Tiga belas. Ada tiga belas murid di kelas 2-A itu. Mereka semua adalah murid pilihan. Dianggap sebagai kebanggaan sekolah, diperlakukan bak anak putri raja. Mereka disukai banyak orang, tetapi juga dibenci. Sehingga ada yang mengutuk kelas tersebut sebagai 'kelas sialan'.
Benar saja, kelas itu telah terkutuk. Sejak murid dengan nomor absen 13 meninggal karena bunuh diri, kelas unggulan itu mulai ditakuti. Ada yang percaya bahwa murid yang bunuh diri itu di-bully. Terlebih beberapa waktu setelahnya, mereka melihat seorang gadis-si nomor absen 1 yang sering keluar dari kelas dalam keadaan yang tidak biasa. Beberapa orang pernah melihat bagaimana gadis itu di-bully dan mereka diancam dengan harta dan tahta. Sehingga, kekejaman itu tidak pernah dibongkar.
Kelas unggulan sekarang sepi. Sudah dua hari, tidak ada yang masuk kecuali Kikan. Pada akhirnya, ia disuruh pulang oleh guru lain. Sayangnya, ia juga malas ke rumah. Sang mama yang memilih mendekam di kamar dan sang papa yang tidak pulang ke rumah. Papa tidak pulang, mungkin syok karena kematian Bu Rona-entahlah. Beruntung adik-adiknya berada di rumah nenek.
Kikan tidak tahu apa yang membuatnya memberanikan diri melangkah ke rumah sakit untuk mengunjungi Chelsea. Berbekal parsel buah di tangannya, ia berjalan pelan menelusuri koridor menuju kamar rawat Chelsea. Namun, tubuhnya menegang begitu melihat beberapa teman sekelasnya berada di depan kamar Chelsea. Sebagian duduk, dan lainnya berdiri.
Kikan menarik napas panjang dan kembali berjalan. Tatapan tidak menyenangkan menyambutnya. Ia datang menjenguk pun tidak bolehkah?
"Lo berani datang ke sini?" tanya Siska yang baru saja keluar dari ruangan Chelsea.
"A-aku mau liat Chelsea," ujar Kikan sedikit gemetar. Ia terintimidasi dengan tatapan mereka.
Siska tersenyum miring. "Oke, masuk aja."
Kikan sedikit kaget, tetapi ia tidak berani berkomentar. Ia mencoba menenangkan diri. Memasuki ruangan Chelsea bagaikan digiring ke penjara. Harusnya ia sadar, bahwa suasana di dalam lebih mengerikan.
Pintu tertutup dan ia telah memasuki ruangan Chelsea. Gadis itu tampak depresi dengan pandangan mengarah ke jendela. Mendengar suara pintu tertutup, ia langsung menoleh. Kikan menegang.
Chelsea menatapnya marah. Tiba-tiba melemparkan vas bunga ke arahnya. Telat sedikit, vas itu mengenai lengannya sehingga darah keluar dari sana. Kikan hanya mengerang.
"Keluar!" teriak Chelsea dengan mata memerah. Dia tidak terlihat seperti gadis lugu sebelumnya. Sifat aslinya telah keluar.
"Ma-maaf."
Kikan tidak berani menolak, sehingga ia meletakkan parsel buah di lantai dan segera keluar. Begitu tiba di luar, ia disambut dengan tatapan meremehkan.
"Masih punya nyali ke sini?" sinis Sena.
Kikan tahu, ia hanya melemparkan dirinya ke kandang harimau. Namun, ia juga punya hati nurani. Sebagai teman sekelas, ketika ada yang sakit, bukankah wajib baginya untuk menjenguk?
"A ... aku ...."
"Kalau lo mau remehin Chelsea, lo bakal berhadapan dengan kita."
"A-aku gak pernah re-"
"Kenapa emangnya kalau dia remehin Chelsea? Tapi Chelsea boleh remehin dia?"
Semua orang mengalihkan pandangan pada sosok lelaki yang tiba-tiba muncul dengan berpakaian kasual. Lelaki itu menghampiri Kikan lalu melemparkan jaketnya.
"Jangan sampai lo dikira keluyuran," ucapnya pada Kikan.
"Lagian, wajar Chelsea diremehin, diejek, bahkan di-bully. Dia pantas. Kalian gak malu apa? Punya temen kayak dia?"
"Tutup mulut lo!" Ares hendak memukul Kaelan, tetapi segera ditahan oleh dua teman kembarnya, Bara dan Baro.
"Kalian gak merasa dibodohin sama Chelsea?"
