Namanya Kikan. Ya, Kikan. Nama yang sama, bahkan seringkali dianggap kembar. Setiap kali nama 'Kikan' dipanggil, kedua gadis itu akan menoleh atau menyahut. Hal itu tanpa sadar mendekatkan mereka, menjadi teman yang tak pernah bertengkar.
Banyak kenangan mereka yang masih tersimpan di otak Kikan. Hal itu juga yang membuatnya benci dengan diri sendiri. Perasaan sakit menyerbu karena mengingat Gadis 13.
"Aku ingin jadi kamu. Aku ingin menjadi Kikan seperti kamu, bukan Kikan seperti aku."
Gadis 13 selalu ingin menjadi sepertinya. Namun, siapa sangka bahwa kehidupan Kikan lebih buruk dari pada Gadis 13.
Semoga kamu damai di sana.
Kikan menghela napas panjang, menatap ujung sepatunya yang kotor. Keningnya berkerut, ketika melihat sesuatu yang aneh di dekat sol sepatunya. Terdapat bercak merah, seperti darah yang mengering.
Penasaran, Kikan melempar tasnya terlebih dahulu ke atas meja lalu berjongkok untuk melihat lebih jelas. Namun, tiba-tiba sesuatu mendorong kepalanya dengan kuat hingga tidak sengaja hidungnya bertabrakan dengan kursi. Seketika darah menetes dari hidungnya dan menetes tepat di bercak merah di sepatunya.
Ia mendongak perlahan, sedikit menahan rasa sakit di hidungnya. Ditemukannya sosok Chelsea dengan senyuman miring. Gadis itu terlihat baik-baik saja. Seolah kejadian seminggu yang lalu tidak berarti apa-apa. Chelsea yang lama telah kembali.
"Minggir! Halangin jalan orang aja!" hardiknya.
Kikan menggeser langkahnya lalu berdiri. Ia tidak mau membuat Chelsea semakin marah. Walaupun tahu bahwa Chelsealah yang mencari masalah dengannya.
"Masih di sini! Pindah!"
Bukan Chelsea namanya jika tidak merundung Kikan hingga puas. Gadis itu mendorong tubuh Kikan hingga menabrak meja. Pinggang Kikan terasa berdenyut, sangat sakit. Apalagi hari ini memasuki periode bulanan menstruasinya. Bertambah dua kali lipat.
Akan tetapi, Kikan masih bersabar. Ia duduk di kursinya dan mengeluarkan buku tugas untuk memeriksa kembali jawabannya.
Chelsea berulah lagi. Ia menarik buku Kikan dan menjatuhkannya ke dalam ember berisi air bekas pel.
"Ups, gak sengaja. Gue cuma mau liat tugas lo padahal," ucap Chelsea dengan wajah lugu. Sayang sekali, Kikan tidak tertipu. Ia melihat dengan mata telanjang. Ember itu juga seharusnya tidak di sana. Ia mengepalkan tangannya dengan kuat. Tidak bisa menahannya lagi.
Saat hendak mengangkat tangan berniat menampar, suara bel terdengar. Chelsea kembali ke kursinya, sementara Kikan mengambil bukunya yang basah dengan mata menahan tangis. Susah payah mengerjakan tugas, tetapi akhirnya ia tidak bisa mengumpulkannya.
Guru Kimia masuk, takada kesempatan untuk menulis ulang. Benar saja, Kikan tidak diizinkan mengikuti kelas karena tugasnya tidak dikumpul. Berakhir berdiri di luar kelas. Begitulah Kikan menjadi 'gadis yang tidak pantas berada di kelas unggulan'.
Ting!
Suara notifikasi membuyarkan lamunan Kikan. Dikeluarkannya ponsel pintar dari sakunya, mendapati sebuah pesan asing yang mempromosikan jasa pelet online. Benar-benar menyebalkan.
Hendak mematikan ponsel, tetapi tatapannya terpaku pada sebuah ikon aplikasi. Tic Tac toe.
