Langit mendung menggantung di atas kota Kediri ketika Araka turun dari angkutan umum, mengenakan jaket tua yang tak sepenuhnya menahan dingin. Hatinya gelisah, bukan karena udara atau cuaca, tetapi karena bisikan samar yang sudah berhari-hari mengganggunya. Sebuah panggilan halus di kepalanya—tuntunan dari sesuatu yang tak kasat mata, namun terasa mendesak.
"Sinkronisasi lokasi: 84%. Titik resonansi emosional mendekati maksimal. Prioritas: kunjungi lokasi yang dikenali oleh identitas lama."
Suara ORIGIN menggema dalam pikirannya, tenang namun pasti. Sejak fragmen Spiral Helm pertama dan kedua ditemukan, Araka merasa ORIGIN menjadi semakin kuat, seolah daya ingatnya memberi energi baru pada sistem itu. Dan kini, sistem itu menuntunnya ke satu tempat: SMA Negeri 2 Kediri.
Bayu, yang kini menjadi adik seperjalanannya, sedang bersekolah di sana. Tapi bukan itu alasan Araka datang. Ia berdiri mematung di depan gerbang sekolah, tangannya menyentuh pagar besi yang dingin. Saat jari-jarinya menyentuhnya, kilatan ingatan langsung menyambar.
Koridor dengan lampu temaram. Suara tawa. Sebuah kelas dengan meja yang menghadap ke arah barat, tempat senja paling indah. Dan di atas semuanya—atap sekolah yang penuh bintang.
Ia melangkah pelan, izin masuk sudah diurus Bayu melalui guru sejarah mereka, Bu Wati. Hari itu adalah Sabtu, dan sekolah sepi. Namun bagi Araka, tempat ini hidup. Setiap bayang-bayang memanggilnya pulang.
"Resonansi emosional mendekati maksimum. Aktivasi potensi memori jangka panjang."
ORIGIN kembali bicara saat Araka menaiki tangga menuju lantai tiga. Tangannya menyusuri dinding yang terasa familiar. Sebuah pintu tua bertuliskan: Ekstrakurikuler Astronomi menarik perhatiannya. Ia membuka perlahan. Bau kertas tua dan logam karatan menyambut.
Di dalamnya, rak-rak berisi teleskop rusak, sketsa langit, dan catatan pengamatan. Araka mengambil salah satu map lusuh bertuliskan: PROJECT WATCHTOWER (2015–2017). Tangannya gemetar saat membukanya.
Foto-foto tua. Tiga remaja berdiri di atap sekolah. Salah satunya adalah dia—lebih muda, senyumnya sedikit canggung. Di sampingnya, seorang gadis berambut sebahu tersenyum sambil memegang termos. Rana. Namanya langsung menyayat pikirannya.
"Identitas Rana: mitra observasi, keterikatan emosional signifikan. Memori primer terkunci. Sumber pemicu: lokasi observatorium atap."
Araka menutup map itu perlahan dan menatap tangga menuju atap. Langkah kakinya mantap meski hatinya mulai sesak. Setiap anak tangga membawa beban waktu. Dan ketika ia mendorong pintu besi menuju atap, angin sore menyambut dengan kelembutan yang menyesakkan.
Langit terbuka lebar di atasnya. Mega tipis melayang di antara Venus dan Mars yang mulai muncul. Di pojok atap, di balik menara air, sebuah kubah observatorium kecil masih berdiri—retak, berlumut, namun bertahan.
Ia masuk. Teleskop tua masih di sana. Rak berdebu. Di dinding, coretan tangan remaja tertulis dengan spidol: "Bintang bukan untuk ditaklukkan, tapi untuk dimengerti."
Dan di pojok, di bawah kain usang, sebuah jurnal kulit berinisial R.T. menanti. Araka meraihnya, membukanya perlahan. Halaman pertama membuat napasnya tercekat:
"Untuk Araka, yang selalu percaya bahwa waktu bisa dilipat seperti kertas. Kalau kamu membaca ini... berarti kamu kembali."
—Rana.
Araka berjongkok di lantai atap, menggenggam jurnal itu seolah ingin meremas waktu.
"Proyeksi holografik dapat diaktifkan. Fragmen memori emosional tersedia. Aktivasi?"
Araka mengangguk pelan. Cahaya biru memancar dari liontin di dadanya. Dan dari ruang kosong, muncul bayangan holografis seorang gadis, duduk di tempat yang sama dengan termos dan teh hangat di tangan. Suaranya mengalun, bukan dari masa lalu—tapi dari kenangan yang belum selesai.
"Araka, kalau suatu saat kamu lupa... kembalilah ke langit. Karena di sanalah kita pernah berjanji. Bukan untuk menaklukkan waktu. Tapi untuk menjaganya."
