Kikan mencengkeram kuat ponsel pintarnya. Sedikit gemetar dengan tatapan mengarah ke luar jendela, tepatnya pada sekelompok lelaki bertubuh tegap dengan seragam berwarna cokelat yang menggotong mayat. Di lapangan, para siswa dan guru juga berkerumunan. Ada yang berpihak sebagai tim penonton, ada pula yang menjadi tim penertib.
Ia tidak masuk ke dua golongan tersebut, melainkan bersembunyi di kelas sendirian. Sekali lagi, ia pandangi layar ponselnya. Foto Bu Rona yang diberi tanda silang berwarna merah. Apa benar kematian Bu Rona berkaitan dengan game yang ia mainkan?
Akan tetapi, dari desas-desus yang ia dengar, Bu Rona memang bunuh diri. Wanita itu ditemukan di gudang dengan lumuran darah ditambah barang bukti berupa pisau yang tertancap di perutnya dan secarik surat permintaan maaf. Namun, walaupun belum ada yang tahu pasti apa isinya, ia sempat mendengar kabar burung lainnya. Bahkan saat ini, berita buruk terus terdengar dari bibir beberapa orang yang sedang berjalan kembali ke kelasnya masing-masing begitu tubuh Bu Rona masuk ke mobil Ambulans.
"Katanya, Bu Rona bunuh diri gara-gara rahasianya yang dibongkar semalam, 'kan?"
"Ah, yang di grup WA itu beneran? Foto Bu Rona sama suami orang?"
"Ya terus, suami siapa? Wong, dia janda. Gak nyangka, guru se-killer itu ternyata cuma sok tegas, aslinya bangsat."
"Hush! Lo mau digentayangin gara-gara itu?"
"Ih, gak maulah! Tapi emang beneran, yah, kalau Bu Rona bunuh diri karena malu aibnya kebongkar?"
"Menurut lo? Emang ada orang yang mau hidup dihujat orang-orang?"
Diam-diam, Kikan menajamkan pendengarannya. Ia tidak pernah masuk forum kelas ataupun forum sekolah, baik via WA ataupun Telegram. Seolah dilupakan atau mungkin mereka memang tidak menganggapnya ada.
Kikan hendak memberanikan diri untuk bertanya, tetapi bibirnya kelu. Jadilah ia hanya berdiri di depan kelas, memandangi orang yang berlalu-lalang.
Tak sengaja matanya mendapati sosok Kaelan yang berjalan ke arahnya, ia segera memalingkan wajah. Namun, Kaelan lebih cepat dari dugaannya, berdiri di sampingnya sebelum ia hendak masuk kembali ke kelas.
"Gue jarang ngegosip. Tapi topik kali ini bener-bener menarik. Gimana menurut lo?"
Kikan mendongak, menatap Kaelan yang lebih tinggi darinya dengan ekspresi sedikit kebingungan. Ia menemukan sesuatu yang tidak normal dari Kaelan, sangat mencurigakan. Di saat orang lain-mungkin ketakutan-,Kikan menemukan senyuman di wajahnya.
"Katanya, semalam di forum sekolah tersebar foto Bu Rona dengan lelaki di hotel. Sebagian bilang, di grup guru bahkan tersebar foto versi vulgar. Dan, katanya, lelaki yang di foto itu suami orang. Parahnya lagi, suami orang yang dimaksud adalah ayah dari salah satu murid di sekolah ini."
Deg!
Jantung Kikan berdetak tidak normal. Pikirannya hanya tertuju pada satu orang. Ayah murid yang dimaksud, apakah itu ayahnya? Rasanya sangat sakit, tetapi karena kejadian pagi ini, ia merasa sedikit lega. Bu Rona pantas mendapatkannya.
Kikan tidak menanggapi, sebaliknya jiwa gosip Kaelan membara. "Ada berita yang lebih menyenangkan lagi. Tentang Chelsea, anak kelas lo."
