Loading...
Logo TinLit
Read Story - Maju Terus Pantang Kurus
MENU
About Us  

Jam tujuh malam, Juna menghubunginya. Karenanya, Dewangga berada di tempat ini sekarang. Sebuah tempat yang tidak terlalu luas, penuh alat musik, dan kedap suara. Entah bagaimana ceritanya Juna bisa menyewa tempat itu, bukan masalah pula buat Dewangga. Dia malah merasa senang karena bisa sekalian latihan. Otot-otot tangannya perlu kembali dilatih setelah sekian lama hanya memegang mikrofon saja.

Juna sedang berdiri di depan keyboard saat Dewangga datang. Dewangga kira teman sekelasnya itu sedang bermain musik, ternyata cuma memandangi tuts sambil melamun.

"Jangan bengong, Jun. Di sini banyak setannya." Celetukan itu mengembalikan kesadaran Juna yang sebelumnya pergi entah ke mana.

"Lah, udah datang aja lo, Bro?" tanya Juna.

"Pakai buraq. Keren, kan, gue?" balas Dewangga sambil menarik kursi. Kemudian, cowok itu duduk tak jauh dari Juna. "By the way, mau langsung ngulik lagu atau makan dulu? Nyokap gue bawain roti bakar nih." Sekantong plastik berisi karton roti bakar diletakkan di atas kursi yang lain.

Melihat makanan manis itu, mata Juna berbinar, tapi hanya sebentar. "Wah, enak tuh, tapi buat lo aja deh."

"Ya elah, emang lo beneran nggak bisa makan tanpa Griss, ya?" tanya Dewangga.

Ekspresi Juna langsung berubah. "Udah, lo makan aja. Gue mau ngegalau sebentar." Dengan wajah kesal, Juna berjalan menuju sudut belakang studio musik yang disewanya semalam, tempat speakers besar disimpan. Juna menyambungkan ponselnya ke benda itu. Tak lama kemudian, musik berirama sendu mengalun. Itu lagu berjudul Can I Be Him yang dipopulerkan oleh James Arthur.

"Buset, pekan ini musimnya orang galau apa gimana, sih? Di mana-mana gue lihat orang galau. Di rumah, nyokap gue galau karena nggak dapat arisan, abang gue juga lagi ngegalauin skripsinya. Di parkiran, pas gue mau naik ke sini, tukang parkirnya juga galau karena kehabisan nasi goreng. Dan sekarang, lo galau juga? Dijailin lagi sama kakak lo?" tebaknya. Dewangga sering mendengar keluhan Juna soal ulah usil kakaknya, sampai Juna ingin menukarnya dengan kakak perempuan yang tidak lebih barbar dari Kayra. Emang minta dijewer itu anak.

Buru-buru, Juna menggeleng. "Kagak. Mbak Sri hari ini nggak ngajak perang, kok. Dia malah masih di klinik kayaknya."

"Terus?"

Juna menghela napas. "Ya, nggak ada terus. Gue galau aja. Masa nggak boleh galau? Gue, kan, juga manusia."

"Manusia jomlo kayak lo ngapain galau, Jun? Kayak gue, dong, selalu happy kiyowok," ujar Dewangga sambil mencomot roti bakar isi cokelatnya. Cowok itu memakannya dengan lahap. Tak lupa, Dewangga juga mengembangkan senyum ceria.

 "Ya elah, Bang, muka begal begitu, masih aja ngakunya kiyowok." Juna memutar bola mata.

"Mulut lo habis dipakai buat ngiris cabai, ya?"

"Hehe, sori. Kebawa emosi."

Giliran Dewangga yang menghela napasnya. Sejak di kelas, Juna memang sudah kelihatan tidak beres, emosional, tidak fokus, dan terlihat frustrasi. "Emosi kenapa, sih? Kayaknya dari siang lo uring-uringan begini?"

"Namanya ABG. Lo juga pernah jadi remaja tujuh belas tahun kayak gue, kan?"

"Berhenti mengaku jadi anak muda, Jun. Lo sama gue lahir di tahun yang sama."

Juna tertawa. Memang benar, dia dan Dewangga lahir di tahun yang sama, begitu juga dengan Jayan. Ketiganya pun berada di angkatan yang sama. Cuma karena Juna lahir paling terakhir, dia jadi merasa muda, sampai-sampai memanggil Dewangga dan Jayan dengan sebutan Abang. Juna selalu merasa dia lebih pantas berada di kelas yang sama dengan Hazel, Mali, atau Melodi yang lahir di tahun setelahnya.

