Malamnya, saat hujan turun perlahan di luar jendela, Ibu Rita datang ke kamarku sambil membawa sebuah map lusuh berwarna cokelat tua. Di bagian sampulnya, tertulis satu nama dengan tulisan tangan yang rapi namun mulai pudar: "Ethan Alviano."
"Ini untukmu," katanya sambil menyerahkannya padaku. "Sudah waktunya kamu tahu semuanya."
Namaku Rembulan. Dan ini kisah tentang Ethan—anak lelaki dengan rambut coklat tua bergelombang dan mata coklat kehijauan yang terlalu dalam untuk usianya. Ia bukan hanya teman masa kecilku, tapi juga seseorang yang jiwanya terikat dengan milikku, melampaui batas kehidupan dan kematian.
Ethan berasal dari keluarga dengan sejarah panjang dan penuh tragedi: Van Der Maes dari Belanda, dan Sutrisno dari Jawa. Dua garis keturunan yang kuat, namun rapuh karena ambisi dan pengkhianatan yang turun-temurun. Ibunya adalah keturunan terakhir yang menolak menikah, karena tak pernah percaya pada cinta. Ia sempat dijodohkan dengan sepupunya sendiri, Daniel, demi meneruskan garis Van Der Maes-Sutrisno. Namun ia menolak, dan lebih memilih menikah dengan pria yang dicintainya—seorang dokter bedah terkemuka keturunan Jerman, Travis Alviano. Dengan begitu, secara hukum, Ethan adalah pewaris sah keluarga Alviano—meski darah yang mengalir di tubuhnya lebih rumit dari sekadar satu nama.
Namun tubuh Ethan tak pernah benar-benar siap untuk dunia. Ia lahir tanpa limpa—kondisi langka yang membuat sistem imun tubuhnya sangat rapuh. Sejak umur empat tahun, ia mulai menjalani operasi besar. Aku masih ingat cerita Ibu Rita tentang saat itu—bagaimana ibunya menggenggam tangan Ethan sambil menahan air mata, dan Ethan berkata, "Kalau aku nggak bangun, bilangin Mama jangan sedih, ya." Semua orang di ruang operasi terpaku. Tapi Ethan bangun. Dan sejak itu, rumah sakit menjadi rumah utamanya.
Saat usianya menginjak enam, ia didiagnosis pneumonia akut. Awalnya dirawat di rumah sakit besar di Italia. Namun, kondisi Ethan tak kunjung membaik. Ia mulai berbicara tentang kerinduan—bukan hanya akan udara bebas, tapi akan tanah yang katanya selalu ia lihat dalam mimpinya: Indonesia. Maka keluarganya membawanya ke rumah tua mereka di Cisarua, tepatnya di pegunungan yang masih jernih dan tenang. Itu terjadi beberapa bulan setelah ulang tahunnya yang kedelapan.
Dan di sanalah, di sore yang biasa, ia bertemu denganku.
Aku, gadis kecil yang sering duduk sendirian di bawah pohon flamboyan. Orang-orang bilang aku aneh karena suka bicara sendiri, tapi aku tahu aku tidak sendiri. Ethan melihatku, benar-benar melihatku. Dan sejak hari itu, ia tak pernah berhenti mendekat.
Ethan bukan anak yang mudah berteman. Ia terbiasa dilayani dan dihormati, dianggap sebagai "tuan muda" oleh warga desa. Sebenarnya, tidak ada seorang pun warga desa yang benar-benar pernah berinteraksi langsung dengan Ethan. Sosoknya terasa seperti bayang-bayang yang selalu berada di balik tirai misteri. Ethan dan Rembulan lebih sering menghabiskan waktu mereka menjelajahi sudut-sudut tersembunyi di sekitar desa — tempat-tempat yang jarang sekali disentuh oleh langkah warga lain. Mereka menikmati kesunyian dan keindahan rahasia alam yang tak terlihat oleh mata orang banyak.
