Loading...
Logo TinLit
Read Story - Matahari untuk Kita
MENU
About Us  

"Lanjutkan perjuangan itu, pahit-pahitnya dirasakan juga, karena manisnya perjuangan itu adanya ya terakhir." --Bapak-bapak dalam bus.

∆∆∆∆∆

 

 

Seseorang mendengarkan percakapan Mbak Tina dan Jelita di tempat karaoke. Buru-buru diberitahukan kepada kedua orangtua Jelita. Mereka marah besar, kapan saja menunggu putrinya pulang, lalu siap memarahinya.

Seperti yang Cawi lakukan kemarin, dia menampar keras pipi Jelita tanpa memandang bulu bahwa anaknya adalah perempuan. Saat itu Cawi marah besar, dia mengamuk karena Jelita berani mencoreng nama baik keluarganya dengan sebuah kebohongan.

"Aku melakukannya demi impianku, ayah!"

"Impian, impian, impian terus! Cukup,  Jelita!" Cawi murka. Wajahnya merah padam, tangannya ringan sekali terangkat untuk kembali menggampar kepala Jelita.

Seolah suaminya yang paling benar, Ibu Maryati--ibunya Jelita pun terus memberikan kalimat-kalimat menyesakkan untuk sang putri. "Sudahlah, Jelita, kamu kalau salah ya salah aja. Kenapa sih mesti berbohong segala? Sudah merasa yang paling benar kamu, hah? Memangnya kamu bisa apa kuliah tanpa uang? Tanpa otak cerdas? Bisa? Gak akan bisa, Jelita!"

"Bisa, Bu!" sentak Jelita. Matanya sudah berkaca-kaca, hidungnya merah, bibirnya bergetar. Jelita takut sekali, dia takut ucapan ibunya menjadi kenyataan. Demi Tuhan, dia tidak mau kalah oleh spekulasi orangtuanya.

"Bisa apa? Sudah lulus SMA saja kamu harusnya bersyukur!"

"Dengarkan ayahmu, Jelita! Lupakan mimpimu untuk kuliah. Kamu akan hidup enak kalau menikahi Karman!"

Jelita mengentak kasar kakinya ke lantai. "Tidak mau! Aku lebih baik mati daripada menikah dengan orang itu!"

"Anak kurang ajar!"

Plak!

Satu tamparan dari sang ayah menjadi langkah awal ibunya pun ikut memukulinya. Jelita tidak tahu apa itu dukungan orangtua. Meski dia punya banyak mimpi dan ambisi, rasanya tidak pernah cukup. Dia jadi teringat Hadi. Dengan segala rasa pesimisnya, Hadi setidaknya mendapat dukungan penuh dari kedua orangtuanya.

"Kenapa? Kenapa perempuan sepertiku tidak boleh punya ambisi, Ayah?" Dengan sisa tenaga dari tubuhnya yang sudah limbung, Jelita mengutarakan isi hatinya.

"Kenapa? Kenapa perempuan miskin sepertiku dilarang untuk bermimpi, Ibu?"

"Kenapa? Kenapa semuanya harus diukur dengan uang dan kekayaan, Ayah? Kenapa, Ibu? Apa aku tidak boleh mencoba untuk meraih cita-citaku? Kenapa?"

Kenapa? Dan, kenapa?

Selalu pertanyaan itulah yang ada di kepala Jelita. Sampai ia lemah dan tak sadarkan diripun, dia tidak bisa mendengar jawaban dari kedua orangtuanya.

"Padahal aku hanya ingin didukung, itu saja. Aku hanya ingin dihargai kalau aku juga punya tujuan hidup. Bukan hanya soal menikah dan jadi istri orang kaya, tapi juga bisa berdiri di kaki sendiri. Aku ingin sukses juga untuk Ayah dan Ibu..."

Bukannya mendapatkan belas kasihan dengan membeberkan perasaannya selama ini, justru pukulan dan pukulanlah yang diterima oleh Jelita.

Saat itulah seluruh desa gempar dengan kejadian yang menimpa keluarga Cawi. Berita soal Jelita yang berbohong secepat kilat menjadi tranding topic di desa kecil tepi pesisir itu.

