Loading...
Logo TinLit
Read Story - Matahari untuk Kita
MENU
About Us  

"Dukungan dari sahabat juga termasuk kunci kesuksesan menemukan impian, percaya deh." --Writer.

∆∆∆∆∆

 

 

Orang bilang masa-masa remaja adalah masa di mana pencarian jati diri dimulai. Kita akan disuguhkan banyak sekali contoh-contoh kehidupan dari orang di sekitar kita. Di masa-masa inilah semua kebingungan melanda pikiran kita.

Dari mulai usia 17 tahun. Usia yang sudah memasuki tahap dewasa awal. Biasanya di usia ini kita sedang menduduki bangku kelas XI SMA ataupun SMK. Sudah mulai banyak ditanya-tanya orang; mau lanjut ke mana? Kuliah atau langsung kerja? Nanti cita-citanya mau jadi apa sih?

Kenapa ya, tidak ada yang bertanya soal perasaan kita. Semua orang menuntut jawaban yang bernilai materi. Ya, namanya juga dunia. Semua yang serba duniawi memang hanya butuh jawaban material.

Harusnya orang-orang bertanya mengenai perasaan. Andaikan pertanyaan yang muncul seputar; apa kamu bahagia di umur segini? Perasaan kamu bagaimana hari ini? Atau, ngejar apa sih di dunia? Istirahat dulu, nanti juga ketemu kok sama apa yang kamu cita-citakan, santai saya ya?

Namun, terkadang sebagai manusia yang hidup di dunia, kita juga perlu menentukan masa depan. Jangan sampai seperti Hadi Ardian tuh, yang mencari jati dirinya saja dia harus merepotkan banyak orang. Perlu nasihat super lembut dari Ibu Fida, paksaan berturut-turut dari Jelita, dan support system dari ayah dan ibunya.

"Susah tau nyari jati diri itu. Emangnya jati diri itu apa, Ta?" Hadi pernah bertanya demikian di suatu hari yang cerah.

Praktis dia dapat pukulan dari Jelita. Kebetulan gadis itu sedang memegang botol air mineral yang isinya kosong, habis ditenggak. Mereka baru saja melakukan olahraga. Hadi, Raka, dan Jelita masih berleha-leha di pinggir lapangan karena setelahnya jam istirahat.

"Jati diri itu rencana yang kamu ingin sesuai kata hati kamu. Ya, semacam cita-cita di masa depanlah. Betul, kan, Ta?" ujar Raka memberi jawaban, namun dia juga tidak yakin sih.

Jelita menganggukinya setuju. "Gitu aja gak tau!"

"Yeu... Aku pikir jati diri itu yang kaya identitas. Pantas aja pas Bu Fai jelasin aku gak paham. Kirain jati diri tuh semacam nama, orangtua, umur, tanggal lahir, hobi, kayak gitu." Hadi menjelaskan dengan begitu polosnya.

Spontan saja Raka tertawa mendengarnya. "Haha... Padahal kamu lebih pintar lho, Di, Di. Aku yang bodoh aja paham masalah begituan mah."

"Emang, Hadi mah nol besar masalah begituan. Taunya ya cuma jadi nelayan. Emangnya kamu mau selamanya jadi nelayan?"

"Nggak apa, asal selalu hidup sehat dan bahagia."

Jelita dan Raka kompak berdecak sambil geleng-geleng kepala. Ada-ada saja teman mereka yang satu itu. Pemikirannya memang sangat pendek. Hadi itu tidak berpikir jauh ke depan sana. Makanya perlu teman seperti Jelita dan Raka yang selalu menyuruhnya untuk menemukan jati diri.

Tetapi kini hidup Hadi menjadi sepi. Dia tidak menyangka bahwa menjadi dewasa akan sesepi ini. Tidak ada lagi Jelita yang cerewet, jahil, punga banyak penjelasan untuknya. Paling-paling cuma Raka. Dan, sekarang laki-laki itu juga sudah punya kehidupannya sendiri.

Raka sudah menemukan Jelita-nya. Tidak seperti Hadi, yang masih tenggelam dengan Jelita di masa lalu.

