"Katanya aku harus menikmati hidup dan tidak melulu memikirkan nafkah keluarga. Tetapi jujur, Ta, untuk bermimpi saja rasanya aku terlalu lancang." --Hadi Ardian.
∆∆∆∆∆
Selaku ketua kelas Jelita diminta menemui wali kelasnya--Bu Fida di ruang guru. Saat yang lain berperang di kantin sekolah, gadis itu justru sibuk menerima perintah dari Bu Fida. Alasan yang menahan Jelita dari rencananya jajan di kantin tiada lain adalah sahabatnya sendiri yang sudah beberapa hari ini tidak masuk sekolah.
Semenjak kejadian Jelita mengumbar fitnah untuk dirinya sendiri itu, semenjak Hadi didepak untuk tidak ikut melaut dengan kapal milik Karman, semenjak saat itu keesokan harinya Hadi tidak masuk sekolah. Jelita belum bertemu lagi dengan laki-laki itu. Terakhir kali mereka bertemu adalah di pantai ketika Jelita menangis lantaran dipukuli ayahnya.
"Sudah seminggu Hadi tidak masuk tanpa keterangan, kalau seperti ini terus kepala sekolah pasti akan mengeluarkannya dari daftar peserta ujian, Ta."
"Susah untuk meyakinkan Hadi, Bu. Dia tidak percaya dengan pendidikan. Kalau sudah bekerja, mendapat uang, katanya untuk apalagi mengejar ijazah."
Bu Fida berdecak prihatin. Kalau saja gaji guru honor itu milyaran, Bu Fida pasti dengan senang hati akan membantu murid kesayangannya untuk lanjut sekolah dan tidak lagi memikirkan uang.
"Hadi itu bisa diandalkan. Tanpa belajar yang cukup saja dia bisa dapat nilai bagus. Ibu sangat berharap dia setidaknya lulus SMA."
Jelita juga setuju. Dia ingin sekali sahabatnya bisa mengenali jati dirinya, menemukan mimpinya, dan sukses bersama-sama di masa depan nanti.
Kita tidak tahu apakah masa depan kita seperti pelangi atau mungkin hanya abu-abu belaka, tetapi setidaknya kita telah berusaha untuk mengejarnya. Kalaupun tidak sesuai ekspektasi, prosesnya itu mengajari kita banyak hal untuk kuat menghadapi kehidupan.
"Kamu coba temui dia lagi ya, Ta. Bilang kalau Bu Fida cari. Pokoknya dia harus masuk apapun yang terjadi. Ibu sangat berharap sama kamu."
"Baik, Bu. Saya akan berusaha."
"Dan soal hubungan kamu sama Hadi itu--"
"Gak, Bu. Itu hanya karangan saya saja," potong Jelita cepat. Oh ya Tuhan, rumor itu telah sampai pada Bu Fida.
"Iya Ibu paham," kekeh guru muda itu. "Ibu juga sudah meyakinkan kepala sekolah kalau rumor itu tidak benar. Kamu melakukannya agar tidak jadi dinikahkan, kan?"
"Ibu pasti paham kalau saya mau sekolah, saya tidak mau menyia-nyiakan masa muda saya untuk menikah dengan orang tua."
Melihat kegigihan muridnya itu, Bu Fida praktis mengusap-usap kepala Jelita. "Ibu akan bantu kamu sampai bisa kuliah."
Setelah itu Jelita keluar dari ruang guru. Dia mengembuskan napas lega setelah keluar dari ruangan itu. Tidak disangka ternyata rumor itu sampai juga di telinga guru-guru. Pantas saja ketika Jelita berpapasan dengan guru lain, mereka memicingkan mata seolah Jelita dipenuhi banyak kotoran.
"Jelita!" Seseorang memanggil ketika gadis itu berada di koridor kelasnya. Jelita tidak jadi ke kantin, dia lemas setelah ngobrol dengan Bu Fida.
"Kenapa, Suk?"
"Kamu beneran sudah tidak perawan? Melakukannya sama Hadi ya? Gimana rasanya, enak? Tidak sampai hamil atau kalian gugurkan?"
