Loading...
Logo TinLit
Read Story - Maju Terus Pantang Kurus
MENU
About Us  

Sabtu ini, kesibukan Griss hanya berguling-guling di atas kasur. Seperti yang dikatakan kepada Juna kemarin, Griss sedang ingin membolos olahraga, terlebih malas bertemu siapa-siapa. Mood-nya sedang rusak, membuat Griss memilih rebahan berjam-jam daripada mengerjakan tugas-tugas yang menumpuk atau melakukan aktivitas lainnya.

Sekitar jam sembilan pagi, Griss baru keluar dari kamarnya setelah diteriaki sang mama.

"Ini diapain, Ma?" Griss menatap kompor di depannya kebingungan. Bayangkan, dia baru bangun dari rebahan panjangnya, tapi Indira langsung memakaikan celemek dan memberinya sodet kayu. Apa yang harus dia lakukan dengan benda itu?

"Itu ayamnya di bolak-balik biar nggak gosong. Aduh, Griss!" Indira berlari dari pantri, merebut sodet dari tangan Griss yang cuma diam membatu. "Kamu nggak mencium bau masakan gosong apa gimana? Untung aja Mama lihat," omel Indira sembari membolak-balik ayam di dalam wajan.

Griss cemberut. "Namanya juga baru bangun. Lagian Mama kenapa nggak minta bantuan ke Frissi dulu, sih, Ma?" tanyanya sambil menarik kursi yang ada di sudut ruangan. Griss duduk di atas benda itu dengan anteng sementara tugasnya sudah dikerjakan oleh Indira.

"Kapok Mama nyuruh dia. Kamu ingat yang terjadi saat terakhir kali adikmu ke dapur ini?"

Sambil mengupas mentimun, Griss mengangguk. Dia ingat betul apa yang terjadi ketika Frissi dimintai bantuan oleh ibunya. Bocah kelas tiga SMP itu nyaris membakar dapur karena lebih fokus bermain ponsel daripada memperhatikan masakannya. Sejak saat itu, Indira tidak pernah mengizinkan Frissi berkeliaran di dapur lagi. Risikonya terlalu besar.

"Nggak lagi-lagi Mama nyuruh dia ke dapur."

Griss cekikikan. "Omong-omong, ini pesanan siapa, Ma?" tanya Griss sambil melihat-lihat masakan Indira.

"Bu RT, mau ada kumpulan katanya."

"Berapa porsi?"

"Lima puluh. Makanya kamu bantu Mama." Indira menunjuk tumpukan karton di atas meja. "Cetak nasi, terus masukin ke mika, baru masukin ke kartonnya."

Meski ogah-ogahan karena mood-nya belum membaik, Griss tetap menuruti perintah ibunya yang terlihat kerepotan. Diambilnya mangkuk kecil dan centong yang akan digunakan untuk mencetak nasi. Kemudian, Griss berjalan menuju tempat rice cooker diletakkan.

Sepuluh menit berlalu, Griss mulai bosan.

"Ma, cerita, dong!" katanya memulai obrolan.

"Cerita apa?"

"Apa pun. Lagi bete, nih."

Indira mengernyitkan dahi. "Berantem sama siapa kamu? Wina? Atau Juna?" tanyanya, menyebutkan nama-nama teman Griss yang dikenalnya.

"Enggak, kok, Ma. Tiba-tiba bad mood aja," jawab Griss yang tentu saja tidak apa adanya. Cewek itu tidak akan menceritakan alasan kenapa suasana hatinya jadi kacau karena dia tahu, mamanya pasti akan menceramahinya habis-habisan kalau dia mengatakan "gendut" adalah sumber kegalauannya.

Sambil membolak-balik ayamnya, Indira mengangguk-angguk. "Tapi, Mama nggak pinter cerita, Griss. Kamu nanya aja, deh, nanti Mama jawab."

Kesempatan bagus buat curhat terselubung! Tanpa menyia-nyiakan waktu, Griss langsung menyuarakan kalimat yang pertama kali muncul di kepalanya

"Mama pernah gendut?"

"Hah?" Pertanyaan Griss yang terlalu tiba-tiba membuat Indira membulatkan mata. "Apa, Griss?"

"Mama pernah gendut, nggak?" ulang Griss, sedikit lebih santai.

