Loading...
Logo TinLit
Read Story - Finding the Star
MENU
About Us  

Suara bising aula terdengar sejak Nilam menginjakkan kaki di tangga terakhir. Ia berlari kecil menuju ruangan yang sudah penuh terisi itu. Ia berpapasan dengan panitia yang berjalan dari kelas di sebelah, mendahului mereka agar tidak tertangkap basah terlambat. Suasana ramai menyambutnya saat melongok dari depan pintu. Bangku-bangku sudah penuh terisi, hingga ia harus mengedarkan pandangan demi mencari sosok Naura dan teman barunya yang ternyata duduk di pojok ruangan.

“Nilam! Sini!” panggil Naura melambai-lambaikan tangan.

Nilam segera menghampri sahabatnya itu. “Naura! Belum mulai, kan?” pekiknya terengah-engah setelah naik tangga dua-dua. Dia langsung duduk di kursi yang terletak paling pojok dekat tembok sambil menyapa Gisel dan yang lain.

“Belum, kok. Lo ke mana aja, sih?” tanya Naura mengernyitkan dahi. 

“Ah, itu … tadi ketemu temen,” sahut Nilam sambil menyeka wajah yang berkeringat dengan tisu. 

“Temen? Siapa? Emang ada temen lo yang gue nggak tau?” desak Naura penuh rasa ingin tahu. 

“Itu, Kak Orion. Gue balikin topinya. Inget, kan?” jelas Nilam. 

“Oh …,” desah Naura. Ia tak bertanya lagi melainkan kembali mengobrol dengan teman-temannya yang lain.

Mengambil buku tulis dari tas, Nilam mengipas wajahnya yang terasa panas. Tak lupa ia menguncir rambut lurusnya asal, agar keringat yang menempel tak membuatnya semakin gerah. Ia pun menenggak air dari botol plastik yang tersimpan dalam tas.

"Talitha Nilam!" panggil suara dari arah gang yang membatasi barisan kursi. 

Sontak Nilam menoleh, diikuti Naura dan ketiga temannya yang lain. Tampak Kak Rendra berdiri gagah sambil mengangsurkan bungkusan plastik putih. 

"Ya, Kak?" Nilam ternganga.

"Ini yang kemarin," ucapnya singkat.

Masih tertegun, Nilam membeo, "Yang kemarin?"

"Iya. Seperti janji saya kemarin. Saya akan bertanggung jawab."

Tangan Nilam terasa gemetar saat menerima bungkusan itu. Ia tak mau membuat Kak Rendra menunggu, terlebih di depan empat cewek yang kini mulutnya berbentuk gua. Mereka menatap Nilam dan Kak Rendra bergantian, seolah di kepala mereka berjejalan beribu tanda tanya. 

"Ah, i–iya. Terima kasih, Kak," sahut Nilam dengan suara bergetar. Kak Rendra tak menjawab, melainkan hanya mengangguk dan berlalu.

“Apa ini?” Naura merebut bungkusan yang dipegang Nilam.

Belum sempat Nilam menjawab, temannya yang lain sudah mencecarnya dengan berbagai pertanyaan.

“Itu Kak Rendra? Lo deket sama Kak Rendra?” tanya Rachel yang langsung memutar tubuhnya seratus delapan puluh derajat.

“Kok, dia bilang bertanggung jawab? Emang dia ngapain lo?” timpal Zahra dengan nada yang naik satu oktaf.

“Wah, Zahra patah hati, nih!” cibir Gisel sambil bersedekap.

“Ah, itu … bukan gitu, kok, Teman-teman!” pekik Nilam panik sambil menyilang-nyilangkan tangan. Ini kali pertama ia menjadi pusat perhatian dan mereka memandangnya dengan kedua mata, bukan hanya sebelah saja. “Itu … waktu itu aku—”

“Nilam diantar pulang sama Kak Rendra pas seleksi pertama waktu itu. Terus roknya kesangkut sepeda, jadi kena oli,” sergah Naura menjelaskan.

“Hah?” Ketiga temannya kompak berteriak.

“Diantar?” pekik Zahra.

“Naik sepeda?” teriak Gisel.

“Roknya kesangkut?” jerit Rachel.

Nilam menepuk dahi. Duh, kenapa malah jadi heboh begini? 

Tanpa diminta, Naura menjelaskan semua kejadian yang dilihat matanya di hari seleksi pertama. Mereka membicarakan seolah ‘tokoh utama’ dari kejadian itu tidak ada di sebelah mereka. Gadis yang menjadi topik percakapan hanya menunduk sambil menahan wajahnya yang terasa panas.

“Tunggu-tunggu!” sela Zahra. “Kok, Kak Rendra naik sepeda … sepeda … sepeda apa tadi?”

“Sepeda onthel!” sahut Naura. “Itu kata Nilam, sih.”