"Tapi lo dulu yang lahir, jadi lo tetap tua. Jangan menyangkal fakta ya, Bro."

"Astaga, anak ini." Dewangga cuma bisa geleng-geleng kepala. "Jadi, galau kenapa?" tanyanya, kembali ke laptop.

"Nggak papa, kok."

"Nggak papa, tapi galau. Galau, tapi nggak papa. Beneran kayak ABG labil."

"Emang gue masih ABG, Dewangga ...." Capek berdiri, Juna memutuskan untuk duduk di atas meja kecil yang ada di dekatnya. Bolak-balik cowok itu menghela napasnya. Juna kebingungan menyusun kata-kata agar curhatannya tidak terlalu terdengar seperti curhatan. "Aduh, gue tuh lagi bingung, Bang," ucap Juna akhirnya.

Sebelah alis Dewangga terangkat. "Bingung kenapa?" tanyanya sambil mengunyah makanan yang disiapkan ibunya.

"Gue lihat Bang Jayan sama Griss di minimarket waktu itu."

"Terus?"

"Gue penasaran kenapa mereka berduaan." Tatapan Juna terlempar ke atas. Dia menatap langit-langit ruangan yang berwarna gelap.

"Belanja, kali?" tebak Dewangga.

Juna berdecak sebal. "Ya gue tahu, tapi kenapa berdua?"

"Karena kalau bertiga, yang ketiga setan."

Juna melempar kulit kacang, yang entah bagaimana caranya bisa ada di tangannya, ke arah Dewangga yang cekikikkan. "Serius, dong, Mblo!"

Dewangga balas melempar sisa-sisa rotinya. "Ngaca woy, lo juga jomblo, perlu cermin lo?"

"Nggak perlu. Gue udah pernah ngaca." Juna mengangkat kedua tangannya, tanda menyerah.

Dewangga pun menghentikan serangannya. "Jadi, lo galau karena itu?"

"Hm. Gue nggak percaya aja Grizzly bisa dekat sama Bang Jayan."

"Kenapa harus nggak percaya? Griss, kan, teman lo, Jayan juga. Wajar lah sesama teman jalan bareng. Barangkali mereka ada keperluan."

Kening Juna mengerut, kata-kata Dewangga tidak ada yang salah. Juna juga sempat memikirkan kemungkinan itu, tapi kenapa hatinya tetap merasa tidak terima?

"Lo takut Griss ada apa-apa sama Jayan? Lo takut ditinggal jomblo sendirian?"

"Nggak gitu. Gue cuma—"

"Cemburu?" tanya Dewangga. Setahunya, Juna bukan orang yang yang akan mempermasalahkan kedekatan seseorang dengan teman-temannya.

"Gue cuma nanya, astaga!"

"Cara lo nanya nggak kayak biasa, Jun."

Cowok kurus itu mengernyit lagi. "Biasa aja, kok. Lo aja yang nangkepnya begitu. Gue cuma penasaran. Gue cuma nggak mau kalau setelah malam itu, Grizzly jadi baper ke Bang Jay, padahal Bang Jay sayangnya ke Mira. Gue tuh cuma—"

"Sayang sama dia."

Bak disambar petir di tempat, Juna memegangi dadanya, terkejut luar biasa dengan ucapan Dewangga. "Bang?"

"Lo nggak mau Griss baper sendirian, terus tersakiti. Apalagi namanya kalau bukan sayang?"

Juna makin tercengang.

Dewangga menepuk-nepuk bahu Juna setelah mengelap sisa cokelat dan minyak yang menempel di tangannya. "Kejar selagi masih bisa digapai, Jun. Teman makan lo yang satu itu emang makin cantik aja dari waktu ke waktu."

Sempat nge-freeze sebentar, Juna menjawab setelah kembali sadar. "Dih, kenapa gue harus ngejar? Siapa yang bilang gue suka sama Grizzly?" Dienyahkannya tangan Dewangga dari bahunya yang berbalut hoodie merah merona. Kemudian, Juna bangkit dari kursi, mulai mengeluarkan gitar dan partitur dari tasnya. "Yuk, ngulik lagu, yuk. Makin malam makin ngaco aja pikiran lo. Kayaknya gara-gara itu lo jadi jomblo melulu."