Kikan menunggu jawaban dan Kaelan tersenyum lalu mendekatkan wajahnya ke telinga Kikan, berbisik, "Chelsea bahkan enggak tahu kematian ibunya sendiri. Dia enggak pulang sejak sore kemarin dan nginap di rumah orang lain, mungkin di rumah pacarnya? Gue juga gak tau. Tapi yang pasti, ibu dan anak gak ada bedanya."
Gadis itu menegang. Dia tidak pernah menyangka bahwa di balik wajah manis dan menyenangkannya Kaelan, tersimpan sosok iblis yang mengerikan. Senyumannya tampak puas, sedikit tersirat kebencian.
Diam-diam, Kikan beringsut mundur. Namun, Kaelan tiba-tiba tersenyum padanya dan meletakkan tangannya di puncak kepala Kikan. Kepribadian bak malaikatnya telah kembali, seolah yang tadi bukanlah Kaelan.
"Sandwich-nya udah lo makan, 'kan? Gue sampe lupa ngasih minumnya. Ini buat lo."
Kaelan merogoh sakunya yang terlihat menggembung, kemudian muncullah sekotak susu cokelat dari sana. Setelahnya, Kaelan melangkah pergi tanpa mengatakan apa pun lagi. Padahal Kikan hendak mengucapkan terima kasih.
Kikan membalikkan tubuhnya, hendak masuk ke kelas. Akan tetapi, tiba-tiba ia mendengar seseorang menyerukan namanya.
"Kikan!"
Ia menoleh. Ada tiga orang gadis berlari kecil ke arahnya. Kikan sedikit ragu karena ia tidak terlalu mengenal mereka sebelumnya.
"Lo Kikan, 'kan?" tanya seorang gadis berambut agak pirang. Dia adalah Lusi, kakak kelasnya yang terkenal dengan prestasinya di bidang modelling.
Seorang gadis bernama Zia melongok ke dalam kelasnya, seperti mencari sesuatu.
"Gak nyangka, lo beneran sendirian di kelas?"
Kikan mengangguk sedikit takut. Wajah mereka yang terkesan galak, patut diwaspadai. Ia mencoba berpikir, apakah ada kesalahan yang ia lakukan.
"Temen-temen lo semuanya pada ke rumah sakit buat jagain Chelsea. Kenapa lo di sini?"
Kikan tidak tahu apa-apa, jadi ia kelihatan kebingungan. Takada yang memberitahukannya bahwa teman-temannya menemani Chelsea. Lagipula, ia tidak memenuhi syarat untuk bersikap kekeluargaan dengan mereka.
Melihat adik kelasnya yang ketakutan, Zia memutar bola mata dengan malas dan berkata, "Lo takut, kan, sama kita? Kalau gitu, lo cukup diam aja di sini dan ...." Zia melakukan gerakan seperti menarik risleting di depan mulutnya, menandakan bahwa Kikan harus tutup mulut. Gadis itu tidak punya pilihan selain mengangguk.
Senyum licik tersampir di wajah Zia, Lusi dan Aluna. Mereka mendorong Kikan dan segera masuk ke kelasnya. Dengan satu tatapan tajam dari Lusi, Kikan paham bahwa dia harus menutup pintu. Dan, hal yang terjadi selanjutnya adalah di luar perkiraannya.
Ketiga gadis itu menghampiri meja Chelsea, lalu mengeluarkan spidol, pisau kecil, dan cat spray. Dengan membabi-buta, mereka merusak meja serta kursi Chelsea. Berbagai tulisan berupa makian dan ejekan tertera di sana.
Kikan hanya memandang tanpa ekspresi. Setahunya, ketiga kakak kelas itu berhubungan dekat dengan Chelsea. Namun, hubungan mereka tampaknya retak karena kejadian hari ini? Lagipula siapa yang mau berteman dengan seseorang yang telah tercoreng namanya?
