Tidak mudah memulai sesuatu yang baru, tapi setiap langkah yang diambil adalah bagian dari perjalanan yang tak terpisahkan dari kenangan lama. Masa lalu bukanlah sesuatu yang harus ditinggalkan, karena ia adalah bagian dari siapa kita sekarang. Yang penting, belajar untuk melangkah maju tanpa melupakan apa yang telah membentuk kita.
Terik matahari menyambut pagi dengan suasana baru bagi Haikal. Tidak seperti hari-hari sebelumnya, malam tadi ia tertidur pulas, jauh dari kengerian yang selalu mengintai dalam tidurnya. Sensasi hangat dari sinar matahari yang masuk melalui celah tirai jendela terasa menenangkan, seolah dunia memberikan kesempatan baru baginya. Tirai jendela yang sudah dibuka menampilkan pemandangan di luar, dengan tanaman hias yang tumbuh subur memberikan udara sejuk ketika ia membuka jendela.
Dari jendela kamar, Haikal melihat Aira, gadis kecil yang semalam memberikan senyuman manis itu. Aira Azlea, gadis berusia tiga bekas tahun yang hanya selisih dua tahun darinya. Aira sedang mengenakan sepasang sepatu putihnya dengan ceria, bersiap untuk berangkat sekolah. Langkah kecilnya yang lincah memberi kesan begitu segar, seperti hari yang baru dimulai dengan penuh harapan. Sementara sang ayah, pria paruh baya yang telah menolong Haikal, sedang sibuk menjemur pakaian di halaman depan, tampak begitu sederhana namun penuh kasih. Rumah ini terbilang jauh dari jalan utama. Hanya ada jalan setapak kecil yang memisahkan rumah-rumah dengan jarak yang cukup jauh, seakan setiap penghuni memiliki dunia mereka sendiri.
Setelah Aira menghilang di balik sudut jalan, Haikal merasa sedikit lega, seolah dunia itu miliknya untuk sejenak. Mengambil napas dalam-dalam, ia memberanikan diri untuk keluar dari kamar. Langkahnya pelan, hati sedikit berdebar. Ia berjalan menuju beranda rumah, menunggu lelaki paruh baya itu, berharap dapat mengucapkan terima kasih meskipun kata-kata terasa sulit keluar. Sejenak, suasana di sekitar terasa begitu tenang, bahkan suara angin yang menyusuri celah-celah daun terdengar menenangkan. Haikal merasa ini adalah awal yang baru, dan ia hanya berharap bisa memulai sesuatu yang lebih baik.
"Ayo, sarapan dulu." Dengan tangan yang memegang ember berisi pakaian, pria paruh baya yang akrab disapa Pak Brata itu mengajak Haikal untuk menikmati sarapan pagi di meja makan.
Namun, Haikal merasa ada yang ganjil. "Kenapa Bapak nggak sarapan juga?" tanyanya sambil menatap Pak Brata, yang justru sibuk melipat pakaian dan menyetrika di dekat meja makan.
Pria itu tersenyum tipis tanpa menghentikan pekerjaannya. "Nanti saja, Nak. Sarapanmu dulu yang penting. Kalau sudah selesai, kita bisa ngobrol."
Haikal menunduk, menyantap makanan perlahan sambil mencuri-curi pandang. Suara berita pagi dari televisi mengisi keheningan, bersatu dengan suara halus setrika yang bergerak di atas kain. Meski situasinya terasa asing, Haikal merasakan sesuatu yang sudah lama hilang dalam hidupnya—kehangatan. Suasana ini tak pernah ia bayangkan akan dirasakan lagi, sebuah momen sederhana yang membuatnya merasa seperti berada di tengah keluarganya sendiri.
Untuk sesaat, ia lupa pada dinginnya malam-malam sebelumnya, pada rasa asing yang selalu menghantuinya. Pagi ini, untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa tenang. Seolah-olah tak ada yang salah dengan dunia.
"Pak, nanti siang saya izin pamit, ya. Terima kasih banyak sudah mengizinkan saya bermalam di sini," ujar Haikal dengan suara lirih, duduk di samping Pak Brata.
Pria paruh baya itu menghentikan aktivitasnya sejenak, mengecilkan volume televisi. Pandangannya beralih pada anak laki-laki kurus di hadapannya, wajahnya memendam banyak cerita. Sejenak, ia teringat pada dirinya sendiri di masa kecil—saat dunia terasa terlalu dingin, dan tak seorang pun peduli.
