Loading...
Logo TinLit
Read Story - Maju Terus Pantang Kurus
MENU
About Us  

Pagi-pagi sekali, Griss sudah berada di kelasnya. Bukan untuk menyalin PR, tapi berangkat pagi sudah menjadi kebiasaannya. Kebiasaan yang berawal dari ketakutan menghadapi orang-orang julid. Griss malas berdesakan di lift dengan orang-orang yang akan membicarakannya secara terang-terangan. Griss juga malas berurusan dengan orang-orang yang selalu menyuruhnya untuk sadar diri.

"Eh Gendut! Ngaca, dong! Minimal diet lah kalau mau deket-deket sama Chill Zone."

"Badan segede gajah, gaya lu mau temenan sama anak-anak kece kayak Juna."

Griss muak dengan kalimat-kalimat itu. Juga dengan kalimat yang sedikit lebih halus, tapi tetap mematikan seperti, "Griss, ajari gue biar nggak insecure, dong! Gue yang langsing segini aja kadang masing minder kalau lihat member Chill Zone. Kok, lo bisa santai main sama Juna dan temen-temennya?"

Santai mbahmu! Dikiranya Griss tidak pernah insecure apa? Griss juga sering merasa minder, setiap hari malah. Griss merasa fisiknya tidak sempurna, merasa tidak memiliki bakat apa-apa, dan merasa hidupnya sama sekali tidak bermakna.

Jangan tanya Griss tip agar tidak insecure, because insecurity is her middle name.

Sama seperti pagi-pagi sebelumnya, Griss menjadi orang pertama yang hadir di kelas. Cewek tembem itu langsung menuju tempat duduknya yang berada di barisan nomor tiga. Dulu, Griss ingin sekali duduk di bangku barisan pertama, tapi tubuhnya yang besar mengganggu anak-anak lain yang duduk di belakangnya, jadi Griss berpindah ke belakang bersama Wina. 

Griss membuka ponselnya sembari menunggu Wina dan bel masuk. Ibu jarinya menggulir layar setelah membuka aplikasi Instagram. Tidak banyak update-an dari akun-akun yang difollow-nya. Kurang dari lima menit scrolling, Griss beralih ke aplikasi WhatsApp.

Grup angkatannya ramai sejak semalam, tapi Griss yang kelelahan setelah berlatih basket bersama Juna, belum sempat ikut nimbrung. Griss lalu membuka chat-chat yang menumpuk itu. Ibu jarinya kembali menggeser layar. Matanya membaca satu per satu pesan dari paling atas.

 

Eh, masa si Gendut makan bareng Chill Zone kemarin

 

Masa, sih? Emang Chill Zone mau makan bareng sama dia?
 

Dia kan lagi sering caper ke Juna, temen2 Juna ga enak aja kali, kalo nolak
 

Makin nyebelin ya, maksudnya apa coba
 

Wkwkwk iri bilang, Boss!
 

Bukan iri, tapi dia tuh harusnya ngaca, dia kan gendut banget, 

masa ga insecure sama sekali? Gue yang alumni model di SMP aja masih suka minder

sama anak-anak Chill Zone, terutama Melodi

 

Dan, parahnya ghes, kemarin ada Kak Mira juga
 

Griss nggak malu gitu sama Kak Mira? Dia kan cantik banget
 

Beauty and The Beast nggak siiii???
 

Tanpa sadar, genggaman Griss pada ponselnya mengetat. Dan, matanya terasa hangat. 

"Griss? Pagi amat, buset!"

Suara dari ambang pintu menghentikan kegiatan Griss. Cewek itu langsung mengantongi ponselnya dan menyengir ketika Awan duduk di kursinya—berada tepat di depan kursi Griss.

"Nggak papa, Wan. Daripada telat." Griss tersenyum rikuh. Sebenarnya, dia tidak terlalu dekat dengan Awan. Mengobrol pun hanya sesekali. Tapi dibanding dengan teman sekelas yang lain, Awan adalah orang yang paling sering mengobrol dengan Griss, setelah Wina. 

"Eh, Griss, hari ini kelas kita jadi praktik basket, nggak, ya?" tanya Awan. Tubuhnya menyerong ke belakang. 

