Mengerjap-ngerjapkan mata sembari menahan pusing yang menyerang begitu hebat di kepala. Aku cek handphone yang berada di atas rak, ternyata sudah pukul 04.00. Segera aku bang unkan Zura, Aqila dan Rini. Tampaknya mereka teramat nyaman di alam mimpi sehingga mereka tidak mendengarkanku sama sekali. Oke, aku menyerah saat ini. Aku putuskan untuk mandi dulu saja dan bersiap untuk melaksanakan salat Subuh.
Setelah selesai mandi dan berganti baju, aku kembali mencoba membangunkan para putri tidur ini. Seharusnya akulah yang tertidur lelap saat ini, pasalnya semalam aku tidak bisa tertidur karena dinginnya AC dan berbagai gangguan lainnya. Aku tertidur sekitar jam 12, jika dihitung aku hanya tidur selama 5 jam! Sungguh, kini rasa sakit menjalar hebat di kepalaku.
“Bangun-bangun, sudah pagi! Bentar lagi waktu salat Subuh loh!”
“Hmm, lima menit lagi,” keluh Aqila yang membuatku menghela nafas panjang.
“Nggak boleh ya, jangan ditunda-tunda.”
“Oke-oke, sebentar aku mengumpulkan nyawa dulu.” Mereka mengusap-usap matanya kemudian bersiap untuk mandi. Akhirnya putri-putri ini bisa dibujuk, untunglah tidak ada pemberontakan yang sangat lama. Aku membuka pintu kamar kemudian kembali menutupnya. Aku seperti sedang meminum air segar dan jernih ketika bertemu dengan udara pagi, sejuk dan damai. Tak ada siapa pun di luar. Apakah manusia yang berada di kamar lain masih terjebak di alam mimpi? Beberapa menit kemudian, aku kembali masuk ke dalam kamar dan melihat Aqila dan Rini yang sedang mengambil mukena. Melihat hal itu aku pun ikut mengambil mukena.
“Ayo kita ke musala!” ucap Aqila sembari tersenyum semringah. Ada apa dengannya hari ini? Ia seperti sedang menyerap semua semangatku. Sebelum melangkahkan kaki di musala, aku melihat Biru yang berada di depanku yang hendak memasuki musala. Aku tersenyum kemudian kembali ke ekspresi semula. Kenapa dia sering lewat di depanku? Apakah ini ujian engkau Ya Allah? Gejolak hati ini selalu membara ketika bertemu dengan Biru, susah sekali untuk tidak memikirkannya. Tetapi, aku ingin fokus dengan cintaku pada Allah terlebih dahulu sebelum cinta dengan ciptaannya. Cinta terhadap lawan jenis juga tidak ada kepastian, pasalnya orang yang kita cintai itu belum tentu jodoh kita.
Teguhkan imanmu Ila! batinku.
“La?” tanya Aqila yang berhasil memecahkan pikiranku.
“Ah iya.”
Setelah selesai melaksanakan salat, saat mendengar bahwa sarapan sudah siap, kami segera ke kamar untuk menaruh mukena dan mengajak Zura untuk pergi sarapan. Kabar burung itu membangkitkan semangat kami hingga Aqila membuka pintu dengan tenaga yang besar.
“Ayo kita sarapan!” Zura mengelus-elus dadanya. Sepertinya ia terkejut bukan main ketika pintu tiba-tiba terbuka dengan cepat dan penuh energi itu.
“Salam dulu! Huh, aku kira maling tahu!” Mendengar hal itu dari Zura Aqila cengengesan.
“Assalamuailaikum,” ucap Aqila yang berusaha memperbaiki kesalahannya.
“Waalaikumsalam, nah gitu. Ada apa sampai terburu-buru begitu?”
“Katanya sarapan sudah siap, ayo kita ke sana! Kalau kelamaan nanti keburu dilahap habis oleh omnivora!” Zura menghela nafas panjang, sepertinya ia sudah capai dengan temannya satu ini.
“Ya sudah, ayo.”
Segera kami taruh mukena, kemudian pergi untuk menyenangkan perut. Setelah menuruni anak tangga, para pegawai hotel berlalu-lalang di hadapanku. Mereka terlihat sangat sibuk.
“Maaf Mba, izin bertanya kalau tempat sarapan di mana ya?” tanyaku sembari memberhentikan salah satu pegawai hotel.
“Di atas dek.” Pegawai itu menunjuk ke arah tangga yang terlihat begitu panjang di sebelahnya. Sungguh? Tangga lagi? Apakah hotel ini sangat menyukai tangga ya? Tak lama kemudian pegawai itu pamit dan meninggalkan kami.
“Lautan saja aku arungi, tangga mah kecil,” celetuk Aqila yang membuatku tak habis pikir.
“Sejak kapan kamu arungi lautan? Berenang saja tidak bisa,” ucap Zura yang membuat Aqila menyeringai.
“Lautan Manusia di toko oleh-oleh Yogyakarta. Hohoho.”
“Sudahlah ayo ke atas,” ucapku yang mencoba memberhentikan pertikaian absurd ini.