Selama seminggu di kampung halaman, Hadi juga mendatangi sekolahnya. Dia berkunjung membawa banyak buah-buahan. Lebih tepatnya dia memborong semua dagangan Mang Asep, menyuguhinya untuk semua guru.

"Kamu ini ya, Hadi. Kalau ke sini gak bawa apa-apa juga tidak masalah, Nak." Bu Fida menghampiri Hadi yang duduk di kursi panjang depan ruang guru. Kursi itu mengarah langsung ke lapangan tengah, jadi pemandangan mereka saat ini adalah anak-anak yang asik bermain futsal.

"Gak enak, Bu. Lagian aku juga gak tiap hari ke sini, jadi bawa sedikit oleh-oleh gak masalah juga, hehe."

"Bukan sedikit ini mah namanya banyak." Bu Salwa datang dan mengatakan itu. Hadi bangkit, menyalami tangan guru Bahasa Indonesia itu.

"Ibu, apa kabar? Sehat?" tanya Hadi basa-basi.

"Sehat, Nak. Alhamdulillah..."

"Kamu teh sudah menikah, Di?"

Hadi menggeleng lemah. Bu Fida di sebelahnya hanya terkekeh samar. Dia tahu, Hadi itu walaupun terlihat tangguh, hatinya Hello Kitty sekali. Terlihat jelas di mata Bu Fida bahwa kehilangan Jelita juga berarti kehilangan kedidupan percintaannya.

"Pas atuh kalau begitu, teh. Sama anak Ibu aja mau gak?"

"Ih, gak bisa, Bu. Bapak Hadi Ardian yang terhormat ini sudah punya calon." Seseorang menyerobot kalimat Bu Salwa. Dia seketika jadi pusat perhatian karena suaranya begitu melengking.

"Saha?"

"Saya, perkenalkan nama saya Sita, hehe. Salam kenal, Ibu, saya teman dekat--eh, calonnya Hadi." Sita dengan sikap sok ramahnya itu dengan tidak tahu malu langsung menyalami tangan Bu Salwa dan dan Bu Fida seolah dia adalah murid di sana juga seperti Hadi.

Bu Fida tertawa, kali ini sungguhan tertawa. Pertama, dia merasa terhibur melihat ekspresi Bu Salwa yang begitu kecewa karena gagal menjodohkan Hadi dengan anaknya. Kedua, dia merasa sosok Sita ini mirip sekali dengan Jelita. Ketiga, dan yang terakhir, sepertinya Bu Fida yakin Sita akan bisa membuat Hadi melupakan masa lalu kelamnya.

"Dia calonnya, Di?" tanya Bu Salwa meyakinkan.

Hadi tidak menjawab, karena Sita di sebelahnya malah seenaknya saja menggandeng lengan kekar Hadi. Biarkan saja deh, Hadi malas menjelaskan juga.

Begitu akan berpamitan, Hadi ditahan sebentar oleh Bu Fida. Mereka masih berdiri di depan gerbang sekolah, sementara Sita sudah menunggu di dalam mobil.

"Di, Ibu mau ngomong sesuatu. Kamu jangan marah, ya?"

"Iya Bu, silakan."

Padahal tanpa izin seperti itu Hadi pasti akan mendengarkan semua perkataan Bu Fida, apapun itu. Gurunya yang baik hati itu menatap Hadi penuh rasa syukur dan bahagia. Bu Fida masih tidak menyangka bahwa detik ini Hadi yang dulu susah sekali untuk sekolah, akhirnya tumbuh menjadi orang yang sukses. Hadi sudah menemukan jati dirinya, meskipun kehilangan orang yang sangat dia kasihi.

"Setiap manusia pasti diberikan cobaan dan kenikmatan. Kita tidak bisa memilih salah satunya, mau minta ke siapa? Tuhan tuh baik banget lho sama kita, iya, kan?"

Hadi mengangguk. Ya, dia bersyukur sekali. Tidak pernah dalam hidupnya dia merasa tidak bersyukur. Punya orangtua yang baik, adik-adiknya yang rukun, juga sahabat-sahabat terbaik seperti Raka dan Jelita. Walaupun sekarang nama terakhir itu sudah tiada.

