Loading...
Logo TinLit
Read Story - Maju Terus Pantang Kurus
MENU
About Us  

Setelah mengobrol dengan Awan, Griss mengunjungi perpustakaan siangnya. Niat awalnya untuk mencari buku panduan diet, tapi Griss terlalu malas bergerak untuk mencari buku-buku yang letaknya entah di mana itu. Griss pun akhirnya duduk di kursi dekat dengan dinding, meminjam komputer perpustakaan yang tersambung dengan WiFi sekolah untuk searching—hal yang lebih mudah dilakukan daripada mencari buku di rak-rak tinggi.

Begitu komputer menyala, Griss langsung menuju laman pencarian. Hal pertama yang ditulisnya adalah, "bagaimana cara menjadi kurus dan cantik". Ada banyak artikel yang muncul di sana. Griss mengekliknya, membaca sekilas. Kebanyakan artikel menyebut "olahraga" dan "menjaga pola makan", sisanya menyinggung soal obat penurut berat badan instan.

Griss menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi. Cewek yang saat ini membiarkan rambut sepunggungnya terurai itu menghela napas cukup panjang. Perpustakaan sedang tidak terlalu ramai, hanya ada beberapa anak yang duduk anteng ditemani tumpukan buku. Harusnya, Griss bisa membaca artikel-artikel di komputer dengan tenang, lalu menyerap apa yang ia baca dan menerapkannya. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Griss tidak bisa fokus. Sama sekali. Perut yang keroncongan adalah penyebabnya.

 

Juna Klien Mama:

Grizzly ... where are you???

 

Sebelum pergi ke perpustakaan, Griss sengaja mengabaikan pesan Juna. Bodoh amat kalau Juna mencarinya sampai ke pojok ruang guru. Griss hanya sedang ingin sendirian, memikirkan bagaimana caranya memulai perubahan.

"Woy, Griss!"

Sayangnya, keberuntungan sedang tidak berpihak. Kesendirian Griss terinterupsi oleh kedatangan Wina dan kehebohannya.

"Lo ke sini, kok, nggak bilang-bilang ...." Cewek kurus itu langsung duduk di sebelah Griss, mengabaikan tatapan penjaga perpustakaan yang tajam seperti silet. Itu pasti karena suaranya yang terlalu ramai. "Ngapain, sih? Bau otak di sini."

Griss memberengut. Dia sama tidak sukanya pada perpustakaan, tapi dia tidak terlalu alergi buku seperti Wina yang langsung bersin-bersin.

"Kelihatan banget nggak suka belajarnya, ke perpus aja lo bersin-bersin," cibir Griss. Kekehannya meluncur.

Wina balik mencibir, "Kayak lo enggak aja." sambil menyelipkan rambutnya ke balik telinga. "Kak Juna nyariin lo."

"Hah?"

"Dia heboh nyariin lo ke kelas. Terus nyuruh gue nyari lo ke semua sudut Nusa Indah. Emang aneh temen makan lo itu," keluh Wina, jemarinya mengetuk-ngetuk permukaan meja.

Griss sudah menduga hal ini akan terjadi, jadi dia cuma mendengkus sebal. "Jangan kasih tahu kalau gue di sini, deh. Lagi males."

Wina mengangguk-angguk. "Malas dengan Juna" adalah sambatan Griss setiap hari. Wina sudah tidak heran lagi. Maka, cewek itu tidak bertanya lebih mengenai alasan Griss. Wina jauh lebih tertarik dengan komputer yang menyala di hadapan Griss. "Ngapain sih lo?" tanyanya sambil merusuh, merebut mouse dan mulai menelusuri jejak pencarian Griss. Saat membaca keyword yang Griss ketikkan, mulut Wina membulat. "Wait, what? Lo mau diet?" tanyanya.

Griss langsung membekap mulut Wina yang berbicara terlalu keras. "Diem, ah!" Wajahnya memerah karena malu. Untung Wina nggak ketawa.

"Sejak kapan, Griss?" tanya Wina antusias.

