Setelah empat hari menginap di rumah sakit, akhirnya Griss diperbolehkan pulang. Namun, Griss belum boleh beraktivitas seperti biasa alias masih harus beristirahat di rumah. Alhasil, Griss cuma goleran di kamarnya. Ponselnya disita Indira sejak ia sakit. Katanya, kebanyakan main ponsel saat sakit bisa bikin otak makin overthinking. Entahlah, Griss tidak tahu Indira dapat kata-kata itu dari mana.
"Mama cuma mau kamu cepat pulih." Masih begitu hangat di kepala Griss kalimat yang dikatakan Indira saat mengambil ponselnya. Tidak ada yang bisa Griss lakukan selain menurut. Saat itu kondisinya masih lemah. Melawan Mama sama saja dengan mengumpankan diri untuk dimarahi tujuh hari.
Griss menatap langit-langit kamarnya yang ditempeli banyak sticker glow in the dark. Sudah lebih dari tiga kali dia menghitung jumlah bintang-bintang itu saking gabutnya, berharap kantuk akan datang, lalu Griss bisa tertidur tanpa memikirkan banyak hal.
Sepertinya memang benar kata Mama. Tanpa ponsel saja Griss bisa overthinking, apalagi jika dibiarkan memainkan ponsel, mengingat kebiasaan Griss yang suka membanding-bandingkan dirinya dengan orang lain.
Sudah cukup Griss merasa kesakitan karena penyakit lambung yang dideritanya. Sudah cukup Griss merasa khawatir tentang ....
Cewek itu mengembuskan napasnya. Indira sudah memberi tahu soal dugaan bulimia yang dideritanya. Awalnya, Griss tidak percaya, tapi setelah mengingat kebiasaannya memuntahkan makanan sejak tiga bulan terakhir, dia tidak bisa lagi menyangkalnya.
Griss berguling ke pojokan kasurnya, meringkuk di balik selimut yang menutupi seluruh tubuhnya. Griss tidak pernah menyangka, niatnya untuk berubah memiliki efek yang begitu buruk hingga menyakiti fisik dan mentalnya. Andai Griss tidak pernah memaksakan diri untuk terlihat pantas berada di antara teman-teman Juna.
"Griss, kamu aman?"
Pintu kamar diketuk, Indira masuk setelahnya. Kepala Griss menyembul dari balik selimut.
"Aman, Ma. Kenapa?"
Indira berjalan mendekat untuk memastikan sendiri kondisi putri sulungnya. "Kalau ada apa-apa, bilang aja sama Mama. Awas kalau macam-macam."
"Aman, kok, Ma. Kenapa Mama ke sini?" tanya Griss.
"Mau memastikan kalau kamu aman. Di luar ada Wina sama teman-temannya. Kalau kamu aman, Mama bakal suruh mereka masuk."
Griss mendesah. Wina benar-benar membuktikan ucapannya soal menjenguk Griss bersama rombongannya. Ya, Wina sempat menelepon Griss menggunakan telepon rumah karena hape Griss sedang disita.
"Emang kalau aku nggak aman, Mama tega mengusir mereka pulang?" tanya Griss. Sebenarnya, Griss juga belum tahu mereka yang datang itu siapa saja.
Indira menggeleng. Wanita itu beranjak dari tepian kasur Griss. "Ya enggak juga. Ya udah, Mama suruh mereka masuk."
Anggukkan diberikan sebagai bentuk persetujuan. "Emang siapa aja, Ma?" tanya Griss saat mamanya sudah berada di ambang pintu.
"Mama nggak kenal semuanya, kamu lihat aja sendiri."
Tak lama setelah Indira keluar, satu per satu tamu Griss masuk. Griss sedikit terkejut melihat wajah-wajah anak band sekolah terlihat di belakang Wina dan Awan. Tanpa sadar Griss mengabsen dalam hati. Hanya ada Dewangga, Jayan, Hazel, Mali, dan Melodi. Griss tersenyum kecut. Dia tidak ikut.
Memangnya, apa yang lo harapkan dari Juna setelah lo mengacaukan pesta yang diadakan oleh orang tuanya?
Juna pasti kecewa. Sangat kecewa.
^^^
"Yang lain udah pada balik, Griss, tinggal gue doang ini. Lo masih belum mau cerita apa-apa?"
Wina tetap bertahan di kamar Griss ketika teman-temannya pulang. Hari sudah semakin sore, tapi Wina tidak peduli. Lagi pula rumahnya satu arah dengan Griss. Dia hanya perlu berjalan sedikit sebelum bertemu dengan perempatan. Letak rumahnya ada di sekitar situ.
Griss yang sejak teman-temannya pulang cuma duduk diam di lantai kamarnya yang berlapis karpet bulu, akhirnya bersuara. "Nggak ada yang perlu diceritain, kok, Win."
Alis Wina menukik. "Bohong lo. Empat hari nginep di rumah sakit, nggak mungkin nggak ada yang bisa lo ceritain," katanya. "Bukan tentang lo deh, tentang dokter ganteng atau pasien di sebelah kamar lo, misalnya. Apa pun. Gue siap dengerin."
"Segitu kangennya lo sama gue?"
"Najis!"
Griss dibuat tertawa.
"Gue cuma kekurangan asupan curhatan," ungkap Wina. Tangannya meraih boneka panda seukuran telapak tangan yang semula berada di atas meja belajar Griss. "Pas lo di RS, gue cuma ngobrol sama Awan, tahu. Lo tahu sendiri, kan, anak itu kalau ngobrol bahasannya seputar uang kas doang. Males banget gue."