"Kayaknya jadi, deh. Kenapa?" balas Griss.

Awan menepuk jidatnya, seperti baru menyadari ada hal yang janggal. "Gue kayaknya nggak bawa kaos olahraga."

Mata Griss membola. Matilah! Bu Dewi bukanlah sosok guru killer yang tidak disukai banyak siswa, tapi beliau bukan pula guru berhati ibu peri yang tidak akan memarahi murid-muridnya. Tidak ada toleransi untuk anak yang tidak membawa seragam olahraga. Tidak ada remedi untuk anak yang tidak memakai sepatu olahraga. Bu Dewi amatlah tegas. Ketegasannya sampai membuat Griss takut gagal. Maka, meski kakinya masih pegal-pegal setelah latihan kemarin, Griss tetap berangkat ke sekolah untuk penilaian mata pelajaran yang diampu oleh Bu Dewi.

"Sabar ya, Wan. Lo beli lagi aja kalau mau nilai lo aman."

^^^

Setelah istirahat, anak-anak XI IPS 2 yang sudah berganti kaos olahraga dan sepatu olahraga langsung turun ke lapangan. Seharusnya mereka menggunakan lapangan basket indoor untuk penilaian, tapi ruangan itu sedang digunakan untuk persiapan kompetisi yang akan diikuti oleh tim basket sekolah. Jadilah, Bu Dewi menyuruh mereka untuk langsung turun ke lapangan tanpa rumput, yang biasa digunakan untuk upacara, yang letaknya di tengah-tengah bangunan inti Nusa Indah yang berbentuk letter U.

Bu Dewi berdiri di depan barisan anak-anak kelas Griss. Peluit terkalung di lehernya. Tak lama setelah semuanya berkumpul, Bu Dewi menyuruh ketua kelas untuk menyiapkan barisan, serta memimpin pemanasan sebelum penilaian dimulai.

Griss mulai ketakutan. Kegagalan membayang di matanya, entah dalam bentuk gagal memasukan bola, salah teknik pada saat pivot, atau tidak berhasil men-dribble bola dengan benar. Cewek itu terus meremas jari-jarinya. Dia berada di barisan paling belakang, risiko ketahuan tidak fokus pemanasan tidak terlalu besar.

"Griss, lo udah latihan, kan, sama Kak Juna?" Wina berbisik. Dia berada tepat di sebelah Griss, hanya tersekat udara bebas yang memenuhi ruang di antara mereka.

Griss menoleh pada Wina, mengangguk, kemudian tersenyum pedih.

"Tapi gue nggak yakin bisa. Susah soalnya."

Wina mengepalkan tangannya, memberi kekuatan kepada teman sebangkunya. "Semangat! Kak Juna pasti bangga kalau lo berhasil."

Griss tersenyum, kali ini tulus, disertai ucapan terima kasih yang diucapkan tanpa suara.

Setelah pemanasan selesai, Bu Dewi meniup peluitnya, memberi instruksi agar anak-anak lekas berkumpul. 

"Baiklah, untuk pertemuan kali ini, seperti yang sudah saya beri tahu sebelumnya, kita akan mengambil penilaian. Hanya tiga nilai yang akan saya ambil. Dribble, pivot, dan shooting. Ada yang ingin ditanyakan?" Bu Dewi menatap satu per satu anak yang berada di hadapannya. Ketika tatapannya bertumbuk dengan mata Griss, ia tersenyum. "Grissilia, sudah siap?"

Griss yang tidak siap mendengar namanya disebutkan, membulatkan matanya tidak percaya. "Sa-saya, Bu?" ucapnya terbata.

Bu Dewi mengangguk, kemudian mengambil jurnal presensinya. "Ini mau urut nomor presensi atau saya panggil acak?"

Seketika, semua orang jadi heboh. Nama-nama yang biasa disebutkan di awal memilih opsi kedua, tapi anak-anak lain seperti Griss dan Wina memilih opsi pertama dengan alasan tidak suka kejutan. 

Bu Dewi mengangkat satu tangannya sambil meniup peluit panjang untuk meredakan kehebohan. Orang-orang pun langsung diam, memilih aman dengan menjadi siswa penurut daripada membangkang dan mendapatkan azab yang setimpal.