Ia melirik ke dalam kelas. Chelsea sedang mengerjakan soal dari guru Kimia di papan tulis. Senyuman terpatri di bibirnya setelah mendapat pujian dari guru. Beberapa saat kemudian, wajahnya menjadi sedih, menjadi orang paling menyedihkan di dunia ketika guru Kimia menanyakan perihal ibunya. Palsu!
Kikan mengepalkan tangannya dengan kuat, lalu memandang kembali pada ponselnya. Dibukanya aplikasi Tic Tac Toe dan permainan dimulai. Tidak butuh waktu lama hingga ia dinyatakan menang. Lalu muncullah kolom kosong yang disediakan untuk menuliskan nama orang yang dibenci.
Chelsea
***
Darah masih keluar dari hidung, membuat Kikan sedikit pening. Ia memilih pergi ke UKS daripada berdiri di luar kelas selama dua jam. Tidak peduli jika nanti dimarahi. Toh, jika bukan ia sendiri yang peduli dengan kesehatannya. Siapa lagi?
Tak disangka, sesampainya di UKS malah bertemu dengan Kaelan. Setelah menceritakan mengenai Gadis 13 padanya, Kikan merasa agak canggung. Sudah telat jika ia berniat kembali. Mau tak mau harus masuk ke UKS.
Sembari berbaring, ia melirik Kaelan. Lelaki itu sedang membereskan kotak obat di lemari. Semenjak Kikan masuk, Kaelan tidak banyak bicara.
"Butuh sesuatu?" tanya Kaelan menaikkan alisnya.
Kikan gugup, tak menyangka bahwa Kaelan menyadari tatapannya. Ia menggeleng sebagai respon.
"Kalau berdarah terus, nanti ke rumah sakit aja," ujar Kaelan yang dibalas anggukan.
"Lo selalu di UKS?" tanya Kikan akhirnya memberanikan diri untuk bicara.
Kaelan menoleh lalu menggeleng. "Kebetulan gue dapat jadwal piketnya hari ini. Anak PMR selalu kebagian jadwal buat piket di UKS untuk bantu Bu Sashi. Lagian, setiap Senin, ada aja anak yang tumbang."
Kaelan selesai membereskan kotak obat dan kembali duduk di kursinya. Ia membuka sebuah buku yang berisi data-data murid yang masuk ke UKS lalu menunjukkannya pada Kikan.
"Hari ini lebih banyak dari biasanya. Tapi pas jam 10, UKS langsung sepi," ujar Kaelan terkekeh. Tanpa sadar, Kikan ikut tersenyum.
"Jadi ... lo gak belajar setiap Senin?" tanya Kikan, antara penasaran dan mencoba menghilangkan kecanggungan. Ia sudah bercerita mengenai Gadis 13, Kaelan juga mempercayainya. Mereka bisa menjadi teman, bukan?
"Belajar, kok. Kayak yang gue bilang tadi, Senin UKS rame. Tapi cuma pas kegiatan upacara. Hari ini kebetulan guru gak masuk di kelas gue dan Bu Sashi izinin gue di UKS."
"Oh."
"Gitu aja?"
"Hah?"
"Gitu aja respon lo?"
Kikan berdeham tidak nyaman. Suara tawa terdengar.
"Gue bercanda. Jadi, Kikan. Apa nama panjang lo? Jangan bilang nama panjang lo Kikaaaa ... an?"
Kikan tersenyum tipis. Hatinya menghangat setiap kali Kaelan menyebut namanya.
"Ayo, jawab. Jangan lama," desak Kaelan.
"Kikan Rosalin."
"Bagus namanya," gumam Kaelan yang masih didengar Kikan. Pipi gadis itu bersemu, sementara Kaelan sedang menuliskan namanya di buku UKS.
"Gimana? Udah baikan?" tanya Kaelan seraya menoleh. Kikan mengalihkan pandangan.
"Eum ...."
"Heran. Bisa-bisanya hidung kepentok meja."
Kikan bangkit dan beringsut turun dari ranjang. Dengan kondisi kepala agak menengadah, ia melirik Kaelan yang tiba-tiba berdiri di sebelahnya, membantunya turun.
Tiba-tiba pintu UKS terbuka lebar dengan suara dobrakan yang keras. Kikan dan Kaelan berjingkat kaget. Bu Shasi masuk dengan wajah panik. Tadi wanita itu ke toilet. Apa sesuatu terjadi ketika ia kembali?