Desas-desus baru tercipta. Mereka berspekulasi bahwa Hadi kabur karena malu dituduh yang tidak-tidak. Jelita dikucilkan, dia tidak boleh keluar rumah, bahkan sekolah saja akhirnya gadis itu tinggalkan. Bukan karena Jelita menyerah, tetapi kala itu dia tidak punya tenaga. Bahkan untuk berdiri saja rasanya sangat sakit, tubuhnya kaku sekali.

 

∆∆∆∆∆

 

Tiga minggu sebelum ujian berlangsung. Ketika itu Jelita sedang semangat-semangatnya berdoa dan belajar. Dia dan seluruh ambisinya yang besar mengubahnya menjadi lebih percaya diri. Jelita yakin dia bisa lolos SNMPTN, masuk kampus negeri jalur prestasi.

Selama ini nilai Jelita sangat bagus. Dari semester pertama sampai kelima, nilai rata-rata raportnya selalu naik, tidak pernah turun. Bu Fida juga selalu memberikan semangat pada Jelita bahwa muridnya itu bisa masuk kampus negeri untuk jurusan kebidanan.

"Peluang kamu cukup besar. Insya Allah, kamu pasti bisa lolos, Jelita. Banyak lulusan tahun kemarin juga yang diterima di sana, sekarang yang mendaftar cuma kamu sama Rania dari kelas IPA satu. Banyak-banyak berdoa saja ya, nanti kalau memang itu rezekinya kamu juga tidak akan lari ke mana-mana." Begitulah nasihat Bu Fida. Keyakinan dan kepercayaan diri Jelita tidak surut.

Dia pulang ke rumah dengan perasaan bangga. Jelita menunjukkan tanda bukti bahwa dia ikut mendaftar SNMPTN kepada ayah dan ibunya. Mereka tidak berekspresi, hanya berdecih ketika mendengar bahwa putrinya berencana kuliah.

"Kayak bakal keterima aja kamu, Jelita."

"Betul itu kata ibumu, mending siap-siap buat menikah sama orang kaya."

Jelita segera memasukkan lembaran tanda bukti mendaftar SNMPTN ke dalam tasnya. Matanya yang bulat itu melotot tajam pada Cawi, tak terima mimpinya di rendahkan. "Apaan sih, Ayah? Nggak bisa apa doa yang baik-baik. Aku juga kan butuh support kalian supaya bisa lolos. Apalagi Ibu, doa Ibu itu adalah yang paling mujarab Bu, setidaknya Ibu doain aku sukses gitu."

"Ibu selalu doain kamu sukses. Kamu pasti sukses nanti, Ibu pasti pilihkan calon suami kaya raya buat kamu."

"Ibu!"

Seminggu setelah kejadian itu, seolah doa ayah dan ibunya didengar oleh Tuhan, Jelita mendapat berita menyedihkan. Dia dan kepercayaan dirinya sirna begitu saja. Pengumuman SNMPTN telah ia terima, dan Jelita tidak lolos. Dari sekolahnya hanya Rania yang diterima.

Jelita sedih sekali. Sudah tidak lolos SNMPTN, dapat banyak cemooh pula dari orangtuanya. Belum lagi orang-orang di desanya yang selalu menyuruh Jelita untuk berhenti bermimpi.

"Lagian gaya-gayaan mau kuliah segala. Kalau orang bodoh mah udah cari aja laki-laki kaya, pasti sukseslah nanti," ujar salah seorang warga ketika melintasi Jelita yang kala itu sedang menangis.

"Ibu Maryati sudah cari-cari jodoh tuh buat dia. Katanya sih juragan kapal yang istrinya baru meninggal itu," timpal yang lainnya.

"Wah, kalau aku sih segera minta dinikahi, takut nanti diambil gadis lain, haha."

"Dasar gadis bodoh!"

Jelita marah, dia menoleh cepat pada kerumunan ibu-ibu julid tersebut. "Aku tidak mau jadi seperti kalian. Hidup menderita dan hanya jadi babu suami. Bukankah kalian tidak pernah diperlakukan baik oleh suami kalian? Aku tidak mau jadi seperti itu, lebih baik aku mati daripada menikah dengan orang tua!"

"Ih, kurang ajar sekali! Pantas selalu dipukuli ayah sama ibunya. Kelakuannya kayak binatang ya!"