Sebenarnya sejak si Sukma itu memanggil namanya, Jelita sudah menaruh kecurigaan. Sukma itu tidak dekat dengan dirinya, sudah jelas dia mendekat hanya untuk menyinyir saja.
"Ya, terserah katamu saja, deh." Jelita malas mendebat, toh Sukma pasti hanya ingin percaya rumor daripada penjelasannya.
"Bodoh, sudah pasti itu cuma omong kosong." Raka yang berada di ambang pintu kelas dan kebetulan mendengar obrolan dua gadis itu ikut berkomentar.
"Maksud kamu Jelita bohong? Buat apa?"
"Ya biar dia tidak jadi kawin!"
Sukma mendorong dada Jelita. "Hih, sombong! Kamu mau dapat yang seperti apa berani nolak orang kaya? Yakin banget bakalan dapat yang lebih kaya lagi? Apalagi kini semua orang tau kamu tidak perawan, siapa yang bakal mau nikah sama kamu, Ta?"
"Hahaha..." Duh, Jelita jadi terbahak sendiri. Pemikiran kuno seperti itu ternyata tidak hanya membelenggu pikiran orang-orang tua di desanya saja, tetapi juga sudah menyerang otak anak-anak muda seperti Sukma ini.
"Kok ketawa? Ih, gila!"
"Kalau kamu mau, kamu aja yang gantiin Jelita," celetuk Raka sambil memasukkan potongan snack ke dalam mulutnya.
"Iya tuh, mumpung belum ada penggantinya." Jelita mengakhiri pembicaraan dan masuk ke dalam kelas begitu saja meninggalkan Sukma.
Tetapi Raka menyusul Jelita. Anak laki-laki itu ikut duduk di kursi depan mejanya Jelita. Dia mengulurkan snack di depannya untuk menawari Jelita makan juga.
"Hadi lagi ya yang ditanyain Bu Fida?" tanya Raka.
Karena mendengar nama Hadi maka Jelita mendongak. Dia mengambil snack milik Raka terlebih dahulu sebelum kemudian mengangguk dan mengunyah.
"Kamu tidak berpikir dia mungkin saja menghindar karena rumor kalian? Kabur misalnya ke desa lain?" tebak Raka.
"Entahlah... Emangnya bisa sampai segitunya?"
"Ya, kan... Mungkin saja, hehe..."
Jelita tidak tahu. Seminggu ini dia malu menemui keluarga Hadi. Ketika mencari laki-laki itu saja Jelita hanya berani bersembunyi dan diam-diam mengintip obrolan keluarga itu. Dia dengar Hadi tidak ada, sudah berangkat, tetapi entah ke mana sampai tidak kelihatan batang hidungnya semingguan ini.
Malam itu juga mereka tidak bertengkar, kok. Jelita yakin sekali Hadi tidak sampai segitunya. Maksud gadis itu, Hadi tidak sampai marah besar hingga memilih kabur hanya karena rumor mereka. Lagipula Jelita sudah jelaskan itu semua hanya omong kosong supaya dia gagal dilamar Karman.
Karena Raka bilang begitu, jadinya Jelita malah kepikiran dan kembali mengingat pembicaraan dengan Hadi malam itu.
"Aku ternodai, Jelita sinting!!"
Jelita tertawa terpingkal-pingkal meskipun rahangnya sakit karena luka-luka. Hadi lucu sekali bilang dia ternodai, padahal kalau dijabarkan rumornya malah menyerang Jelita. Hadi si enak, dia laki-laki, tidak mendapat cemooh orang-orang sebanyak Jelita.
"Lalu, bagaimana kamu meyakinkan Mbak Tina sampai dia bilang kita melakukannya di tempat karaoke?"
"Aku masih kerja di sana, diam-diam, cuma bantu bersih-bersih sebelum buka. Aku cerita sama Mbak Tina soal lamaran Karman, terus aku ngasih ide, dan Mbak Tina setuju. Dia bilang mau bantu apapun. Jadilah kami akhirnya bersekongkol. Ayah mengamuk, dia menyerobot Mbak Tina dengan berbagai pertanyaan, dan jawabannya berhasil meyakinkan Ayah."