Indira tampak berpikir sejenak. Lalu menjawab pertanyaan Griss dengan jawaban paling logis. "Pernah, pas kamu sama Frissi ada di perut."

Bahu Griss langsung merosot. "Selain itu dong, Ma. Yang masih remaja gitu."

Kekehan Indira lolos begitu saja. "Bilang, dong, dari tadi. Pernah, sih, kayaknya. Dulu pas seusia kamu gini."

"Gendutnya karena?"

"Karena temen Mama ada yang jualan risol, jadi Mama beli setiap hari sekitar lima biji. Naik deh tuh BB Mama sampai sepuluh kilo dalam waktu kurang dari setahun."

"Wow!" Mata Griss membulat. Sepuluh kilo dalam satu tahun itu luar biasa bagi orang-orang seperti Indira yang tergolong kurus.

"Sempit deh semua seragam Mama. Karena udah kelas tiga, sayang kalau beli seragam baru, akhirnya Mama coba diet buah."

"Berhasil?"

Indira menggeleng. "Nggak bekerja. Soalnya Mama nggak kuat nahan nafsu. Risol temen Mama itu enak banget."

"Terus, Ma?" kejar Griss, benar-benar penasaran. Dia sampai melupakan tugasnya mencetak nasi.

"Mama minta tip sama temen Mama yang jualan risol itu biar cepet kurus, soalnya dia itu mantan gendut. Tapi, ternyata tipsnya nggak bisa ditiru."

"Kenapa? Nggak ngaruh juga di Mama?"

Lagi-lagi Indira menggelengkan kepalanya. "Bukan itu, tapi tipnya berbahaya. Bayangin, ternyata rahasia temen Mama ini bisa tetap kurus meski porsi makannya masih sama kayak waktu dia gendut itu memuntahkan semua makanan yang sudah dia telan."

"Maksudnya, Ma?"

Ayam sudah matang sempurna. Indira mematikan kompor sebelum menjawab pertanyaan anak sulungnya. "Jadi, setelah makan, temen Mama ini selalu pergi ke toilet buat muntah."

"Emang muntah bisa dibuat-buat?"

"Ya nggak tahu. Mama sih tahunya, yang kayak gitu itu penyakit. Tapi kata temen Mama, ada gitu obat pemicu muntah."

"Obat apa, Ma?"

Pertanyaan yang terlalu cepat membuat Indira mengernyit curiga. "Mana Mama tahu? Lagian apa pentingnya buat kamu?"

Griss menggeleng sambil mengulum senyuman mencurigakan.

Mata Indira menyipit, mencoba menyelidiki apa arti senyuman anak perempuannya. "Griss? Kamu nggak lagi ...." Sodet di tangannya dipukul-pukulkan ke wajan. Indira mencoba mengintimidasi Griss melalui tatapan. "Awas kalau kamu coba-coba!'

^^^

Lima puluh nasi kotak pesanan Bu RT diantar sebelum jam makan siang. Karena jumlahnya yang banyak dan jarak yang tidak terlalu jauh, Indira memutuskan untuk berjalan kaki, dibantu Griss dan Frissi yang berjalan di belakangnya.

Jalanan kompleks sedang tidak terlalu ramai, meski begitu tetap ada tetangga yang sedang beraktivitas di rumah mereka. Ada yang sedang menjemur pakaian, bermain bersama anak balita di teras rumah, ada juga yang sedang duduk-duduk santai sambil bergosip tipis-tipis.

Sebagai warga dan tetangga yang baik, Indira menyapa siapa saja yang ditemuinya. Sedangkan Griss dan Frissi, yang lebih banyak menghabiskan waktu di sekolah, hanya menganggukkan kepala singkat sambil tersenyum tipis. Kakak beradik itu tidak mengenal semua tetangga di sekitar rumahnya, bahkan siapa nama Bu RT saja mereka tidak tahu.

"Rumah Bu RT di mana, sih, Ma?" Suara rendah Frissi memecah fokus Griss yang semula sedang memandangi kerikil di jalanan.

Cewek yang saat ini mengenakan hoodie gombrang hitam kesayangannya itu ikut bersuara. "Bu RT kita emang siapa, Ma? Kok, aku nggak tahu ya?"

"Tahumu, kan, cuma cowok-cowok Korea!"