“Ah, iya, itu. Kok, dia naik sepeda begituan, sih? Katanya, kan, dia anak orang kaya!” protes Zahra tak terima.

“Iya! Waktu itu aja pernah diantar naik Alphard!” timpal Gisel. 

Naura mengangkat bahu. “Ya … mungkin dia pengen kelihatan unik, maybe? Atau … tradisional gitu?”

“Ah, iya juga, ya ….” Zahra manggut-manggut. “Makanya, dia keren banget, kan? Udah tajir tapi masih humble banget mau pake sepeda begituan. Prince charming banget nggak, sih?”

Kedua temannya memutar bola mata sementara Naura tertawa. Nilam hanya menjadi pendengar setia yang memperoleh informasi secara cuma-cuma. 

“Beuh! Kalo udah ngomongin Kak Rendra, Zahra berasa lagi ngomongin Jun X-Ray!” nyinyir Rachel. “Eh, tapi … pertanyaannya belum kejawab. Kenapa Nilam bisa diantar Kak Rendra?”

Semua mata tertuju pada Nilam, seperti laser yang menghujam hatinya. “Itu … itu cuma karena aku pulang malam. Terus sama Kak Daniel, Kak Rendra disuruh anter aku pulang.”

“Kak Daniel?” teriak ketiga gadis itu kompak.

“Kenapa sebut-sebut nama saya?” Terdengar suara dingin dari arah gang. Sontak semua berbalik dan terhenyak melihat siapa yang berdiri menjulang sambil bersedekap dan melotot. Astaga! Si Pemilik Nama merasa terpanggil. “Acara udah dimulai! Kenapa kalian masih ngobrol?”

Semua menunduk, tak ada yang berani menjawab. Mereka saling melempar pandangan dalam diam. Terlebih Nilam yang kini semakin bercucuran keringat dingin.

“Kalau sampai pas ke Puncak kalian ada barang dan tugas yang kurang karena nggak perhatikan, siap-siap dapat hukuman!” ancam Kak Daniel. Sikap cowok berkulit putih itu berbanding terbalik dengan saat mewawancarai Nilam dahulu. Sekarang dia sangat tegas dan mengintimidasi. Nilam menciut dibuatnya.

“Baik, Kak,” sahut mereka kompak. Semua menunduk dan tak ada lagi yang berbicara.

“Oke. Silakan dimulai briefing-nya!” perintah Kak Daniel pada panitia yang berdiri di depan. 

Acara dimulai. Panitia menjelaskan secara garis besar kegiatan yang akan dilakukan di Puncak. Mulai dari barang dan perlengkapan yang harus dibawa, makanan dan minuman yang harus dikumpulkan, obat-obatan pribadi, serta surat izin yang harus ditandatangani orang tua. Semua harus berkumpul di lapangan upacara pada hari Jumat pukul empat sore dengan membawa semua perlengkapan yang sudah diperintahkan. Panitia juga menjelaskan bahwa acara nanti akan sangat menantang sehingga peserta harus mempersiapkan fisik dan mental. Sepanjang penjelasan, jantung Nilam berdegup keras. Ini kali pertama dia akan mengikuti acara menginap dari sekolah, terlebih acaranya adalah latihan dasar kepemimpinan. Dalam hati ia bertanya-tanya, apakah ia akan sanggup mengikutinya?

*** 

Memakan waktu satu setengah jam, briefing selesai pada pukul lima sore. Begitu panitia meninggalkan ruangan, seisi aula berubah menjadi seperti karnaval. Semua orang bersuara, ada yang protes karena barang bawaan terlalu banyak, ada pula yang tampak bersemangat. Naura dan teman-temannya termasuk dalam golongan kedua.

“Nilam, jangan lupa kerjain tugas gue, ya! Biar barang-barang lo gue beli sekalian punya gue,” pesan Naura sebelum bergabung pada ketiga temannya yang pergi tanpa pamit.

Seperti ada lecutan listrik saat Naura mengatakan pesan itu. Tubuh Nilam seketika menegang, menyadari kalau ia melupakan sesuatu. Ia memutar otak demi menemukan apa yang salah. Sesaat ia mengingat-ingat dan jantungnya seketika tersentak. Ya Tuhan! Dia lupa di mana kertas soal dari Pak Randi!

Ia membongkar tas hingga barang demi barang semua keluar. Tak ada. Meraup semua barang dan menjejalkan dalam tas, ia berlari menapaki jalan yang tadi dia lewati sambil mengingat-ingat. Terakhir ia memegang kertas itu saat bersama Naura di kelas Gisel, lalu dia bertemu Kak Orion dan … itu dia! Pasti tertinggal di rerumputan belakang sekolah.