Suatu hari, para pelayan Ethan datang dengan wajah serius, membawa teguran yang tak bisa diabaikan. Mereka memperingatkan Ethan agar tak terlalu sering bermain bersama Rembulan. “Tubuhmu masih lemah, Tuan,” kata salah seorang pelayan dengan suara lembut namun tegas. “Jika terus memaksakan diri, siapa yang tahu apa yang akan terjadi.”
Namun Ethan hanya tersenyum dan menolak dengan keras. “Aku baik-baik saja,” jawabnya singkat. "Hatiku tidak ingin Rembulan pernah tahu betapa rapuhnya aku sebenarnya. Aku tak mau bayang-bayang kelemahanku merusak kebahagiaan kami bersama."
Aku masih ingat pertama kali melihatnya dari kejauhan. Tubuhku tiba-tiba diam, seperti dihentikan angin. Jantungku berdetak lebih cepat tanpa alasan. Anak laki-laki dengan rambut coklat bergelombang itu menatapku tanpa ragu, seolah mengenaliku sebelum aku mengenal dirinya. Ada sesuatu di balik tatapan matanya—coklat kehijauan itu seakan menyimpan hutan yang belum pernah kulalui.
Aku tak pernah memperlakukannya seperti tuan muda. Buatku, Ethan hanyalah Ethan—teman bermainku, tukang cerita, dan pelukis andal yang diam-diam suka melukis wajahku dari kejauhan.
Ia menggambar dengan hati. Karena tubuhnya terlalu lemah untuk bermain bebas, ia memilih melukis sebagai bentuk pelariannya. Ia pernah bilang, "Kalau aku nggak bisa ikut kamu lari, setidaknya aku bisa menyimpan kamu dalam kertas." Aku tertawa waktu itu, menganggapnya berlebihan. Tapi sekarang aku tahu, itu caranya mencintai. Kadang ia memintaku duduk diam dalam pose-pose lucu. Kadang ia memberi hadiah kecil—lukisan bunga liar yang tumbuh di sisi sungai, atau gambar kami berdua tengah menanam pohon.
Satu hari, aku membalasnya. Aku memberinya kerang kecil yang kupungut dari sungai dan ku cat warna-warni. Kataku, "Biar kamu tahu, laut pun bisa punya warna seindah langit." Ethan memelukku lama saat itu. Itu pertama kalinya aku merasa hadiahku lebih berarti dari apa pun.
Selama empat bulan, kami nyaris tak terpisahkan. Bulan pertama, kami mulai saling mengenal lewat permainan congklak dan cerita-cerita aneh yang kubuat sambil duduk di bawah pohon flamboyan. Ethan masih canggung saat itu, sering mengamati dari kejauhan sebelum akhirnya mendekat. Bulan kedua, ia mulai berani menyentuh dunia di luar rumah—kami menanam biji bunga liar di pekarangan, tertawa saat melihat satu tunas kecil muncul. Bulan ketiga, kami mulai berbagi rahasia: aku tentang mimpi-mimpiku yang aneh, dia tentang rasa sakit yang sering datang tiba-tiba di malam hari. Di bulan keempat, semuanya terasa begitu dekat—seperti dunia kecil kami tak akan pernah berakhir. Kami mulai menyebut satu sama lain dengan nama-nama aneh: aku 'kapten hujan', dia 'penjaga langit'. Semua terasa nyata, meski waktu terus menipis di balik tawa kami. Main congklak, mandi di sungai, menanam bunga liar, dan mencuri waktu dari dunia yang tak pernah memberinya kesempatan untuk menjadi anak-anak. Di dekatku, katanya, ia merasa kuat. Diterima bukan karena kasihan, tapi karena disayangi.
Aku sempat berjanji akan membawakannya biskuit buatanku sendiri untuk ulang tahunnya yang kesembilan. Tapi ulang tahun itu tak pernah datang.
Penyakitnya memburuk cepat. Tubuhnya yang mungil tak mampu lagi melawan. Ia mulai sering pingsan, demam tinggi, dan akhirnya hanya bisa berbaring. Tapi ia tetap tersenyum, tetap ingin mendengar ceritaku, tetap memaksakan diri duduk di teras demi satu ronde congklak.
