"kita gak akan berjauhan. Kita sahabat sedunia dan akhirat." --Hadi Ardian.
∆∆∆∆∆
"Selamat ulang tahun, kami ucapkan. Selamat panjang umur, kami kan do'akan. Selamat sejahtera, sehat sentosa. Selamat panjang umur dan bahagia."
"Yeay, ayo tiup lilin."
Hadi dan Jelita kala itu berusia 7 tahun. Mereka merayakan ulang tahun bersama-sama di rumah Jelita. Kakaknya Jelita membeli kue tart, mengundang Hadi ke rumahnya, dan beberapa anak-anak kecil seumuran mereka.
Setelah menyanyikan lagu ulang tahun bersama-sama, Jelita dan Hadi membagikan kue yang mereka potong ke anak-anak yang hadir. Beberapa ada yang memberi kado, beberapa sisanya datang dengan tangan kosong.
Hadi dan Jelita lahir di hari yang sama, hanya beda jam saja. Hadi dilahirkan pukul 00.21 WIB, sedangkan Jelita dilahirkan dipenghujung hari yaitu pukul 23.37 WIB. Itulah sebabnya mereka selalu merayakan ulang tahun bersama-sama. Jika ulang tahun sekarang dirayakan di rumah Jelita, maka selanjutnya mereka rayakan di rumah Hadi. Setidaknya itu dulu, sebelum kakaknya Jelita meninggal dunia.
Dua anak itu sering juga disebut kembar. Jangankan bermain, lahir saja harus di hari yang sama, begitu kata orang-orang. Sayangnya, ibunya Jelita dan Hadi tidak sedekat anak-anak mereka. Pemikiran mereka yang tidak sama membuat keduanya saling tidak suka. Jikapun mereka bertemu di tempat pelelangan, sama-sama menjual ikan, mereka malah memilih membuang muka. Tetapi walau sebenci apapun, mereka tidak membenci anak-anak. Masalah keduanya murni milik mereka, tidak melibatkan anak-anak. Jelita dan Hadi bebas bersahabat.
Ketika usia tujuh belas tahun, Jelita dan Hadi merayakan ulang tahun berdua. Mereka menyisihkan uang saku beberapa hari untuk membeli kue tart. Malam-malam di perahu kecil yang menjadi tempat main mereka, Hadi dan Jelita menyiapkan juga topi kerucut dan lilin warna-warni.
"Selamat tujuh belas tahun, Hadi!"
"Ya, selamat tujuh belas tahun juga, Ta!"
Jelita mengeluarkan pisau plastik dari kotak kue, lalu mulai memotongnya kecil-kecil sebanyak dua. Satu untuk dirinya, satu lagi untuk Hadi. Mereka mencomot kue itu, lalu mengangkatnya untuk merayakan.
"Wah, kuenya enak banget. Aku kasih rate seratus perseratus!"
"Setuju, tahun depan kita rayakan ulang tahun dari toko ini juga ya," ujar Hadi mengangguk setuju.
"Deal."
"Karena kita sudah tujuh belas tahun, besok kita bikin KTP."
Jelita melotot karena terkejut. "Betul! Wah, aku lupa. Besok jam istirahat izin ke kecamatan ya."
"Kamu bawa kerudung. KTP itu seumur hidup, Ta. Masa keterangan agamanya islam, tapi gak pakai kerudung."
"Iya, bawel!"
"Oh iya." Hadi teringat sesuatu. Dia merogoh saku celana, lalu mengeluarkan kotak kecil. "Nih, buat kamu."
"Wah, apa nih?"
"Kado," jawab Hadi dengan tersenyum.
"Eh, aku gak beliin kamu kado."
"Nggak apa-apa, aku kemarin melaut dapat banyak. Jadi, sebagai syukuran juga mau ngasih kado buat kamu."
Jelita menarik kotak kado kecil dari Hadi. Tangan kanannya terulur untuk mengusap lembut bahu kekar laki-laki itu. "Terima kasih banyak, Di."
"Sama-sama. Ayo, dibuka, dong."
Jelita menurut. Dia membuka kertas pembungkusnya, lalu membuka kotak di dalamnya. Jelita terkejut melihat isinya. Ternyata di dalamnya ada sebuah gelang manik-manik dengan inisial J dan H.
"J dan H. Jelita dan Hadi?" tanya Jelita memastikan.
"Iya, hehe. Sahabat baik. Suka gak?"
"Suka banget, lucu. Aku pasti akan selalu memakainya setiap hari."
"Janji ya?"
