Loading...
Logo TinLit
Read Story - Solita Residen
MENU
About Us  

Sejak Ethan menghilang, rasanya seperti semua warna ditarik keluar dari dunia. Segalanya tampak pudar, seperti lukisan tua yang ditinggalkan di loteng berdebu. Tertawa menjadi hal langka—seperti benda antik yang hanya bisa dilihat, bukan dirasakan. Bahkan suara angin, yang biasanya membawa kesejukan, kini terdengar seperti bisikan dari masa lalu, samar dan jauh. Aku berubah, menjadi lebih diam— lebih dari biasanya, dan semua orang bisa melihatnya. Tapi tidak ada yang benar-benar mau mengerti. Tidak sepenuhnya.

Di sekolah, aku hanya bicara kalau perlu—sebuah jawaban pendek, sepatah dua patah kata. Selebihnya, aku membiarkan suara-suara lain mengisi ruang. Aku menjadi penonton dalam hidupku sendiri. Di rumah pun sama. Aku mengerjakan tugas tanpa suara, tanpa keluhan… tapi juga tanpa semangat. Hampa. Seperti hidup hanya sebuah siklus tanpa jiwa: bangun, diam, tidur, ulangi. Hari-hari berlalu tanpa makna yang jelas, hanya terasa seperti lembaran kosong yang disusun bertumpuk, menunggu untuk diisi, tapi tidak pernah benar-benar dimulai.

Beberapa hari setelah Ethan hilang, aku mendengar anak-anak di belakang kelas tertawa pelan. Mereka tidak tahu aku mendengar, atau mungkin mereka tahu tapi tidak peduli. Suara-suara mereka seperti gemeresik daun kering yang dipijak: ringan, tapi melukai.

“Kamu tahu nggak? Ethan itu kayak temen imajinasi. Cuma ada pas Rembulan sendirian.”

Aku menunduk. Seolah kata-kata itu biasa saja. Seolah tidak menancap apa-apa. Tapi tidak. Kata-kata itu seperti duri kecil yang menyusup ke dalam pikiranku. Mereka tidak mencolok, tapi terus menusuk, perlahan, diam-diam, dan tumbuh seperti akar yang tak bisa dicabut.

“Apa Ethan benar-benar ada?”

Pertanyaan itu menempel di dinding pikiranku, menggantung di antara kesadaran dan penyangkalan. Setiap malam terasa lebih dingin. Bahkan selimut pun tak mampu menahan rasa sepi yang menyelusup sampai ke tulang. Aku sering duduk di jendela, memandangi langit yang pekat.

Bintang itu masih di sana—bintang yang dulu kami sebut Mentari Malam. Bintang yang kami pilih sebagai "punya kita". Tapi sekarang, tak ada suara yang memanggilnya. Ia hanya menggantung, diam, seperti sisa kenangan yang tak berani menyapa.

Kadang aku bermimpi tentang Ethan. Mimpi yang datang tiba-tiba, tanpa aba-aba. Tawa lembutnya, kalimat-kalimat yang sederhana namun mengisi ruang kosong di hatiku. Tangannya yang menggapai—tapi tak pernah bisa kugapai balik. Saat aku terbangun, tidak ada air mata. Hanya rongga di dada yang makin kosong. Seperti batu yang perlahan hancur dari dalam, runtuh tanpa suara.

Aku kembali ke pohon flamboyan di dekat rumah tua. Tempat kami dulu sering duduk berdua, membuat cerita, membagi rahasia, dan menulis dunia kecil milik kami sendiri. Kukeluarkan pisau kecil dari sakuku dan mengukir namanya sekali lagi di batang pohon. Huruf demi huruf, dengan hati-hati, seolah itu bisa memanggilnya kembali. Di bawahnya, aku menulis:

Aku tidak akan lupa.

Ibuku biasanya akan marah kalau melihat aku melamun terlalu lama. Tapi akhir-akhir ini... dia hanya diam. Pandangannya panjang, seperti seseorang yang menatap laut, ingin bertanya tapi takut akan jawabannya. Suatu malam, ketika rumah terlalu sunyi untuk anak sembilan tahun, dia duduk di sampingku dan bertanya pelan:

“Ada apa denganmu, Rembulan?”