"Kamu mau ke mana setelah ini? Kenapa semalam tidur di tempat gelap begitu?" tanyanya, nada suaranya lembut tapi tegas, penuh perhatian.
Haikal menunduk, tangannya gelisah meremas ujung kaos yang sudah usang. "Saya... saya nggak tahu, Pak. Saya nggak punya tempat lain buat pulang," jawabnya terbata, suaranya nyaris tenggelam oleh keheningan ruang.
Dahi pria paruh baya itu berkerut samar. Tatapannya tajam, seolah mencoba membaca lebih dalam dari kata-kata yang akan keluar dari mulut Haikal. “Memangnya kamu asalnya dari mana?” tanyanya, suaranya rendah namun penuh rasa ingin tahu.
Haikal menarik napas panjang, mencoba menata kalimatnya. “Saya besar di panti asuhan dekat daerah sini, Pak. Dua tahun lalu, setelah ibu panti meninggal, saya memutuskan merantau ke Jakarta. Awalnya semuanya baik-baik saja, tapi... karena satu dan lain hal—ada kesalahpahaman—saya akhirnya kembali ke Bandung. Saya nggak berniat balik ke panti, jadi sekarang saya berusaha cari pekerjaan di sini,” jelasnya dengan suara berat, matanya berkaca-kaca namun tetap menatap ke depan.
Pak Brata terdiam sejenak. Kata-kata Haikal menggetarkan hatinya, membuka luka lama yang dulu sempat ia tutup rapat. Anak sekecil ini, pikirnya, sudah harus bergulat dengan kerasnya hidup. Ia menarik napas pelan, menenangkan gelombang emosi yang tiba-tiba melanda.
“Ya sudah,” ujarnya, suaranya kini lebih lembut. “Kamu tinggal di sini saja.”
Begitu saja. Tanpa banyak pertimbangan.
Haikal terperangah, tak percaya dengan kemudahan jawaban itu. Mata kecilnya menatap Pak Brata, mencari tanda-tanda keraguan. Tapi pria paruh baya itu hanya duduk tenang, menyandarkan tubuhnya sambil mengalihkan pandangan ke luar jendela.
Seolah keputusan itu adalah hal paling wajar di dunia.
“Nggak bisa, Pak,” ucap Haikal cepat, suaranya penuh kegelisahan. “Saya harus cari pekerjaan. Saya nggak bisa begitu saja datang dan tinggal di sini, bergantung sama Bapak. Saya nggak mau terus-terusan menyusahkan orang lain.” Nada suaranya terdengar berat, seolah ucapan itu datang dari luka yang sudah lama ia pendam.
Pak Brata tersenyum tipis, tapi tatapannya tetap tenang. “Kalau begitu, kamu kerja di rumah makan saya. Harusnya kamu bisa, kan?”
Haikal tertegun. Kata-kata itu sederhana, namun terasa seperti pintu baru yang perlahan terbuka di depannya. Tanpa berpikir panjang, ia mengangguk pelan. “Baik, Pak,” jawabnya dengan suara nyaris berbisik, seolah masih tak percaya pada apa yang baru saja ia setujui.
Dalam hatinya, Haikal tahu ia tak punya pilihan lain. Hidupnya tak lagi memiliki arah yang jelas, dan tawaran Pak Brata adalah satu-satunya pijakan yang tersisa. Meski begitu, ia sudah berjanji pada dirinya sendiri—ia tak akan menjadi beban. Bahkan jika harus bekerja tanpa bayaran, ia akan melakukannya. Bisa mendapatkan tempat tinggal saja sudah lebih dari cukup baginya.
Di dalam keheningan yang menggantung, Haikal mencuri pandang ke arah Pak Brata. Pria paruh baya itu hanya menatapnya dengan ekspresi yang sulit ditebak, seolah memahami seluruh beban yang ada di pundaknya. Dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Haikal merasa ada seseorang yang benar-benar peduli.
"Nanti siang, kita ke pasar dulu, ya. Kamu pasti butuh perlengkapan lain," ujar Gibran dengan nada tenang, tapi penuh perhatian.
