“Kok bengong, Nay?”
Aku hampir loncat dari kursi makan. Ternyata Mbak Rika yang menanyaiku, seraya menyeret kursi di depanku. Cumi lada hitam yang masih tersisa di piringku hanya ku campur sesuka hati.
“Hanna?” tanyaku. Mbak Rika dan Kak Redho memang tinggal disini sementara. Sembari belajar merawat Hanna.
“Sama Uti,” ujar Mbak Rika memulai mengambil nasi dan lauk pauk. Kak Redho memang sedang ada acara kantor weekend ini.
Uti itu Mama. Yang bahagianya luar biasa, mengurus cucu pertamanya.
“Kenapa, Nay? Mau cerita?” tanya Mbak Rika lagi.
“Kelihatan lagi banyak pikiran ya Mbak?” Malah aku balas bertanya.
Mbak Rika mengangguk-angguk sambil terus mengunyah ayam kremes. “Kelihatan banget. Mas Redho juga menebak.”
Mataku melebar. “Nebak apa, Mbak?”
“Nebak siapa yang bikin kamu begini,”
Waduh, kalau sampai Kak Redho ikut andil, bisa runyam.
“Antara Praja atau Alfian.” Mbak Rika mengatakannya dengan santai. Tak tahu kalau aku bisa panas dingin mendengarnya. “Tapi bukannya kemarin kamu nginap di rumah Alfian ya?”
“Ka, kata siapa, Mbak?”
“Mama. Tapi Mas Redho engga tahu.” Fiuh!
“Tahu apa?” Sebuah suara berat membuat jantungku berasa mau copot. Kak Redho muncul dengan kemeja kerjanya. Tangannya mencomot pisang goreng diatas meja. Langsung saja diomeli Mbak Rika.
“Engga apa-apa, Kak.” Aku menggeleng-geleng tak jelas.
Kak Redho menatapku curiga.
“Sana cuci tangan kaki dulu. Dari luar bawa kotoran.” Nasihat Mbak Rika, membuat Kak Redho segera beranjak ke kamarnya.
Aduh, untung saja.
>.<
Bukan. Bukan untung saja begini yang aku mau. Mau nangis rasanya. Saat Alfian dan Praja datang hampir bersamaan. Ini memang malam minggu sial.
Beruntung ada Kak Redho yang menemani mereka ngobrol ngalor ngidul. Memberiku waktu untuk berpikir. Mama menowelku.
“Tuh udah ditungguin. Tinggal pilih.” Senyum Mama semringah sekali. “Aduh, engga sabar ada cucu kedua.” Hampir aku tersedak mendengar omongan Mama.
Bukannya ke ruang depan, aku malah melipir ke kamar Hanna. Yang sedang disusui Mbak Rika. Melihat muka memelasku, tentu saja Mbak Rika langsung tahu.
“Bingung banget ya?” Senyum usil Mbak Rika muncul. Membuatku manyun semanyum manyunnya.
“Mbak Rika nih ah,” ngedumel aku duduk disampingnya. Hanna bahkan ikut melirikku.
Mbak Rika menepuk lenganku. “Coba sholat istikharah, Nay. Biar diperlihatkan mana yang terbaik untukmu.”
“Mbak, aku sendiri bingung sama perasaanku.”
“Makanya sholat itu, biar makin mantap perasaannya.”
Perasaan yang mana, Mbak? Perasaan lima belas tahun itu atau perasaan sekejap itu?
Kuputuskan keluar kamar, setelah banyak banyak berdoa.
Mereka masih mengobrol seru tentang sepak bola, saat aku datang. “Nah ini dia datang,” ujar Kak Redho datar. Mereka berkostum santai dengan kaos dan celana jeans. Aku bisa merasakan mereka mengawasiku.
“Rifa gimana, Al?” tanyaku basa-basi.
Alfian tersenyum kecil. “Udah baikan. Nanyain kamu terus, Nay.” Aduh, mati rasa aku dilihat Praja dengan tajam. Apa dia tahu kalau aku sempat menginap di rumah Alfian?
“Syukurlah.”
“Dia merengek minta ikut. Tapi angin malam tak bagus buatnya. Jadi dia nerima aja di rumah sama Mama dan Kani.” Aku manggut-manggut mendengar penjelasn Alfian.
“Eh bukannya kalian kesini mau nengok Hanna ya? Kok engga bawa kado sih? Atau mau nengok Naya?” Kak Redho tergelak. Dan menurutku tak lucu sama sekali.
“Besok aku kesini sama Rifa bawa kado, Dho. Jangan kuatir.” kata Alfian. Praja hanya diam mendengarkan.
“Bagaimana dengan abang Praja yang satu ini?” tanya Kak Redho.
“Aku mau ajak Naya milih kado untuk Hanna. Boleh pinjam Naya nya?”
>.<
Dan disinilah aku. Di toko peralatan bayi, dengan Praja.
Setelah menanyakan itu pada Kak Redho, Alfian ditelepon Mamanya dan tergesa pulang setelah mengatakan Rifa ngambek. Untungnya bukan karena Rifa kenapa kenapa.
“Yang mana?” tanya Praja, tiba-tiba saja sudah jalan menjajariku. Aku bahkan bisa mencium wangi parfumnya sedekat ini. Bahuku menyentuh lengannya. Perutku jungkir balik tak karuan.
“Em, Kakak maunya apa?”
“Apa yang bagus menurutmu?” Dia malah balik tanya. Matanya menatapku lembut.
“Apa baju? Mainan? Atau yang lain?”
Praja tampak menarik ponsel dari sakunya. Dan menelepon.
Aku terus menyusuri lorong. Kudengar Praja berbicara ditelepon. Sepertinya Kak Redho yang ditelepon.
Wah, menanyakan membutuhkan apa lagi pada Kak Redho artinya siap-siap dipalak. Benar saja, saat kembali, Praja segera menuju tempat berjajar berbagai merk stroller. Dari yang sederhana, sampai yang tampak ribet memakainya. Dari yang harga standar sampai luar biasa diluar nalar.