Aku hanya menggeleng. Bagaimana aku bisa menjelaskan bahwa aku merasa seperti ada bagian dari diriku yang hilang? Seperti kain yang robek dan tak bisa dijahit kembali. Aku tidak menangis. Tidak juga marah. Aku hanya… menatap langit, berharap ada bintang yang bisa menjawab. Tapi bintang pun tak berbicara malam itu.

Aku berhenti ke sungai. Tak lagi lewat jalan kebun teh. Tak lagi menoleh ke arah batang pohon flamboyan tempat nama kami terukir. Tidak sanggup aku sentuh. Tapi kadang—saat malam purnama dan udara Cisarua terlalu sunyi untuk ditahan—aku mengintip dari balik semak-semak. Hanya untuk memastikan tempat-tempat itu masih ada. Seolah kalau mereka hilang juga, maka kenangan kami benar-benar akan lenyap.

Namun ada satu tempat yang tak pernah lagi aku datangi: sungai.

Itu tempat terakhir aku melihat Ethan. Hari itu kami terlalu dekat dengan arus yang deras setelah hujan semalaman. Aku tergelincir duluan. Ethan mencoba menarikku—dan malah ikut terseret. Aku masih ingat suara air yang menelan kami, jeritanku, dan tangannya yang nyaris tak pernah melepas... sampai akhirnya benar-benar lepas.

Aku diselamatkan. Tapi Ethan? Ia lenyap sejak saat itu. Seolah ditelan oleh dunia yang tak mau memberinya kembali. Diam-diam aku bertanya-tanya: apakah Ethan pergi karena merasa bersalah? Apa dia tak sanggup melihatku karena merasa gagal menjaga?

“Mungkin dia pikir semua ini salah dia,” bisikku suatu malam.

Dan karena itu… aku tidak bisa marah. Tidak bisa membenci. Hanya... merindukannya. Pelan-pelan, rasa itu memakan bagian terdalam dari diriku. Rasa rindu yang bukan sekadar ingin bertemu, tapi rindu yang tidak tahu harus mencari ke mana.

Lalu, datanglah mimpi itu.

Malam setelah ulang tahunku yang kesepuluh, aku bermimpi sedang berjalan di hutan. Kabut tipis menggantung di antara pohon-pohon tinggi seperti tirai dari dunia lain. Dan di sana, berdiri seseorang yang sangat aku kenal—Ethan. Tubuhnya kurus. Rambut cokelatnya berantakan. Ketika ia menoleh, matanya menatapku dengan kelembutan yang dulu selalu aku ingat.

Tapi... wajahnya pucat. Senyumnya manis, tapi... kosong. Ia tak bicara. Ia hanya menunjuk ke arah sumur tua di belakang rumah kosong—tempat kami dulu bermain sebelum dia hilang.

Aku terbangun. Nafasku terengah. Tapi yang paling aneh—di saku jaketku, ada daun pisang kecil. Di atasnya tertulis samar:

“Bunga awan tak pernah layu.”

Kalimat itu... hanya kami berdua yang tahu. Hanya Ethan yang bisa menuliskannya. Tulisannya pun khas, sedikit miring ke kanan. Jadi, apakah dia benar-benar pergi?

Atau... apakah dia memang bukan anak biasa sejak awal?

Sejak malam itu, suara-suara aneh muncul. Ketukan di jendela. Langkah pelan di atap. Bayangan yang melintas di sudut mata. Tapi aku tidak takut. Justru... aku merasa damai. Seolah Ethan ada di sini. Dekat.

Sore itu, tanpa sadar kakiku membawaku ke padang ilalang di balik bukit—tempat favorit kami. Dan di sana, berdiri seorang anak laki-laki. Rambutnya rapi, tubuhnya tampak sedikit lebih tinggi. Kemeja putihnya tertekuk bersih, celana panjangnya tidak berdebu.

“Ethan?” bisikku.

Ia menoleh. “Aku kembali,” katanya.

Aku terbelalak tidak percaya, jantungku nyaris melompat saking senangnya. Aku berlari memeluknya. Tubuhnya terasa dingin. Tapi nyata.

“Aku pikir kamu... kamu udah nggak tinggal di sini,” suaraku bergetar.

“Aku sempat... sakit,” jawab Ethan pelan.

“Sakit?”

“Iya... Sakit.”

Aku melepaskan pelukanku dan menatap wajah Ethan. Ia tampak... utuh. Bahkan terlalu sempurna. Tidak ada luka, tidak ada tanda-tanda lelah. Tapi sesuatu dalam matanya berbeda. Kosong.