Dengan langkah besar, Nilam memacu kakinya agar cepat sampai ke tempat terakhir ia memegang kertas itu. Mungkin saja Kak Orion masih ada dan menyimpan untuknya. Mungkin saja dia menunggunya. Mungkin saja ….

Terlambat! Kak Orion tidak ada, begitu juga kertasnya. 

Berputar-putar, ia menyisir lokasi yang menjadi titik terakhir pemberhentian kertas itu. Ia mencari di rerimbunan perdu, tempat sampah, bawah di dedaunan kering, antara bunga-bunga. Tetap saja hasilnya nihil. Ya ampun! Ia harus bagaimana? Kertas itu sangat penting untuk Naura. Tak bisa dibayangkan bagaimana sahabatnya akan murka jika ia tak mengerjakan tugasnya, apalagi menghilangkan kertasnya. 

Nilam terduduk lemas di atas rumput. Air mata sudah terbendung di depan lapisan kornea, siap ditumpahkan kapan saja. Ia benar-benar takut kalau Naura mendapat masalah karena kesalahannya. Padahal dia sudah berbaik hati mau membelanjakan barang bawaan ke Puncak nanti. Uh, ia menyesali kecerobohannya yang sungguh sangat tidak bertanggung jawab. Ia takut Naura marah. Benar-benar takut. 

“Alnilam?”

Seperti mendengar suara dari langit, Nilam seketika bangkit. Tampak Kak Orion berdiri di pinggir lapangan, berlatar sinar matahari sore. Hati Nilam mencelos demi melihat orang yang dicarinya sejak tadi kini berdiri di hadapannya. Meskipun kakinya terasa lemas, ia memaksakan diri menghampiri cowok itu.

“Kak! Apa Kakak lihat kertas yang tadi aku bawa? Kayaknya ketinggalan pas aku tadi ngembaliin topi,” pekik Nilam tanpa tedeng aling-aling.

Kak Orion memutar tas punggungnya, kemudian mengeluarkan lembaran-lembaran yang terlihat seperti sutra di mata Nilam. “Yang ini?”

Nilam merinding melihat kertas yang sudah penuh berisi coretan pensil itu. Tak ada lembaran lagi yang kosong, semua soal yang tertera sudah berisi jawaban. 

“I–ini ….”

“Itu cuma pake pensil, kok. Nanti hapus aja. Kalau ada soal, saya langsung refleks mengerjakan. Tadi saya cuma iseng, sambil menunggu kamu. Eh, kamunya malah udah ke sini,” jelasnya panjang lebar.

Memekik keras, Nilam rasanya ingin memeluk Kak Orion yang sudah menjadi dewa penyelamatnya. Alih-alih bertindak demikian, ia malah terduduk lemas di atas aspal lapangan. Ternyata ketinggalan kertas ini ada juga hikmahnya. Kak Orion berbaik hati mau mengisi soal itu. Tanpa sadar, air mata yang tadi terbendung kini tumpah juga.

“Eh, Alnilam, kamu nggak apa-apa? Maaf saya kerjain soalnya karena—”

“Nggak, Kak!” tukas Nilam di tengah tangis harunya. “Justru saya mau terima kasih sama Kakak, udah disimpenin kertasnya, dikerjain juga soalnya. Saya jadi nggak harus begadang ngerjain soal ini semalaman. Saya tadi takut banget temen saya marah gara-gara saya ngilangin kertas hukuman dia,” pekiknya sesenggukan.

“Kertas hukuman temen kamu? Terus, kenapa kamu yang ngerjain?” tanyanya tajam.

“Ah, i–itu ….” Nilam menutup mulut karena kelepasan berbicara. Ia ingat Kak Orion sangat sensitif dengan ‘suruhan’ yang dilakukan orang lain. “Itu nggak penting, Kak. Pokoknya, sekarang saya mau traktir Kakak karena udah nolongin saya. Ayo, kita makan di 88!”

Menahan Kak Orion bertanya lebih lanjut, Nilam tanpa sadar menarik tangannya. Entah mengapa cowok itu tiba-tiba diam, tak lagi menceramahinya seperti saat pertama kali ia disuruh mengambilkan bola oleh Kak Tara. Apalagi tangannya juga mendadak kaku dan terasa getaran samar. Namun yang jelas, kali ini hati Nilam benar-benar lega. Kertasnya ketemu dan sudah ada isinya. Ia tak akan bertengkar lagi dengan Naura. 

How do you feel about this chapter?