"Iya, tahun depan aku janji bakal kasih kado. Janji!"
"Tidak juga tidak apa-apa, Ta."
Sisanya malam itu mereka habiskan untuk menikmati kue dan belajar bersama. Hadi sengaja tidak pergi melaut, izin pada Bapak untuk merayakan ulang tahun bersama Jelita. Bapak sih senang-senang saja, apalagi Hadi tidak perlu bekerja.
Masa lalu Hadi dan Jelita memang tidak seindah anak-anak yang lain, tetapi cukup baik untuk dikenang. Hingga nanti di masa depan, saat tidak bisa bersama-sama lagi, mereka sanggup mengenangnya melalui itu.
Keesokan harinya sesuai janji mereka di perahu, keduanya izin setengah hari pada wali kelas. Kala itu wali kelas mereka di XI IPA 1 adalah Pak Jamal. Mereka berdua izin pada jam istirahat, pergi ke Kecamatan untuk membuat KTP.
Jelita rempong sekali memakai jilbab. Dia merasa tidak percaya diri karena jarang memakainya. Saat di kelas juga dirinya meminta lipstik pada teman perempuannya yang suka bawa-bawa benda itu ke dalam tas, aman karena tidak ada razia.
"Udah cantik, udah."
"Wih, tumben banget, lho!" Mata Jelita berbinar mendengar kata 'cantik' yang diucapkan Hadi barusan. Pasalnya, laki-laki itu tidak pernah memuji Jelita. Jadi, ini adalah yang pertama selama mereka berteman.
"Biar cepat. Aslinya sih, sama saja."
"Ish!" Jelita gemas, maka dia menggeplak perut Hadi.
"Buruan, heh!"
"Bentar, ini rambutnya keluar-keluar tau!"
Hadi terpaksa mengulurkan tangan. Dia membantu Jelita membenahi rambutnya yang masih terlihat. "Udah, beres. Uwih... Ukhti Jelita."
"Beneran udah oke, kan?"
Kali ini Hadi mengangguk yakin tanpa tertawa, yang berarti dapat dipercaya oleh Jelita. Laki-laki itu bahkan menunjukkan kedua ibu jarinya.
"Aku mau foto. Kamu tidak usah ikut masuk ya, nanti aku tertawa terus!"
"Iya, bawel!"
Jelita mendorong Hadi yang menghalangi jalannya. Menuruti kemauan Jelita, Hadi pun menunggui gadis itu di luar. Dia melihat penjual cilok, lalu menghampirinya dan membeli dua bungkus.
Lima menit kemudian Jelita keluar, menghampiri Hadi. Jilbabnya sudah dilepas, membuat Hadi yang sedang mengunyah cilok geleng-geleng kepala.
"Kamu cocok pakai hijab, Ta. Harusnya gak usah dilepas."
"Oh ya?"
Hadi mengangguk sambil mengulurkan bungkusan cilok yang masih utuh. Jelita berbinar menerima pemberian Hadi, tidak sabaran untuk menikmatinya.
"Thank you!"
Hadi yang ciloknya habis duluan kemudian jail mengambil satu dari plastiknya Jelita.
"Ih!"
"Minta satu!"
Jelita mencubit lengan kekar Hadi. "Udah dikasih itu gak boleh diminta lagi tau, nanti matanya bintitan!"
"Kata siapa?"
"Kata bapakmu!"
"Bapak aku gak pernah ngomong kayak gitu."
"Pernah!"
"Ish, dasar pelit!" maki Hadi sambil menjitak kepala Jelita.
Sesi pembuatan KTP mereka hari itu ditutup dengan adegan baku hantam. Jelita tidak terima dijitak, ia mencubit lagi lengan Hadi. Setelah itu Jelita kabur, Hadi mengejarnya. Mereka lari kejar-kejaran seperti film india selama dua putaran. Orang-orang yang melihat mereka hanya bisa tersenyum dan geleng-geleng kepala. Pikir mereka itu pasti adegan lucu, padahal bagi Jelita dan Hadi adegan itu adalah adegan berbahaya.
Satu bulan kemudian KTP merekapun jadi. Jelita dan Hadi mendapatkannya dari Pak RT yang mengambilkannya di Kecamatan. Hadi saat itu tidak ada di rumah, sedang berkeliling jualan tahu bulat. Jelita yang dititipi KTP oleh Pak RT, katanya tolong diberikan kepada Hadi. Tanpa menunggu lama, Jelita berkeliling desa mencari Hadi, berlari ke sana-sini tanpa lelah.
