Kami sampai di rumah Alfian tak sampai tiga puluh menit kemudian. Bukan dalam perumahan elit, tapi tampak perumahan ini menjaga privasi sekali. Diliat dari pos satpam yang kami lewati bahkan ada tiga. Satu pos satpam perumahan, dua yang lain adalah pos satpam cluster. Pantas saja semua rumahnya tak berpagar.
Rumah Alfian hampir sama dengan rumah yang lain. Yang membedakan, hanya catnya coklat muda dan carport dua mobil yang terpayungi. Ada mobil merah khas city car yang terparkir.
“Ayo masuk,” ujar Alfian, sembari membuka pintu mobil. Aku membuntutinya. Memasuki rumah yang tak terkunci. Dikejutkan dengan raungan yang terdengar. Dengan cepat Alfian melangkah ke kamar di sebelah ruang keluarga.
Ceklek.
“Gaaaamaaauuuu huuhuhuhuhuuu…” suara Rifa terdengar.
“Rifa, kenapa? Tebak, Papap bawa siapa?” Tak lama, Alfian membuka pintu. Membuatku yang berdiri disamping Alfian nampak.
“Tanteeeeeeee…. “ Dengan cepat, Rifa berlari menubrukku. Tak peduli dengan tatapan Tante Lani yang duduk ditepi ranjang. Lalu hanya tersenyum padaku.
>.<
Aku menutup pintu hati-hati. Berusaha tak bersuara. Agar Rifa tak terbangun.
“Udah tidur?” Alfian bangkit dari sofa. Aku memberi isyarat agar Alfian tak kemana-mana. Aku terduduk di sofa.
“Sudah. Pules sekali. Kayaknya obat nya bekerja.” Alfian tampak sangat lega. Tampak segar dengan rambut basah. “Tante Lani kemana?” Aku celingukan, hanya suara televisi yang terdengar.
“Mama udah naik istirahat di kamar atas. Mau minum apa? Eh kamu sudah makan?” Alfian bangkit, menuju pantry. Duduk di kitchen island. “Ayo makan, aku beli ayam bakar.” Aku ikut duduk didepannya. Sudah terhidang beberapa potong ayam bakar dan lalapan. Alfian menyendok nasi.
Karena menidurkan Rifa, jadi lupa ini udah jam berapa. Ternyata udah jam sepuluh. Aku merogoh ponselku di dalam tas. Benar saja, Mama sudah misscall beberapa kali.
“Halo, Ma. Maaf, tadi aku lagi nidurin Rifa. Dia demam.”
“Oh kamu lagi di rumah Alfian?”
“Iya, Ma. Tadi Alfian jemput. Aku lupa kasitau Mama. Aku pulang sebentar lagi.”
“Ya udah, hati-hati ya.”
Tiba-tiba saja, Alfian merebut ponselku.
“Halo, Tante. Saya Alfian. Maaf sekali jadi merepotkan Naya. Iya, engga apa kok, Tante. Sudah mendingan. Beberapa hari ini Rifa rewel. Iya, memanggil Naya terus. Iya, makasih, Tante. Karena sudah malam, bagaimana kalau Naya tidur disini saja? Besok pagi saya antarkan. Iya, terima kasih, Tante.” Alfian menyerahkan ponselku.
Aku masih melongo.
“Kok diam? Ayo makan,” ujarnya santai, bahkan mengambilkan nasi untukku. “Aku minta ijin Tante, biar kamu menginap disini, Nay. Aku takut besok pagi Rifa mencarimu. Besok pagi aku antar pulang.”
“Oh, eh begitu… “ Berani benar dia meminta ijin Mama agar anak gadisnya menginap di rumah duda satu ini.
Kami makan dalam diam. Sibuk dengan pikiran masing-masing.
“Aku antar ke kamar tamu diatas.” Setelah membereskan dan mencuci piring, Alfian menaiki tangga. Aku menyusul dibelakangnya. Ada dua kamar di lantai ini. Dengan satu ruang keluarga yang punya balkon. “Ini kamar Mama,” tunjuk Alfian, kearah kamar dekat tangga.
Lalu membuka kamar di seberang. “Ini kamarmu, Nay.” Kamarnya tak luas, cukup dengan tempat tidur ukuran queen, lemari putih dua pintu dan meja kursi yang menghadap jendela besar yang tertutup tirai. Kamarnya wangi dan rapi.