Tapi sepertinya aku terlalu bahagia untuk merasa khawatir, atau hanya tidak ingin memikirkannya.

Sejak hari itu, aku hidup untuk Ethan. Setiap sore aku menyelinap pergi. Kami bicara, tertawa kecil. Tapi... Ethan tidak pernah mau ikut ke rumahku. “Belum waktunya,” katanya, selalu begitu.

Tapi makin hari, aku tahu... ada yang tidak biasa.

Ia jarang menyentuhku. Bayangannya tak selalu terlihat. Kadang, daun-daun tak bergeming saat ia lewat. Dan satu sore, seekor kucing mendesis tajam ke arahnya—lalu lari seperti ketakutan. Seolah melihat sesuatu yang tak seharusnya ada.

Aku mulai bertanya-tanya. Tapi Ethan hanya tersenyum.

“Kucing itu instingnya terlalu tajam.”

Meski rasanya ada yang tidak beres, aku tetap tinggal. Aku tak mau kehilangan dia—lagi. Aku lebih memilih keanehan ini daripada kesepian yang telah lama menggerogoti jiwaku.

Sampai akhirnya... ibuku mulai menangis dalam diam. Guruku memanggilku lebih sering. Bahkan ketika ejekan anak-anak di sekolah semakin tajam, aku tetap bicara tentang Ethan.

“Dia kembali, Bu. Aku tahu ibu nggak ingat dia. Itu loh anak yang dulu tinggal di atas bukit.”

Ibuku menarik napas dalam, lalu duduk di sisi tempat tidur. Lama ia terdiam, menatap wajah anaknya yang pucat oleh rindu dan keyakinan.

Ia menggenggam tanganku erat.

“Rembulan... kamu ingat, dulu kamu sering cerita tentang teman laki-laki? Tapi kami... nggak pernah lihat dia. Nggak ada orang tua yang pernah jemput. Nggak ada guru yang tahu.”

“Itu Ethan, Bu,” kataku. “Dia sakit.”

“Rembulan,” suaranya bergetar. “Kadang... kamu lihat hal-hal yang orang lain nggak bisa. Kamu tahu itu, kan?”

Aku diam. Lalu ia menambahkan:

“Mungkin... Ethan cuma teman khayalanmu waktu kecil. Dan sekarang, karena kamu kesepian... dia kembali.”

“Tapi Ethan beda, Bu,” jawabku.

“Dia... dia nyata. Aku bisa menyentuhnya. Kami ngobrol. Dia nggak kayak yang lain.”

Aku menepis kata-kata itu. Tapi di lubuk hatiku... keraguan mulai tumbuh seperti kabut yang tak bisa aku usir.

Aku menatap jendela. Di luar hanya senja dan padang kosong. Ethan tak datang sore itu.

Ibuku memelukku, tubuhnya bergetar. “Jangan hilang, ya, Bulan...”

Aku memejamkan mata. Tapi aku tahu, aku sudah mulai pergi.

Ke tempat yang hanya bisa aku jamah. Tempat di antara mimpi, rindu, dan sesuatu yang belum aku mengerti.

Mungkin itu persahabatan, cinta.

Mungkin itu kehilangan.