"Sejak gue sadar badan gue emang segede gajah," balas Griss. Bahunya merosot saat matanya memindai pantulannya di layar komputer yang menggelap setelah dimatikan. "Gimana caranya ya, Win?"

Bahu Wina mengedik. "Lo salah alamat kalau nanya itu ke gue. Lo, kan, tahu gue kurang gizi dari kecil." Cewek itu jadi sama lesunya.

Griss lalu terkekeh kering. "Untung lo masih bisa makan sendirian. Kalau kayak Juna, ribet."

"Untung Kak Juna ketemu sama lo. Kalau enggak?" balas Wina.

Tatapan Griss menerawang. Sejak dulu dia sudah memikirkan hal ini. "Kalau enggak, hidup gue mungkin bakal lebih damai."

"Tapi nggak berwarna."

"Kurang asem!"

Keduanya lantas tertawa. Wina kemudian mengajak Griss untuk segera bangun dan keluar dari ruangan penuh buku itu.

"Yuk, cabut ke kelas. Kak Juna kayaknya udah balik ke kelasnya. Nggak kuat gue di sini. Bau otak!"

Griss menurut. Lagi pula, perpus bukan tempat yang cocok untuknya saat ini karena yang ada di kepalanya sekarang adalah sekotak bekal berisi menu empat sehat lima sempurna buatan Indira yang belum sempat disentuhnya.

Lupakan sejenak soal diet, Griss benar-benar merasa lapar. Dan obatnya cuma makanan.

^^^

"Nih."

Sebuah tangan terulur, menyerahkan dua buah kertas mirip tiket konser. Karena Griss tidak merasa memesan tiket konser apa pun, dia tidak menerima benda itu. Sebaliknya, Griss justru mengerutkan keningnya, kebingungan.

"Apaan?" tanyanya kepada Juna yang berdiri membelakangi cahaya. Tubuh cowok itu membuat Griss terlindung dari teriknya sinar matahari pukul tiga sore.

Juna kembali mengangsurkan tiket itu. "Buat lo. Tiket konser."

Sedetik, ekspresi Griss tampak senang. Soalnya, yang dia bayangkan adalah tiket konser boy group K-Pop. Namun, setelah menerima, melihat, dan membaca keterangan pada kertas berwarna dasar putih itu, ekspresinya kembali datar. Itu tiket konser penyanyi lokal yang akan diadakan malam nanti di lapangan dekat sekolah tetangga.

"Gue nggak nonton. Nggak punya duit," kata Griss sambil menjejalkan kembalk tiket itu ke tangan Juna, tapi Juna kembali menaruh benda itu di tangan Griss. Dan, begitu terus sampai lima menit kemudian.

Juna, yang lumayan kelelahan setelah mengambil satu video untuk konten terbaru Chill Zone, akhirnya mengalah. Dia kembali mengntongi tiket konser itu, lalu duduk di sebelah Griss. Mereka berdua masih berada di sekolah, tepatnya di koridor ruang ekskul. Juna karena baru selesau latihan, Griss karena harus menunggu Juna, maksudnya uang makan siang Juna karena Griss kehabisan uang saku dan tidak bisa pulang tanpa itu.

"Itu tiket gue kasih gratis, kok. Kelebihan beli," ucap Juna. Nadanya membujuk semi merajuk. Matanya bahkan sampai mengerjap-ngerjap. Berharap terlihat lucu, tapi malah terlihat menggelikan. Tatapan seperti sama sekali tidak cocok dengan postur Juna yang tinggi—sayangnya kerempeng.

"Buat yang lain aja. Hazel, Mali, atau Kak Dewa." Griss terus menolak. Tangannya mulai sibuk menekan-nekan layar ponsel untuk memesan ojek.

"Mereka udah punya, Grizzly. Bang Jay sama Mira juga. Cuma lo yang belum, jadi itu buat lo."

"Tapi gue nggak mau nonton."