"Hadiiiiii."
Hadi menghentikan gerobaknya. Menoleh ke sumber suara. Dia melambaikan tangan melihat Jelita berlari serimpungan menghampiri.
"Hadiiiiii."
"Heh, jangan lari-lari!"
Gubrak!
Hadi meringis. Baru saja dia mengatupkan bibir setelah memberi peringatan itu, eh, anaknya malah sudah terjatuh.
"Aduh, sakiiiit!" rengek Jelita.
Hadi mendesah, lalu bergerak menghampiri Jelita yang terpaut lima langkah dengannya. Anak laki-laki itu telaten membantu Jelita berdiri dari posisi tengkurapnya.
Jelita memeriksa lututnya yang terasa perih. Sudah ada goresan luka di sana akibat mencium aspal. "Aduh, pantesan perih."
"Makanya gak usah lari-lari. Kenapa sih? Mau beli tahu bulat?"
"Bukan," ujar Jelita. Dia sudah megakkan tubuh, mengabaikan luka di lututnya. Ekspresi wajahnya berubah kembali ceria. Jelita merogoh saku rok untuk mengambil KTP milik Hadi dan miliknya. "Taraaaaa, sudah jadi!"
"Wah, akhirnya!" Hadi menarik KTP miliknya. Dia meneliti data dirinya, mengecek satu persatu, kemudian melihat foto dirinya. "Lumayan," tambah Hadi.
"Lihat fotoku, bagus, cantik!" kata Jelita memuji diri sendiri.
Hadi menoleh pada KTP Jelita, kemudian tertawa. "Jelek!"
"Ih, bohong banget!"
"Haha... Iya bercanda, cantik kok. Ternyata lipstik punya Geisha membantu ya. Lumayan, mukamu jadi ada strukturnya."
Salah satu sudut bibir Jelita terangkat. "Kamu pikir mukaku tanpa lipstik rata gitu?"
"Ya, mirip orang mati!" ledek Hadi.
Hadi tidak tahu saja bahwa ucapannya hari itu tiba-tiba menjadi pisau yang begitu tajam menghujam hatinya. Mungkin tidak berdarah-darah, tetapi sakitnya setengah mati. Dari sekian banyak ungkapan yang bisa ia gunakan untuk meledek Jelita, mengapa ia memilih kalimat sekasar itu?
"Nanti kalau aku mati, kamu juga pasti akan nangis."
"Hoho... Tidak tuh, aku akan tertawa."
Jelita melempar pukulan keras di punggung Hadi. Walaupun dia tahu laki-laki itu bercanda, rasanya kali ini bercandanya keterlaluan sekali.
"Setidaknya bilang makasih sudah kuantarkan KTP, bukan ngatain orang mati!" sarkas Jelita.
"Thank you!"
Jelita tidak menggubris ucapan terima kasih yang dilontarkan Hadi karena dia memilih meninggalkan laki-laki itu. Hadi hanya tertawa saja, dia percaya bahwa Jelita tidak akan memusuhinya.
Benar saja. Kala itu Jelita membalikkan tubuh. Mereka terpaut lima langkah, persis seperti jarak Jelita terjatuh beberapa menit lalu. Hadi mengangkat dagunya, menanyakan maksud si gadis yang tak jua buka suara.
"Awas aja kalau nangis pas aku mati, aku bakal jadi arwah penasaran."
Hadi tertawa ngakak. Ya Tuhan, ternyata Jelita semarah itu padanya.
"Jangan ketawa!"
"Maaf, aku bercanda, kok." Hadi mengikis jarak, mendekati Jelita. Ketika sudah dekat, ia mengulurkan plester ke hadapan Jelita. "Nih, tutup luka di lutut pakai ini. Pasang sendiri ya, gak mungkin kan aku buka rok kamu?"
"Kamu akan selalu ada buat aku, kan, Di?"
Jelita melempar pertanyaan menyedihkan seperti itu, jelas saja Hadi terdiam. Kenapa kesannya seperti ingin berpish ya?
"Ta, kita gak akan berjauhan. Kita sahabat sedunia dan akhirat."
"Jangan ngomongin mati-mati ya, aku takut tau."
"Iya, maaf..." Hadi gemas, mengangkat tangan, lalu mengusap lembut ubun-ubun Jelita.
"Jualan kamu masih banyak, Di?" tanya Jelita.
"Ya, kenapa? Mau bantu jualin?"
Jelita menyengir kuda. "Gak, nanya doang, kok, hehe."
"Owalah... kampret!"