Hari itu sekolah mengadakan karyawisata tahunan ke museum sejarah lokal. Pagi yang lembab dan mendung menyelimuti langit, seperti pertanda samar yang tak bisa kutafsirkan. Di lapangan sekolah, para siswa berbaris rapi mengenakan kaus seragam biru pucat, topi bisbol bertuliskan nama sekolah. Di punggung, tas kami menggantung—penuh bekal, minuman, dan barang-barang kecil yang katanya akan “membuat perjalanan lebih nyaman.” Aku berdiri paling belakang. Tanganku merogoh tas, memastikan isinya: payung lipat, botol air, bekal nasi bungkus dari Ibu, dan tentu saja, jurnal harianku. Barang yang paling tak bisa kutinggalkan.
Pada awalnya aku tak peduli. Aku pikir, untuk apa ikut tamasya kalau aku hanya akan menjadi bahan olok-olok lagi? Tapi sekolah tidak memberiku pilihan. Surat edaran resmi ditempel di mading—semua siswa diwajibkan ikut, dengan alasan “penguatan karakter dan evaluasi sosial.” Ketidakhadiran tanpa alasan medis akan memengaruhi nilai kepribadian. Beberapa guru bahkan mulai menegurku secara pasif-agresif di kelas.
"Kalau kamu tidak ikut, bagaimana kami bisa menilai interaksimu dengan teman-teman?" kata Bu Ratna dengan senyum yang kaku, tapi matanya menyiratkan penilaian.
Aku ingin membantah, tapi tak ada kekuatan tersisa. Dunia nyata selalu punya alasan untuk memaksaku kembali. Maka akhirnya, dengan langkah berat, aku menerima formulir itu dari wali kelas dan membawanya pulang.
Sesampainya di rumah, aku duduk di meja makan dengan formulir itu di tangan. Ibu sedang memotong sayuran di dapur, suaranya terdengar tenang meskipun aku tahu dia mengamati setiap gerak-gerikku. Aku menatap formulir itu tanpa tahu harus berkata apa. Rasanya ada beban yang tak bisa aku jelaskan, tapi Ibu tahu.
Dia berhenti sejenak, meletakkan pisau dan mendekat ke meja, lalu duduk di hadapanku. Matanya yang lembut menatapku penuh perhatian.
"Bulan," katanya pelan, suaranya mengalun penuh kasih sayang. "Kamu tahu, ibu hanya ingin kamu merasa bahagia, kan?"
Aku mengangguk pelan, meskipun hatiku bergejolak. Ibu melanjutkan, "Aku tahu dunia kamu sekarang terasa berat. Tapi, kadang... kamu harus mengambil langkah meski tak tahu ke mana langkah itu akan membawa."
Aku menunduk, tidak bisa menatapnya. Aku tidak tahu harus berkata apa. Rasa sakit itu seperti sesuatu yang terus menggerogoti dari dalam.
"Kenapa kamu tidak ikut saja, sayang?" tanya Ibu, suaranya mengandung harapan yang sulit kupahami. "Ini bisa menjadi kesempatan untuk melihat dunia lain, bertemu dengan teman-teman. Mereka semua peduli padamu, Bulan. Kadang, kita harus memberi kesempatan pada diri kita sendiri untuk ikut terlibat."
Aku terdiam, menatap formulir itu lagi. Aku tahu Ibu tidak sepenuhnya mengerti. Tapi dia selalu berusaha. Tidak seperti orang lain, dia tidak menghakimi. Dia hanya ingin aku merasa normal.
Aku merasakan tangan lembut Ibu yang menyentuh tanganku, membimbingku untuk membuka mata terhadap kemungkinan-kemungkinan kecil yang mungkin terlewatkan.
"Aku akan ikut, Bu," kataku akhirnya, suara terasa serak di tenggorokan. Aku tahu ini bukan keputusan yang sepenuhnya untuk diriku, tapi juga untuk Ibu, untuk memenuhi harapan yang dia bawa. "Aku akan coba, setidaknya."
Ibu tersenyum, seulas senyum yang penuh kelegaan. "Terima kasih, Bulan. Ibu tahu kamu bisa."