"Dan meyakinkan Kang Karman sampai aku dan Bapak tidak boleh melaut dengan kapalnya lagi," lirih Hadi. Jelita mendengarnya dengan sangat jelas. Seketika rasa iba menyerang perasaan gadis itu.
"Aku... Tidak bermaksud, Di. Maaf..."
"Tidak apa. Toh, semua sudah jadi bubur."
"Nanti kamu sama Pak Gugun gimana?"
Hadi tersenyum miring. "Ya cari juragan lain yang mau menerima kami."
"Duh, bodohnya aku. Kenapa aku tidak kepikiran sampai sana ya? Aku jadi tidak enak sama bapak kamu, Di."
Hadi mendekati Jelita, mengulurkan permen dari saku celananya. Dia membeli itu sebelum pergi ke tempat janjian dengan Jelita, sebab Hadi tahu Jelita akan babak belur seperti itu.
Permen pun berpindah tangan ke Jelita. Gadis itu membuka pembungkusnya dan segera memasukkan makanan manis itu dalam mulutnya sambil mendengarkan balasan Hadi.
"Bapak gak marah tau, aneh ya. Dia malah mirip orang yang bersyukur anaknya tercemar rumor begitu. Katanya aku harus menikmati hidup dan tidak melulu memikirkan nafkah keluarga. Tetapi jujur, Ta, untuk bermimpi saja rasanya aku terlalu lancang."
"Lancang dari mana? Hadi, justru itu normal. Untuk remaja seperti kita hal yang harusnya jadi prioritas adalah memikirkan impian untuk masa depan nanti."
"Tapi aku tidak tau mimpiku itu apa," akunya, Hadi.
Jelita menatap langit dengan mata memicing. Dia seolah memberikan komentar pada Tuhan untuk skenario terbaik ini. "Bagaimana bisa semuanya serumit ini, ya? Kamu punya orangtua yang mendukung, bersyukur sekali kalau anaknya punya mimpi. Sedangkan aku, aku yang punya banyak mimpi ini malah dilahirkan dari orangtua yang tidak mendukung sama sekali."
Diam sejenak untuk mengusap air mata yang mengalir di kedua pipinya, Jelita mencoba untuk tidak terisak keras di hadapan Hadi. "Aku tidak akan menyerah, aku tidak mau menyerah. Demi Tuhan, Di, ayo temukan mimpimu!"
"Aku tidak tau, sungguhan."
Pembicaraan selesai sampai di sana. Ya, Jelita ingat dengan jelas mereka tidak bertengkar, ataupun Hadi mengatakan hal-hal yang membuatnya harus kabur dari desa.
"Ingat sesuatu?" ucapan Raka membuyarkan lamunan Jelita.
Gadis itu menggeleng pelan. "Dia tidak bilang apa-apa, kok."
"Ngomong-ngomong, Ta, kalau semua orang percaya kamu sudah tidak perawan dan pernah melakukannya dengan Hadi, lalu siapa yang akan menikah denganmu nanti?"
"Kamu mau tidak?" tunjuknya pada Raka.
"Eh, kok aku?"
Lantas, Jelita terkekeh. "Ya sudah, kalau kamu tidak mau tinggal minta Hadi saja."
∆∆∆∆∆
Seminggu pulang sekolah tanpa Hadi rasanya menyebalkan juga. Jelita tidak bisa ngobrol, sepanjang jalan dia hanya membisu menikmati deburan ombak.
Angin menerbangkan kuncirannya ke kanan dan kiri. Jelita jadi rindu dijaili Hadi. Rambutnya pasti ditarik-tarik, lalu memaksanya agar memotong rambut. Itu menyebalkan, tetapi ketika tidak ada laki-laki itu kenapa rasanya jauh lebih menyebalkan, ya?
