Setelah bekerja tanpa henti selama beberapa hari, aku dan tim kecilku—Lintang dan Dira—akhirnya menyelesaikan laporan awal dari penelitian itu. Apa yang semula hanyalah proyek akademik, kini menjelma menjadi penelusuran mendalam yang membuka lapisan-lapisan luka masa lalu. Tak satu pun dari kami menyangka, keterhubunganku dengan Ethan membuat kasus ini tumbuh menjadi lebih besar dari sekadar penelitian. Ada harga yang harus dibayar untuk kebenaran, dan kami bersiap menanggungnya.
Namun, ketika laporan itu kami serahkan ke dosen pembimbing—Pak Harsa, salah satu dosen senior di kampus yang terkenal kritis dan tidak mudah diyakinkan—responsnya membuatku terdiam.
"Rembulan," katanya sambil menyandarkan tubuh ke kursi dan menatapku tajam dari balik kacamata bulatnya, "Laporan ini... jujur saja, lebih mirip seperti skenario drama atau cerita dongeng daripada riset ilmiah."
Aku menahan napas. Dira di sebelahku menunduk, dan Lintang mengeratkan rahangnya.
"Surat-surat tulisan tangan, catatan harian, potongan kliping koran—semua itu menarik secara naratif, tapi tidak cukup kuat sebagai bukti akademik. Tidak ada dokumen resmi, tidak ada catatan negara, tidak ada rekam medis dari institusi yang bisa diverifikasi. Jika ini diajukan sebagai penelitian sejarah sosial, kamu harus bisa menjawab satu pertanyaan penting: 'Apakah Ethan benar-benar ada?'"
Kalimat itu menggema di dalam kepalaku. Apakah Ethan benar-benar ada?
Aku tahu jawabannya, tapi bagaimana meyakinkan dunia akademik yang menuntut data keras dan konkret? Bagaimana membuktikan keberadaan seseorang yang hidup dalam bayang-bayang sejarah, ketika yang tersisa hanya surat dan kenangan samar?
Pak Harsa menatap kami satu per satu sebelum melanjutkan, "Kalau kalian sungguh ingin laporan ini diterima, kalian butuh sesuatu yang lebih... hidup. Suara. Saksi. Bukti fisik yang bisa diuji. Jika tidak, ini hanya akan jadi cerita pribadi yang tidak bisa dibuktikan. Dan aku tidak bisa meluluskan itu."
***
Sepulang dari pertemuan itu, kami duduk lama di taman kampus tanpa banyak bicara. Angin sore menerbangkan lembar-lembar salinan laporan kami yang tersisa di tangan. Aku tahu kami harus melangkah lebih jauh. Itulah mengapa suara menjadi penting. Bukan hanya untuk memperkuat laporan kami, tapi untuk memastikan bahwa kebenaran yang kami perjuangkan bukan hanya cerita masa lalu—melainkan bagian dari kenyataan yang patut diungkapkan.
Di ruang kerja kecil yang kami ubah menjadi pusat dokumentasi, aku menatap layar komputer sambil memijat pelipis. Lintang sibuk merapikan catatan kronologis, sementara Dira memilah transkrip wawancara. Semuanya tampak tenang, tapi ada ketegangan yang menggantung di udara. Kami tahu, laporan ini masih belum lengkap. Tidak cukup hanya dengan dokumen tua yang tersedia di rumah ini—kami butuh suara. Seseorang yang bisa menghidupkan narasi itu dan memastikan kebenaran dari fakta yang kami ungkap.
“Aku akan bicara dengan Ibu Rita,” kataku akhirnya. “Kalau dia bersedia, mungkin dia bisa jadi sumber utama.”
Ibu Rita menerima kedatangan kami dengan senyum hangat, namun ketika kusampaikan maksudku, senyuman itu memudar perlahan. “Nak, aku ini cuma pengasuh. Aku tahu apa yang tampak, tapi tidak yang terdalam. Cerita ini bukan milikku untuk diceritakan,” katanya pelan. “Tapi ada seseorang yang mungkin bisa membantumu.”
Dengan ketelitian penuh hormat, Ibu Rita menghubungi seseorang lewat telepon rumah yang suaranya masih berdentang klasik. Ia berbicara pelan namun penuh keyakinan. Setelah menjelaskan siapa aku dan tujuanku, ia menutup telepon lalu menoleh. "Nenek Ethan dari pihak ayahnya. Dia setuju bertemu denganmu. Katanya, sudah waktunya Ethan mendapatkan haknya. Pengakuan. Dia tidak boleh lagi hidup dalam bayang-bayang."
***
Hari pertemuan itu datang. Aku, Lintang, dan Dira duduk dengan sopan di ruang tamu rumah bergaya klasik Eropa. Letaknya ada di belakang Rumah Sakit Evergreen di Jakarta. Usut punya usut, ternyata itu adalah rumah sakit milik keluarga Alviano yang ada di Indonesia. Harum lavender dan kayu tua menyambut kami. Ketika nenek Ethan masuk, aura bijak yang ia bawa membuat kami spontan berdiri.