Beberapa hari sebelum kondisinya mulai memburuk, Ethan bermimpi kami berdua duduk di padang bunga yang diterangi cahaya bulan besar. "Kalau kamu nggak lihat aku besok," katanya pelan, "kamu cari bunga ini. Aku akan jadi bagian dari mereka." Esok harinya, ia masih tersenyum. Tapi lemah. Sangat lemah.
Malam sebelum ia pergi, ia membisikkan sesuatu pada Ibu Rita, pelayan keluarga yang sudah seperti ibunya sendiri. "Aku janji sama Rembulan. Aku nggak akan pergi. Aku akan terus jaga dia, walaupun aku nggak kelihatan."
Dan ia menepati janjinya.
Ethan tak menolak kematian. Tapi ia menolak meninggalkanku. Arwahnya tak pernah pergi. Ia menyatu dengan alam—dalam hembusan angin, bunga liar, percikan air sungai. Dalam mimpi-mimpi yang samar, suara tawa yang datang dari langit, atau rasa hangat di dada saat aku merasa paling sendiri.
Aku tidak sadar saat itu. Aku terus bermain, terus berbicara padanya, tak tahu bahwa ia telah berpindah ke dunia lain. Hanya Ethan yang tahu perbedaan itu. Ia tidak bisa lagi menyentuhku, tapi ia tetap ada.
Di hari keempat belas setelah kepergiannya, aku menemukan kotak kayu di bawah ranjang kamarnya. Di dalamnya ada foto-foto tua: keluarga Van Der Maes berdiri kaku di depan perkebunan kopi, seorang wanita Jawa dengan kebaya sutra—mungkin nenek buyutnya, dan pria tinggi Jerman berjas biru yang memeluk ibunya. Ethan menyimpannya semua. Ia tahu dari mana ia berasal, dan tampaknya ia ingin aku tahu juga.
Aku tumbuh. Dan perlahan, aku tak lagi bisa melihatnya. Awalnya hanya samar. Lalu benar-benar menghilang. Ethan tetap bersamaku, tapi aku kehilangan kemampuanku untuk merasakannya.
Ketika mimpi buruk mulai datang—tentang tenggelam, keterasingan, dan kehilangan—itu adalah suara dari jiwa yang tertekan. Aku terbangun malam demi malam dengan keringat dingin dan perasaan seolah sesuatu telah hilang selamanya.
Kemudian datang diagnosis itu. Skizofrenia, kata dokter. Sebuah kata yang mengguncang semua orang di sekitarku, termasuk diriku sendiri. Sejak saat itu, dunia terasa seperti kabur, seolah-olah jendela yang dulunya jernih kini berlapis kabut.
Obat-obatan diberikan. Terapi demi terapi dijalani. Dan perlahan, kemampuanku untuk merasakan dunia yang tak terlihat mulai menghilang. Termasuk Ethan. Suaranya, kehangatannya, bahkan bayangannya—semuanya memudar, seperti ditiup angin hingga tak tersisa.
Tapi ia tetap di sana. Dalam tiap napas, tiap keraguan, tiap malam sunyi.
Suatu malam, Ibu Rita duduk bersamaku di dapur. Kami berbincang pelan, lalu aku bertanya, "Bu... Percayakah jika ku katakan Ethan masih ada di sini?" Ia memandangku lama sebelum menjawab, “Karena tubuhnya tidak kuat, Nak. Saat itu dia sudah sangat lemah. Tapi... tahukah kamu? Ia pernah bilang padaku: ‘Aku janji sama Rembulan buat nggak pergi. Aku akan tetap temani dia sampai dia besar.’ Mungkin… mungkin itulah kenapa kamu terus merasakan kehadirannya. Karena dia menepati janji.”
Waktu kami di dunia hanya empat bulan. Tapi janji Ethan melampaui batas itu. Cinta polosnya, kasihnya yang lembut, telah menjadi penjaga dalam hidupku. Ia tak pernah pergi.
Dan aku akan terus mengingatnya, selama jiwaku masih terhubung pada langit yang sama di mana ia kini berada.