Sabtu ini, kesibukan Griss hanya berguling-guling di atas kasur. Seperti yang dikatakan kepada Juna kemarin, Griss sedang ingin membolos olahraga, terlebih malas bertemu siapa-siapa. Mood-nya sedang rusak, membuat Griss memilih rebahan berjam-jam daripada mengerjakan tugas-tugas yang menumpuk atau melakukan aktivitas lainnya.
Sekitar jam sembilan pagi, Griss baru keluar dari kamarnya setelah diteriaki sang mama.
"Ini diapain, Ma?" Griss menatap kompor di depannya kebingungan. Bayangkan, dia baru bangun dari rebahan panjangnya, tapi Indira langsung memakaikan celemek dan memberinya sodet kayu. Apa yang harus dia lakukan dengan benda itu?
"Itu ayamnya di bolak-balik biar nggak gosong. Aduh, Griss!" Indira berlari dari pantri, merebut sodet dari tangan Griss yang cuma diam membatu. "Kamu nggak mencium bau masakan gosong apa gimana? Untung aja Mama lihat," omel Indira sembari membolak-balik ayam di dalam wajan.
Griss cemberut. "Namanya juga baru bangun. Lagian Mama kenapa nggak minta bantuan ke Frissi dulu, sih, Ma?" tanyanya sambil menarik kursi yang ada di sudut ruangan. Griss duduk di atas benda itu dengan anteng sementara tugasnya sudah dikerjakan oleh Indira.
"Kapok Mama nyuruh dia. Kamu ingat yang terjadi saat terakhir kali adikmu ke dapur ini?"
Sambil mengupas mentimun, Griss mengangguk. Dia ingat betul apa yang terjadi ketika Frissi dimintai bantuan oleh ibunya. Bocah kelas tiga SMP itu nyaris membakar dapur karena lebih fokus bermain ponsel daripada memperhatikan masakannya. Sejak saat itu, Indira tidak pernah mengizinkan Frissi berkeliaran di dapur lagi. Risikonya terlalu besar.
"Nggak lagi-lagi Mama nyuruh dia ke dapur."
Griss cekikikan. "Omong-omong, ini pesanan siapa, Ma?" tanya Griss sambil melihat-lihat masakan Indira.
"Bu RT, mau ada kumpulan katanya."
"Berapa porsi?"
"Lima puluh. Makanya kamu bantu Mama." Indira menunjuk tumpukan karton di atas meja. "Cetak nasi, terus masukin ke mika, baru masukin ke kartonnya."
Meski ogah-ogahan karena mood-nya belum membaik, Griss tetap menuruti perintah ibunya yang terlihat kerepotan. Diambilnya mangkuk kecil dan centong yang akan digunakan untuk mencetak nasi. Kemudian, Griss berjalan menuju tempat rice cooker diletakkan.
Sepuluh menit berlalu, Griss mulai bosan.
"Ma, cerita, dong!" katanya memulai obrolan.
"Cerita apa?"
"Apa pun. Lagi bete, nih."
Indira mengernyitkan dahi. "Berantem sama siapa kamu? Wina? Atau Juna?" tanyanya, menyebutkan nama-nama teman Griss yang dikenalnya.
"Enggak, kok, Ma. Tiba-tiba bad mood aja," jawab Griss yang tentu saja tidak apa adanya. Cewek itu tidak akan menceritakan alasan kenapa suasana hatinya jadi kacau karena dia tahu, mamanya pasti akan menceramahinya habis-habisan kalau dia mengatakan "gendut" adalah sumber kegalauannya.
Sambil membolak-balik ayamnya, Indira mengangguk-angguk. "Tapi, Mama nggak pinter cerita, Griss. Kamu nanya aja, deh, nanti Mama jawab."
Kesempatan bagus buat curhat terselubung! Tanpa menyia-nyiakan waktu, Griss langsung menyuarakan kalimat yang pertama kali muncul di kepalanya
"Mama pernah gendut?"
"Hah?" Pertanyaan Griss yang terlalu tiba-tiba membuat Indira membulatkan mata. "Apa, Griss?"
"Mama pernah gendut, nggak?" ulang Griss, sedikit lebih santai.
Indira tampak berpikir sejenak. Lalu menjawab pertanyaan Griss dengan jawaban paling logis. "Pernah, pas kamu sama Frissi ada di perut."
Bahu Griss langsung merosot. "Selain itu dong, Ma. Yang masih remaja gitu."
Kekehan Indira lolos begitu saja. "Bilang, dong, dari tadi. Pernah, sih, kayaknya. Dulu pas seusia kamu gini."
"Gendutnya karena?"
"Karena temen Mama ada yang jualan risol, jadi Mama beli setiap hari sekitar lima biji. Naik deh tuh BB Mama sampai sepuluh kilo dalam waktu kurang dari setahun."
"Wow!" Mata Griss membulat. Sepuluh kilo dalam satu tahun itu luar biasa bagi orang-orang seperti Indira yang tergolong kurus.
"Sempit deh semua seragam Mama. Karena udah kelas tiga, sayang kalau beli seragam baru, akhirnya Mama coba diet buah."
"Berhasil?"
Indira menggeleng. "Nggak bekerja. Soalnya Mama nggak kuat nahan nafsu. Risol temen Mama itu enak banget."
"Terus, Ma?" kejar Griss, benar-benar penasaran. Dia sampai melupakan tugasnya mencetak nasi.
"Mama minta tip sama temen Mama yang jualan risol itu biar cepet kurus, soalnya dia itu mantan gendut. Tapi, ternyata tipsnya nggak bisa ditiru."
"Kenapa? Nggak ngaruh juga di Mama?"