“Silakan duduk, anak-anak. Aku sudah menyiapkan teh. Aku tahu kalian datang bukan untuk basa-basi,” ucapnya sambil menuangkan teh ke cangkir porselen.
Ia duduk, lalu menatapku dalam-dalam. “Kau mirip Ethan waktu kecil. Mata yang penuh tanya.”
Aku tercekat. Tanganku mencengkeram lututku sendiri. Lintang, yang biasanya tenang, kini lebih kaku dari biasanya. Dira membuka buku catatan tapi belum juga menulis.
“Aku mengenal Ayunda dari anakku, Travis,” nenek itu memulai. “Mereka saling jatuh cinta. Tapi saat itu Ayunda sudah dijodohkan dengan Daniel. Tekanan dari keluarga Van Der Maes terlalu kuat.”
Aku menelan ludah. Rasanya seperti sedang membaca surat yang ditulis langsung untuk hatiku. Suara nenek Ethan terdengar jelas, namun yang lebih menyentuh adalah getir di balik ketenangannya.
“Setelah Ayunda memutuskan pertunangan, ia harus hidup dalam pelarian. Keluarganya menganggapnya aib. Tapi dia tidak peduli. Yang dia tahu, dia hanya ingin hidup dengan cinta yang dipilihnya. Akhirnya dia bertemu kembali dengan Travis, dan mereka menikah. Tapi mereka harus terus bersembunyi. Keluarga Alviano tak punya kuasa untuk melindungi mereka sepenuhnya.”
Lintang menggeleng perlahan. “Ini... gila,” bisiknya, hampir tak terdengar.
Nenek Ethan melanjutkan. “Ayunda diteror. Surat ancaman. Lemparan batu ke jendela. Racun di pagar. Sampai akhirnya dia hampir kehilangan Ethan beberapa kali saat mengandung. Ketika Ethan lahir dengan kondisi cacat, dia merasa semuanya sia-sia. Tapi kami tak pernah menyerah. Kami mencari pengobatan. Kami berjuang.”
Air mata menggenang di mata Dira. Ia menggigit bibir, mencoba menahan emosi. Aku menunduk, napasku berat.
“Kemudian, kecelakaan itu terjadi,” suara nenek itu melemah. “Travis dan Ayunda meninggal dalam keadaan yang janggal. Tak ada saksi. Tak ada penyelidikan tuntas. Tapi aku tahu... ini bukan kecelakaan biasa.”
Suasana di ruangan membeku. Tidak ada yang bersuara. Hanya denting sendok kecil menyentuh piring yang membuat kami tersadar dari keterpakuan.
Akhirnya, nenek Ethan berdiri. Ia membuka laci dan mengeluarkan sebuah amplop bersegel.
“Ikutlah bersamaku ke Italia. Keluarga Alviano menyimpan lebih banyak. Dokumen, surat, catatan medis, bahkan video. Jika kau ingin mengungkap kebenaran, Rembulan, kau harus melihat semuanya.”
Aku menerima amplop itu dengan kedua tangan. Jantungku berdegup kencang. Di belakangku, Lintang meletakkan tangan di bahuku. Dira menarik napas dalam, lalu mengangguk.
Perjalanan kami belum selesai. Tapi untuk pertama kalinya, kami merasa siap untuk melangkah lebih jauh.
Dan kebenaran… perlahan mulai menemukan jalannya.
Beberapa hari sebelum keberangkatan kami ke Italia, aku pulang ke Temanggung, mengunjungi rumah orang tuaku untuk meminta izin kepada mereka, mau bagaimanapun aku tidak bisa pergi ke luar negeri tanpa berpamitan. Aku duduk di ruang keluarga dengan map dokumen di pangkuanku. Televisi menyala tanpa suara, hanya menampilkan berita malam sebagai latar. Ayah dan ibuku duduk di sofa seberang, lelah setelah seharian bekerja.
"Ayah, Ibu… aku ingin cerita sesuatu," kataku pelan, nadaku hati-hati namun bulat.
Ibuku menoleh duluan, menatap wajahku dengan alis mengernyit. Ayahku menurunkan koran yang sedang dibaca.
Dengan napas tertahan, aku mulai bercerita tentang rumah tua itu, tentang proyek penelitian yang menjelma jadi penelusuran sejarah keluarga besar Van Der Maes-Sutrisno, tentang Ethan, dan akhirnya, tentang undangan ke Italia untuk melihat bukti-bukti yang lebih dalam.
Ibuku langsung bereaksi. "Italia? Tidak. Itu terlalu jauh, Rembulan. Kamu kuliah, bukan detektif. Kenapa harus kamu yang ke sana?"
"Karena ini bukan sekadar data, Bu. Ini tentang Ethan ...”
“Ethan lagi?” ibuku menyela.
Ayahku menatapku lama, lalu bertanya pelan, “Kau yakin ini bukan sekadar dorongan emosional?”
“Aku yakin,” jawabku. “Karena apa yang aku temukan bukan cuma tentang keluarga orang lain. Aku bagian dari cerita ini, Pak. Aku berhutang kepada Ethan, kepada kebenaran, dan... kepada diriku sendiri.”
