Loading...
Logo TinLit
Read Story - Sebelah Hati
MENU
About Us  

Kami sampai di rumah Alfian tak sampai tiga puluh menit kemudian. Bukan dalam perumahan elit, tapi tampak perumahan ini menjaga privasi sekali. Diliat dari pos satpam yang kami lewati bahkan ada tiga. Satu pos satpam perumahan, dua yang lain adalah pos satpam cluster. Pantas saja semua rumahnya tak berpagar.

Rumah Alfian hampir sama dengan rumah yang lain. Yang membedakan, hanya catnya coklat muda dan  carport dua mobil yang terpayungi. Ada mobil merah khas city car yang terparkir.

“Ayo masuk,” ujar Alfian, sembari membuka pintu mobil.  Aku membuntutinya. Memasuki rumah yang tak terkunci. Dikejutkan dengan raungan yang terdengar. Dengan cepat Alfian melangkah ke kamar di sebelah ruang keluarga.

Ceklek.

“Gaaaamaaauuuu huuhuhuhuhuuu…” suara Rifa terdengar.

“Rifa, kenapa? Tebak, Papap bawa siapa?” Tak lama, Alfian membuka pintu. Membuatku yang berdiri disamping Alfian nampak.

“Tanteeeeeeee…. “ Dengan cepat, Rifa berlari menubrukku. Tak peduli dengan tatapan Tante Lani yang duduk ditepi ranjang. Lalu hanya tersenyum padaku.

 

>.<

 

Aku menutup pintu hati-hati. Berusaha tak bersuara. Agar Rifa tak terbangun.

“Udah tidur?” Alfian bangkit dari sofa. Aku memberi isyarat agar Alfian tak kemana-mana. Aku terduduk di sofa.

“Sudah. Pules sekali. Kayaknya obat nya bekerja.” Alfian tampak sangat lega. Tampak segar dengan rambut basah. “Tante Lani kemana?” Aku celingukan, hanya suara televisi yang terdengar.

“Mama udah naik istirahat di kamar atas. Mau minum apa? Eh kamu sudah makan?” Alfian bangkit, menuju pantry. Duduk di kitchen island. “Ayo makan, aku beli ayam bakar.” Aku ikut duduk didepannya. Sudah terhidang beberapa potong ayam bakar dan lalapan. Alfian menyendok nasi.

Karena menidurkan Rifa, jadi lupa ini udah jam berapa. Ternyata udah jam sepuluh. Aku merogoh ponselku di dalam tas. Benar saja, Mama sudah misscall beberapa kali.

“Halo, Ma. Maaf, tadi aku lagi nidurin Rifa. Dia demam.”

“Oh kamu lagi di rumah Alfian?”

“Iya, Ma. Tadi Alfian jemput. Aku lupa kasitau Mama. Aku pulang sebentar lagi.”

“Ya udah, hati-hati ya.”

Tiba-tiba saja, Alfian merebut ponselku.  

“Halo, Tante. Saya Alfian. Maaf sekali jadi merepotkan Naya. Iya, engga apa kok, Tante. Sudah mendingan. Beberapa hari ini Rifa rewel. Iya, memanggil Naya terus. Iya, makasih, Tante. Karena sudah malam, bagaimana kalau Naya tidur disini saja? Besok pagi saya antarkan. Iya, terima kasih, Tante.” Alfian menyerahkan ponselku.

Aku masih melongo.

“Kok diam? Ayo makan,” ujarnya santai, bahkan mengambilkan nasi untukku. “Aku minta ijin Tante, biar kamu menginap disini, Nay. Aku takut besok pagi Rifa mencarimu. Besok pagi aku antar pulang.”

“Oh, eh begitu… “ Berani benar dia meminta ijin Mama agar anak gadisnya menginap di rumah duda satu ini.

Kami makan dalam diam. Sibuk dengan pikiran masing-masing.

“Aku antar ke kamar tamu diatas.” Setelah membereskan dan mencuci piring, Alfian menaiki tangga. Aku menyusul dibelakangnya. Ada dua kamar di lantai ini. Dengan satu ruang keluarga yang punya balkon. “Ini kamar Mama,” tunjuk Alfian, kearah kamar dekat tangga.

Lalu membuka kamar di seberang. “Ini kamarmu, Nay.” Kamarnya tak luas, cukup dengan tempat tidur ukuran queen, lemari putih dua pintu dan meja kursi yang menghadap jendela besar yang tertutup tirai. Kamarnya wangi dan rapi.

“Mama menyuruh ART nya membersihkan rumahku seminggu sekali.” Seolah ia bisa membaca pikiranku. “Inilah nasib jadi duda, Nay.” Alfian tersenyum miring.

“Selamat malam, Al,” kataku lirih, melewatinya masuk ke dalam kamar. Tiba-tiba kurasakan cekalan ditanganku. Aku berbalik.