Betapa baiknya pria paruh baya itu, pikir Haikal. Meski hidupnya sederhana dan hanya tinggal berdua bersama putri semata wayangnya, Pak Brata selalu memastikan kebahagiaan orang-orang di sekitarnya. Sejak istrinya wafat bertahun-tahun lalu, ia dipaksa menjadi sosok yang kuat, seorang ayah sekaligus ibu bagi Aira.
Aira Azlea, gadis kecil yang menjadi cahaya hidupnya, adalah anak yang sangat diinginkan kehadirannya. Bahkan, sang istri rela mempertaruhkan nyawa demi kelahirannya. Sejak kehilangan sang istri, beliau bertekad untuk tidak membiarkan kesedihan berlama-lama tinggal di rumah mereka. Ia selalu berusaha menciptakan ruang kecil yang hangat dan bahagia, meski hatinya sendiri kadang diliputi kerinduan yang tak terkatakan.
Kini, dengan kehadiran Haikal, ia berharap ada keseimbangan baru. Setidaknya, mungkin Aira tak lagi merasa kesepian saat ia sibuk bekerja di rumah makan kecil mereka. Rumah makan sederhana itu mungkin tak besar, tapi menjadi ladang rezeki yang cukup untuk menjaga roda kehidupan mereka tetap berjalan dengan bahagia.
Pak Brata memandang ke arah Haikal sejenak, lalu tersenyum tipis. "Semoga kamu senang tinggal di sini, ya," gumamnya pelan, seperti berbicara pada dirinya sendiri. Ada harapan di balik kata-kata itu—bahwa kehadiran Haikal akan membawa kebaikan, tak hanya bagi bocah itu, tetapi juga untuk keluarga kecil mereka.
***
Beberapa hari tinggal bersama keluarga kecil ini, Haikal mulai merasakan sesuatu yang sudah lama hilang dari hidupnya—rasa nyaman. Ia tak lagi harus bangun dini hari, tergesa-gesa bersiap untuk kerja seperti dulu. Kini ia bisa menikmati pagi yang tenang, sarapan bersama di meja makan, bercengkerama dengan mereka yang benar-benar peduli.
Ini semua adalah kemewahan yang dulu tak pernah ia rasakan. Saat tinggal di panti, Haikal jarang sekali ikut makan bersama anak-anak lainnya. Bulian yang ia terima membuatnya lebih sering memilih menyendiri. Tak ada yang benar-benar merangkulnya. Baik di panti maupun di tempat kerja, orang-orang lebih sibuk dengan kebahagiaan mereka sendiri, seolah-olah Haikal hanyalah bayang-bayang gelap yang membawa kesedihan.
"Kal, kamu kalau sekolah, harusnya udah kelas 1 SMA, ya?" tanya Pak Brata tiba-tiba, memecah keheningan di sela-sela makan pagi.
Haikal yang sedang mengunyah perlahan menelan makanannya. Ia mengangguk pelan, lalu menjawab dengan suara rendah, "Iya, Pak. Tapi Haikal dulu cuma sampai kelas 1 SMP. Itu pun nggak selesai, cuma setengah semester."
Pak Brata meletakkan sendoknya, menatap Haikal dengan mata yang penuh perhatian. "Kalau gitu, kamu mau sekolah lagi?" tanyanya lembut, tapi penuh makna.
Haikal terdiam. Pertanyaan itu seperti menghentikan waktu sesaat. Ia tak tahu harus menjawab apa. Pikiran tentang sekolah sudah lama ia kubur dalam-dalam, terkubur bersama mimpi-mimpinya yang ia pikir tak lagi mungkin diraih. Namun, cara Pak Brata mengatakannya membuat sesuatu di dalam dirinya bergetar—seperti harapan kecil yang mencoba muncul kembali ke permukaan.
"Kal, Bapak nanya, loh. Kamu mau, kan, melanjutkan sekolah lagi?" suara beliau terdengar lembut tapi penuh penekanan, seperti ingin memastikan pertanyaannya sampai ke hati Haikal.
Haikal menunduk, jemarinya gelisah memainkan sudut serbet di pangkuannya. "Haikal nggak bisa, Pak," jawabnya pelan, hampir berbisik. "Untuk makan saja, bukankah Haikal sudah banyak merepotkan Bapak?" Matanya tetap tertunduk, seolah takut bertemu tatapan Pak Brata.