Griss merapat pada Wina yang berdiri bersebelahan dengan Awan. Jarinya yang mengeluarkan keringat dingin saling bertaut. Griss takut. Takut namanya dipanggil pertama kali. Dan, ketakutannya menjadi nyata.

"Grissilia Indhika."

Boom! Kalau ada cara menghilang yang instan, Griss ingin melakukannya.

"Ayo ke tengah. Pertama praktik dribble dulu."

Griss berjalan ke tengah lapangan dengan langkah gemetar. Di otaknya terputar kata-kata Juna saat latihan kemarin.

"You can do it. Percaya sama gue."

Kadang, meski Juna menyebalkan, dia sering meyakinkan Griss bahwa tidak ada yang tidak mungkin kalau dia berusaha.

Griss menarik napas cukup panjang kemudian mengembuskannya. Dia mencoba mengabaikan sorakan orang-orang yang menyemangatinya—semi meledek. Matanya fokus pada bulatan oranye yang kini berada di tangannya.

Griss menoleh pada Bu Dewi. Guru itu pun langsung meniup peluitnya, menyuruh Griss untuk segera melakukan tugasnya.

Bola basket dilempar ke tanah berlapis paving block, kemudian memantul kembali ke telapak tangan Griss yang dibuka. Griss mendorong bola itu kembali ke tanah, dan memantul lagi. Begitu terus sampai Bu Dewi mengganti instruksi.

"Jangan berhenti. Langsung pivot dan shooting!"

Griss melotot. Latihannya kemarin tidak sempurna. Lalu, bagaimana jika kali ini juga gagal? Griss tidak mau nilainya kecil. Dia juga tidak mau dipermalukan.

Fokus Griss terpecah saat mulai memutar badan, menggunakan satu kaki terkuat sebagai tumpuan. Pandangannya mengarah pada keranjang, telinganya menangkap dengungan-dengungan, juga satu suara yang ia kenal di luar kepala. Memanggilnya. Membuatnya tidak fokus.

"GRIZZLY ... LO PASTI BISA!"

Griss melempar bola dengan kekuatan tangannya. Sayang, kekuatannya terlalu besar sehingga bola itu melambung terlalu tinggi, lalu jatuh tidak pada tempatnya.

"ARGH!"

Seseorang berteriak. Mata Griss kontan membeliak. Bolanya baru saja mendarat. Di kepala seseorang. Di kepala ...

"Bang Jay!"

"Kak Jayan ...."

Semua suara di sekitar Griss seolah lenyap. Yang tersisa hanya suara-suara yang berasal dari kepalanya. Bagaimana jika Jayan pingsan? Bagaimana jika dia terluka? Bagaimana jika Griss disalahkan? Bagaimana jika Griss diserbu oleh penggemar Jayan? 

Tidak. Itu tidak boleh terjadi. Gue belum siap jadi Dendeng Grizzly!