Aku tak bisa mengartikan tatapannya. Yang aku tahu, tiba-tiba saja, aku sudah jatuh dipelukannya. Hidungku menempel di kaos biru Alfian, aku bisa menghidu wangi sabun mandinya.

“Maaf, Nay. Sebentar saja,” lirih Alfian.

Aku menepuk punggungnya. Aku tahu, ini sulit untuknya. “Carilah ibu untuk Rifa,” kataku tercekat, aku tak tahu keberanian dari mana sampai mengatakan itu.

Alfian mundur, menatap mataku. Aku menelan ludah. “Bagaimana kalau aku bilang, aku sudah menemukannya?” bisik Alfian, membuatku merinding.

Do it, Al-“ Suaraku tenggelam. Entah bagaimana bibir Alfian sudah menempel di bibirku. Awalnya hanya begitu, lama-lama kecupan demi kecupan itu datang. Sialnya, aku tak bisa menahan diri.

Hingga tanpa sadar, Alfian sudah menindihku diatas kasur.

“Al.. “ Aku menahan dadanya. Menahannya dari kelanjutan cium bibir.

“Bolehkan aku berasumsi, kamu setuju?” bisik Alfian, masih menatapku lekat.

“Al, aku belum bisa jawab.”

Alfian mundur, terduduk. “Maaf, aku engga bisa menahan diri tadi. Aku… keterlaluan.”

“Aku juga sama keterlaluan sepertimu, Al.” Terlalu pahit. Kalau aku bilang, ini seperti pelarian dari perasaanku pada Praja. 

Alfian menggenggam kedua tanganku. “Jangan tinggalkan kami, kami membutuhkanmu.. “

 

>.<

 

Drama dua babak pun usai. Entah apa yang merasukiku kemarin. Hari ini aku duduk di taman belakang dengan gamang. Ditemani suara gemericik air terjun buatan.

“Kenapa? Kok bengong?” Mama duduk disebelahku, menyodorkan jus melon segar padaku.   

“Makasi, Ma.” Segera saja aku meneguk hampir separuh.

“Mama perhatiin, kamu begini sejak pulang tadi, ada masalah?” Aku menoleh pada Mama. Yang dibalas dengan senyum maklumnya. “Atau ada yang terjadi kemarin malam?”

DEG. Cocok sekali tebakan Mama. Insting detektif nya sangat peka.

“Kok Mama bilang begitu?” tanyaku.

“Ya habis, kenapa dong?” Mama menyeruput teh panasnya perlahan. “Apa karena Praja?”

Aku menoleh kaget. Kok jadi Praja?

“Gini-gini Mama pernah muda, Nay. Taulah apa yang terjadi pada muda-mudi. Apalagi anak-anak Mama sendiri. Mama bukannya mau menjodohkanmu dengan Bima lagi. Cuma mau lihat gimana reaksimu. Nyatanya kamu benar-benar udah mati rasa sama Bima itu. Mama diam kan?” Aku manggut. Ya, Mama memang tak membicarakan soal Bima lagi, sejak kami tak sengaja bertemu di Mall waktu itu.

“Nah yang sekarang Mama lihat, Praja yang sering kemari. Mama tak yakin alasannya sebenarnya adalah Mama. Atau Tante Lily. Memang, sebelumnya dia banyak masalah. Beruntung dia bisa tetap tegak berdiri, saat cobaan itu datang bertubi. Pun kamu tahu sendiri bagaimana pontang-pantingnya dia, mengurus adik dan Tante Lily.” Mama tersenyum kecil padaku. “Mama juga tahu, sejak dulu, kalau menyangkut Praja, kamu pasti bersemu merah.”

Aku tak pernah bisa menyembunyikan perasaanku dari Mama.

“Dan sekarang, ada Alfian yang datang lagi dalam hidupmu. Bersama Rifa yang lucu. Mama tak akan melarangmu memilih, Nay. Kamu sudah besar. Bisa membedakan mana yang baik dan tidak. Bisa memilih mana yang terbaik untukmu,” pungkas Mama.

Sudah kutebak, Mama bisa merasakan semuanya.

