“Nilam! Tolong buatin teh untuk Papa!” teriak Mama dari kamar mandi diselingi tangisan Vania.
“Iya, Ma.”
“Kak Nilam! Seragamku nggak ada! Cariin ...!” rengek Una dengan air mata menggenang.
“Iya, Una. Sebentar, ya.”
“Eh, Lam! Kamu pake cardigan Kakak, kan? Mana balikin!” pekik Kak Ratna dari dalam kamar.
“Iya, Kak. Aku ambilin”
“Kak Nilam, suapin …,” pinta Vania yang baru saja menumpahkan segelas teh.
“Iya, Kakak lap dulu mejanya.”
“Nilam, bilangin Mama, Papa berangkat kerja sekarang! Udah terlambat!”
“Iya, Pa. Hati-hati di jalan.”
Kacau!
Satu kata yang menggambarkan kondisi rumah Nilam di pagi hari. Semua suara saling bersilangan: suara manusia yang berteriak-teriak, benda berjatuhan, dan burung yang berkicau riang. Mungkin kalau ada orang luar yang mendengar, pasti mengira sedang terjadi perang. Keriuhan ini terjadi setelah asisten rumah tangga yang bekerja di rumah, untuk kesekian kalinya, mengundurkan diri.
Nilam menyendok satu suapan besar nasi uduk ke dalam mulut. Semua sudah menyantap menu sarapan yang dibelinya tadi pagi di warung tetangga. Kecuali dirinya, yang sedari tadi sibuk membantu yang lain. Kasihan Mama, kerepotan mempersiapkan kebutuhan lima anak sekaligus, plus Papa. Dengan cepat, ia melahap bakwan dan tahu goreng yang menjadi pelengkap nasi uduk, sambil membaca pesan singkat yang dikirim Naura, sahabat sekaligus tetangganya.
[Nilam! Lo lama banget, sih?]
[Gue berangkat duluan!]
Jam di sudut atas ponsel menunjukkan angka 06.45. Nilam terbelalak, tak menyadari bahwa waktu sudah berlalu begitu cepat. Ia memanfaatkan kecepatan tangan kanan untuk menyuap makanan dan tangan kiri untuk membalas pesan.
[Iya, Ra, duluan aja.]
Biarlah Naura berangkat terlebih dulu. Jangan sampai sahabatnya terlambat gara-gara dia. Meskipun itu artinya dia harus berjalan kaki menuju sekolah seorang diri. Biasanya, ia menumpang dibonceng motor Naura.
“Loh, Nilam? Kok, kamu belum berangkat, sih?” tanya Mama sambil menggendong William yang menangis. “Udah jam berapa ini?”
“Iya, Ma. Sebentar lagi,” jawab Nilam dengan mulut penuh. Ia mengangkat piring kotor dan mencucinya.
“Lagian, sih! Kamu nggak bisa naik motor. Coba kayak Naura, tuh! Udah bisa naik motor, kan, enak! Bisa bawa motor yang di rumah,” gerutu Mama.
“Iya, Ma. Nanti aku coba belajar,” sahut Nilam pelan. “Aku berangkat dulu, ya, Ma.”
Nilam mencium tangan Mama dengan takzim, kemudian memakai sepatu secepat kilat. Tak lupa ia mengecup pipi gembul William yang sangat menggemaskan. Melewati pagar rumah, ia memacu kakinya berlari menuju sekolah. Pasti tak sempat untuk memesan ojek online karena rumahnya terletak jauh dari pusat kota.
Jarum panjang jam dinding di sebuah toko sudah berada di angka sepuluh. Itu artinya sepuluh menit lagi sampai gerbang ditutup sempurna dan ia tak akan diizinkan melintasinya. Ia semakin mempercepat langkah. Napasnya tersengal, keringat bercucuran di sekujur tubuh. Meskipun jarak rumah ke sekolah hanya satu kilometer, berlari menuju ke sana di pagi hari tetap membuat lelah.
Kesibukan di rumah membuat Nilam melupakan satu hal penting. Ia baru sadar saat merasakan semilir angin membelai bagian depan kepalanya. Ah, gawat! Ia lupa kalau kemarin Kak Ratna memotong poninya untuk latihan praktik kursus salon yang sedang dijalani. Apalagi terjadi kesalahan hingga potongannya terlalu pendek, hanya menutupi setengah jidatnya. Di satu sisi, ia tak bisa menolak permintaan kakaknya yang membutuhkan bantuan untuk berlatih. Namun, di sisi lain, ia tak biasa mengubah penampilannya. Pasti aneh sekali. Terlebih, dahinya terasa terekspos nyata. Malu!
Ah, tak ada waktu untuk memikirkan poni. Yang terpenting adalah ia harus sampai di sekolah secepat mungkin. Namun bagaimana? Hanya keajaiban yang bisa membawanya tiba di sekolah tepat waktu.
Berhenti sejenak, Nilam mengatur napas yang memburu. Ia melirik ponsel yang terasa licin di tangan berkeringatnya. Matanya membola saat menyadari waktu yang tersisa kini tinggal lima menit. Ia menimbang, apakah masih sempat untuk lanjut ke sekolah? Atau sebaiknya ia pulang saja karena perjalanannya hanya akan sia-sia?