Pria paruh baya itu tersenyum tipis, lalu menggeleng perlahan. "Besok kita ke sekolahnya Aira, ya. Ijazah dan surat-surat pelengkapmu masih kamu bawa, kan?" tanyanya, sambil memperhatikan raut wajah Haikal yang berubah kaku. Setelah menghela napas panjang, ia menambahkan, "Kal, masalah uang kamu nggak perlu khawatir. Bapak sudah cukup senang karena kamu mau tinggal di sini. Rumah jadi lebih ramai, dan Aira juga kelihatan bahagia. Sekarang dia nggak sendirian lagi, malah punya kakak laki-laki juga."
Haikal terdiam, menatap Pak Brata dengan mata berkaca-kaca. Kata-kata itu terasa hangat, seperti pelukan yang tak pernah diduga akan ia terima. Selama ini ia berpikir kehadirannya hanya akan menjadi beban, tapi pria itu... pria itu justru bersyukur atas keberadaannya. Untuk pertama kalinya, Haikal merasa dirinya berarti bagi seseorang.
Keduanya larut dalam perbincangan penuh keharuan. Meski Haikal bukan darah dagingnya sendiri, Pak Brata menunjukkan kasih sayang yang tulus, seakan bocah itu adalah bagian dari keluarganya sejak lama. Tak ada sekat, tak ada perbedaan—kasih yang ia curahkan untuk Haikal sama besarnya dengan cinta yang selama ini ia berikan pada Aira, putri semata wayangnya.
Pak Brata memahami benar, bahwa Haikal membutuhkan tempat untuk pulang, bukan hanya dalam bentuk rumah, tapi juga hati yang menerima. Dalam setiap kata dan perhatian yang ia tunjukkan, terasa hangatnya sosok seorang ayah—bukan karena kewajiban, melainkan karena cinta yang lahir dari keikhlasan. Haikal sendiri masih kerap terkejut dengan penerimaan itu, seolah tak percaya ada seseorang yang benar-benar melihatnya, bukan sebagai beban, melainkan sebagai bagian dari keluarga.
Di ruang kecil itu, tanpa banyak kata yang besar, dua hati yang berbeda latar belakang kini mulai saling mengisi. Sebuah awal baru, yang perlahan-lahan membangun kembali rasa percaya Haikal terhadap arti keluarga dan kasih sayang sejati.
Setelah Pak Brata dan Haikal menyelesaikan pendaftaran di sekolah Aira, keduanya memutuskan mampir ke toko perlengkapan sekolah sebelum pulang. Beruntungnya, karena Haikal sering mendapat prestasi sewaktu masih bersekolah, ia tidak harus mengulang pelajaran kelas satu, melainkan dimasukkan ke kelas yang sama dengan Aira.
Begitu tiba di toko perlengkapan sekolah, mereka membeli beberapa buku dan seragam putih-biru untuk Haikal. Berboncengan dengan motor, Haikal hanya mampu menatap punggung Pak Brata yang masih tampak tegap, meski usia sudah tidak muda lagi. Tidak ada kata yang keluar dari mulut mereka, hanya suara mesin motor yang mengisi keheningan, sementara dua laki-laki yang baru terikat oleh sebuah keputusan besar itu berlarut dalam pikiran masing-masing.
Saat tiba di rumah, Pak Brata dengan cermat mulai membandingkan ukuran seragam yang pas untuk Haikal. Wajahnya tampak serius, seolah setiap pengukuran membawa kenangan yang sulit ia lupakan. Ia teringat kembali masa-masa ketika Aira masih kecil, ketika ia masih dengan penuh cinta menyiapkan segala keperluan sekolah putrinya. Namun sejak Aira memasuki usia remaja, semuanya mulai berubah. Ada jarak yang tak terucapkan, dan sedikit rasa canggung setiap kali harus berbicara tentang hal-hal yang dulu begitu alami antara mereka—terutama setelah Aira mulai mengenal dunia yang lebih luas, dan mulai merasa risih dengan perhatian ayahnya yang terlalu dekat.
Melihat Haikal berdiri di depannya, Pak Brata merasa seolah kembali ke masa itu—seolah ia sedang menyiapkan keperluan sekolah putrinya lagi, meskipun Haikal bukan anak kandungnya. Ada campuran rasa antara kebingungan dan rasa syukur yang mendalam, karena untuk pertama kalinya sejak kehilangan istrinya, hidupnya kembali terasa penuh dengan tawa dan harapan baru.