Griss terkekeh. Sama seperti Wina, dia juga kekurangan asupan curhatan karena yang menemaninya selama berada di rumah sakit adalah Indira, yang kalau diajak ngobrol bahasannya hanya seputar dapur. "Awan pengen jadi menteri keuangan, kali, ya?" tebak Griss.
Wina mengedikkan bahunya. "Oh ya, gue lupa bilang. Gue udah bikinin salinan materi buat lo. Nih."
Griss menatap uluran tangan dan kertas yang dipegang Wina dengan tatapan terharu. "Ya ampun, baik bener lo."
"Emang kapan gue jahat sama lo?"
Griss mencoba menahan dirinya untuk tidak menangis. "Thank you, Win," katanya. Matanya berkaca-kaca.
Wina menepuk bahu Griss dua kali. "Griss, gue ini temen lo. Hal-hal kayak bikinin lo catetan itu termasuk remeh. Kalau lo mau, gue juga bisa jadi pendengar curhat lo. Janji nggak bakal bocorin ke siapa pun. Jadi, kalau lo ada masalah, apa pun itu, jangan sungkan buat cerita ke gue, ya.”
Tak bisa dicegah lagi, air merembes turun dari mata Griss, membentuk dua aliran sungai kecil di pipinya yang semakin tirus. Belakangan, dia memang sedang emosional.
Melihat itu, Wina belingsatan. Buru-buru dia menyambar tisu yang ada di meja rias Griss. "Kenapa nangis?" tanyanya sambil menjejalkan tisu ke tangan Griss.
Griss yang tidak mau dibilang cengeng langsung meraup wajahnya dengan kasar. "Siapa yang nangis?" kilahnya.
"Kalau bukan nangis, berarti mata lo pipis. Kenapa?"
Bibir Griss bergetar lagi. Cewek berkaos kuning gonjreng itu menunduk, rambutnya menjuntai menutupi wajah. "Lo ... kenapa baik banget?"
Wina meraih bahu Griss dan mendekapnya. "Cup, cup, cup, udah ah."
Griss mengurai dekapan Wina. "Win, kalau dari dulu gue ceritain keresahan gue ke elo, mungkin ... mungkin gue nggak akan berakhir begini."
"Lo menyesal?" tanya Wina.
Griss kembali mengusap air yang membasahi pipinya. "Hm. Gue pikir, punya tubuh ideal dan muka cantik adalah satu-satunya cara biar gue bisa diterima semua orang."
"Jadi itu alasan lo selalu muntahin makanan yang lo makan?"
Griss tidak bisa lagi mengelak. "Gue nggak mau jadi gendut, tapi kerjaan gue makan terus sama Juna. Gue nggak mungkin bisa diet, olahraga pun gue mager. Gue buntu, Win. Gue bener-bener nggak tahu harus bagaimana, apalagi Kak Nin sering ngegencet gue, sampai akhirnya, malam itu, gue memutuskan untuk memuntahkan apa-apa yang gue makan. Rasanya melegakan. Tanpa sadar, hal itu jadi kebiasaan." Tatapannya menerawang jauh. Menatap kepingan-kepingan adegan di masa yang sudah terlewati.
"Gue seneng berat badan gue mulai turun. Gue seneng pipi gue bisa jadi tirus, meski badan gue belum sekurus lo, Melodi, atau Kak Mira. Orang-orang juga kelihatan menerima perubahan gue. Gue diterima di lingkungan lain, terutama di lingkungan Juna. Hal itu makin memicu niat gue buat terus memuntahkan makanan yang gue makan. Gue nggak pernah mikirin risiko dari tindakan yang gue lakukan. Satu-satunya yang gue pikirkan adalah penampilan." Griss ingin cantik seperti Mira, seperti kebanyakan gadis seusianya.
Wina menepuk-nepuk bahu Griss yang naik turun karena emosi. Dia cukup terkejut dengan pengakuan Griss. Selama ini, Wina kira, Griss bisa selangsing dan secantik ini karena berolahraga dan menjaga pola makan. "Gue nggak pernah jadi orang gendut, jadi gue nggak tahu rasanya bagaimana. Tapi, gue tahu rasanya nggak diterima," ucapnya. "Tapi, Griss, sebenarnya ... kalau kita ngerasa nggak diterima di suatu lingkungan, kita nggak betul-betul nggak diterima."
Kening Griss keriting.
"Yang kayak gitu tuh cuma pikiran kita aja. Kita nggak pernah tahu isi hati dan pikiran orang lain seperti apa, kecuali lo mau tanya satu-satu. Bisa aja, yang kelihatannya cuek, aslinya baik. Atau, yang kelihatan ceria, aslinya terluka. Yang begitu-begitu, kita nggak akan bisa tahu. Termasuk dalam kasus lo."
Griss diam, menyimak dengan serius.
"Lo nggak pernah tahu, kan, sebenarnya orang-orang menerima lo apa enggak? Lo cuma menduga-duga dan merendah, padahal lo nggak serendah itu. Lo cuma harus mengubah mindset lo, menerima diri lo, dan berhenti membanding-bandingkan diri sendiri dengan orang lain."
Tidak tajam, tapi menusuk. Kalimat Wina sukses menembus dada Griss.
Wina menatap hangat Griss yang membeku di tempatnya. "Be yourself, Griss. Dan, love yourself tentu saja. Itu satu-satunya solusi dari masalah lo."
Mata Griss kembali memanas. Selapis bening membayang di sana. Ucapan Wina benar sepenuhnya.