Kepala Juna jadi sasaran tabokan Dewangga. "Sembarangan! Yang gue omongin ini bener, sama sekali nggak ngaco. Mata lo nggak bisa bohong, Juna!" Cowok itu menjeda kalimatnya untuk bernapas. "Dan, lo harus tahu, gue tuh bukannya menjomblo karena nggak laku. Gue jomblo karena masih ngincer kakak lo."

"Sinting! Lo naksir nenek-nenek?" Juna membelalakkan matanya.

"Kak Kay bukannya masih dua puluhan?" tanya Dewangga memastikan.

Muka Juna berubah jadi keki. "Dan lo masih belasan ya, Bang. Nggak usah aneh-aneh. Gue nggak mau punya kakak kayak lo."

Mendengar itu, Dewangga tertawa terbahak-bahak. Dia ikut bangkit dari kursi dan mengambil buku catatan kecilnya.

"Yuk, ngulik lagu, yuk. Biar besok bisa langsung dibahas sama anak-anak."

Dengan begitu, Juna dan Dewangga mulai fokus berdiskusi untuk konten terbaru Chill Zone. Hanya berdua karena yang lain masih pada ngambek sama Juna yang nggak join makan-makan di acara ulang tahun Mira.

^^^

Griss terpekur di sudut kamarnya. Omelan Juna serta obrolannya dengan Wina masih berputar di kepala. Griss tidak mau mempercayai hipotesis Wina, tapi kalau dipikir-pikir, ngapain juga Juna mencecarnya dengan banyak pertanyaan mengenai dirinya dan Jayan, kalau Juna nggak punya tujuan apa-apa?

Memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang mungkin dan tidak mungkin terjadi membuat Griss lapar, tapi dia nggak mau makan. Bunyi cacing-cacing di perutnya dia abaikan, padahal ada setumpuk roti bantal di atas meja belajarnya.

"Sejak kapan lo dekat dengan Jayan?"

Suara Juna yang dalam masih terngiang di telinga, begitu juga dengan sorot matanya yang tajam. Nyaris setahun Griss mengenal Juna, baru kali ini dia melihat Juna seperti itu. Ternyata, marahnya seseorang yang suka melawak lebih seram daripada marahnya orang yang suka marah-marah.

Tapi, kenapa Juna marah? Dan, kenapa gue harus merasa bersalah?

Tiba-tiba dada Griss terasa sesak. Air mata mulai mendesak. Juna berhasil membuatnya berpikir berlebihan seharian.

Tidak ingin tangisnya terdengar orang-orang di luar kamar, Griss bergegas mengambil roti bantalnya. Sama seperti saat Griss didera overthinking tiga bulan yang lalu, dia menyuapkan sepotong roti berukuran besar ke dalam mulutnya agar tidak ada celah untuk isakannya.

Griss terus melakukannya seiring dengan perasaannya yang terus memburuk. Hingga, tanpa sadar, dia terlalu banyak menghabiskan roti bantalnya.

Perut Griss yang semula kelaparan, menjadi begah. Dia jadi merasa bersalah. Griss ingin muntah. Tanpa babibu lagi, Griss berlari ke kamar mandi. Kali ini dia tidak meminum obat pencahar, tapi menggunakan dua jarinya untuk bisa muntah. Setelah semua isi perutnya keluar, barulah Griss merasa sedikit lega. Setidaknya, dia tidak perlu memikirkan berat badannya yang akan naik setelah makan roti-roti itu, bukan?