Sena berdiri di depan Kaelan dan berkata tajam, "Siapa pun lo. Lo gak berhak buat racunin otak kita. Kita percaya Chelsea dan-"
"Bu Rona? Foto-foto di forum sekolah udah terbukti. Pagi ini, beberapa foto Chelsea dengan cowoknya kakak kelas juga muncul. Wajah ibu anak itu udah terbongkar. Tinggal nunggu kapan matinya Chelsea. Gue salut, dia punya temen sekelas yang masih peduli."
Kaelan benar-benar membuat mereka marah. Kepalan tangan Ares bahkan semakin kuat.
"Chelsea gak sepolos itu."
Kaelan benar. Chelsea adalah iblis. Namun, beruntungnya dia masih dipedulikan teman sekelasnya. Padahal bukti sudah jelas, pembicaraan Chelsea pagi itu adalah kebohongan. Dia menikmati waktunya dengan lelaki lain dan mengabaikan ibunya.
"Maksud lo sebenarnya apa?" tanya Baro tiba-tiba angkat suara.
"Gue cuma mau bilang, orang berbahaya ada di dekat kalian."
Setelah berkata demikian, Kaelan tersenyum misterius lalu menarik tangan Kikan agar segera pergi dari sana. Ketika sampai di halaman rumah sakit, Kikan melepaskan tangannya.
"Kenapa?" tanya Kaelan.
Melihat tatapan Kikan, Kaelan tersenyum tipis dan bersedekap. "Lo gak mau ngucapin terima kasih, gitu?"
"Terima kasih," cicit Kikan.
Kaelan mendesah. "Lo harusnya gak ke sana. Mereka bukan temen, mereka iblis. Jika bukan karena gosip Chelsea, gue gak pernah tahu kalau ternyata lo jadi korban bully-an mereka. Walau gue denger cerita tahun lalu, tapi gue masih penasaran mau dengerin cerita lo."
Kikan meremas ujung jaket. Masa itu adalah masa yang paling pahit dan menyakitkan. Tidak ada yang percaya padanya, walaupun bukti sudah ada. Mereka hanya menyalahkannya. Orang tua, teman, dan guru.
Namun, tak tahu mengapa, bibirnya tergerak menceritakan hal itu pada Kaelan-teman baru yang juga tetangganya. Berada di dekatnya terasa sangat familier dan nyaman.
"Mereka bilang, kelas kami terkutuk setelah berita bunuh diri itu. Dan, mereka menganggap gue sebagai sumber kutukan ...."
Saat itu, ia memiliki kehidupan yang luar biasa. Orang tua yang terlihat harmonis, teman dan prestasi yang membanggakan. Namun, semua berubah ketika Chelsea datang.
Kikan dan gadis nomor absensi 13 adalah sahabat lalu Chelsea masuk ke pertemanan mereka. Awalnya biasa saja, hingga gadis nomor absensi 13 dan Chelsea bertengkar karena Ares-sang ketua kelas. Ternyata mereka menyukai lelaki yang sama. Gadis 13 selalu curhat pada Kikan, membuat hubungannya dengan Chelsea renggang. Chelsea tahu Gadis 13 menyukai Ares, tetapi malah berpacaran dengan lelaki itu.
Siapa yang sangka bahwa ternyata permasalahan mereka bukan hanya Ares. Akan tetapi, ada hal lain yang tidak Kikan ketahui. Gadis 13 berulang kali memperingati Kikan agar menjauhi Chelsea. Hingga hari itu, Kikan menemukan Gadis 13 bunuh diri di gudang dan di Chelsea juga ada di sana.
Kikan baru tahu bahwa penyebab Gadis 13 bunuh diri karena foto-foto aibnya yang tersebar di forum sekolah. Persis seperti yang terjadi pada Bu Rona. Satu-satunya kesalahan Kikan hari itu adalah mengabaikan telepon Gadis 13. Namun, hari itu, ia pun dalam keadaan buruk karena keluarganya. Kedua orang tua yang bertengkar hebat membuat suasana hatinya kacau.
Namun, di hari itu pula, namanya tercemar. Ada yang menyebarkan berita bahwa Kikanlah yang mengekspos aib Gadis 13. Ia mencoba membela diri, tetapi tetap tidak berdaya.
"Hanya kamu yang tahu rahasia itu. Kamu yang buat anak saya mati!"
Masih terngiang-ngiang ketika mama Gadis 13 menuduhnya. Ya, hanya Kikan yang tahu hal itu, tetapi dia tidak menyebarkan beritanya. Dan, hari itu, mimpi buruknya baru saja dimulai.
"Siapa nama Gadis 13 itu?" tanya Kaelan penasaran setelah mendengar cerita Kikan.
"Katanya, namanya adalah kutukan."
"Dan lo percaya?"
Kikan menggeleng.
"Namanya Kikan."