"Gue udah izin Tante Indira, kok. Dan, boleh. Tante malah bilang kalau nonton konser nanti malam bareng gue adalah sanksi buat lo yang mangkir pas makan siang. Jadi lo harus ikut bareng gue dan anak-anak Chill Zone. Oke?"

Kata "nggak" sudah berada di ujung lidah, tapi Griss tahu Juna tidak akan menerima penolakan. Cowok itu, kan, kelewat keras kepala, apalagi sudah mulai membawa-bawa nama mamanya.

"Dasar Cowok Pengadu!" seru Griss yang malah dihadiahi cengiran dan tepukan singkat di pucuk kepala.

"Nanti gue jajanin! Dah, Grizzly ...."

Juna berlari ke parkiran. Griss membeku di pijakan. Apa yang harus gue lakukan? Bersama Juna—remaja jelmaan balita—di konser pasti sangat melelahkan.

Pukul tujuh malam. Griss sudah berada di lokasi konser. Saat dia sampai, Hazel dan Dewangga sudah berada di sana, seperti sengaja menunggu di belakang pintu masuk. Tak lama, Mali dan Melodi menyusul. Lalu Jayan dan Mira. Yang terakhir adalah Juna.

"Buset! Gue kira lo kabur ke mana!" ucap Juna begitu bergabung dengan Griss dan yang lainnya. Rambut cowok itu terlihat lepek setelah helm full face hitamnya dicopot. "Berangkat sama siapa?"

Yang ditanya cuma diam. Griss bergeming menatap ujung sandalnya.

"Grizzly!"

"Dia ngojek," sahut Dewangga.

Juna menghela napas cukup panjang, tampak kecewa. "Kan, gue bilang mau jemput."

"Telanjur pesen," cicit Griss. Jujur, dia takut salah bicara. Griss tidak takut Juna, dia hanya merasa tidak nyaman berada di lingkungan cowok itu.

Untungnya, Juna tidak melanjutkan sesi marahnya. Setelah Dewangga mengajak semua teman-temannya mencari spot yang enak untuk nonton, mereka pun pergi ke tengah lapangan yang sudah mulai ramai.

Konser baru akan dimulai jam delapan, tapi pengunjung sudah terlihat antusias. Termasuk Hazel dan Mali yang berebut posisi depan dengan anak SMP, juga Dewangga dan Melodi yang mulai adu suara menyanyikan lagu dari penyanyi yang sebentar lagi akan naik ke panggung.

Di antara banyaknya orang yang memadati lokasi, sepertinya hanya Griss yang datang karena "terpaksa". Bisa dilihat dari penampilannya. Jayan dan Mira tampak fresh dengan kemeja denim dan celana jeans. Juna juga terlihat bersemangat dengan kaus putih polos dan kemeja kotak-kotaknya. Lalu, Griss memperhatikan penampilannya sendiri. Dia cuma pakai hoodie gombrang dan celana panjang hitam yang semoga bisa membuatnya dan lemaknya tidak terlihat di tengah kerumunan.

Jam delapan tepat, acara dibuka. Penyanyi yang diundang langsung naik panggung, memberi salam, kemudian menyanyikan sebuah lagi. Penyanyi itu perempuan. Dan, cantik. Suaranya yang merdu berhasil membuat lautan manusia di depan panggung hanyut. Ketika lagu pertama selesai, penonton mulai heboh.

"Lagi, lagi, lagi." Begitu bunyi sorakannya.

"Gila, cantik banget!" Atau begini.

Griss menoleh ke arah Juna yang masih terpana menatap penyanyi cantik itu. Tanpa sadar sudut bibirnya tertarik.

"Lo seminat itu sama konser ini ya, ternyata," ucap Griss. Cewek itu kira Juna tidak akan mendengarnya karena sedang ramai, ternyata dugaannya salah.

Juna melebarkan senyumnya, kemudian mengangguk. "Gue udah lama banget nggak nonton konser. Jadi pengin deh ngadain konser sendiri," katanya. "Eh, Nusaindah yang ngadain maksudnya," ralatnya sambil tertawa.