Jelita melihat Ibu di kejauhan sedang membantu Ayah menyiapkan perbekalan di kapal. Tidak hanya Ibu saja, banyak istri-istri lain yang melakukan itu untuk suaminya. Rasanya menyebalkan kalau harus mengingat kejadian seminggu yang lalu. Ibu dan Ayah jelas-jelas ingin membuat Jelita menjadi seperti mereka.
"Jelita!"
Padahal Jelita diam-diam saja, eh, Ibu malah melihatnya. Wanita paruh baya itu mengangkat tangan untuk memberikan lambaian agar putrinya mendekat.
Dengan terpaksa Jelita menghampirinya sambil berlarian. Dia menggamit tangan Ayah dan Ibu untuk mencium tangan. Jelita tidak memberi senyum, wajahnya jutek saja selama semingguan ini.
"Ini, lauk buat kamu makan."
"Tumben? Ibu sudah gak marah sama Jelita?"
"Pulang, terus makan."
Jelas Ibu masih marah. Kendati demikian, Jelita tahu ibu mana yang tahan mendiami anaknya terlalu lama. Meskipun jelas Ibu kecewa pada Jelita, tetapi Ibu tidak akan tega membiarkan anaknya tidak makan enak seperti dirinya.
Ayah tidak bicara apa-apa, hanya Ibu yang sudah melunak. Tidak apa-apa, itu sudah kemajuan. Jelita pamit dengan menciumi tangan kedua orangtuanya, namun tidak langsung ke rumah. Dia sengaja mampir ke rumah Hadi untuk diam-diam mencari tahu kabar laki-laki itu.
Rumahnya nampak sepi. Seperti biasa orangtua Hadi sibuk bekerja, adik-adiknya mungkin sedang bermain. Entahlah, Jelita merasa tidak perlu mengawasi rumah itu untuk hari ini.
Ketika akan berlalu dari sana, tiba-tiba saja pintu rumah Hadi terbuka. Pintu itu mengeluarkan Hadi yang sudah berpakaian rapi dan membawa tas besar. Hadi seperti orang yang akan melakukan perjalanan jauh.
"Hadi!" Jelita melompat dari persembunyiannya untuk berlari menubruk sahabatnya itu.
"Sekarang kamu jadi hobi ngintip ya?"
"Lho, kamu tau?"
Hadi mendengus. "Dasar!"
"Di, kamu sudah seminggu gak masuk, lho. Bu Fida wanti-wanti banget nih biar kamu masuk dan terdaftar sebagai peserta ujian."
"Hapus aja, Ta. Aku mau pergi ke Sumatera hari ini, dan tidak pulang lagi untuk waktu yang lama."
Bola mata Jelita membesar. "Mau ngapain?"
"Kerja di kebun sawit, aku mau coba apapun asal menghasilkan uang."
"Sekolahmu? Mimpimu?"
"Persetan dengan mimpi-mimpi itu, Ta. Aku gak tau! Sudahlah, menyerah saja!" tekan Hadi.
"Asal kamu tau ya, Di. Aku melakukan ini semua karena kamu sahabatku satu-satunya. Ya, aku jelas tidak bisa memaksa. Semuanya terserah padamu saja. Semoga sukses ya di sana, Di." Jelita kemudian mengeluarkan surat yang dititipkan Bu Fida dan menyerahkannya di tangan Hadi. "Ini ada titipan dari Bu Fida, katanya jangan dibuang dan tolong dibaca."
"Ta, aku..."
"Selamat jalan, hati-hati, ya..." Jelita tidak mau mendengarkan perkataan Hadi lagi. Dia sudah kecewa berat. Sahabatnya yang selama ini dia percayai akan berusaha mencari jati diri dan impiannya, kini dia sudah menyerah. Ya, Jelita juga harus menyerah untuk menasihatinya.
Dalam langkah-langkah kecilnya menuju rumah, Jelita meneteskan air matanya tanpa sadar. Bukan karena ia akan berpisah jarak dengan Hadi, tetapi karena dia sadar sahabatnya itu benar-benar tidak tahu apapun soal mimpinya sendiri.