Griss ingin mendebat, tapi tidak ada yang salah dari ucapan Indira. Jadi, cewek itu hanya bergumam mengiakan. Lalu, Frissi kembali melanjutkan pertanyaannya.

"Aku kebanyakan main di sekolah deh, Ma, sampai bener-bener nggak tahu siapa RT kita. Yang kayak apa, sih?"

"Pokoknya ibu-ibu. Nanti juga ketemu, kok."

Frissi dan Griss mengangguk-anggukkan kepala. Ketiganya berbelok begitu tiba di pertigaan. Di depan rumah kedua setelah belokan, Indira meminta kedua putrinya untuk berhenti. Indira menekan bel yang ada di pagar keliling. Tak lama, seorang wanita berbaju batik keluar dengan wajah semringah, sepertinya memang sedang menunggu-nunggu kedatangan Indira dan perintilannya—paket makan siang.

"Bu Dira, ayo masuk," serunya ramah. Indira, Griss, dan Frissi langsung masuk begitu gerbang dibuka.

Rumah Bu RT sudah ramai. Ada kisaran dua puluh orang yang sudah berkumpul. Entah akan diadakan acara apa, yang jelas semua orang mengenakan pakaian batik.

"Langsung masuk ke dapur saja, Bu. Mari saya tunjukkan jalannya."

Kotak-kotak berisi masakan Indira itu diletakkan di meja makan, bersebelahan dengan macam-macam kudapan yang menggugah selera. Griss sempat menelan ludah karenanya, dan Frissi langsung menyikut pinggan Griss.

"Kenapa, sih?" tanya Griss.

Frissi menaik-turunkan alisnya. "Banyak makanan. Bu RT mau lamaran apa, ya?"

Kedikan bahu diberikan sebagai jawaban.

"Bu Dira, makasih banget, ya." Bu RT mengeluarkan beberapa lembar uang untuk membayar pesanannya kepada Indira. Senyum masih belum luntur dari bibirnya, setidaknya sebelum Bu RT melihat Griss dan Frissi yang berdiri membayang di belakang Indira. Alis buatan ibu-ibu itu menukik. "Ini anak-anak Bu Dira, toh?"

Indira mengangangguk sambil tersenyum. "Iya, Bu. Mereka emang jarang kelihatan."

Bu RT mengangguk-angguk. "Pantesan. Pangling, lho, saya. Kayaknya dulu saya tahu kecilnya kalian, sekarang udah gede aja ya."

Griss dan Frissi tersenyum canggung. Perasaan mereka berubah tidak enak saat Bu RT mulai menatap mereka seperti objek di bawah mikroskop.

"Grissilia, kan? Beda banget ya sama Frissilia. Badan kamu subur sekali. Pasti suka makan."

Suka pengin nenggelamin orang-orang bermulut lemes kayak Ibu!