"Kenapa, Bu?" tanya Kaelan.
Belum sempat dijawab, beberapa orang langsung menerobos masuk ke UKS dengan menggotong Chelsea yang terlihat kesulitan bernapas. Wajah mereka terlihat panik.
Kikan hampir saja terjatuh jika Kaelan tidak menolongnya. Demi keselamatan, mereka berdua keluar dari ruangan dan membiarkan Bu Shasi dan guru lainnya masuk.
Di luar tak kalah paniknya, seluruh teman kelas Kikan berada di sana. Mereka terlihat bertengkar dan saling menyalahkan.
"Tenang! Bukan salah kita. Kita semua enggak tahu kalau Chelsea alergi sama keju."
"Ya, tapi andai aja kalau kue itu lo makan duluan, Chelsea gak mungkin makan!"
"Lo bego? Chelsea yang mau makan sendiri! Kita semua bertengkar karena apa? Karena gak ingatin Chelsea buat gak makan roti itu sementara kita gak tau alerginya?"
"Tapi Siska tau!"
"Gue gak tau isi roti itu keju!"
"Woi, jangan bertengkar lagi! Chelsea di dalam. Jangan sampai bikin keributan."
Sekali Ares bersuara, keadaan di luar langsung hening. Kikan dan Kaelan masih berdiri di depan pintu. Akhirnya mereka tahu alasan Chelsea masuk UKS.
Suara mobil ambulans terdengar. Tubuh Chelsea kembali digotong memasuki mobil ambulans. Hingga beberapa saat kemudian, setelah mobil ambulans pergi, keadaan menjadi membisu.
Namun, suara kembali terdengar saat Siska menghampiri Kikan dan hendak menamparnya. Akan tetapi, ditahan oleh Kaelan. Siska marah dan mengentakkan tangan Kaelan yang menahannya.
"Ini semua gara-gara roti lo!" tuduh Siska dengan wajah berang. Akhirnya Kikan tahu dari mana sumber masalah itu.
Ia mendapat roti itu di laci, entah siapa yang mengirimkannya. Tadinya ia berpikir akan memakannya saat istirahat tiba. Siapa sangka bahwa Chelsea akan menggeledah tasnya dan mengambil roti yang berakhir buruk untuk dirinya sendiri.
"Oh, jadi dia nyuri punya Kikan? Salah sendiri, kan? Kenapa lo harus nyalahin Kikan?"
"Seandainya Kikan gak punya roti itu di tas, Chelsea—"
"Masih membela? Gini, ya, kelakuan anak unggulan? Barang orang lain jadi miliknya? Jangan bilang itu makna kekeluargaan bagi kalian? Gue yang kasih roti itu buat Kikan. Lo mau nyalahin gue juga?"
"Itu ...."
"Siska! Balik ke kelas!" Ares segera memberi ultimatum.
Siska terdiam, tampak malu. Dengan wajah merah, ia pergi meninggalkan Kikan. Untuk kali ini, mereka tidak bisa menyalahkan Kikan walaupun ingin. Ia tidak bisa membuat kelas unggulan tercemar lagi.
Sepeninggalan mereka, Kaelan mendengkus. "Malu-maluin banget."
"Makasih," ucap Kikan mengangkat wajahnya. Kaelan sering membantunya. Ia mulai merasa, dunia ini indah.
Merasa tidak berkepentingan lagi di UKS, keduanya berjalan bersisian di koridor menuju kelas masing-masing. Berpisah dengan Kaelan, Kikan berjalan masuk ke kelasnya. Kelasnya hening dengan wajah cemas tergambar pada setiap murid kelasnya. Setelah duduk di kursinya, ia merapikan isi tas yang telah diacak-acak sebelumnya.
Kikan merasa kantong roknya bergetar. Ia mengeluarkan ponsel yang menampilkan sebuah notifikasi.
Mission complete.
Seorang guru masuk dengan napas terengah-engah. Wajahnya tampak pucat. Terlihat sekali bahwa tubuhnya gemetar.
"Chelsea meninggal."