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
TANPA KATA
85      79     0     
True Story
"Tidak mudah bukan berarti tidak bisa bukan?" ucapnya saat itu, yang hingga kini masih terngiang di telingaku. Sulit sekali rasanya melupakan senyum terakhir yang kulihat di ujung peron stasiun kala itu ditahun 2018. Perpisahan yang sudah kita sepakati bersama tanpa tapi. Perpisahan yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Yang memaksaku kembali menjadi "aku" sebelum mengenalmu.
DocDetec
1512      808     1     
Mystery
Bagi Arin Tarim, hidup hanya memiliki satu tujuan: menjadi seorang dokter. Identitas dirinya sepenuhnya terpaku pada mimpi itu. Namun, sebuah tragedi menghancurkan harapannya, membuatnya harus menerima kenyataan pahit bahwa cita-citanya tak lagi mungkin terwujud. Dunia Arin terasa runtuh, dan sebagai akibatnya, ia mengundurkan diri dari klub biologi dua minggu sebelum pameran penting penelitian y...
Kelana
1728      1110     0     
Romance
Hidup adalah perjalanan tanpa peta yang pasti, di mana setiap langkah membawa kita menuju tujuan yang tak terduga. Novel ini tidak hanya menjadi cerita tentang perjalanan, tetapi juga pengingat bahwa terbang menuju sesuatu yang kita yakini membutuhkan keberanian dengan meninggalkan zona nyaman, menerima ketidaksempurnaan, dan merangkul kebebasan untuk menjadi diri sendiri. Selam...
Hello, Me (30)
25052      2544     6     
Inspirational
Di usia tiga puluh tahun, Nara berhenti sejenak. Bukan karena lelah berjalan, tapi karena tak lagi tahu ke mana arah pulang. Mimpinya pernah besar, tapi dunia memeluknya dengan sunyi: gagal ini, tertunda itu, diam-diam lupa bagaimana rasanya menjadi diri sendiri, dan kehilangan arah di jalan yang katanya "dewasa". Hingga sebuah jurnal lama membuka kembali pintu kecil dalam dirinya yang pern...
Tebing Cahaya
261      190     1     
Romance
Roni pulang ke Tanpo Arang dengan niat liburan sederhana: tidur panjang, sinyal pasrah, dan sarapan santan. Yang melambat ternyata bukan jaringan, melainkan dirinyaterutama saat vila keluarga membuka kembali arsip janji lama: tanah ini hanya pinjaman dari arang. Di desa yang dijaga mitos Tebing Cahayakonon bila laki-perempuan menyaksikan kunang-kunang bersama, mereka tak akan bersatuRoni bertemu ...
Je te Vois
2295      1288     0     
Romance
Dow dan Oi sudah berteman sejak mereka dalam kandunganklaim kedua Mom. Jadi tidak mengherankan kalau Oi memutuskan ikut mengadopsi anjing, Teri, yang merupakan teman baik anjing adopsi Dow, Sans. Bukan hanya perihal anjing, dalam segala hal keduanya hampir selalu sama. Mungkin satu-satunya yang berbeda adalah perihal cita-cita dan hobi. Dow menari sejak usia 8 tahun, tapi bercita-cita menjadi ...
Only One
2257      1354     13     
Romance
Hidup di dunia ini tidaklah mudah. Pasti banyak luka yang harus dirasakan. Karena, setiap jalan berliku saat dilewati. Rasa sakit, kecewa, dan duka dialami Auretta. Ia sadar, hidup itu memang tidaklah mudah. Terlebih, ia harus berusaha kuat. Karena, hanya itu yang bisa dilakukan untuk menutupi segala hal yang ada dalam dirinya. Terkadang, ia merasa seperti memakai topeng. Namun, mungkin itu s...
Rumah Tanpa Dede
267      194     1     
Inspirational
Kata teteh, Bapak dan Mama bertengkar karena Dede, padahal Dede cuman bilang: "Kata Bapak, kalau Bi Hesti jadi Mama kedua, biaya pengobatan Dede ditanggung Bi Hesti sampai sembuh, Mah." Esya---penyintas penyakit langka Spina Bifida hanya ingin bisa berjalan tanpa bantuan kruk, tapi ekonomi yang miskin membuat mimpi itu terasa mustahil. Saat harapan berwujud 'Bi Hesti' datang, justru ban...
Cinderella And The Bad Prince
3600      2053     11     
Romance
Prince merasa hidupnya tidak sebebas dulu sejak kedatangan Sindy ke rumah. Pasalnya, cewek pintar di sekolahnya itu mengemban tugas dari sang mami untuk mengawasi dan memberinya les privat. Dia yang tidak suka belajar pun cari cara agar bisa mengusir Sindy dari rumahnya. Sindy pun sama saja. Dia merasa sial luar biasa karena harus ngemong bocah bertubuh besar yang bangornya nggak ketul...
Ikhlas Berbuah Cinta
3075      1533     0     
Inspirational
Nadhira As-Syifah, dengan segala kekurangan membuatnya diberlakukan berbeda di keluarganya sendiri, ayah dan ibunya yang tidak pernah ada di pihaknya, sering 'dipaksa' mengalah demi adiknya Mawar Rainy dalam hal apa saja, hal itu membuat Mawar seolah punya jalan pintas untuk merebut semuanya dari Nadhira. Nadhira sudah senantiasa bersabar, positif thinking dan selalu yakin akan ada hikmah dibal...