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Langkah Pulang
499      344     7     
Inspirational
Karina terbiasa menyenangkan semua orangkecuali dirinya sendiri. Terkurung dalam ambisi keluarga dan bayang-bayang masa lalu, ia terjatuh dalam cinta yang salah dan kehilangan arah. Saat semuanya runtuh, ia memilih pergi bukan untuk lari, tapi untuk mencari. Di kota yang asing, dengan hati yang rapuh, Karina menemukan cahaya. Bukan dari orang lain, tapi dari dalam dirinya sendiri. Dan dari Tuh...
UNTAIAN ANGAN-ANGAN
323      274     0     
Romance
“Mimpi ya lo, mau jadian sama cowok ganteng yang dipuja-puja seluruh sekolah gitu?!” Alvi memandangi lantai lapangan. Tangannya gemetaran. Dalam diamnya dia berpikir… “Iya ya… coba aja badan gue kurus kayak dia…” “Coba aja senyum gue manis kayak dia… pasti…” “Kalo muka gue cantik gue mungkin bisa…” Suara pantulan bola basket berbunyi keras di belakangnya. ...
H : HATI SEMUA MAKHLUK MILIK ALLAH
37      35     0     
Romance
Rasa suka dan cinta adalah fitrah setiap manusia.Perasaan itu tidak salah.namun,ia akan salah jika kau biarkan rasa itu tumbuh sesukanya dan memetiknya sebelum kuncupnya mekar. Jadi,pesanku adalah kubur saja rasa itu dalam-dalam.Biarkan hanya Kau dan Allah yang tau.Maka,Kau akan temukan betapa indah skenario Allah.Perasaan yang Kau simpan itu bisa jadi telah merekah indah saat sabarmu Kau luaska...
Rumah?
59      57     1     
Inspirational
Oliv, anak perempuan yang tumbuh dengan banyak tuntutan dari orangtuanya. Selain itu, ia juga mempunyai masalah besar yang belum selesai. Hingga saat ini, ia masih mencari arti dari kata rumah.
Tic Tac Toe
471      374     2     
Mystery
"Wo do you want to die today?" Kikan hanya seorang gadis biasa yang tidak punya selera humor, tetapi bagi teman-temannya, dia menyenangkan. Menyenangkan untuk dimainkan. Berulang kali Kikan mencoba bunuh diri karena tidak tahan dengan perundungannya. Akan tetapi, pikirannya berubah ketika menemukan sebuah aplikasi game Tic Tac Toe (SOS) di smartphone-nya. Tak disangka, ternyata aplikasi itu b...
Surat yang Tak Kunjung Usai
797      521     2     
Mystery
Maura kehilangan separuh jiwanya saat Maureen saudara kembarnya ditemukan tewas di kamar tidur mereka. Semua orang menyebutnya bunuh diri. Semua orang ingin segera melupakan. Namun, Maura tidak bisa. Saat menemukan sebuah jurnal milik Maureen yang tersembunyi di rak perpustakaan sekolah, hidup Maura berubah. Setiap catatan yang tergores di dalamnya, setiap kalimat yang terpotong, seperti mengu...
Langit-Langit Patah
29      25     1     
Romance
Linka tidak pernah bisa melupakan hujan yang mengguyur dirinya lima tahun lalu. Hujan itu merenggut Ren, laki-laki ramah yang rupanya memendam depresinya seorang diri. "Kalau saja dunia ini kiamat, lalu semua orang mati, dan hanya kamu yang tersisa, apa yang akan kamu lakukan?" "Bunuh diri!" Ren tersenyum ketika gerimis menebar aroma patrikor sore. Laki-laki itu mengacak rambut Linka, ...
Kisah Cinta Gadis-Gadis Biasa
1193      565     2     
Inspirational
Raina, si Gadis Lesung Pipi, bertahan dengan pacarnya yang manipulatif karena sang mama. Mama bilang, bersama Bagas, masa depannya akan terjamin. Belum bisa lepas dari 'belenggu' Mama, gadis itu menelan sakit hatinya bulat-bulat. Sofi, si Gadis Rambut Ombak, berparas sangat menawan. Terjerat lingkaran sandwich generation mengharuskannya menerima lamaran Ifan, pemuda kaya yang sejak awal sudah me...
Love Yourself for A2
28      26     1     
Short Story
Arlyn menyadari bahwa dunia yang dihadapinya terlalu ramai. Terlalu banyak suara yang menuntut, terlalu banyak ekspektasi yang berteriak. Ia tak pernah diajarkan bagaimana cara menolak, karena sejak awal ia dibentuk untuk menjadi "andalan". Malam itu, ia menuliskan sesuatu dalam jurnal pribadinya. "Apa jadinya jika aku berhenti menjadi Arlyn yang mereka harapkan? Apa aku masih akan dicintai, a...
The First 6, 810 Day
746      512     2     
Fantasy
Sejak kecelakaan tragis yang merenggut pendengarannya, dunia Tiara seakan runtuh dalam sekejap. Musik—yang dulu menjadi napas hidupnya—tiba-tiba menjelma menjadi kenangan yang menyakitkan. Mimpi besarnya untuk menjadi seorang pianis hancur, menyisakan kehampaan yang sulit dijelaskan dengan kata-kata. Dalam upaya untuk menyembuhkan luka yang belum sempat pulih, Tiara justru harus menghadapi ke...