Lagi-lagi Indira menggelengkan kepalanya. "Bukan itu, tapi tipnya berbahaya. Bayangin, ternyata rahasia temen Mama ini bisa tetap kurus meski porsi makannya masih sama kayak waktu dia gendut itu memuntahkan semua makanan yang sudah dia telan."
"Maksudnya, Ma?"
Ayam sudah matang sempurna. Indira mematikan kompor sebelum menjawab pertanyaan anak sulungnya. "Jadi, setelah makan, temen Mama ini selalu pergi ke toilet buat muntah."
"Emang muntah bisa dibuat-buat?"
"Ya nggak tahu. Mama sih tahunya, yang kayak gitu itu penyakit. Tapi kata temen Mama, ada gitu obat pemicu muntah."
"Obat apa, Ma?"
Pertanyaan yang terlalu cepat membuat Indira mengernyit curiga. "Mana Mama tahu? Lagian apa pentingnya buat kamu?"
Griss menggeleng sambil mengulum senyuman mencurigakan.
Mata Indira menyipit, mencoba menyelidiki apa arti senyuman anak perempuannya. "Griss? Kamu nggak lagi ...." Sodet di tangannya dipukul-pukulkan ke wajan. Indira mencoba mengintimidasi Griss melalui tatapan. "Awas kalau kamu coba-coba!'
^^^
Lima puluh nasi kotak pesanan Bu RT diantar sebelum jam makan siang. Karena jumlahnya yang banyak dan jarak yang tidak terlalu jauh, Indira memutuskan untuk berjalan kaki, dibantu Griss dan Frissi yang berjalan di belakangnya.
Jalanan kompleks sedang tidak terlalu ramai, meski begitu tetap ada tetangga yang sedang beraktivitas di rumah mereka. Ada yang sedang menjemur pakaian, bermain bersama anak balita di teras rumah, ada juga yang sedang duduk-duduk santai sambil bergosip tipis-tipis.
Sebagai warga dan tetangga yang baik, Indira menyapa siapa saja yang ditemuinya. Sedangkan Griss dan Frissi, yang lebih banyak menghabiskan waktu di sekolah, hanya menganggukkan kepala singkat sambil tersenyum tipis. Kakak beradik itu tidak mengenal semua tetangga di sekitar rumahnya, bahkan siapa nama Bu RT saja mereka tidak tahu.
"Rumah Bu RT di mana, sih, Ma?" Suara rendah Frissi memecah fokus Griss yang semula sedang memandangi kerikil di jalanan.
Cewek yang saat ini mengenakan hoodie gombrang hitam kesayangannya itu ikut bersuara. "Bu RT kita emang siapa, Ma? Kok, aku nggak tahu ya?"
"Tahumu, kan, cuma cowok-cowok Korea!"
Griss ingin mendebat, tapi tidak ada yang salah dari ucapan Indira. Jadi, cewek itu hanya bergumam mengiakan. Lalu, Frissi kembali melanjutkan pertanyaannya.
"Aku kebanyakan main di sekolah deh, Ma, sampai bener-bener nggak tahu siapa RT kita. Yang kayak apa, sih?"
"Pokoknya ibu-ibu. Nanti juga ketemu, kok."
Frissi dan Griss mengangguk-anggukkan kepala. Ketiganya berbelok begitu tiba di pertigaan. Di depan rumah kedua setelah belokan, Indira meminta kedua putrinya untuk berhenti. Indira menekan bel yang ada di pagar keliling. Tak lama, seorang wanita berbaju batik keluar dengan wajah semringah, sepertinya memang sedang menunggu-nunggu kedatangan Indira dan perintilannya—paket makan siang.
"Bu Dira, ayo masuk," serunya ramah. Indira, Griss, dan Frissi langsung masuk begitu gerbang dibuka.
Rumah Bu RT sudah ramai. Ada kisaran dua puluh orang yang sudah berkumpul. Entah akan diadakan acara apa, yang jelas semua orang mengenakan pakaian batik.
"Langsung masuk ke dapur saja, Bu. Mari saya tunjukkan jalannya."
Kotak-kotak berisi masakan Indira itu diletakkan di meja makan, bersebelahan dengan macam-macam kudapan yang menggugah selera. Griss sempat menelan ludah karenanya, dan Frissi langsung menyikut pinggan Griss.
"Kenapa, sih?" tanya Griss.
Frissi menaik-turunkan alisnya. "Banyak makanan. Bu RT mau lamaran apa, ya?"
Kedikan bahu diberikan sebagai jawaban.
"Bu Dira, makasih banget, ya." Bu RT mengeluarkan beberapa lembar uang untuk membayar pesanannya kepada Indira. Senyum masih belum luntur dari bibirnya, setidaknya sebelum Bu RT melihat Griss dan Frissi yang berdiri membayang di belakang Indira. Alis buatan ibu-ibu itu menukik. "Ini anak-anak Bu Dira, toh?"
Indira mengangangguk sambil tersenyum. "Iya, Bu. Mereka emang jarang kelihatan."
Bu RT mengangguk-angguk. "Pantesan. Pangling, lho, saya. Kayaknya dulu saya tahu kecilnya kalian, sekarang udah gede aja ya."
Griss dan Frissi tersenyum canggung. Perasaan mereka berubah tidak enak saat Bu RT mulai menatap mereka seperti objek di bawah mikroskop.
"Grissilia, kan? Beda banget ya sama Frissilia. Badan kamu subur sekali. Pasti suka makan."
Suka pengin nenggelamin orang-orang bermulut lemes kayak Ibu!
Griss sudah menduga akan mendengar kalimat seperti itu. Meski sudah sangat sering, dia tidak pernah merasa terbiasa. Cewek itu memaksakan senyumnya. Adiknya, cuma bisa meremas jemari Griss yang berubah dingin.