Air mata mengalir di pipi Araka. Bintang-bintang mulai bermunculan. Dan ia tahu, ini baru permulaan.
Bayu berlari kecil menaiki tangga ke atap sekolah, napasnya memburu. Ia mendapat pesan dari ORIGIN yang hanya berisi satu kalimat: "Dia telah kembali ke tempat di mana segalanya dimulai." Hatinya langsung tahu—Araka kembali ke atap itu.
Begitu ia membuka pintu besi tua yang berderit, sosok kakaknya telah berdiri membelakangi, menatap langit yang perlahan menggelap. Di tangannya, sebuah jurnal terbuka, dan di sekelilingnya, aura samar biru masih mengambang, seperti debu bintang yang belum mengendap.
"Kak..." suara Bayu lirih, nyaris tak terdengar oleh angin sore.
Araka menoleh perlahan. Ada bekas air mata di pipinya, tapi sorot matanya lebih jernih dari sebelumnya. "Bayu. Aku ingat. Tempat ini... kita pernah mengamatinya bersama. Tapi dulu... bukan kamu yang bersamaku."
Bayu melangkah mendekat, memandangi dinding penuh coretan. Ia sudah sering ke atap ini sebagai bagian dari klub astronomi baru, tapi tidak pernah menyadari bahwa tempat ini dulu adalah milik Araka juga. "Rana... ya?"
Araka mengangguk pelan. "Dia bukan hanya temanku. Dia yang membuatku percaya bahwa langit bukan cuma kumpulan bintang. Tapi arsip. Arsip waktu."
ORIGIN memproyeksikan kembali gambar holografis Rana, kali ini dengan catatan suara baru:
"Araka, kalau kau membaca bagian ini, berarti kemungkinan dunia kita sudah mulai retak. Ingat perhitungan kita soal anomali waktu? Aku menyelipkan koordinatnya di jurnal halaman terakhir. Tapi kau harus berhati-hati. Karena pengamat dari masa depan—mereka juga mengincarnya."
Bayu terdiam. "Jadi... ini bukan hanya tentang ingatan masa lalu, tapi misi yang belum selesai?"
"Ya," jawab Araka. "Dan itu semua... dimulai dari tempat ini. SMA ini bukan hanya tempat belajar. Tapi markas pertama kita. Titik awal Project Watchtower."
Bayu menyentuh teleskop yang berdebu. "Kamu tahu, klub Astronomi sekolah masih hidup. Tapi sekarang cuma belajar teori. Nggak ada yang tahu dulu tempat ini pernah jadi observatorium aktif."
Araka tersenyum tipis. "Sudah waktunya mereka tahu. Tapi lebih dari itu... sudah waktunya aku mengaktifkan ulang apa yang dulu kami sembunyikan."
Ia membuka jurnal ke halaman terakhir. Terselip kertas tipis bergambar peta bintang dan catatan koordinat lokal. Di bawahnya, tulisan tangan: "Ruang di bawah observatorium. Kode akses: 197-XR."
Araka dan Bayu menatap satu sama lain. Mereka tahu apa artinya ini: sebuah tempat tersembunyi, kemungkinan menyimpan teknologi, artefak, atau informasi penting yang ditinggalkan oleh Araka dan Rana—dan mungkin, bisa menjelaskan kenapa anomali waktu mulai muncul di Kediri.
"Ayo," ucap Araka mantap.
Mereka membuka panel lantai di pojok ruangan observatorium, yang tertutup karpet dan papan kayu tua. Di baliknya—tangga menurun ke ruangan gelap yang sudah lama terkunci dari dunia luar.
Dan begitu pintu terbuka, udara dingin dari masa lalu menyambut mereka.
Tangga sempit itu terbuat dari logam berkarat, gemeretaknya menggema di ruang sunyi. Araka menyalakan lampu dari liontin Spiral Helm yang kini menyala lembut, menerangi lorong sempit ke bawah tanah. Langkah mereka mantap, meski suasananya seolah menelan suara.
Di dasar lorong, mereka menemukan pintu baja kecil dengan pemindai numerik. Araka memasukkan kode yang tertulis di jurnal: 197-XR. Lampu hijau menyala. Pintu terbuka perlahan, mengeluarkan desis udara lama.
Ruangan itu berisi perangkat elektronik tua, panel kontrol, monitor tabung, dan satu terminal utama yang tampaknya mati—hingga Araka mendekat. Tanpa perlu disentuh, terminal menyala. Tulisan tua muncul di layar:
"SELAMAT DATANG KEMBALI, ARAKA."
Bayu melongo. "Ini... sistem lama? Tapi kok bisa tahu namamu?"
"Bukan sistem biasa," jawab Araka pelan. "Ini versi pertama ORIGIN. Yang kami tanam di sistem sekolah, waktu Project Watchtower pertama kali kami rancang."