"Kalian yang binatang!" Persetan dengan kesopanan dan segala buntutnya, Jelita merasa harus memaki ibu-ibu penggosip itu.

Puas dengan teriakan kerasnya, Jelita berlari cepat hingga kakinya bermuara di tepian pantai. Di tempat yang selalu jadi pelarian untuknya itu, di sanalah dia menangis setelah melihat seorang laki-laki berjalan ke arahnya.

"Hadiiiiiiii, tolongin... hiks, aku... Aku harus gimana, Di..."

Hadi yang baru saja selesai memasang jala segera berjalan menyibak ombak untuk sampai di depan Jelita. Dia mengembuskan napas begitu berat melihat air mata Jelita yang mengalir deras.

"Nangis-nangis aja, gak perlu pakai ingusan. Jelek tau!"

"Bodo amat! Biar jelek sekalian dan tidak ada yang mau melamarku. Aku tidak mau menikah dulu sebelum aku bisa kuliah dan sukses!"

"Nah, gitu dong. Maki saja semua orang. Maki semuanya sampai kamu puas. Jangan menangis, Jelita. Menangis tidak dilakukan oleh sahabatku."

"Tapi tuh... Tapi rasanya tuh sakit banget, Di... Tolongin... hiks, kayak... Kayak napas aja tuh susah tau..." ujar Jelita sesenggukan.

"Gimana napas gak susah orang kamu nangisnya begitu."

Demi menenangkan sahabatnya, Hadi mengulurkan tangan dan telaten mengusap-usap bahu kanan Jelita. Gadis itu tidak lagi berbicara, dia khidmat menuntaskan tangisannya. Jelita menumpahkan semua rasa kesalnya saat itu juga.

"Nangis yang lama, tapi hari ini aja ya. Besok-besok jangan nangis lagi, hadapi dengan berani."

Dari kecil hanya Hadi. Hanya anak laki-laki itu yang senantiasa menampung tangisan Jelita. Ketika Jelita kesal, marah, dan bahagia, selalu Hadi yang menemani.

Tetapi kini, di saat Jelita rapuh dan tak berdaya, Hadi tidak ada. Ketika Jelita butuh sosok sahabat baiknya, Hadi tidak ada di dekatnya.

Jelita tidak berdaya. Dia tidak bisa keluar dari kamar. Dia tidak bisa melawan Ayah dan Ibu. Dia tidak bisa mendobrak pintu. Jelita rapuh, dan dia butuh Hadi.

 

 

∆∆∆∆∆

 

Bus yang ditumpangi Hadi melaju kencang sejak empat jam yang lalu. Laki-laki itu tidak tahu dirinya sudah sampai di mana, yang jelas untuk tiba di kampung halaman masih membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Orang-orang bilang masih butuh dua hari lagi untuk sampai, itu berarti tepat hari senin di waktu ujian.

Hadi melempar pandangan ke jendela. Dia meratapi nasibnya sembari memperhatikan orang-orang yang ia lewati. Alangkah senangnya jika ia hidup dengan banyak uang, lahir di keluarga kaya. Hadi pasti bisa bermain seperti remaja lain seumuran dia, bukannya sibuk memikirkan cara mencari nafkah.

Melihat dua teman sedang bercengkerama, Hadi jadi teringat Jelita. Ah, gadis itu, sedang apa ya dia?

"Jelita pasti sedang rindu padaku, hehe." Hadi bergumam tanpa sadar.

Dia jadi ingat ketika hari pengumuman SNMPTN dan Jelita tidak lolos. Hadi harus mendengarkan tangisan jeleknya di pantai, padahal laki-laki itu baru saja selesai memasang jala. Waktu itu Hadi pikir Jelita tidak akan menangis sekeras itu. Jelita itu kuat, berambisi, berani, namun ternyata ketika gagal teriakannya malah jauh lebih keras.

Satu hari lagi telah terlewati, bus berhenti untuk beristirahat. Hadi mengekori bapak-bapak yang ia pinjami ponsel. Mereka jadi akrab sejak kemarin. Di bus, di tempat istirahat, mereka selalu berdua. Hadi leluasa mengobrol dengan bapak-bapak itu. Nyaman rasanya, seolah dia sedang mengobrol dengan Bapak.