"Kehilangan Jelita bukan akhir dari semuanya. Terima kasih Hadi, kamu masih bertahan sampai detik ini. Tetapi maaf ya, Ibu ngelihat kamu kayak hidup di masa lalu."

"Maksud Ibu?" Hadi tetaplah Hadi yang polos. Dia tidak mengerti kalimat-kalimat kiasan orang-orang.

"Kamu selalu melihat masa lalu, kan? Kamu selalu menyesali kepergian Jelita? Atau, kamu seolah-olah menganggap bahwa gadis itu masih ada di sekitar kamu?"

"Ibu, aku--"

Bu Fida mengangguk paham. Dia mengerti, Hadi memang melakukan itu. "Biarkan Jelita istirahat dengan tenang, Di. Kamu, lanjutkan hidupmu, seperti Raka. Kamu harus hidup untuk masa-masa kehidupan kamu sendiri. Kenang Jelita sebagai memori paling indah di hati kamu, tapi jangan pernah menutup diri untuk semua yang mencoba melengkapi hidup kamu, ya."

Penjelasan panjang itu mengenai ulu hati Hadi. Kerasa sekali sakitnya saat nama Jelita disebutkan. Bu Fida itu, walaupun bukan ibu kandungnya, tetapi dia sangat tahu isi hati Hadi tanpa dijelaskan apa-apa.

Hingga begitu masuk mobil, Hadi menangis sesenggukan. Dia berhasil membuat Sita di sebelahnya kalang-kabut. Sita kebingungan kenapa Hadi tiba-tiba menangis.

"Hadi, kamu kenapa?" tanya Sita pelan. Takut Hadi tersinggung.

Hadi tidak menjawab. Setelah dua menit, barulah dia menghentikan tangisannya. Laki-laki itu mendongak, mengusap air matanya, lalu tersenyum pada Sita.

"Di, kamu... Okay?"

Hadi mengangguk sambil tersenyum, senyum yang manis sekali. Sita bahkan langsung meleleh saat itu juga. Ya Tuhan, ini pertama kalinya Sita melihat Hadi tersenyum.

Masya Allah, tampan sekali. Hadi itu ya, dia definisi tampan yang tidak harus putih--begitulah kata Sita.

"Bu Bidan, kita mau kencan di mana?"

"Kencan?"

"Ya, tadi katanya kamu mau jadi calonnya aku?"

Sita mengangguk antusias. "Kencan di restaurant romantis, di hotel bintang lima. Boleh?"

"Boleh."

 

∆∆∆∆∆

 

Melupakan masa lalu memang sulit sekali, tetapi mengenangnya juga lebih sulit dari itu. Makanya, masa lalu harusnya dilupakan saja. Dikenang untuk sesekali boleh, tetapi jika sampai menghambat kehidupan yang terus berjalan maju, itu tidak bagus.

Hadi kini mengerti maksud perkataan Bu Fida. Dia mulai membuka diri, mencoba mengenang Jelita yang baik-baiknya saja. Hadi tidak mau menyiksa sahabat baiknya itu dengan terus membuatnya beristirahat tidak tenang di akhirat sana.

Jelita itu sahabat baiknya, selamanya akan menjadi sahabat baik. Hadi keliru menganggap dirinya menyukai Jelita sebagai perempuan, nyatanya itu hanya karena dia tidak mengenal baik perempuan lain selain Jelita. Namun, kini sudah tidak, dia sudah memilih Sita. Bukan karena Sita mirip Jelita, tetapi karena Sita mampu membuat Hadi keluar dari zona-zona kesedihannya.

Dia pergi bersama Sita ke pernikahan Raka. Mereka mengumumkan status resmi mereka pada tamu-tamu yang datang dan bertanya. Eh, lebih tepatnya hanya Sita yang sibuk menjelaskan ini-itu sih, Hadi diam saja dan tersenyum.

Hidup itu harus terus berjalan, sebagaimana jarum jam yang tidak pernah mundur. Matahari terus bersinar terang, walaupun kadang mendung dan hujan menyerang bumi, namun beberapa waktu kemudian pasti matahari muncul lagi.

