanalah aku biasa duduk. Bermain sendirian lantaran tidak punya teman.
Aku mendekat. Suara gemerisik rumput di bawah kakiku terasa terlalu keras. Dan tiba-tiba saja—seolah ditarik oleh naluri lama—aku berlari ke sisi rumah, ke dekat jendela belakang, tempat dulu aku suka corat-coret dengan kapur warna.
Dindingnya masih ada bekasnya. Pudar. Terhapus sebagian oleh hujan, mungkin, atau tangan orang lain. Tapi garis-garis kasar itu masih bisa terbaca. Sosok-sosok kecil berdiri di bawah pohon. Salah satunya... aku. Yang satu lagi...
Aku mengusap tembok perlahan, dan kenangan itu datang seperti angin malam: aku kecil, sepulang sekolah, menyapa seorang anak laki-laki yang duduk di dekat ayunan. Ia selalu ada di sana. Diam, tersenyum. Tidak pernah masuk ke halaman. Tapi sering menungguku.
Kami bermain kadang-kadang—berlari, atau main bayangan di bawah matahari sore. Tapi tak pernah sekalipun ia mau melangkah masuk ke dalam rumah. Bahkan ketika aku memanggil, ia hanya berdiri di luar pagar, melambaikan tangan.
Aku sering menggambarnya. Di buku tulis, di tembok, di pasir. Tapi wajahnya... entah kenapa, tak pernah sama. Kadang seperti kabur. Kadang ada, tapi seperti bukan satu wajah yang utuh.
Namun sekarang, berdiri di sini, melihat kembali coretan-coretan masa kecil itu... aku tahu. Aku mengenalnya. Atau setidaknya, mengenali siluetnya.
Perawakannya. Cara duduknya. Tatapan matanya.
Itu dia. Anak dalam mimpi. Anak yang berkata, “Kamu belum membuka pintunya.”
Tapi waktu itu... dia tidak sekecil aku. Dia tumbuh bersamaku. Seperti bayangan yang menua bersisian.
Tanganku menyentuh dinding, terasa dingin dan kasar.
“Siapa kamu sebenarnya...?” bisikku pelan. Angin menjawab lewat gemerisik daun.
Dan di saat itu juga, sesuatu bergeser di dalam diriku. Bukan sekadar ingatan—tapi pemahaman bahwa dia sudah lama bersamaku, lebih lama dari yang pernah kusadari.