Atau... mungkin itu kebenaran—yang selama ini tak ingin kuakui.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Trust Me
41      35     0     
Fantasy
Percayalah... Suatu hari nanti kita pasti akan menemukan jalan keluar.. Percayalah... Bahwa kita semua mampu untuk melewatinya... Percayalah... Bahwa suatu hari nanti ada keajaiban dalam hidup yang mungkin belum kita sadari... Percayalah... Bahwa di antara sekian luasnya kegelapan, pasti akan ada secercah cahaya yang muncul, menyelamatkan kita dari semua mimpi buruk ini... Aku, ka...
Bittersweet Memories
17      17     1     
Mystery
Sejak kecil, Aksa selalu berbagi segalanya dengan Arka. Tawa, rahasia, bahkan bisikan di benaknya. Hanya Aksa yang bisa melihat dan merasakan kehadirannya yang begitu nyata. Arka adalah kembarannya yang tak kasatmata, sahabat sekaligus bayangan yang selalu mengikuti. Namun, realitas Aksa mulai retak. Ingatan-ingatan kabur, tindakan-tindakan di luar kendali, dan mimpi-mimpi aneh yang terasa lebih...
Hello, Me (30)
320      14     0     
True Story
Di usia tiga puluh tahun, Nara berhenti sejenak. Bukan karena lelah berjalan, tapi karena tak lagi tahu ke mana arah pulang. Mimpinya pernah besar, tapi dunia memeluknya dengan sunyi: gagal ini, tertunda itu, diam-diam lupa bagaimana rasanya menjadi diri sendiri, dan kehilangan arah di jalan yang katanya "dewasa". Hingga sebuah jurnal lama membuka kembali pintu kecil dalam dirinya yang pern...
A Little Thing You Never Know
245      157     1     
Inspirational
Aryn yang merasa hidupnya monoton dan gagal meraih mimpinya, tiba-tiba kembali ke masa lalu dengan tubuh manusia seorang malaikat maut yang bernama Sion. Di sana, dia kembali bertemu dengan dirinya yang berumur tiga belas tahun yang gagal mencapai impiannya karena keterbatasan finansial, tidak mau dirinya di masa depan kembali menghadapi itu, maka Aryn mencoba mengubah masa depannya dengan memban...
Langit-Langit Patah
19      18     1     
Romance
Linka tidak pernah bisa melupakan hujan yang mengguyur dirinya lima tahun lalu. Hujan itu merenggut Ren, laki-laki ramah yang rupanya memendam depresinya seorang diri. "Kalau saja dunia ini kiamat, lalu semua orang mati, dan hanya kamu yang tersisa, apa yang akan kamu lakukan?" "Bunuh diri!" Ren tersenyum ketika gerimis menebar aroma patrikor sore. Laki-laki itu mengacak rambut Linka, ...
No Life, No Love
573      462     2     
True Story
Erilya memiliki cita-cita sebagai editor buku. Dia ingin membantu mengembangkan karya-karya penulis hebat di masa depan. Alhasil dia mengambil juruan Sastra Indonesia untuk melancarkan mimpinya. Sayangnya, zaman semakin berubah. Overpopulasi membuat Erilya mulai goyah dengan mimpi-mimpi yang pernah dia harapkan. Banyak saingan untuk masuk di dunia tersebut. Gelar sarjana pun menjadi tidak berguna...
Kamu Tidak Harus Kuat Setiap Hari
1271      739     0     
Inspirational
Judul ini bukan hanya sekadar kalimat, tapi pelukan hangat yang kamu butuhkan di hari-hari paling berat. "Kamu Tidak Harus Kuat Setiap Hari" adalah pengingat lembut bahwa menjadi manusia tidak berarti harus selalu tersenyum, selalu tegar, atau selalu punya jawaban atas segalanya. Ada hari-hari ketika kamu ingin diam saja di sudut kamar, menangis sebentar, atau sekadar mengeluh karena semua teras...
Lost & Found Club
285      232     2     
Mystery
Walaupun tidak berniat sama sekali, Windi Permata mau tidak mau harus mengumpulkan formulir pendaftaran ekstrakurikuler yang wajib diikuti oleh semua murid SMA Mentari. Di antara banyaknya pilihan, Windi menuliskan nama Klub Lost & Found, satu-satunya klub yang membuatnya penasaran. Namun, di hari pertamanya mengikuti kegiatan, Windi langsung disuguhi oleh kemisteriusan klub dan para senior ya...
Diary of Rana
158      135     1     
Fan Fiction
“Broken home isn’t broken kids.” Kalimat itulah yang akhirnya mengubah hidup Nara, seorang remaja SMA yang tumbuh di tengah kehancuran rumah tangga orang tuanya. Tiap malam, ia harus mendengar teriakan dan pecahan benda-benda di dalam rumah yang dulu terasa hangat. Tak ada tempat aman selain sebuah buku diary yang ia jadikan tempat untuk melarikan segala rasa: kecewa, takut, marah. Hidu...
Metafora Dunia Djemima
65      51     2     
Inspirational
Kata orang, menjadi Djemima adalah sebuah anugerah karena terlahir dari keluarga cemara yang terpandang, berkecukupan, berpendidikan, dan penuh kasih sayang. Namun, bagaimana jadinya jika cerita orang lain tersebut hanyalah sebuah sampul kehidupan yang sudah habis dimakan usia?