 

>.<

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Menanti Kepulangan
79      73     1     
Fantasy
Mori selalu bertanya-tanya, kapan tiba giliran ia pulang ke bulan. Ibu dan ayahnya sudah lebih dulu pulang. Sang Nenek bilang, suatu hari ia dan Nenek pasti akan kembali ke bulan. Mereka semua akan berkumpul dan berbahagia bersama di sana. Namun, suatu hari, Mori tanpa sengaja bertemu peri kunang-kunang di sebuah taman kota. Sang peri pun memberitahu Mori cara menuju bulan dengan mudah. Tentu ada...
The Call(er)
3073      1683     11     
Fantasy
Ketika cinta bukan sekadar perasaan, tapi menjadi sumber kekuatan yang bisa menyelamatkan atau bahkan menghancurkan segalanya. Freya Amethys, seorang Match Breaker, hidup untuk menghancurkan ikatan yang dianggap salah. Raka Aditama, seorang siswa SMA, yang selama ini merahasiakan kekuatan sebagai Match Maker, diciptakan untuk menyatukan pasangan yang ditakdirkan. Mereka seharusnya saling bert...
The Best Gift
52      49     1     
Inspirational
Tidak ada cinta, tidak ada keluarga yang selalu ada, tidak ada pekerjaan yang pasti, dan juga teman dekat. Nada Naira, gadis 20 tahun yang merasa tidak pernah beruntung dalam hal apapun. Hidupnya hanya dipenuhi dengan tokoh-tokoh fiksi dalam  novel-novel dan drama  kesukaannya. Tak seperti manusia yang lain, hidup Ara sangat monoton seakan tak punya mimpi dan ambisi. Hingga pertemuan dengan ...
Di Antara Luka dan Mimpi
1367      755     69     
Inspirational
Aira tidak pernah mengira bahwa langkah kecilnya ke dalam dunia pondok akan membuka pintu menuju mimpi yang penuh luka dan luka yang menyimpan mimpi. Ia hanya ingin belajar menggapai mimpi dan tumbuh, namun di perjalanan mengejar mimpi itu ia di uji dengan rasa sakit yang perlahan merampas warna dari pandangannya dan menghapus sebagian ingatannya. Hari-harinya dilalui dengan tubuh yang lemah dan ...
Switch Career, Switch Life
691      548     4     
Inspirational
Kadang kamu harus nyasar dulu, baru bisa menemukan diri sendiri. Therra capek banget berusaha bertahan di tahun ketiganya kerja di dunia Teknik yang bukan pilihannya. Dia pun nekat banting setir ke Digital Marketing, walaupun belum direstui orangtuanya. Perjalanan Therra menemukan dirinya sendiri ternyata penuh lika-liku dan hambatan. Tapi, apakah saat impiannya sudah terwujud ia akan baha...
Jadi Diri Sendiri Itu Capek, Tapi Lucu
4879      1541     5     
Humor
Jadi Diri Sendiri Itu Capek, Tapi Lucu Buku ini adalah pelukan hangat sekaligus lelucon internal untuk semua orang yang pernah duduk di pojok kamar, nanya ke diri sendiri: Aku ini siapa, sih? atau lebih parah: Kenapa aku begini banget ya? Lewat 47 bab pendek yang renyah tapi penuh makna, buku ini mengajak kamu untuk tertawa di tengah overthinking, menghela napas saat hidup rasanya terlalu pad...
Me vs Skripsi
3090      1297     154     
Inspirational
Satu-satunya yang berdiri antara Kirana dan mimpinya adalah kenyataan. Penelitian yang susah payah ia susun, harus diulang dari nol? Kirana Prameswari, mahasiswi Farmasi tingkat akhir, seharusnya sudah hampir lulus. Namun, hidup tidak semulus yang dibayangkan, banyak sekali faktor penghalang seperti benang kusut yang sulit diurai. Kirana memutuskan menghilang dari kampus, baru kembali setel...
Finding My Way
1363      845     3     
Inspirational
Medina benci Mama! Padahal Mama tunawicara, tapi sikapnya yang otoriter seolah mampu menghancurkan dunia. Mama juga membuat Papa pergi, menjadikan rumah tidak lagi pantas disebut tempat berpulang melainkan neraka. Belum lagi aturan-aturan konyol yang Mama terapkan, entah apa ada yang lebih buruk darinya. Benarkah demikian?
Jalan Menuju Braga
817      569     4     
Romance
Berly rasa, kehidupannya baik-baik saja saat itu. Tentunya itu sebelum ia harus merasakan pahitnya kehilangan dan membuat hidupnya berubah. Hal-hal yang selalu ia dapatkan, tak bisa lagi ia genggam. Hal-hal yang sejalan dengannya, bahkan menyakitinya tanpa ragu. Segala hal yang terjadi dalam hidupnya, membuat Berly menutup mata akan perasaannya, termasuk pada Jhagad Braga Utama--Kakak kelasnya...
Resonantia
667      492     0     
Horror
Empat anak yang ‘terbuang’ dalam masyarakat di sekolah ini disatukan dalam satu kamar. Keempatnya memiliki masalah mereka masing-masing yang membuat mereka tersisih dan diabaikan. Di dalam kamar itu, keempatnya saling berbagi pengalaman satu sama lain, mencoba untuk memahami makna hidup, hingga mereka menemukan apa yang mereka cari. Taka, sang anak indigo yang hidupnya hanya dipenuhi dengan ...