“Mama menyuruh ART nya membersihkan rumahku seminggu sekali.” Seolah ia bisa membaca pikiranku. “Inilah nasib jadi duda, Nay.” Alfian tersenyum miring.
“Selamat malam, Al,” kataku lirih, melewatinya masuk ke dalam kamar. Tiba-tiba kurasakan cekalan ditanganku. Aku berbalik.
Aku tak bisa mengartikan tatapannya. Yang aku tahu, tiba-tiba saja, aku sudah jatuh dipelukannya. Hidungku menempel di kaos biru Alfian, aku bisa menghidu wangi sabun mandinya.
“Maaf, Nay. Sebentar saja,” lirih Alfian.
Aku menepuk punggungnya. Aku tahu, ini sulit untuknya. “Carilah ibu untuk Rifa,” kataku tercekat, aku tak tahu keberanian dari mana sampai mengatakan itu.
Alfian mundur, menatap mataku. Aku menelan ludah. “Bagaimana kalau aku bilang, aku sudah menemukannya?” bisik Alfian, membuatku merinding.
“Do it, Al-“ Suaraku tenggelam. Entah bagaimana bibir Alfian sudah menempel di bibirku. Awalnya hanya begitu, lama-lama kecupan demi kecupan itu datang. Sialnya, aku tak bisa menahan diri.
Hingga tanpa sadar, Alfian sudah menindihku diatas kasur.
“Al.. “ Aku menahan dadanya. Menahannya dari kelanjutan cium bibir.
“Bolehkan aku berasumsi, kamu setuju?” bisik Alfian, masih menatapku lekat.
“Al, aku belum bisa jawab.”
Alfian mundur, terduduk. “Maaf, aku engga bisa menahan diri tadi. Aku… keterlaluan.”
“Aku juga sama keterlaluan sepertimu, Al.” Terlalu pahit. Kalau aku bilang, ini seperti pelarian dari perasaanku pada Praja.
Alfian menggenggam kedua tanganku. “Jangan tinggalkan kami, kami membutuhkanmu.. “
>.<
Drama dua babak pun usai. Entah apa yang merasukiku kemarin. Hari ini aku duduk di taman belakang dengan gamang. Ditemani suara gemericik air terjun buatan.
“Kenapa? Kok bengong?” Mama duduk disebelahku, menyodorkan jus melon segar padaku.
“Makasi, Ma.” Segera saja aku meneguk hampir separuh.
“Mama perhatiin, kamu begini sejak pulang tadi, ada masalah?” Aku menoleh pada Mama. Yang dibalas dengan senyum maklumnya. “Atau ada yang terjadi kemarin malam?”
DEG. Cocok sekali tebakan Mama. Insting detektif nya sangat peka.
“Kok Mama bilang begitu?” tanyaku.
“Ya habis, kenapa dong?” Mama menyeruput teh panasnya perlahan. “Apa karena Praja?”
Aku menoleh kaget. Kok jadi Praja?
“Gini-gini Mama pernah muda, Nay. Taulah apa yang terjadi pada muda-mudi. Apalagi anak-anak Mama sendiri. Mama bukannya mau menjodohkanmu dengan Bima lagi. Cuma mau lihat gimana reaksimu. Nyatanya kamu benar-benar udah mati rasa sama Bima itu. Mama diam kan?” Aku manggut. Ya, Mama memang tak membicarakan soal Bima lagi, sejak kami tak sengaja bertemu di Mall waktu itu.
“Nah yang sekarang Mama lihat, Praja yang sering kemari. Mama tak yakin alasannya sebenarnya adalah Mama. Atau Tante Lily. Memang, sebelumnya dia banyak masalah. Beruntung dia bisa tetap tegak berdiri, saat cobaan itu datang bertubi. Pun kamu tahu sendiri bagaimana pontang-pantingnya dia, mengurus adik dan Tante Lily.” Mama tersenyum kecil padaku. “Mama juga tahu, sejak dulu, kalau menyangkut Praja, kamu pasti bersemu merah.”
Aku tak pernah bisa menyembunyikan perasaanku dari Mama.
“Dan sekarang, ada Alfian yang datang lagi dalam hidupmu. Bersama Rifa yang lucu. Mama tak akan melarangmu memilih, Nay. Kamu sudah besar. Bisa membedakan mana yang baik dan tidak. Bisa memilih mana yang terbaik untukmu,” pungkas Mama.
Sudah kutebak, Mama bisa merasakan semuanya.
>.<