Berkat dukungan Wina, Griss bisa sedikit memaafkan dirinya sendiri. Hari ini, tepatnya seminggu setelah absen dari kegiatan rutinnya sebagai seorang anak SMA, Griss kembali bersekolah. Dia tidak lagi memprotes usulan Indira soal pemantauan. Katanya mamanya itu diam-diam menyuruh seseorang untuk jadi mata-mata.
Sejak diketahui memiliki gangguan makan—Griss akhirnya mengunjungi psikiater—Griss disarankan melakukan terapi dan rajin konsultasi. Griss juga disarankan untuk rajin berolahraga. Katanya, olahraga bisa membantu menghilangkan stress atau perasaan cemas lainnya. Pola makan Griss dijaga ketat. Pergerakannya juga selalu diawasi oleh Indira dan Frissi. Kadang, Griss merasa dirinya seperti buronan, tapi dia tidak boleh protes karena ini demi kebaikannya.
Cewek dengan rambut sepunggung itu berjalan melewati deretan kelas Bahasa untuk sampai di tangga. Griss memutuskan untuk tidak naik lift meski badannya belum sepenuhnya fit.
Sepanjang perjalanan menuju kelasnya di lantai dua, Griss merasa ada banyak mata yang memperhatikannya. Mungkin karena perubahan Griss yang tiba-tiba. Ya, hari ini mungkin Griss terlihat lebih pucat tanpa makeup tipis yang biasanya dia pakai, dia juga terlihat lebih kurus dari sebelumnya. Kini, BB Griss berada di angka 55 berkat kebiasaan buruknya.
Seperti kata Wina, Griss harus belajar menerima dirinya sendiri. Be yourself and love yourself. Griss sedang mencoba untuk tampil apa adanya dan tidak lagi memaksa untuk bisa diterima.
Tak lama setelah menaiki satu per satu anak tangga, akhirnya Griss sampai di pintu kelas. Cewek itu terkejut ketika beberapa orang berdiri di depan pintu untuk menyambutnya. Bahkan, matanya membulat tak percaya ketika telinganya mendengar sebuah ledakan dan matanya melihat kertas-kertas kecil berterbangan di atas kepalanya.
"Welcome back, Grissilia!" seru Wina yang memegang dua buah konfeti di tangannya.
Awan, yang berada di sebelah kanan Wina, bertepuk tangan heboh, diikuti yang lainnya. "Selamat datang kembali, silakan membayar kas."
Setelah mengucapkan itu, Awan panen banyak sorakan. Namun, hal itu sama sekali tidak mengganggu haru yang meledak-ledak di dada Griss. Cewek itu menutup mulutnya dengan kedua tangan.
"Kalian nyiapin ini semua?" tanya Griss.
"Iya, dong!" jawab Iridessa, seksi kebersihan kelas.
Selapis bening membayang di kedua mata Griss. Saat teman-teman sekelasnya kompak bertanya kabar Griss sambil mempersilakannya masuk ke kelas, Griss tidak bisa lagi menahan desakan air matanya.
"Makasih banyak," ucapnya. Kejutan kecil yang dipersiapkan Wina dan teman-teman sekelasnya, sukses membuat Griss meraung saking terharunya.
Siangnya, tepatnya setelah istirahat pertama berakhir dan pelajaran kelima dimulai, Griss izin kepada ketua kelas untuk turun ke perpustakaan lantai satu. Griss harus menyerahkan tugas ke guru Pendidikan Agama dan Budi Pekerti yang notabene adalah seorang guru perpus. Tugasnya cukup banyak, perlu waktu seharian untuk Griss menyelesaikannya. Untung saja, Wina berbaik hati memberikan salinan materi.
Griss berjalan seorang diri, sengaja menolak ditemani Wina karena Wina ada jadwal rapat bersama teman-teman ekskulnya. Lagi pula Griss sudah bukan anak PAUD lagi. Dan, lingkungan tempatnya berada saat ini adalah sekolah. Wina tidak perlu mencemaskannya seolah Griss bepergian seorang diri di pegunungan Himalaya.
Tanpa sadar, Griss menarik napasnya cukup panjang. Kemudian, mengembuskannya perlahan. Seminggu tidak menjejakkan kaki di tempat itu membuatnya merasakan rindu. Griss rindu keramaian yang tercipta karena orang-orang yang berdesakkan di kantin, rindu suara bel yang berbunyi setiap jam berganti, rindu suasana perpustakaan yang tenang dan sunyi, juga rindu pada seseorang yang sudah lebih dari seminggu ini tidak pernah dia hubungi. Meski orang itu sering membuatnya kesal, Griss tidak bisa berbohong dengan berkata, "Gue baik-baik aja tanpa ngobrol sama dia."