Dari kanan Juna, Hazel menelengkan kepalanya. Cowok berambut batok kelapa itu ikut dalam pembahasan. "Setuju gue. Pengin banget ngundang Nadin Amizah!"

"Nadin? Wah ... mau banget ... dia cantik tuh, kayak gue," sahut Melodi dari sebelah kiri Griss. Lalu, cewek yang saat ini memakai terusan bunga-bunga selutut itu mulai bernyanyi, "Bun, hidup berjalan ... seperti ba—hmppp." Mulutnya dibekap. Pelakunya adalah Mali yang berdiri membayang di belakangnya.

"Maliiiii!" kesalnya.

"Polusi!"

Singkat, padat, dan nyelekit. Kalau bukan sedang menonton konser, pasti Melodi tak segan untuk mencukur habis alis Mali. Yang otimatis akan membuat semua orang tertawa dibuatnya.

"Udah, dong, jangan gelut kayak anak bayi. Doi gue mau nyanyi lagi itu." Dewangga menengahi.

Mereka pun kembali menikmati konser malam itu.

Jam sembilan malam. Konser masih berlangsung, tapi Juna dan kawan-kawan memilih mundur. Mereka, dipimpin oleh Dewangga, mengunjungi salah satu stan yang menjual banyak macam makanan. Ada pecel, takoyaki, burger, sosis bakar, hingga bakso.

Dewangga dan Hazel langsung memesan bakso. Mereka berdua kelaparan setelah ikut bernyanyi sekitar empat atau lima lagu. Sementara yang lainnya hanya duduk-duduk sambil bermain ponsel dan membicarakan konser yang menyenangkan.

Griss duduk di tempat terpisah dari meja Chill Zone. Dia tidak berani bergabung, meski di sana ada Mira yang juga bukan bagian dari Chill Zone. Sepanjang acara, Griss memang lebih sering diam. Bukan diam menikmati, tapi diam-diam sadar diri. Griss merasa tidak pantas berada di sekitar Juna dan teman-temannya. Jadi, dia memutuskan untuk beranjak pergi. Meskipun, pergi tanpa sepengetahuan Juna tidak pernah semudah mengucapkan kalimatnya.

"Jangan pulang sebelum makan. Itu pesan Tante Indira. Dan, lo pulang bareng gue."

