Alfian : Di rumah, Nay?
Kanaya : Di jogja, Al.
Alfian : Ada apa?
Kanaya : Pertemuan keluarga rutin
Alfian : kapan pulang?
Kanaya : sabtu sore
Alfian : Oke, Nay
Kanaya : kenapa, Al?
Alfian : kangen J
Kanaya : yakin?
Alfian : of course
Kanaya: thanks, Al. Salam sayang buat Rifa.
Alfian : Papapnya?
Kanaya : Salam timpuk :P
Aku sadar betul. Ini hanya membuat harapannya melambung. Tapi, aku sendiri pun belum bisa menentukan sikap.
Mana yang benar?
>.<
Malioboro cukup ramai sore ini. Praja mengajakku ke sini, setelah istirahat panjang tadi. Kami naik motor Cipto. Aku tak tahu kalau Praja bisa nyetir motor. Karena yang kutahu hanya mobil saja.
Saat lampu merah tadi, Ia berseru, “Pegangan, Aya.” Praja mengambil tanganku, dan ditaruh di perutnya. Apa-apaan ini. ini bagian dari modusnya ya? “Bisa jatuh, kalau engga pegangan.” Sepertinya ia bisa membaca pikiranku.
Siapa suruh motornya Cipto jenis motor laki-laki begini, yang harus nungging naiknya. Wah pegel kuadrat.
“Jangan jauh-jauh.” Aku kaget bukan main, saat kurasakan tanganku digenggam Praja. Ia menarikku dengan acuh, mengharuskanku membuntutinya.
Saat melewati depan pasar, memang ramai orang. Hingga harus empet-empetan untuk berjalan saja. Mungkin sudah mau closing, jadi ramainya kelewatan.
Praja mengajakku duduk, setelah memesan es dawet.
“Kak,” kataku, sambil menggoyangkan tanganku yang masih digenggamnya.
Ia hanya melirikku sekilas. “Engga apa. Daripada hilang.”
Aku menghela nafas. “Kak, hilang apanya? Aku-“ Praja melepaskan cepat. Lalu bangkit mengambil pesanan dawetnya. Apa-apaan dia itu?
Sepertinya aku harus menjelaskan perasaanku padanya.
“Makasi.” Ia mengangsurkan dawetku. Kemudian duduk dan mulai minum dengan khidmat. Walau hanya berkaos oblong begini, kenapa tetap banyak cewek yang lihatin Praja. Apa dia ini jenis manusia langka ya?
“Maaf, Aya,” katanya setelah menandaskan dawet dengan cepat. Haus ya?
“Kenapa, Kak?” tanyaku.
“Aku tak mau kehilanganmu.” Ia mengatakannya dengan lugas. Memandangiku dengan intens.
“Kok tiba-tiba bilang begitu?” Aku mengatakannya hanya untuk mengalihkan debar jantungku tiba-tiba.
“Ya itu kenyataannya, Aya. Aku sudah menjabarkan tadi pagi. Aku sampai sejauh ini, bukan cuma untuk dengar penolakan.”
Waduh, geer sekali diaaaaa
Aku menghela nafasku. “Kak, aku belum bisa membahas soal ini sekarang. Please, kasih waktu.”
Tatapan matanya mencari kebenaran omonganku. Saat ini memang aku belum bisa memberi jawaban.
“Baik. Tapi berjanjilah padaku,” katanya.
“Apa itu?”
“Jangan menghilang dariku,” ucapnya tandas. Penuh penekanan. Pasti mengingat yang dulu. Aku pernah menghindarinya.
>.<
Acara pertemuan keluarga berjalan riuh. Apalagi kalau bukan keberadaan Praja yang membuat itu semua. Ia sibuk diwawancarai semua anggota keluarga. Aku jadi bulan-bulanan Bude Rah dan Tante Lisa.
“Waduh, sayang ganteng-ganteng begitu dianggurin, Kanaya,” celetuk Tante Lisa genit, saat aku melipir mengambil es buah.
“Apaan sih, Tan,” gerutuku. Sok engga menanggapi. Sibuk memasukkan buah melon, nangka kedalam gelas.
“Tante sudah dengar beritanya, dia kemari karena kamu kan? Hayo ngaku aja. Udah kesini, berati ya sudah mau perkenalan keluarga dong ya. Tinggal tanggalnya aja.” Tante gendutku satu ini, memang paling suka mengkritisi aku yang belum menikah di umur 28 ini.
“Yah, anggep aja begitu, Tan.” Jujur, aku malas menanggapi lebih jauh.
“Eh, katanya teman Redho ya? Berati udah 32 dong? Wah udah matang sekali. Kerja dimana dia?” Tuh, mulai lagi nanyanya rinci amat.
“Tan, coba tanya sendiri sana deh, biar jelas interogasinya,” kataku sambil berlalu.
Mama pun sama. Sama saja promosinya kemana-mana. Bagaimana sih, apa tak lihat tampangku yang tak karuan begini?
“Heh, kapan?” Radit, sepupuku yang lain, menowel bahuku, saat aku duduk di halaman belakang. Ia duduk disampingku, membawa gelas buah juga.
“Apanya yang kapan?”
“Itu, acaranya dong. Udah ditodong nentuin tanggal kan?” Aku ingat, Radit ini pun belum menikah di usia 30 tahun. Masih santai berkarya, katanya. Dia fotografer lepas majalah.
“Ah, entahlah. Kok semuanya maksa sih?”
“Yaelah, kan kamu tahu sendiri bagaimana para bude bulik. Kebelet bikin acara.” Radit tertawa.
“Nasha gimana?” Ini nama pacarnya. Mereka pacaran sudah lama, tapi engga pernah kedengaran gaungnya.
Muka Radit berubah keruh. “Minggat,”
Aku melotot. “Apa?”
“Dia pergi. Kerja, mengejar karier di Jakarta.”
“Trus kalian?”
“Ya bubar.”
“Lho, kenapa? Jakarta ini kok, masih bisa dijangkau.”
“Itu cuma alasan. Aslinya, dia sudah punya yang lain.” Radit tampak menerawang. “Sudah beberapa kali aku nge-gap dia sama manajernya. Tapi aku masih terlalu sayang padanya. Jadi tutup mata. Tapi kelamaan, udah engga bisa ditahan lagi, Nay. Ya sudah harus relakan.” Aku hanya bisa menepuk bahunya.
“Semangat ya, cewek engga cuma dia kok,” hiburku.
“Makanya, segeralah tentukan tanggal. Biar aku engga ditanya terus.”
“Memang belum ada yang tahu?” tanyaku.
Radit menggeleng. “Baru seminggu lalu kok.”
Yaampunnn…
“Hei.” Ndari bergabung dengan kami, dengan duduk disampingku. Sosoknya masih sama sejauh yang kuingat. Tinggi menjulang dengan kemeja garis dan celana bahan.
“Kemana aja, dicariin dari kapan tahun,” gerutuku.
“Maaf, maaf, aku sibuk sekali,” katanya centil. Masih Ndari yang lama. Masih suka simpan rahasia.
“Yakin sibuk?” tanyaku sok selidik.
“Iyalah, apalagi. Banyak proyek yang di handle.”
Aku memicingkan mata. “Yakin? Bukan punya pacar bule lagi?”
Matanya melotot seketika. “eh ngarang,” degusnya. “Mas Praja-mu itu nanti digeret mbokde Sanah lho, kalo engga diambil,” kikihnya.
Ganti aku yang melotot.
>.<