0 0 1 0 0 0
Submit A Comment
Comments (2)
  • edfasal

    Makin lama makin seru, Kak. Semangat 💪

    Comment on chapter Chapter 10
  • edfasal

    Aku hadir Kak, semangat 💪

    Comment on chapter Chapter 6
Similar Tags
Daybreak
4255      1806     1     
Romance
Najwa adalah gadis yang menyukai game, khususnya game MOBA 5vs5 yang sedang ramai dimainkan oleh remaja pada umumnya. Melalui game itu, Najwa menemukan kehidupannya, suka dan duka. Dan Najwa mengetahui sebuah kebenaran bahwa selalu ada kebohongan di balik kalimat "Tidak apa-apa" - 2023 VenatorNox
Bandung
25149      3160     6     
Fan Fiction
Aku benci perubahan, perubahan yang mereka lakukan. Perubahan yang membuat seolah-olah kami tak pernah saling mengenal sebelumnya - Kemala Rizkya Utami
Listen To My HeartBeat
586      357     1     
True Story
Perlahan kaki ku melangkah dilorong-lorong rumah sakit yang sunyi, hingga aku menuju ruangan ICU yang asing. Satu persatu ku lihat pasien dengan banyaknya alat yang terpasang. Semua tertidur pulas, hanya ada suara tik..tik..tik yang berasal dari mesin ventilator. Mata ku tertuju pada pasien bayi berkisar 7-10 bulan, ia tak berdaya yang dipandangi oleh sang ayah. Yap.. pasien-pasien yang baru saja...
H : HATI SEMUA MAKHLUK MILIK ALLAH
37      35     0     
Romance
Rasa suka dan cinta adalah fitrah setiap manusia.Perasaan itu tidak salah.namun,ia akan salah jika kau biarkan rasa itu tumbuh sesukanya dan memetiknya sebelum kuncupnya mekar. Jadi,pesanku adalah kubur saja rasa itu dalam-dalam.Biarkan hanya Kau dan Allah yang tau.Maka,Kau akan temukan betapa indah skenario Allah.Perasaan yang Kau simpan itu bisa jadi telah merekah indah saat sabarmu Kau luaska...
Rumah Tanpa Dede
162      107     1     
Inspirational
Kata teteh, Bapak dan Mama bertengkar karena Dede, padahal Dede cuman bilang: "Kata Bapak, kalau Bi Hesti jadi Mama kedua, biaya pengobatan Dede ditanggung Bi Hesti sampai sembuh, Mah." Esya---penyintas penyakit langka Spina Bifida hanya ingin bisa berjalan tanpa bantuan kruk, tapi ekonomi yang miskin membuat mimpi itu terasa mustahil. Saat harapan berwujud 'Bi Hesti' datang, justru ban...
Bisikan yang Hilang
70      63     2     
Romance
Di sebuah sudut Malioboro yang ramai tapi hangat, Bentala Niyala penulis yang lebih suka bersembunyi di balik nama pena tak sengaja bertemu lagi dengan Radinka, sosok asing yang belakangan justru terasa akrab. Dari obrolan ringan yang berlanjut ke diskusi tentang trauma, buku, dan teknologi, muncul benang-benang halus yang mulai menyulam hubungan di antara mereka. Ditemani Arka, teman Radinka yan...
Diary of Rana
207      178     1     
Fan Fiction
“Broken home isn’t broken kids.” Kalimat itulah yang akhirnya mengubah hidup Nara, seorang remaja SMA yang tumbuh di tengah kehancuran rumah tangga orang tuanya. Tiap malam, ia harus mendengar teriakan dan pecahan benda-benda di dalam rumah yang dulu terasa hangat. Tak ada tempat aman selain sebuah buku diary yang ia jadikan tempat untuk melarikan segala rasa: kecewa, takut, marah. Hidu...
Kamu Tidak Harus Kuat Setiap Hari
2402      1350     0     
Inspirational
Judul ini bukan hanya sekadar kalimat, tapi pelukan hangat yang kamu butuhkan di hari-hari paling berat. "Kamu Tidak Harus Kuat Setiap Hari" adalah pengingat lembut bahwa menjadi manusia tidak berarti harus selalu tersenyum, selalu tegar, atau selalu punya jawaban atas segalanya. Ada hari-hari ketika kamu ingin diam saja di sudut kamar, menangis sebentar, atau sekadar mengeluh karena semua teras...
Can You Hear My Heart?
536      321     11     
Romance
Pertemuan Kara dengan gadis remaja bernama Cinta di rumah sakit, berhasil mengulik masa lalu Kara sewaktu SMA. Jordan mungkin yang datang pertama membawa selaksa rasa yang entah pantas disebut cinta atau tidak? Tapi Trein membuatnya mengenal lebih dalam makna cinta dan persahabatan. Lebih baik mencintai atau dicintai? Kehidupan Kara yang masih belia menjadi bergejolak saat mengenal ras...
Wabi Sabi
141      103     2     
Fantasy
Seorang Asisten Dewi, shinigami, siluman rubah, dan kucing luar biasa—mereka terjebak dalam wabi sabi; batas dunia orang hidup dan mati. Sebuah batas yang mengajarkan jika keindahan tidak butuh kesempurnaan untuk tumbuh.