Nama Jelita tidak akan pernah hilang. Nama gadis itu akan menjadi sebuah kotak kenangan yang apabila diingat kotaknya terbuka, menampilkan kenangan-kenangan manis saat bermain bersamanya. Dalam 18 tahun Hadi hidup, Jelita-lah pengisi kenangan-kenangan tersebut. Sisanya sampai ajal menjemput nanti, ia habiskan dengan Sita.

"Aku sudah menemukan Jelita-ku, kamu gimana, Di?" kata Raka kala itu setelah Hadi menyalaminya untuk mengucapkan selamat.

Hadi terkekeh saja, kemudian menunjuk Sita. Raka juga ikut tersenyum, menggeplak lengan kekar Hadi. "Nah gitu dong, hidup itu maju, bukan mundur."

"Iya, ternyata lama juga ya buat move on."

"Gak, sebenarnya kamu tuh sama Jelita pure sahabatan doang. Kebetulan kamu belum kenal cewek-cewek lain aja. Sekarang lihat, udah kenal Sita, kan?"

"Iya," singkat Hadi. Raka benar, laki-laki itu memang selalu benar.

"Jangan disakiti, Di. Jagain ya, Sita tuh baik kok orangnya. Apalagi sama kamu, perhatian banget, kan?"

"Iya, aku jagain kok pasti."

"Ya udah, sana gih makan."

Hadi menepuk dua kali bahu Raka, pertanda bahwa ia akan pergi dari area pelaminan. Sekembalinya ke Sita, Hadi mengajak gadis itu untuk menikmati makanan. Mereka antre di bagian prasmanan sama-sama, lalu duduk di meja yang kosong.

Begitu duduk di kursi, Hadi melihat sosok Jelita. Gadis itu berdiri di sela-sela meja kosong. Sosoknya bercahaya, bajunya gaun berwarna putih, wajah dan bibirnya pucat sekali. Jelita melihat ke arah Hadi, dia tersenyum lebar.

Hadi balas tersenyum. Dia menatap sosok itu selama lima menit, hingga kemudian hilang seperti menyatuh dengan warna angin, tidak terlihat. Ya Tuhan, itu tadi Jelita, dia sepertinya senang sekali melihat Hadi sudah bisa hidup seperti dulu lagi. Hadi yang mudah tersenyum, mensyukuri segala hal yang datang dalam hidupnya, dan mulai membuka hati untuk gadis lain.

Jelita juga sepertinya hadir untuk memberikan selamat pada Raka. Selain Hadi, Raka juga seolah bisa merasakan kehadiran gadis itu. Jelita berdiri di sebelahnya. Dia memiringkan kepala, tersenyum pada Raka, cantik sekali.

Raka jadi ingat pesan terakhir Jelita. Dia mau perpisahannya dengan Raka diingat dalam keadaan cantik. Padahal menurut Raka, Jelita itu selalu cantik.

Soal jati diri dan mimpi, semuanya adalah soal rahasia kehidupan. Kalau kita menjalani hari sepenuh hati, mimpi akan menghampiri dengan sendirinya. Selain itu, dukungan dari sahabat juga termasuk kunci kesuksesan menemukan impian, percaya deh.

 

 