Mereka tertawa puas. Setelahnya, mendatangi Kikan yang perlahan memundurkan langkah. Takut jika mereka akan merundungnya.
"Kenapa lo takut? Bukannya kita temen sekarang? Lo benci Chelsea, 'kan? Nah, sekarang kami bukan temennya lagi. Iya, gak?" tanya Lusi pada kedua temannya.
"Yoi! Nih, buat lo!" Zia melempar cat spray pada Kikan yang beruntungnya bisa ditangkap dengan cepat.
"Tambahin aja sesuka lo. Itung-itung balasan karena Chelsea udah bully lo. Kalau dipikir-pikir, harusnya Chelsea yang kena bully-an. Wajahnya yang sok polos bikin gue muak. Tapi, kenapa harus lo yang dibenci? Padahal kasus kematian si nomor presensi ketiag belas tahun lalu jelas karena bunuh diri. Gue gak tau pasti kenapa lo harus kena bully-an. Lo ... gak berniat balas dendam gitu?" tanya Zia membuat Kikan menatap mereka dalam.
Lusi menepuk pundak Kikan. "Sekarang, targetin Chelsea biar di-bully sama sebelas temen kelas lo yang lain."
Wajah Lusi lalu memerah, tanda marah. Tampak tangannya terkepal. Bitch yang berani godain cowok gue harus karma. Ah, lo gak tau, 'kan? Gue kasih tau lo satu rahasia alasan kenapa Chelsea baru tau nyokapnya mati pagi ini. Itu karena dia seneng-seneng sama cowok orang. Sekarang dia kena karma. Ibu dan anak gak ada bedanya," decih Lusi.
"Huft! Gue gak seharusnya marah. Guru killer udah mati dan anaknya kena karma. Gue harusnya senang."
"Bener banget. Kita musti seneng-seneng malam ini," sahut Zia.
"Ah, ya, tujuan lain gue ke sini cuma mau bilang kalau guru liburin sekolah hari ini. Lo bisa pulang."
Setelah mengucapkan itu, Lusi pun melangkah keluar dari kelas diikuti Zia. Sementara itu, Aluna yang tampak terdiam dan misterius itu menatapnya lalu tersenyum kecil sebelum pergi. Aluna bagaikan sosok hantu, sampai Kikan merinding.
Setelah ketiga menghilang, Kikan mengambil tasnya dan segera keluar dari kelas. Ia sedikit kaget melihat Kaelan tiba-tiba berdiri di sana dengan senyuman manisnya.
"Hai, pulang bareng?"
Kikan hanya mengangguk kecil. Toh, mereka tetangga. Sungguh lucu, mengingat mereka baru dekat akhir-akhir ini.
"Gue dapat gosip baru," ucap Kaelan tampak semangat. Kikan meliriknya dengan kernyitan di dahi. Apa lelaki itu sangat suka menggosip?
"Katanya, sejak sore kemarin, Chelsea gak pulang ke rumah. Dia nginap bareng cowoknya kakak kelas. Istilahnya, sih, selingkuh. Terus katanya hape si Chelsea hilang, makanya gak bisa hubungi Bu Rona. Mungkin hubungan Bu Rona dan Chelsea gak sedeket itu, ya? Menurut lo gimana?"
Kaelan mendesaknya dengan tatapan. Kikan menghela napas. "Gue gak tau apa-apa."
Ngomong-ngomong, Kikan merasa sedikit lega hari ini. Seolah beban hidupnya menghilang dalam sesaat. Dia melirik ponsel di tangannya. Sekali lagi berpikir. Apakah gara-gara ia memainkan game tersebut, makanya Bu Rona bunuh diri? Atau hanya kebetulan saja?
Entahlah, ia hanya merasa, tiba-tiba hari ini terasa begitu indah.
"Oke. Ini gosip yang terakhir. Katanya, Bu Rona gak bunuh diri, tapi dibunuh!"
Deg!