Setelah sampai, pandanganku terpaku pada makanan yang teramat menggoda, tampilannya sekelas restoran! Segera aku mengambil makanan dengan konsep prasmanan ini. Ayam goreng serundeng, sambal goreng kentang, dan rujak sayur, itulah makanan yang telah aku ciduk dan menaruhnya di atas nasi putih yang mengepul dengan hangat. Untuk minumnya, seperti biasa es teh manis yang kondisi es batunya sudah mencair. Sungguh, lebih baik aku meminum air putih saja daripada es teh manis yang sudah mencair pasti rasanya manis hambar bila diminum. Sudahlah, aku nikmati saja.
Aku taruh piring di atas meja kemudian duduk dan memakannya dengan lahap. Setelah aku menggigit ayam goreng serundeng ini, aku menyesal, menyesal telah mengambilnya! Ayam goreng serundeng ini entah kenapa seperti batu! Gigiku sampai bergetar karenanya. Alhasil aku hanya memakan selain ayam. Memang sayang, tetapi gigiku tidak mau menggigitnya. Hatiku menangis melihat ayam yang tidak bisa aku makan. Saat makanan sudah tandas dan hanya menyisakan ayam, aku menghela nafas berat. Ketika sudah sampai di kamar aku masih memikirkan ayam.
“Kenapa mukamu ditekuk seperti itu?” tanya Zura.
“Ayam,” jawabku singkat.
“Ohh ayam bagai batu akik itu, sudahlah memang apa masalahnya kalo tidak dihabiskan, toh ayamnya juga keras.”
“Nanti nangis.”
“Hah?”
“Nanti ayamnya nangis, kata ibuku kalo gak dihabiskan nanti pada nangis.” Mendengar perkataanku entah kenapa Zura menepuk jidatnya, sedangkan Rini dan Aqila tertawa terbahak-bahak. Apakah ada yang salah dengan perkataanku? Benarkan? Nanti kalau tidak habis lauk pauk dan nasi akan menangis.
“Ehm, kalo ayam yang kamu makan itu gapapa, katanya dia akan marah ke pegawai karena membuatnya tidak bisa dimakan,” ucap Aqila sembari menyentuh pundakku.
“Oh gitu ya, syukurlah.”
“Nah, ayo kita beres-beres! Kita akan pergi meninggalkan hotel ini!” seru Rini. Ia sepertinya bahagia karena akan meninggalkan hotel ini. Tak lama kemudian, kami membereskan barang-barang kami dan memasukkan semua ke dalam tas dan membuatnya seperti balon raksasa. Aku takut kami bakal encok saat membawanya sembari menuruni tangga.
Ketika kami sampai di hadapan tangga, kami menghela nafas berat. Aku kuatkan tekad dan menuruni anak tangga. Berat! Mungkin sehabis ini ototku akan berdenyut-denyut. Huh, bismillah! Kuatkan hambamu ini Ya Allah.
Setelah menuruni anak tangga, kami meregangkan otot-otot kami lalu lanjut berjalan menuju bis. Tidak apa-apa! Ini mungkin ujian agar ke depannya kita menjadi the powers of emak-emak. Ketika kami sampai di hadapan bus, kami terkejut bukan main melihat pedagang-pedagang keliling yang siap menawari barang yang dijualnya.
“Dek, gantungan kunci Borobudur 10 ribu dapat tiga loh!”
“Mochi aneka varian! 15 ribu dapat banyak loh!”
“Es segar-segar, siapa tahu adik-adik bakal kehausan di jalan, mending beli dulu sebelum kehausan!”
Oh tidak energiku sampai habis diserap oleh pedagang-pedagang yang sangat bersemangat mencari nafkah itu. Segera aku melarikan diri meninggalkan Zura, Aqila dan Rini, kemudian pergi menuju bus satu. Ternyata, bagasi sudah dibuka, aku taruh tasku dibagasi, karena tidak mungkin muat di rak penyimpanan atas bus lagi pula aku sering memakai handphone jadi aku menaruhnya di tas kecil yang selalu aku gendong saja. Aku juga harus meningkatkan kewaspadaanku agar tidak ada yang mengambil handphone atau uangku.
Tak lama kemudian, aku melihat Zura, Aqila dan Rini yang berjalan menghampiriku. Aqila kini tergopoh-gopoh karena mengangkat tas yang berat sembari membawa tumpukan box mochi. Untunglah aku melarikan diri, kalau tidak aku akan tergiur dengan barang-barang yang dijual.
“Kita cariin ke mana-mana, ternyata ada di sini,” ucap Zura yang membuatku menggaruk-garuk kepala yang tidak terasa gatal.
“Monggo Mbae tase di taruh dulu,” ucapku yang dicampur dengan bahasa Jawa sembari menunjuk bagasi. Setelah tas sudah di taruh, menaiki bus dan melihat bus yang masih sepi.
Hening, sunyi, itulah yang aku inginkan! Segera aku duduk lalu menikmati keheningan ini. Aku serap keheningan untuk menjadi energiku nanti saat di wisata berikutnya.