Keesokan harinya, aku menyiapkan diri untuk pergi ke sekolah, untuk mengikuti perjalanan itu. Meski hatiku masih ragu, langkahku terasa lebih ringan. Aku tahu Ibu akan melihat keputusan ini sebagai tanda bahwa aku akhirnya menjadi bagian dari dunia yang ‘normal’ dan itu memberiku sedikit kekuatan.
Suara bus besar berwarna kuning berderit saat parkir di depan gerbang sekolah, pintunya terbuka. Anak-anak bersorak, berlarian naik tangga. Mereka naik satu per satu dengan semangat khas remaja yang merasa hari ini adalah pelarian dari ulangan harian. Aku sempat melangkah, tapi langkahku terhenti.
Di kejauhan, di balik deretan pohon flamboyan, aku melihat seseorang. Anak laki-laki berjaket abu-abu dan kaus kaki panjang. Ia berdiri diam, mengamatiku dari balik bayang pepohonan. Matanya... entah bagaimana, terasa familier. Ethan? Tapi saat aku mengedipkan mata, ia sudah menghilang. Hanya angin yang tersisa, mengibaskan rambutku pelan.
Di dalam bus, semuanya riuh oleh suara musik dari speaker kecil yang dipasang sembarangan. Teman-temanku tertawa, bercanda, menukar makanan ringan. Aku duduk di tepi jendela, mencoba mengecilkan diri di kursi sempit yang belum ada pasangan duduknya. Kutundukkan kepala dan membuka jurnalku. Kucoba mengalihkan dunia luar ke dunia dalam.
"Kata-kata mereka tajam, seperti pisau. Omongan dan bisikan di tiap langkah membuatku merasa aku berada di lubang sumur yang dalam."
Baru saja aku menulis itu, suara keras mengagetkanku.
"Tutup buku lo, dong! Nggak nyambung arisan emak-emak nih!"
Seorang anak laki-laki dari kelas lain meletakkan tasnya di pangkuanku, sengaja. Jurnalku terjatuh ke lantai. Halaman-halamannya terbuka lebar seperti luka lama yang tak bisa ditutup.
Seorang siswi membungkuk, membaca sebaris tulisan. Ia menyipitkan mata, lalu tertawa.
"Wah, ini malah kayak novel horor. Kamu serius nggak sih?!"
Mereka tertawa. Tawa itu mengiris pelan-pelan. Tepukannya di sampul jurnal terasa seperti tamparan.
Aku ingin merebutnya kembali, tapi tanganku gemetar. Saat aku mencoba menarik napas, tiba-tiba dunia di depanku berubah. Kursi bus kosong di depanku berganti rupa. Bukan lagi jok plastik usang, tapi kursi tua berlapis beludru. Aku melihat ruang keluarga tua, dindingnya pucat dan lembab. Ada lukisan buram menggantung miring. Jam dinding berhenti di pukul tujuh lewat dua puluh.
Di kursi rotan tua, duduk seorang anak laki-laki berambut cokelat. Ia menatapku dengan mata kosong, seolah mengenalku.
“Jangan lihat ke sana,” bisikku pada diri sendiri.
Tapi mataku tak bisa berpaling.
Dalam kilatan cahaya, semuanya kembali. Bus, tawa, suara musik dari speaker kecil. Tapi aku—aku diam. Tubuhku masih gemetar.
Setiba di museum, panas matahari menyengat kulit. Rombongan memasuki area depan museum yang rindang dengan pohon bambu. Panas menyengat, membuat kulitku berkeringat di bawah topi. Aku berjalan pelan, tertinggal. Suara anak-anak memantul di antara dinding batu dan kanopi taman. Saat mataku menoleh ke jadwal kunjungan, ia muncul lagi. Di bawah pohon bambu di pinggir taman. Sosok yang sama berdiri di bawah pohon. Ia mengangkat tangannya pelan, seolah melambaikan salam. Lalu menghilang.
Di dalam museum, aku menelusuri lorong demi lorong artefak kuno. Kakiku terhenti di depan guci Tiongkok abad ke-17. Saat kubaca keterangannya, terdengar bisikan halus seperti angin di telinga.
"Kembalilah... sebelum terlambat..."
Aku menoleh cepat. Tidak ada siapa-siapa.
Dadaku sesak. Napasku tidak beraturan, seperti ada palu kecil menghantam dada. Aku berlari keluar lorong, menabrak pilar marmer. Hampir jatuh. Dua siswi melihatku.
