Burung berkicau selayaknya pemberi sambutan pada matahari yang sedang bangun. Cahaya kemerahan sedikit demi sedikit tergaris di atas lautan yang tenang. Angin berembus dengan lembut, tak mampu menggoyangkan pohon-pohon kelapa.
Suasana pagi yang selalu menyejukkan hati menjadi teman terbaik bagi Hadi Ardian yang tengah beristirahat di bibir pantai. Dia mengantuk sekali, tertidur di sana pastilah menjadi istirahat terbaik. Setidaknya lima menit yang lalu ia angguki demikian sebelum jeritan melengking menyadarkannya dari mimpi indah itu.
"Hadiiiiiiiiiiiiiii!!!"
Langkahnya berderap, cepat tapi tidak berlari. Sepatu mengkilapnya tercetak di pasir pantai membuat jejak garis panjang. Seragam sekolahnya yang rapi sangat serasi dipadukan bersama gaya rambutnya yang diikat satu membentuk ekor kuda. Wangi segar tercium di sekitar Hadi, kontras sekali dengan pakaian basahnya yang begitu amis.
"Masih jam enam."
"Jam enam lewat lima belas menit. Oh ralat, jam enam lewat tujuh belas menit!" Gadis itu menentang tebakan Hadi dengan sarkas.
"Aku belum tidur lho, Ta..." lirih Hadi.
"Jangan beralasan, hari ini aku tungguin sampai kamu selesai mandi dan siap-siap."
"Aku belum ambil upah dari Pak Khosim."
"Ambil sepulang sekolah saja. Ingat, kamu sudah dapat peringatan kehadiran dari Bu Fida, kalau sampai absenmu nambah, kamu tidak bisa ikut ujian. Kamu mau tidak lulus SMA? Mau putus sekolah?"
Hadi berdecak. Detik berikutnya ia berdiri, melangkahkan kaki mendekati gadis tukang ngomel di hadapannya. "Mau aku lulus atau tidak semuanya tidak berubah, Ta. Aku akan tetap melaut, mencari ikan, dan menafkahi keluargaku. Semua itu tidak butuh ijazah."
"Ijazah itu penting, Hadi!"
"Tapi ijazah tidak diperlukan bagi pelaut dan orang miskin sepertiku."
"Bodoh!" maki si gadis.
Hadi tersenyum kecut. "Aku memang bodoh, buat apa sekolah?"
"Ayo pulang, lalu pergi ke sekolah!"
"Ayo pulang, lalu tidur. Itu baru kalimat yang benar, Jelita."
"Bodoh!"
"Heh, ingat! Minggu lalu nilai matematikaku lebih besar dari punyamu."
Jelita, namanya.
Gadis itu tak ingin menentang Hadi lama-lama sebab laki-laki itu selalu curang menyebutkan nilai matematikanya yang lebih besar. Jelita tentu saja iri, bagaimana bisa dia yang selalu belajar setiap hari dikalahkan oleh si nelayan muda itu.
"Aku bolos ya, Ta."
"Sekolah, Hadi! Kubilang sekolah ya sekolah!"
"Iya, iya, galak banget sih!"
Hadi terpaksa mengekori Jelita yang berjalan lebih dulu. Mereka menjauh dari area pantai dengan langkah-langkah cepat.
"Besok-besok aku tidak mau menyusul sampai ke sini. Jam setengah tujuh kamu sudah harus ada di depan rumahku."
"Enam lewat empat lima dong."
"Setengah tujuh!"
"Enam lewat empat puluh?"
"Hadiiiiiiiiiiiiiiiiiii!!!!!"