Pagi-pagi sekali, Griss sudah berada di kelasnya. Bukan untuk menyalin PR, tapi berangkat pagi sudah menjadi kebiasaannya. Kebiasaan yang berawal dari ketakutan menghadapi orang-orang julid. Griss malas berdesakan di lift dengan orang-orang yang akan membicarakannya secara terang-terangan. Griss juga malas berurusan dengan orang-orang yang selalu menyuruhnya untuk sadar diri.
"Eh Gendut! Ngaca, dong! Minimal diet lah kalau mau deket-deket sama Chill Zone."
"Badan segede gajah, gaya lu mau temenan sama anak-anak kece kayak Juna."
Griss muak dengan kalimat-kalimat itu. Juga dengan kalimat yang sedikit lebih halus, tapi tetap mematikan seperti, "Griss, ajari gue biar nggak insecure, dong! Gue yang langsing segini aja kadang masing minder kalau lihat member Chill Zone. Kok, lo bisa santai main sama Juna dan temen-temennya?"
Santai mbahmu! Dikiranya Griss tidak pernah insecure apa? Griss juga sering merasa minder, setiap hari malah. Griss merasa fisiknya tidak sempurna, merasa tidak memiliki bakat apa-apa, dan merasa hidupnya sama sekali tidak bermakna.
Jangan tanya Griss tip agar tidak insecure, because insecurity is her middle name.
Sama seperti pagi-pagi sebelumnya, Griss menjadi orang pertama yang hadir di kelas. Cewek tembem itu langsung menuju tempat duduknya yang berada di barisan nomor tiga. Dulu, Griss ingin sekali duduk di bangku barisan pertama, tapi tubuhnya yang besar mengganggu anak-anak lain yang duduk di belakangnya, jadi Griss berpindah ke belakang bersama Wina.
Griss membuka ponselnya sembari menunggu Wina dan bel masuk. Ibu jarinya menggulir layar setelah membuka aplikasi Instagram. Tidak banyak update-an dari akun-akun yang difollow-nya. Kurang dari lima menit scrolling, Griss beralih ke aplikasi WhatsApp.
Grup angkatannya ramai sejak semalam, tapi Griss yang kelelahan setelah berlatih basket bersama Juna, belum sempat ikut nimbrung. Griss lalu membuka chat-chat yang menumpuk itu. Ibu jarinya kembali menggeser layar. Matanya membaca satu per satu pesan dari paling atas.
Eh, masa si Gendut makan bareng Chill Zone kemarin
Masa, sih? Emang Chill Zone mau makan bareng sama dia?
Dia kan lagi sering caper ke Juna, temen2 Juna ga enak aja kali, kalo nolak
Makin nyebelin ya, maksudnya apa coba
Wkwkwk iri bilang, Boss!
Bukan iri, tapi dia tuh harusnya ngaca, dia kan gendut banget,
masa ga insecure sama sekali? Gue yang alumni model di SMP aja masih suka minder
sama anak-anak Chill Zone, terutama Melodi
Dan, parahnya ghes, kemarin ada Kak Mira juga
Griss nggak malu gitu sama Kak Mira? Dia kan cantik banget
Beauty and The Beast nggak siiii???
Tanpa sadar, genggaman Griss pada ponselnya mengetat. Dan, matanya terasa hangat.
"Griss? Pagi amat, buset!"
Suara dari ambang pintu menghentikan kegiatan Griss. Cewek itu langsung mengantongi ponselnya dan menyengir ketika Awan duduk di kursinya—berada tepat di depan kursi Griss.
"Nggak papa, Wan. Daripada telat." Griss tersenyum rikuh. Sebenarnya, dia tidak terlalu dekat dengan Awan. Mengobrol pun hanya sesekali. Tapi dibanding dengan teman sekelas yang lain, Awan adalah orang yang paling sering mengobrol dengan Griss, setelah Wina.
"Eh, Griss, hari ini kelas kita jadi praktik basket, nggak, ya?" tanya Awan. Tubuhnya menyerong ke belakang.
"Kayaknya jadi, deh. Kenapa?" balas Griss.
Awan menepuk jidatnya, seperti baru menyadari ada hal yang janggal. "Gue kayaknya nggak bawa kaos olahraga."
Mata Griss membola. Matilah! Bu Dewi bukanlah sosok guru killer yang tidak disukai banyak siswa, tapi beliau bukan pula guru berhati ibu peri yang tidak akan memarahi murid-muridnya. Tidak ada toleransi untuk anak yang tidak membawa seragam olahraga. Tidak ada remedi untuk anak yang tidak memakai sepatu olahraga. Bu Dewi amatlah tegas. Ketegasannya sampai membuat Griss takut gagal. Maka, meski kakinya masih pegal-pegal setelah latihan kemarin, Griss tetap berangkat ke sekolah untuk penilaian mata pelajaran yang diampu oleh Bu Dewi.
"Sabar ya, Wan. Lo beli lagi aja kalau mau nilai lo aman."
^^^
Setelah istirahat, anak-anak XI IPS 2 yang sudah berganti kaos olahraga dan sepatu olahraga langsung turun ke lapangan. Seharusnya mereka menggunakan lapangan basket indoor untuk penilaian, tapi ruangan itu sedang digunakan untuk persiapan kompetisi yang akan diikuti oleh tim basket sekolah. Jadilah, Bu Dewi menyuruh mereka untuk langsung turun ke lapangan tanpa rumput, yang biasa digunakan untuk upacara, yang letaknya di tengah-tengah bangunan inti Nusa Indah yang berbentuk letter U.