Griss berhenti melangkah satu meter di samping pintu perpustakaan. Napasnya memberat saat melihat sosok yang baru saja di batinnya keluar dari perpustakaan. Griss yakin orang itu melihatnya karena mereka sempat benar-benar berpapasan, tapi apa yang diharapkan Griss tidak jadi kenyataan. Juna hanya meliriknya sekilas, kemudian berjalan seolah mereka adalah dua orang yang tidak saling mengenal. Karena itulah, Griss mengurungkan niatnya untuk menyapa, meski hatinya meronta-ronta.
Berapa kilo yang hilang dari tubuh lo sejak lo nggak makan bareng gue, Jun?
"Griss?"
Sebuah panggilan membuyarkan lamunan Griss.
"Kok, ngelamun?"
Griss tersenyum malu. Lalu mengangguk singkat kepada Mira sebagai bentuk keramahan. "Kak Mira mau ke perpus juga?"
Mira melirik tumpukan buku di tangannya, kemudian mengangguk. "Mau ngembaliin buku-buku ini. Kamu?"
Keduanya berjalan bersebelahan memasuki pintu perpustakaan.
"Aku mau setor tugas-tugas yang nggak bisa dipegang selama aku absen."
Mira mengangguk-angguk. "Oh iya, aku sempat dengar dari teman-teman Chill Zone kalau kamu sakit. Sekarang sudah sembuh?"
"Seperti yang Kak Mira lihat."
Basa-basi itu tidak bertahan lama. Setelah masuk ke perpustakaan, Griss langsung mencari guru pengampunya, sementara Mira menuju deretan rak IPA untuk mengembalikan buku-buku yang dipinjamnya.
Akan tetapi, saat Griss akan kembali ke kelas karena urusannya sudah selesai, Mira kembali memanggilnya. Model kebanggaan sekolah itu menarik pergelangan tangan Griss dan membawanya menuju meja baca paling ujung. Wajah Mira terlihat begitu serius ketika dia berkata, "Aku dengar dari Jayan, sejak kamu sakit, Juna belum makan makanan berat. Anak-anak mencoba membujuk Juna biar mau makan, tapi nggak pernah berhasil."
^^^
Juna ingin mengatakan bahwa dia baik-baik saja setelah memutuskan untuk menjauhi Griss, bahwa dia bisa makan dengan baik tanpa kehadiran cewek itu. Namun, yang terjadi malah sebaliknya. Rasa bersalah membuat Juna tidak bisa menghilangkan wajah Griss dari kepala, bayangan saat Griss pingsan di rumahnya membuat Juna selalu mengutuk dirinya, dan bagian paling menyesakkan dari itu semua adalah kerinduan yang menderanya.
Bohong kalau Juna tidak memikirkan Griss, meski di mata teman-temannya dia terlihat seperti kacang lupa kulitnya. Juna memang merasa dirinya jahat. Juna merasa dirinya tidak bisa dimaafkan karena telah membuat Griss menderita. Itulah mengapa, dia memilih menjauh, bahkan setelah Griss sudah kembali ke sekolah, seperti saat di depan perpustakaan tadi.
Juna sengaja menjadi asing di hadapan Griss, padahal dia ingin sekali memeluk cewek itu begitu melihatnya. Sama sepertinya, Griss makin kehilangan berat badannya setelah seminggu tidak masuk sekolah untuk pemulihan. Hal itu membuat dada Juna ngilu. Juna mungkin bisa mengabaikan dirinya yang belakangan jarang makan, jarang tidur, jarang berolahraga, bahkan jarang berbicara, tapi hatinya tidak bisa diam saja saat melihat Griss menatapnya dengan sorot yang sulit diartikan.
Apa itu sorot kerinduan? Atau justru kekecewaan? Juna ingin membawa Griss ke kantin, memesankannya banyak makanan, lalu bertanya langsung soal arti tatapan itu. Namun, lagi-lagi rasa bersalah menyiksa Juna, menyuruh Juna pergi, menyuruh Juna menghilang dari radar Griss.
Welcome back, Grizzly. Gue janji, gue nggak akan nyusahin lo lagi. Kesepakatan kita cukup sampai di sini. Gue sayang sama lo.
-Juna
Juna menulis kalimat itu di atas notes, yang tak akan pernah Griss baca karena hanya Juna tempelkan di laci mejanya, dengan tangan gemetar karena lambungnya belum tersentuh apa pun sejak kemarin.