Layar berganti. Proyeksi holografik menunjukkan peta wilayah Kediri dengan titik-titik bercahaya—anomali waktu. Sebagian sudah aktif. Sebagian lain... berada di tempat yang belum mereka kunjungi.
"Sisa fragmen Spiral Helm ketiga terdeteksi. Lokasi: koordinat 7°49′S 112°0′E — titik nol aktif."
Bayu menyipitkan mata. "Itu... koordinat awal kamu ditemukan, kan? Di sawah waktu kamu bangun pertama kali?"
Araka mengangguk. "Itu bukan kebetulan. Spiral Helm bukan hanya alat—tapi magnet. Dia menarik kita ke titik-titik simpul sejarah. Dan sekarang kita tahu: fragmen ketiga... ada di tempat semuanya bermula."
Tiba-tiba, alarm merah menyala di ruangan.
"Interferensi dimensi terdeteksi. Sinyal musuh masuk ke wilayah SMA 2 Kediri. Perluas radius isolasi temporal."
Araka dan Bayu saling pandang. "Mereka menemukan kita."
Bayu mengepalkan tangan. "Apa yang harus kita lakukan?"
Araka berjalan ke terminal dan menekan tombol holografik. Cahaya biru menyelimuti mereka.
"Kita bawa sistem ini keluar. Kita tak bisa bertahan di tempat lama. Tapi yang lebih penting—kita harus mendahului mereka ke titik nol."
Dan di saat terakhir sebelum keluar, ORIGIN memutar satu arsip audio lama. Suara Rana, dalam format rekaman yang tak pernah diputar sebelumnya:
"Araka... kalau kamu berhasil dengar ini, artinya satu hal: kamu belum terlambat. Tapi waktu kita sempit. Dan musuh kita... bukan cuma dari masa depan. Mereka pernah menjadi bagian dari kita sendiri."
Suara sirine temporal terus bergaung bahkan setelah mereka naik kembali ke observatorium. Bayu menggandeng koper logam kecil berisi inti sistem ORIGIN lama, sementara Araka memindai lingkungan sekitar dengan mata tajam dan liontin yang kini bersinar intens.
Begitu mereka menutup panel lantai, ORIGIN memberikan peringatan terakhir:
"Radius isolasi bertahan untuk 13 menit 26 detik. Evakuasi direkomendasikan segera."
Mereka berlari menyusuri koridor sekolah yang lengang. Setiap jendela dan pintu seperti mengawasi, mencatat langkah mereka dalam kesunyian. Bayu menunjuk ke arah ruang komputer yang sudah lama tak dipakai.
"Kita bisa pakai server lama buat nyimpan cadangan sistem ORIGIN," katanya cepat.
Araka mengangguk dan menghubungkan terminal. Sementara transfer berlangsung, ia menatap langit senja yang mulai berubah warna dari jendela. Di kejauhan, ada suara gemuruh—bukan badai, tapi sesuatu yang melanggar batas dimensi.
"Anomali mendekat. Deteksi entitas non-lokal: kode DN-Δ03."
Bayu menatap Araka. "Itu... mereka?"
"Ya. Para pengamat dari masa depan," jawab Araka tenang, namun sorot matanya menyala. "Mereka dulu bagian dari kami. Dulu percaya. Tapi mereka memilih stabilitas, bukan kebenaran."
Tiba-tiba, lantai bergetar. Sekilas, sosok seperti bayangan transparan muncul di ujung koridor—tinggi, berwajah kabur, membawa perangkat bundar berkilauan.
"Bayu, siapkan perangkat pemutus lintasan waktu," perintah Araka cepat.
Bayu membuka koper kedua dan mengaktifkan satu silinder kecil. Begitu diputar, udara di sekeliling mereka seperti ditarik masuk, menciptakan zona hening total.
"Jalur dimensi tertutup. Anomali tertahan selama 86 detik."
"Cukup untuk kabur," ucap Araka sambil menarik Bayu menuju pintu belakang sekolah.
Begitu mereka keluar, langit malam sepenuhnya terbuka. Tapi bukan langit yang biasa. Konstelasi bergerak perlahan, seolah waktu sendiri bergeser. Venus bercahaya merah, dan di tengah langit, satu bintang baru menyala terang—tanda dimulainya fase ketiga Spiral Helm.
ORIGIN bersuara:
"Fragmen ketiga Spiral Helm aktif. Titik nol menanti."
Araka menatap Bayu. "Ini bukan pelarian. Ini pengaktifan. Mulai malam ini, kita bukan cuma pengamat sejarah. Kita penjaga jalur waktu."
Bayu mengangguk, matanya penuh tekad.
Dan dengan langkah menyatu, mereka berjalan menuju koordinat 7°49′S 112°0′E—menuju titik awal dari sesuatu yang lebih besar dari apa pun yang pernah mereka bayangkan.