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Pieces of Word
2598      914     4     
Inspirational
Hanya serangkaian kata yang terhubung karena dibunuh waktu dan kesendirian berkepanjangan. I hope you like it, guys! 😊🤗
Before The Last Goodbye
224      203     3     
Fantasy
Jika di dunia ini ada orang yang berhasil membuat sebuah mesin waktu, mungkin Theresia Mava akan menjadi orang pertama yang sukarela mencoba mesin tersebut. Sudah duabelas tahun lamanya ia mencari keberadaan dari Arion Sebastian, sahabatnya yang tiba-tiba menghilang. Ia sudah bertanya pada semua yang mengenal laki-laki itu, tetapi tidak ada satu orang yang mengetahui keberadaannya. Lalu sua...
Tanda Tangan Takdir
156      133     1     
Inspirational
Arzul Sakarama, si bungsu dalam keluarga yang menganggap status Pegawai Negeri Sipil (PNS) sebagai simbol keberhasilan tertinggi, selalu berjuang untuk memenuhi ekspektasi keluarganya. Kakak-kakaknya sudah lebih dulu lulus CPNS: yang pertama menjadi dosen negeri, dan yang kedua bekerja di kantor pajak. Arzul, dengan harapan besar, mencoba tes CPNS selama tujuh tahun berturut-turut. Namun, kegagal...
Manusia Air Mata
944      582     4     
Romance
Jika air mata berbentuk manusia, maka dia adalah Mawar Dwi Atmaja. Dan jika bahagia memang menjadi mimpinya, maka Arjun Febryan selalu berusaha mengupayakan untuknya. Pertemuan Mawar dan Arjun jauh dari kata romantis. Mawar sebagai mahasiswa semester tua yang sedang bimbingan skripsi dimarahi habis-habisan oleh Arjun selaku komisi disiplin karena salah mengira Mawar sebagai maba yang telat. ...
A Sky Between Us
35      30     2     
Romance
Sejak kecil, Mentari selalu hidup di dalam sangkar besar bernama rumah. Kehidupannya ditentukan dari ia memulai hari hingga bagaimana harinya berakhir. Persis sebuah boneka. Suatu hari, Mentari diberikan jalan untuk mendapat kebebasan. Jalan itu dilabeli dengan sebutan 'pernikahan'. Menukar kehidupan yang ia jalani dengan rutinitas baru yang tak bisa ia terawang akhirnya benar-benar sebuah taruha...
DariLyanka
2997      1034     26     
Romance
"Aku memulai kisah ini denganmu,karena ingin kamu memberi warna pada duniaku,selain Hitam dan Putih yang ku tau,tapi kamu malah memberi ku Abu-abu" -Lyanka "Semua itu berawal dari ketidak jelasan, hidup mu terlalu berharga untuk ku sakiti,maka dari itu aku tak bisa memutuskan untuk memberimu warna Pink atau Biru seperti kesukaanmu" - Daril
Kaca yang Berdebu
93      74     1     
Inspirational
Reiji terlalu sibuk menyenangkan semua orang, sampai lupa caranya menjadi diri sendiri. Dirinya perlahan memudar, seperti bayangan samar di kaca berdebu; tak pernah benar-benar terlihat, tertutup lapisan harapan orang lain dan ketakutannya sendiri. Hingga suatu hari, seseorang datang, tak seperti siapa pun yang pernah ia temui. Meera, dengan segala ketidaksempurnaannya, berjalan tegak. Ia ta...
Aku Ibu Bipolar
46      39     1     
True Story
Indah Larasati, 30 tahun. Seorang penulis, ibu, istri, dan penyintas gangguan bipolar. Di balik namanya yang indah, tersimpan pergulatan batin yang penuh luka dan air mata. Hari-harinya dipenuhi amarah yang meledak tiba-tiba, lalu berubah menjadi tangis dan penyesalan yang mengguncang. Depresi menjadi teman akrab, sementara fase mania menjerumuskannya dalam euforia semu yang melelahkan. Namun...
Penantian Panjang Gadis Gila
271      214     5     
Romance
Aku kira semua akan baik-baik saja, tetapi pada kenyataannya hidupku semakin kacau. Andai dulu aku memilih bersama Papa, mungkin hidupku akan lebih baik. Bersama Mama, hidupku penuh tekanan dan aku harus merelakan masa remajaku.
Campus Love Story
8299      1900     1     
Romance
Dua anak remaja, yang tiap hari bertengkar tanpa alasan hingga dipanggil sebagai pasangan drama. Awal sebab Henan yang mempermasalahkan cara Gina makan bubur ayam, beranjak menjadi lebih sering bertemu karena boneka koleksi kesukaannya yang hilang ada pada gadis itu. Berangkat ke kampus bersama sebagai bentuk terima kasih, malah merambat menjadi ingin menjalin kasih. Lantas, semulus apa perjal...