"Kalau sampai rumah kamu tetap tertinggal ikut ujian bagaimana?" tanya bapak-bapak tersebut.

Hadi mengembuskan napas gusar hanya dengan mendengar pertanyaan itu. "Bahkan seeprtinya memang sudah tertinggal, Pak. Kemarin-kemarin sebelum ke sini saya belum pasti terdaftar sebagai peserta ujian. Wali kelas saya kayaknya sudah mencoret nama saya karena jarang masuk sekolah, deh."

"Mau coba hubungi wali kelasmu lagi? Di sini sudah ada sinyal, tadi saja saya habis kirim pesan ke istri saya."

Hadi menggeleng lemah. Pikirnya sudahlah, percuma. "Tidak usah, Pak. Saya tidak mau berekspektasi lebih."

"Kamu sudah berani ambil keputusan begitu saja meninggalkan pekerjaan untuk melanjutkan mimpimu, sekolah. Menurut saya itu bagus, lho. Lanjutkan perjuangan itu, pahit-pahitnya dirasakan juga, karena manisnya perjuangan itu adanya ya terakhir."

"Mimpi ya..." lirih Hadi.

Lagi dan lagi soal mimpi. Hei, mimpi itu apa sih? Bikin pusing saja, sejak kemarin semua orang menanyakan soal mimpi.

"Kamu mungkin marah karena tidak hidup senormal teman-teman kamu. Mereka tidak perlu pusing bekerja, hanya sekolah dan belajar. Tidak apa-apa, berpikiran begitu juga normal. Tapi kamu juga harus perhatian sama hidupmu, jangan cuma melihat dari sisi buruknya."

"Karena hidup saya kayaknya tidak ada manis-manisnya, Pak, hehe."

Bapak-bapak itu berhenti bicara sebentar untuk menerima dua cup kopi. Ia memberikannya satu kepada Hadi, lalu lanjut bercerita.

"Kan, tadi saya bilang nanti manisnya di akhir. Jalani saja, ya."

"Iya, saya jalani sepenuh hati kok, Pak. Karena ada adik-adik saya yang ingin saya perjuangkan."

"Kalau mimpimu sendiri apa?"

"Tidak tau, saya hanya ingin punya banyak uang."

Diletakkannya cup kopi di sisi tubuhnya, bapak-bapak itu menerawang pandangan ke depan sana. "Kalau kamu pintar, ya sebaiknya kuliah. Nanti bekerjanya enak, tidak pakai otot. Sukseslah, buat adik-adikmu mencontoh perjuanganmu."

"Mencontoh saya?" Seolah kalimat itu baru ditemukan dalam kamus, Hadi menatap bapak-bapak tersebut dengan mata berbinar.

"Kamu bilang ingin berjuang untuk adik-adikmu, kan? Berjuanglah; bekerja dan sekolah yang tinggi. Adikmu pasti bangga, lalu mereka menjadikanmu sebagai role model."

"Tapi... kuliah, kan, butuh duit, Pak."

"Siapa yang bilang gratis? Saya nggak bilang, ya." Bapak-bapak itu terkekeh. Dia ambil lagi cup kopinya untuk dicecap sedikit. "Kuliah sambil bekerja, kan, bisa. Banyak beasiswa juga kok, jangan khawatir. Kalau mau sukses ya ambil semua risiko itu."

"Kayak yang selalu dibilang Jelita..."

"Siapa?"

"Teman saya yang di desa, Pak."

"Namanya cantik, anaknya pasti cantik ya?"

Hadi menggeleng cepat. "Jelek, Pak. Suka marah-marah."

"Istri saya juga suka marah-marah, tapi dia tetap cantik."

"Jelita itu beda, Pak. Dia mah mau senyum atau marah sama aja, selalu jelek."