Griss sudah menduga akan mendengar kalimat seperti itu. Meski sudah sangat sering, dia tidak pernah merasa terbiasa. Cewek itu memaksakan senyumnya. Adiknya, cuma bisa meremas jemari Griss yang berubah dingin.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Monologue
995      678     1     
Romance
Anka dibuat kesal, hingga nyaris menyesal. Editor genre misteri-thriller dengan pengalaman lebih dari tiga tahun itu, tiba-tiba dipaksa menyunting genre yang paling ia hindari: romance remaja. Bukan hanya genre yang menjijikkan baginya, tapi juga kabar hilangnya editor sebelumnya. Tanpa alasan. Tanpa jejak. Lalu datanglah naskah dari genre menjijikkan itu, dengan nama penulis yang bahkan...
Je te Vois
1799      923     0     
Romance
Dow dan Oi sudah berteman sejak mereka dalam kandunganklaim kedua Mom. Jadi tidak mengherankan kalau Oi memutuskan ikut mengadopsi anjing, Teri, yang merupakan teman baik anjing adopsi Dow, Sans. Bukan hanya perihal anjing, dalam segala hal keduanya hampir selalu sama. Mungkin satu-satunya yang berbeda adalah perihal cita-cita dan hobi. Dow menari sejak usia 8 tahun, tapi bercita-cita menjadi ...
Senja di Balik Jendela Berembun
48      42     0     
Inspirational
Senja di Balik Jendela Berembun Mentari merayap perlahan di balik awan kelabu, meninggalkan jejak jingga yang memudar di cakrawala. Hujan turun rintik-rintik sejak sore, membasahi kaca jendela kamar yang berembun. Di baliknya, Arya duduk termangu, secangkir teh chamomile di tangannya yang mulai mendingin. Usianya baru dua puluh lima, namun beban di pundaknya terasa seperti telah ...
Langkah Pulang
900      553     7     
Inspirational
Karina terbiasa menyenangkan semua orangkecuali dirinya sendiri. Terkurung dalam ambisi keluarga dan bayang-bayang masa lalu, ia terjatuh dalam cinta yang salah dan kehilangan arah. Saat semuanya runtuh, ia memilih pergi bukan untuk lari, tapi untuk mencari. Di kota yang asing, dengan hati yang rapuh, Karina menemukan cahaya. Bukan dari orang lain, tapi dari dalam dirinya sendiri. Dan dari Tuh...
Resonantia
667      492     0     
Horror
Empat anak yang ‘terbuang’ dalam masyarakat di sekolah ini disatukan dalam satu kamar. Keempatnya memiliki masalah mereka masing-masing yang membuat mereka tersisih dan diabaikan. Di dalam kamar itu, keempatnya saling berbagi pengalaman satu sama lain, mencoba untuk memahami makna hidup, hingga mereka menemukan apa yang mereka cari. Taka, sang anak indigo yang hidupnya hanya dipenuhi dengan ...
Kertas Remuk
230      185     0     
Non Fiction
Tata bukan perempuan istimewa. Tata nya manusia biasa yang banyak salah dalam langkah dan tindakannya. Tata hanya perempuan berjiwa rapuh yang seringkali digoda oleh bencana. Dia bernama Tata, yang tidak ingin diperjelas siapa nama lengkapnya. Dia hanya ingin kehidupan yang seimbang dan selaras sebagaimana mestinya. Tata bukan tak mampu untuk melangkah lebih maju, namun alur cerita itulah yang me...
Cinderella And The Bad Prince
2542      1439     11     
Romance
Prince merasa hidupnya tidak sebebas dulu sejak kedatangan Sindy ke rumah. Pasalnya, cewek pintar di sekolahnya itu mengemban tugas dari sang mami untuk mengawasi dan memberinya les privat. Dia yang tidak suka belajar pun cari cara agar bisa mengusir Sindy dari rumahnya. Sindy pun sama saja. Dia merasa sial luar biasa karena harus ngemong bocah bertubuh besar yang bangornya nggak ketul...
Pacarku Pergi ke Surga, Tapi Dia Lupa Membawa Buku Catatan Biru Tua Itu
2817      649     7     
Fantasy
Lily adalah siswa kelas 12 yang ambisius, seluruh hidupnya berputar pada orbit Adit, kekasih sekaligus bintang pemandunya. Bersama Adit, yang sudah diterima di Harvard, Lily merajut setiap kata dalam personal statement-nya, sebuah janji masa depan yang terukir di atas kertas. Namun, di penghujung Juli, takdir berkhianat. Sebuah kecelakaan tragis merenggut Adit, meninggalkan Lily dalam kehampaan y...
Trust Me
90      81     0     
Fantasy
Percayalah... Suatu hari nanti kita pasti akan menemukan jalan keluar.. Percayalah... Bahwa kita semua mampu untuk melewatinya... Percayalah... Bahwa suatu hari nanti ada keajaiban dalam hidup yang mungkin belum kita sadari... Percayalah... Bahwa di antara sekian luasnya kegelapan, pasti akan ada secercah cahaya yang muncul, menyelamatkan kita dari semua mimpi buruk ini... Aku, ka...
TITANICNYA CINTA KITA
0      0     0     
Romance
Ketika kapal membawa harapan dan cinta mereka karam di tengah lautan, apakah cinta itu juga akan tenggelam? Arka dan Nara, sepasang kekasih yang telah menjalani tiga tahun penuh warna bersama, akhirnya siap melangkah ke jenjang yang lebih serius. Namun, jarak memisahkan mereka saat Arka harus merantau membawa impian dan uang panai demi masa depan mereka. Perjalanan yang seharusnya menjadi a...