Entah kapan datangnya, tiba-tiba Juna sudah berada di hadapan Griss, menghadangnya dengan nampan penuh makanan di kedua tangannya. Sontak, Griss menelan ludahnya. Niat dietnya terancam gagal. Lagi.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Cinderella And The Bad Prince
1929      1237     11     
Romance
Prince merasa hidupnya tidak sebebas dulu sejak kedatangan Sindy ke rumah. Pasalnya, cewek pintar di sekolahnya itu mengemban tugas dari sang mami untuk mengawasi dan memberinya les privat. Dia yang tidak suka belajar pun cari cara agar bisa mengusir Sindy dari rumahnya. Sindy pun sama saja. Dia merasa sial luar biasa karena harus ngemong bocah bertubuh besar yang bangornya nggak ketul...
Our Perfect Times
1576      957     8     
Inspirational
Keiza Mazaya, seorang cewek SMK yang ingin teman sebangkunya, Radhina atau Radhi kembali menjadi normal. Normal dalam artian; berhenti bolos, berhenti melawan guru dan berhenti kabur dari rumah! Hal itu ia lakukan karena melihat perubahan Radhi yang sangat drastis. Kelas satu masih baik-baik saja, kelas dua sudah berani menyembunyikan rokok di dalam tas-nya! Keiza tahu, penyebab kekacauan itu ...
My First love Is Dad Dead
73      69     0     
True Story
My First love Is Dad Dead Ketika anak perempuan memasuki usia remaja sekitar usia 13-15 tahun, biasanya orang tua mulai mengkhawatirkan anak-anak mereka yang mulai beranjak dewasa. Terutama anak perempuan, biasanya ayahnya akan lebih khawatir kepada anak perempuan. Dari mulai pergaulan, pertemanan, dan mulai mengenal cinta-cintaan di masa sekolah. Seorang ayah akan lebih protektif menjaga putr...
Tanda Tangan Takdir
287      224     1     
Inspirational
Arzul Sakarama, si bungsu dalam keluarga yang menganggap status Pegawai Negeri Sipil (PNS) sebagai simbol keberhasilan tertinggi, selalu berjuang untuk memenuhi ekspektasi keluarganya. Kakak-kakaknya sudah lebih dulu lulus CPNS: yang pertama menjadi dosen negeri, dan yang kedua bekerja di kantor pajak. Arzul, dengan harapan besar, mencoba tes CPNS selama tujuh tahun berturut-turut. Namun, kegagal...
Pasal 17: Tentang Kita
150      68     1     
Mystery
Kadang, yang membuat manusia kehilangan arah bukanlah lingkungan, melainkan pertanyaan yang tidak terjawab sebagai alasan bertindak. Dan fase itu dimulai saat memasuki usia remaja, fase penuh pembangkangan menuju kedewasaan. Sama seperti Lian, dalam perjalanannya ia menyadari bahwa jawaban tak selalu datang dari orang lain. Lalu apa yang membuatnya bertahan? Lian, remaja mantan narapidana....
BestfriEND
59      52     1     
True Story
Di tengah hedonisme kampus yang terasa asing, Iara Deanara memilih teguh pada kesederhanaannya. Berbekal mental kuat sejak sekolah. Dia tak gentar menghadapi perundungan dari teman kampusnya, Frada. Iara yakin, tanpa polesan makeup dan penampilan mewah. Dia akan menemukan orang tulus yang menerima hatinya. Keyakinannya bersemi saat bersahabat dengan Dea dan menjalin kasih dengan Emil, cowok b...
TANPA KATA
30      26     0     
True Story
"Tidak mudah bukan berarti tidak bisa bukan?" ucapnya saat itu, yang hingga kini masih terngiang di telingaku. Sulit sekali rasanya melupakan senyum terakhir yang kulihat di ujung peron stasiun kala itu ditahun 2018. Perpisahan yang sudah kita sepakati bersama tanpa tapi. Perpisahan yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Yang memaksaku kembali menjadi "aku" sebelum mengenalmu.
Langit-Langit Patah
37      32     1     
Romance
Linka tidak pernah bisa melupakan hujan yang mengguyur dirinya lima tahun lalu. Hujan itu merenggut Ren, laki-laki ramah yang rupanya memendam depresinya seorang diri. "Kalau saja dunia ini kiamat, lalu semua orang mati, dan hanya kamu yang tersisa, apa yang akan kamu lakukan?" "Bunuh diri!" Ren tersenyum ketika gerimis menebar aroma patrikor sore. Laki-laki itu mengacak rambut Linka, ...
Hello, Me (30)
21637      1463     6     
Inspirational
Di usia tiga puluh tahun, Nara berhenti sejenak. Bukan karena lelah berjalan, tapi karena tak lagi tahu ke mana arah pulang. Mimpinya pernah besar, tapi dunia memeluknya dengan sunyi: gagal ini, tertunda itu, diam-diam lupa bagaimana rasanya menjadi diri sendiri, dan kehilangan arah di jalan yang katanya "dewasa". Hingga sebuah jurnal lama membuka kembali pintu kecil dalam dirinya yang pern...
Menanti Kepulangan
67      61     1     
Fantasy
Mori selalu bertanya-tanya, kapan tiba giliran ia pulang ke bulan. Ibu dan ayahnya sudah lebih dulu pulang. Sang Nenek bilang, suatu hari ia dan Nenek pasti akan kembali ke bulan. Mereka semua akan berkumpul dan berbahagia bersama di sana. Namun, suatu hari, Mori tanpa sengaja bertemu peri kunang-kunang di sebuah taman kota. Sang peri pun memberitahu Mori cara menuju bulan dengan mudah. Tentu ada...