 

 

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Simfoni Rindu Zindy
789      562     0     
Inspirational
Zindy, siswi SMA yang ceria dan gigih, terpaksa tumbuh lebih cepat sejak ayahnya pergi dari rumah tanpa kabar. Di tengah kesulitan ekonomi dan luka keluarga yang belum sembuh, Zindy berjualan di sekolah demi membantu ibunya membayar SPP. Bermodal keranjang jinjing dan tekad baja, ia menjadi pusat perhatian terkadang diejek, tapi perlahan disukai. Dukungan sahabatnya, Rara, menjadi pondasi awal...
Perahu Waktu
435      297     1     
Short Story
Ketika waktu mengajari tentang bagaimana hidup diantara kubangan sebuah rindu. Maka perahu kehidupanku akan mengajari akan sabar untuk menghempas sebuah kata yang bernama rindu
My Private Driver Is My Ex
433      290     10     
Romance
Neyra Amelia Dirgantara adalah seorang gadis cantik dengan mata Belo dan rambut pendek sebahu, serta paras cantiknya bak boneka jepang. Neyra adalah siswi pintar di kelas 12 IPA 1 dengan julukan si wanita bermulut pedas. Wanita yang seperti singa betina itu dulunya adalah mantan Bagas yaitu ketua geng motor God riders, berandal-berandal yang paling sadis pada geng lawannya. Setelahnya neyra di...
Bifurkasi Rasa
147      125     0     
Romance
Bifurkasi Rasa Tentang rasa yang terbagi dua Tentang luka yang pilu Tentang senyum penyembuh Dan Tentang rasa sesal yang tak akan pernah bisa mengembalikan waktu seperti sedia kala Aku tahu, menyesal tak akan pernah mengubah waktu. Namun biarlah rasa sesal ini tetap ada, agar aku bisa merasakan kehadiranmu yang telah pergi. --Nara "Kalau suatu saat ada yang bisa mencintai kamu sedal...
Sejauh Matahari
562      348     2     
Fan Fiction
Kesedihannya seperti tak pernah berujung. Setelah ayahnya meninggal dunia, teman dekatnya yang tiba-tiba menjauh, dan keinginan untuk masuk universitas impiannya tak kunjung terwujud. Akankah Rima menemukan kebahagiaannya setelah melalui proses hidup yang tak mudah ini? Happy Reading! :)
Meruntuhkan Keraguan
1208      783     3     
Inspirational
Dengan usaha kita bisa berjalan menuju tempat yang diinginkan. Namun, jika disertai dengan doa, maka kita bisa berlari sangat cepat ke tempat tersebut.
Lepas SKS
182      157     0     
Inspirational
Kadang, yang buat kita lelah bukan hidup tapi standar orang lain. Julie, beauty & fashion influencer yang selalu tampil flawless, tiba-tiba viral karena video mabuk yang bahkan dia sendiri tidak ingat pernah terjadi. Dalam hitungan jam, hidupnya ambruk: kontrak kerja putus, pacar menghilang, dan yang paling menyakitkan Skor Kredit Sosial (SKS) miliknya anjlok. Dari apartemen mewah ke flat ...
Love Warning
1344      624     3     
Romance
Pacar1/pa·car/ n teman lawan jenis yang tetap dan mempunyai hubungan berdasarkan cinta kasih; kekasih. Meskipun tercantum dalam KBBI, nyatanya kata itu tidak pernah tertulis di Kamus Besar Bahasa Tasha. Dia tidak tahu kenapa hal itu seperti wajib dimiliki oleh para remaja. But, the more she looks at him, the more she's annoyed every time. Untungnya, dia bukan tipe cewek yang mudah baper alias...
Interaksi
429      331     1     
Romance
Aku adalah paradoks. Tak kumengerti dengan benar. Tak dapat kujelaskan dengan singkat. Tak dapat kujabarkan perasaan benci dalam diri sendiri. Tak dapat kukatakan bahwa aku sungguh menyukai diri sendiri dengan perasaan jujur didalamnya. Kesepian tak memiliki seorang teman menggerogoti hatiku hingga menciptakan lubang menganga di dada. Sekalipun ada seorang yang bersedia menyebutnya sebagai ...
BestfriEND
43      37     1     
True Story
Di tengah hedonisme kampus yang terasa asing, Iara Deanara memilih teguh pada kesederhanaannya. Berbekal mental kuat sejak sekolah. Dia tak gentar menghadapi perundungan dari teman kampusnya, Frada. Iara yakin, tanpa polesan makeup dan penampilan mewah. Dia akan menemukan orang tulus yang menerima hatinya. Keyakinannya bersemi saat bersahabat dengan Dea dan menjalin kasih dengan Emil, cowok b...