Wajah kedua orang tuaku berubah. Ibuku menatap dengan raut cemas, suaranya bergetar,
“Rembulan, ibu kira kau sudah berhenti berteman dengan Ethan? Kau tahu kami takut kau... kembali mengalami hal yang dulu.”
Ayahku ikut menimpali, nada khawatir,
“Kau pernah bilang semuanya sudah lewat. Apakah ini tanda-tanda lama? Mungkin kau harus kembali bertemu Dr. Laras.”
Aku menahan napas, mataku mulai membara. Suara yang biasanya lembut kini bergetar dengan sedikit tajam,
“Ini bukan hal-hal ‘lama’ yang kalian pikirkan! Ini bukan khayalan atau halusinasi. Ini tugas kuliah, dan semua yang aku ceritakan ada buktinya! Dokumentasi, foto, rekaman—semua nyata!”
Aku berdiri, berjalan mondar-mandir di ruang tamu kecil itu,
“Ethan pernah hidup, dia benar-benar ada! Dia bermain denganku, kami berdua nyata! Tapi kalian yang memilih menutup mata karena aku lahir berbeda!”
Aku menatap lantai, lalu menatap langsung ke arah mereka dengan suara yang mulai pecah,
“Aku juga tidak ingin lahir sebagai anak yang ‘istimewa’, yang melihat hantu atau apalah! Aku juga tidak memilih hidup seperti ini!”
Mataku mulai berkaca-kaca. Ibuku terdiam, wajahnya penuh penyesalan. Ayahku menghela napas panjang, saling bertukar pandang dalam kekhawatiran yang mendalam.
“Ethan temanku ibu, aku hanya ingin keberadaannya diterima dunia, Ayunda sudah berjuang keras untuk melahirkannya.” Aku mulai terisak, teringat percakapanku dengan Dr. Sora tempo hari.
Nama itu—Ayunda—membuat ibuku terdiam. Napasnya terhenti sejenak, seolah ada sesuatu dalam dirinya yang tersentak dari tidur panjang.
"Ayunda?" ulangnya pelan, suaranya nyaris berbisik. "Ayunda siapa maksudmu?"
"Ayunda Retma, ibu dari Ethan. Dia ... anak perempuan satu-satunya dari garis keturunan utama keluarga Van Der Maes-Sutrisno. Dan Ethan ... anaknya."
Wajah ibuku berubah. Sejenak ia terdiam, menatap kosong ke arah jendela. Lalu perlahan, ia bersandar ke sofa dan memejamkan mata. "Tuhan..."
Ayahku tampak bingung, tapi tetap menatap istrinya dengan penuh tanya. "Kau kenal dia?"
Ibuku mengangguk pelan. "Kami dulu teman kuliah. Tidak terlalu dekat, tapi aku mengagumi dia. Ayunda itu... perempuan yang kuat, yang hidup dengan pilihan sendiri. Waktu dia tiba-tiba menghilang dari kampus, ada banyak gosip. Tapi aku selalu merasa ada yang disembunyikan."
Ia memandangku dengan mata yang kini lebih lembut, penuh luka lama yang perlahan terbuka kembali. "Kamu yakin Ethan anak Ayunda?"
"Yakin, Bu.” Aku mengeluarkan dokumen dari map yang kubawa, bukti kelahiran Ethan ada di sana, termasuk foto Ayunda dengan pakaian rumah sakit menggendong Ethan yang baru lahir. Foto itu kuterima dari Dr. Sora.
Hening merayap di antara kami. Lalu, ayahku berbicara dengan suara berat namun tenang. "Kalau ini jalanmu, dan kamu sudah tahu risikonya... kami tidak akan menghalangi. Tapi kamu harus hati-hati. Jangan lupa, kamu punya rumah untuk kembali."
Ibuku mengangguk, masih menyeka sudut matanya. "Pergilah, Rembulan. Mungkin... kamu bisa menyelesaikan apa yang dulu tak sempat dijelaskan."
Aku berdiri dan memeluk kedua orang tuaku erat. Dalam pelukan itu, aku merasa luka masa lalu dan masa kini bertemu, bukan untuk saling menyakiti, tapi untuk saling mengerti.
Dan di malam yang tenang itu, izin diberikan bukan hanya dengan kata-kata, tapi dengan pengakuan bahwa sejarah pribadi sering kali berputar lebih dekat dari yang kita sangka.
Sementara aku masuk ke kamarku untuk mengabari Dira dan Lintang, ayah dan ibuku masih setia duduk termangu di depan televisi.
Ayah menatap wajah istrinya yang sarat kesedihan. "Orang lama yang sudah lama pindah, begitu katamu." Bisiknya sambil menggenggam tangan ibuku lembut.
"Dia... Ayunda Retma. Perempuan yang selalu membuatku bertanya-tanya kenapa hidup bisa begitu keras pada orang baik."
Lalu ia menatap pintu kamarku dengan mata berkabut. "Kalau benar Ethan anak Ayunda, dan anak kita bisa menyambungkan cerita yang lama terputus... mungkin ini memang jalannya."