Baru saja hendak kembali melangkah, kaki Nilam terhenti saat sebuah sepeda motor berhenti tepat di hadapannya. Tanpa mematikan mesin, sang pengendara membuka helm dan tampak wajah tak asing yang pernah ia lihat. Seorang cowok berkulit sawo matang dengan pin di kerah seragam yang sama dengannya. Pasti murid di sekolahnya. Namun, otak Nilam tak dapat langsung terkoneksi dengan memori. Siapa, ya?
"Anak SMA 1, kan?" tanyanya tanpa tedeng aling-aling.
“Ya?” Nilam mengernyitkan dahi.
“Ayo, naik! Bareng ke sekolah. Sebentar lagi gerbang ditutup!”
Nilam tercengang. Apakah ini keajaiban yang tadi diharapkan? Namun, apakah tidak apa-apa naik motor bersama orang yang tidak dikenal? Bagaimana kalau ternyata dia adalah penculik yang menyamar? Ah, tapi sepertinya tidak mungkin. Ia pernah melihat cowok ini di sekolah, saat orientasi tempo hari. Kalau tak salah ingat, dia sepertinya salah satu anggota—
“Cepetan!”
“Ah, i—iya!” pekik Nilam tak bisa lagi berpikir panjang. Ia segera duduk menyamping di atas jok sambil berpegangan pada jaket cowok itu. Belum sempat ia membenarkan posisinya, tuas gas sudah ditarik dan motor melaju cepat.
Entah berapa lama Nilam memejamkan mata akibat efek adrenalin yang melonjak tiba-tiba. Naura biasanya suka mengebut, tetapi tak secepat ini. Seluruh tubuh Nilam seolah diselimuti angin yang terbelah dengan paksa, membuat hawa dingin menusuk-nusuk setiap lubang pori-porinya.
“Udah sampe!” Suara cowok di depannya seolah langsung masuk ke telinga Nilam.
“Hah?”
Nilam membuka mata dan seketika terbelalak melihat deretan sepeda motor terparkir di hadapannya. Ternyata benar dia sudah tiba di sekolah. Secepat ini? Apakah ia baru saja dibonceng oleh Marc Marquez?
Aroma bunga berpadu dengan wangi maskulin samar seketika terhidu dari sebelah pipinya yang menyentuh permukaan lembut. Jantung Nilam seketika hendak meloncat keluar saat dia menyadari bahwa tubuhnya sangat dekat dengan cowok di depannya. Terlebih tangannya yang ternyata berpegangan pada bahu cowok itu. Astaga! Apa yang ia lakukan?
Spontan Nilam melompat dari jok motor, hingga kakinya dengan keras menjejak tanah. Cowok itu sudah membuka helm dan menyangkutkan di batang spion, membuang muka. Ia duduk di ujung jok, sepertinya tadi terdorong tubuh Nilam.
Uh, Nilam merasa bersalah. Apakah cowok itu marah karena tadi ia sudah berpegangan terlalu erat? Atau dia tak suka dipegang seperti itu? Atau mungkin, dia duduk terlalu ujung hingga kakinya kram gara-gara ada Nilam di belakanganya? Ah, tidak tahulah!
Tak dapat menyembunyikan kekikukan yang seketika mendera, Nilam segera melakukan keirei, menunduk ala orang Jepang untuk memberi salam.
“Terima kasih banyak, Kak, atas tumpangannya! Saya duluan masuk ke kelas, ya!” ucapnya seperti berkumur. Ia memanggil ‘Kak’ karena tak yakin dia kakak kelas atau seangkatan, daripada bingung menyebutnya dengan panggilan apa.
Cowok itu tak menjawab, wajahnya terlihat memerah. Begitu juga telinganya yang berubah warna seperti kepiting rebus. Ah, Nilam benar-benar bingung. Apakah dia sedang kesakitan karena helmnya terlalu sempit? Atau karena dia benar-benar marah padanya? Entahlah. Sebaiknya ia segera pergi sebelum keadaan semakin canggung. Yang penting dia sudah berterima kasih tadi.
Sepanjang perjalanan melewati koridor, jantung Nilam terasa semakin berdebar keras. Entah efek perjalanan seperti mengendarai motor sport dengan kecepatan 300 km/jam atau karena ini pertama kalinya dia berada sedemikian dekat dengan seorang cowok. Tubuhnya mendadak merinding. Bagaimanapun, cowok itu yang sudah menolongnya hingga sampai di sekolah tepat waktu.
Seketika otaknya mengirimkan sinyal memori mengenai identitas cowok itu. Kalau tak salah, namanya Orion Alpha Centauri. Ah, iya! Dia mengingatnya karena nama itu sangat unik dan cowok itu juga satu-satunya anggota klub astronomi saat perkenalan ekskul di awal masuk sekolah. Pantas saja ia merasa familiar!
Duk!
Sebuah bola sepak menghantam kaki Nilam cukup keras, membuyarkan lamunannya. Gadis itu menunduk, mengamati bekas debu kecokelatan yang tercetak di rok abu-abu panjang. Tangannya spontan mengibas kotoran itu, sebelum mengangkat bola dan mencari siapa pemiliknya. Kepalanya otomatis menoleh saat mendengar suara dari arah lapangan, tertutup rimbunan bunga alamanda.
“Hei, Dora! Lempar ke sini bolanya!”
Hah? Apa katanya? Dora?
Makin lama makin seru, Kak. Semangat 💪
Comment on chapter Chapter 10