"Rembulan! Astaga, kamu kenapa?"
"Aku—aku baik-baik saja."
Tanganku gemetar saat menerima botol air. Aku meneguk cepat. Tapi rasa hausku tidak pergi. Segalanya terasa asing—bahkan udara pun seolah memusuhi.
Selesai tur, kami berkumpul di lapangan parkir. Ibu Ratna menghampiriku.
"Rembulan, kamu kenapa tadi?"
"Tidak apa-apa, Bu. Cuma pusing sedikit."
Tiba-tiba suara aneh itu datang lagi.
Gemercik air terdengar. Deras. Seperti air terjun, meski tak ada sumber air di dekat sini.
Aku menutup telinga. Pandanganku goyah.
"Lepaskan dia, Bu!" teriakku tanpa sadar.
Semua terdiam. Bu Ratna memegang pundakku, panik.
"Rembulan, kita pulang saja, ya?"
Anak-anak lain tertawa. "Sengaja tuh dia. Panik pacar hantunya gak bisa dibawa keluar kota," salah satu dari mereka berkata sambil terkekeh.
Aku menggenggam tali tasku erat-erat. Tidak ada yang mendengarkanku.
Dalam perjalanan pulang, aku duduk sendiri di pojok bus. Di luar jendela, pemandangan seperti terlipat—desa tua, rumah kayu, kebun teh, Sungai Cikaniki yang mengalir seperti masa lalu yang tak mau pergi.
Aku teringat bisikan ibu suatu malam:
"Kalau kau terlalu lama di dunia lain, kau akan lupa caranya pulang."
Sesampainya di rumah, aku mengunci diri di kamar. Menulis:
"Mereka menyuruhku pulang sebelum terlambat. Tunggu aku, Ethan. Aku akan kembali."
Tiba-tiba... ada sentuhan di pipiku. Dingin. Lembut. Seperti embun. Aku menatap langit-langit—lampu berkelip. Tak ada apa-apa. Tapi aku tahu aku tak sendirian.
Malam-malam berikutnya menjadi mimpi buruk yang tak berujung. Aku sering bermimpi tersesat di padang ilalang yang berubah menjadi rawa. Airnya hitam. Sosok-sosok bayangan bermata putih mengejarku.
Suatu malam, aku bermimpi Ethan berdiri di atas jembatan gantung yang terbakar. Aku berteriak:
“Jangan tinggalin aku!”
Hanya gema kosong yang membalas:
“Kau sudah menutup gerbangnya...”
Dalam mimpi lain, aku berada di aula penuh cermin. Wajahku berubah-ubah. Pucat. Tua. Menjadi sosok lain. Di salah satu cermin, Ethan menggedor dinding kaca. Panik. Sementara sosok berkerudung hitam menarikku menjauh.
Aku mulai mencatat mimpi-mimpi itu. Ada pola: suara gong kecil, aroma dupa, bunga kantil. Semua tak bisa dijelaskan logika. Aku merasa dunia magis berusaha menembus realitasku.
Ibuku makin khawatir. Ia tak lagi hanya diam. Ia berencana membawaku ke psikolog. Katanya aku lelah, stres. Tapi aku tahu... ini bukan hanya itu.
Di sekolah, gangguan semakin parah. Dalam kelas, aku pernah berteriak melihat wanita berambut panjang berdiri di samping guru. Tak ada yang melihatnya. Tapi aku... aku yakin ia menatapku dan tersenyum aneh.
Kejadian itu membuatku semakin terasing. Guru menjadi canggung. Teman-teman semakin menjauh. Aku mendengar bisikan di koridor:
"Dia kerasukan."
"Kayaknya perlu dukun, bukan psikolog."
Hari-hariku tak pernah sunyi lagi. Suara-suara datang bahkan saat aku sedang belajar. Sosok-sosok muncul di sudut mata. Aku tak bisa tidur, tak bisa makan dengan tenang. Bahkan bayangan Ethan yang dulu menenangkan, kini terasa menjauh, suaranya semakin hampa.
Aku lelah.
Tapi aku masih menulis. Masih memanggil namanya.
Ethan... kau masih di sana, kan?
Aku berharap jawabannya datang. Sebelum semuanya terlambat.