Bu Dewi berdiri di depan barisan anak-anak kelas Griss. Peluit terkalung di lehernya. Tak lama setelah semuanya berkumpul, Bu Dewi menyuruh ketua kelas untuk menyiapkan barisan, serta memimpin pemanasan sebelum penilaian dimulai.
Griss mulai ketakutan. Kegagalan membayang di matanya, entah dalam bentuk gagal memasukan bola, salah teknik pada saat pivot, atau tidak berhasil men-dribble bola dengan benar. Cewek itu terus meremas jari-jarinya. Dia berada di barisan paling belakang, risiko ketahuan tidak fokus pemanasan tidak terlalu besar.
"Griss, lo udah latihan, kan, sama Kak Juna?" Wina berbisik. Dia berada tepat di sebelah Griss, hanya tersekat udara bebas yang memenuhi ruang di antara mereka.
Griss menoleh pada Wina, mengangguk, kemudian tersenyum pedih.
"Tapi gue nggak yakin bisa. Susah soalnya."
Wina mengepalkan tangannya, memberi kekuatan kepada teman sebangkunya. "Semangat! Kak Juna pasti bangga kalau lo berhasil."
Griss tersenyum, kali ini tulus, disertai ucapan terima kasih yang diucapkan tanpa suara.
Setelah pemanasan selesai, Bu Dewi meniup peluitnya, memberi instruksi agar anak-anak lekas berkumpul.
"Baiklah, untuk pertemuan kali ini, seperti yang sudah saya beri tahu sebelumnya, kita akan mengambil penilaian. Hanya tiga nilai yang akan saya ambil. Dribble, pivot, dan shooting. Ada yang ingin ditanyakan?" Bu Dewi menatap satu per satu anak yang berada di hadapannya. Ketika tatapannya bertumbuk dengan mata Griss, ia tersenyum. "Grissilia, sudah siap?"
Griss yang tidak siap mendengar namanya disebutkan, membulatkan matanya tidak percaya. "Sa-saya, Bu?" ucapnya terbata.
Bu Dewi mengangguk, kemudian mengambil jurnal presensinya. "Ini mau urut nomor presensi atau saya panggil acak?"
Seketika, semua orang jadi heboh. Nama-nama yang biasa disebutkan di awal memilih opsi kedua, tapi anak-anak lain seperti Griss dan Wina memilih opsi pertama dengan alasan tidak suka kejutan.
Bu Dewi mengangkat satu tangannya sambil meniup peluit panjang untuk meredakan kehebohan. Orang-orang pun langsung diam, memilih aman dengan menjadi siswa penurut daripada membangkang dan mendapatkan azab yang setimpal.
Griss merapat pada Wina yang berdiri bersebelahan dengan Awan. Jarinya yang mengeluarkan keringat dingin saling bertaut. Griss takut. Takut namanya dipanggil pertama kali. Dan, ketakutannya menjadi nyata.
"Grissilia Indhika."
Boom! Kalau ada cara menghilang yang instan, Griss ingin melakukannya.
"Ayo ke tengah. Pertama praktik dribble dulu."
Griss berjalan ke tengah lapangan dengan langkah gemetar. Di otaknya terputar kata-kata Juna saat latihan kemarin.
"You can do it. Percaya sama gue."
Kadang, meski Juna menyebalkan, dia sering meyakinkan Griss bahwa tidak ada yang tidak mungkin kalau dia berusaha.
Griss menarik napas cukup panjang kemudian mengembuskannya. Dia mencoba mengabaikan sorakan orang-orang yang menyemangatinya—semi meledek. Matanya fokus pada bulatan oranye yang kini berada di tangannya.
Griss menoleh pada Bu Dewi. Guru itu pun langsung meniup peluitnya, menyuruh Griss untuk segera melakukan tugasnya.
Bola basket dilempar ke tanah berlapis paving block, kemudian memantul kembali ke telapak tangan Griss yang dibuka. Griss mendorong bola itu kembali ke tanah, dan memantul lagi. Begitu terus sampai Bu Dewi mengganti instruksi.
"Jangan berhenti. Langsung pivot dan shooting!"
Griss melotot. Latihannya kemarin tidak sempurna. Lalu, bagaimana jika kali ini juga gagal? Griss tidak mau nilainya kecil. Dia juga tidak mau dipermalukan.
Fokus Griss terpecah saat mulai memutar badan, menggunakan satu kaki terkuat sebagai tumpuan. Pandangannya mengarah pada keranjang, telinganya menangkap dengungan-dengungan, juga satu suara yang ia kenal di luar kepala. Memanggilnya. Membuatnya tidak fokus.
"GRIZZLY ... LO PASTI BISA!"
Griss melempar bola dengan kekuatan tangannya. Sayang, kekuatannya terlalu besar sehingga bola itu melambung terlalu tinggi, lalu jatuh tidak pada tempatnya.
"ARGH!"
Seseorang berteriak. Mata Griss kontan membeliak. Bolanya baru saja mendarat. Di kepala seseorang. Di kepala ...
"Bang Jay!"
"Kak Jayan ...."
Semua suara di sekitar Griss seolah lenyap. Yang tersisa hanya suara-suara yang berasal dari kepalanya. Bagaimana jika Jayan pingsan? Bagaimana jika dia terluka? Bagaimana jika Griss disalahkan? Bagaimana jika Griss diserbu oleh penggemar Jayan?
Tidak. Itu tidak boleh terjadi. Gue belum siap jadi Dendeng Grizzly!