“Loh, bukannya anak kamu perempuan, ya, Ta?” Ibu pemilik toko itu bertanya, sambil melirik ke arah Haikal dengan penasaran. Matanya sesekali mengarah pada Pak Brata yang sibuk mengecek perlengkapan lainnya. Perempuan itu lantas hanya memberikan senyum tipis, seolah tak ingin mengganggu Pak Brata yang tampak fokus pada urusan belanja.
Setelah membayar, keduanya pun kembali pulang ke rumah. Hari itu, beliau sengaja menutup sementara rumah makan miliknya. Ia ingin sepenuhnya fokus mengurus keperluan Haikal—sebuah kesempatan langka yang tak ingin ia sia-siakan.
“Pak, apa nggak sebaiknya kita buka restoran setengah hari saja? Biar Haikal yang jaga di sana,” ujar Haikal, berpikir keras mencari cara agar semuanya tetap berjalan lancar.
Pak Brata tertawa pelan, lalu menatap Haikal dengan tatapan penuh kebijaksanaan. “Kal, menutup restoran sehari nggak akan bisa mengembalikan saat-saat bahagia ini,” jawabnya, suaranya penuh kehangatan. “Akhirnya, setelah sekian lama, Bapak bisa mengurus keperluan sekolah anak-anak. Kamu tahu kan, Aira nggak mau lagi ada yang nyentuh barang-barangnya. Sekarang, dia udah bisa nyembunyiin rahasia-rahasianya sendiri.” Ia mengakhiri kalimatnya dengan kelakar, mengingatkan Haikal akan sikap Aira yang mulai tumbuh menjadi gadis remaja yang mandiri.
Di tengah pembicaraan itu, ada senyum tipis di wajah Pak Brata, mencerminkan kebanggaan dan kebahagiaan yang belum pernah ia rasakan sejak istrinya meninggal. Momen sederhana ini—berdua dengan Haikal dan Aira—merupakan hadiah yang tak ternilai baginya.
Haikal yang mendengar perkataan Pria paruh baya itu, hanya bisa tersenyum, tak bisa memaksakan kehendaknya pada keputusan sang ayah angkat. Dengan tawa ringan, ia kembali melanjutkan menulis namanya di buku tulis, seolah dunia ini miliknya seutuhnya. Jujur saja, ia merasa sangat bahagia menikmati momen-momen sederhana seperti ini—sesuatu yang dulu terasa begitu jauh dari jangkauan. Setelah sekian lama, akhirnya ada seseorang yang benar-benar peduli padanya, yang memperhatikannya tanpa menghakimi. Namun, meski kebahagiaan itu meresap perlahan dalam dirinya, kenangan tentang Ibunya tetap terpatri dalam hati, tak bisa begitu saja dilupakan. Wajah lembut ibunya, dan suara lembut yang selalu menenangkan, terus bergema di ingatan Haikal, meski kini ada kehangatan baru yang mencoba mengisi kekosongan itu.
Dini hari, Pak Brata sudah lebih dulu berada di rumah makan. Ia sudah berkutat dengan aneka bumbu dan bahan masakan, dari sayur mayur segar hingga tempe tahu yang sudah siap dimasak. Suasana di dapur tampak penuh aktivitas, dengan wajan yang berdenging di atas api, dan aroma rempah yang menggoda menyebar di seluruh ruangan. Di tengah kesibukannya, seorang wanita berusia sekitar enam puluhan, tetangga dekat mereka, datang dengan senyuman lebar. Setiap pagi, setelah membawa pesanan ikan segar dari kios langganan di pasar, ia selalu menyempatkan diri untuk membantu Pak Brata di dapur. Wanita itu sudah seperti bagian dari keluarga mereka—selalu siap membantu tanpa banyak bicara, memberikan sedikit keceriaan di tengah kerja keras yang tak pernah ada habisnya.
Tak lama, Aira muncul dengan seragam rapi dan rambut yang dicepol kuda, terlihat begitu cantik meski simpel. Ia sudah terbiasa sarapan di toko, terutama jika sang ayah harus lebih awal datang ke tempat ini. Di belakangnya, seorang anak laki-laki yang juga mengenakan seragam rapi ikut mendekat, menghampiri Pak Brata yang kini terpaku, memperhatikan penampilan Haikal dengan mata penuh kebanggaan.
“Wah, kamu terlalu baik, Ta,” ujar Bu Ritma sambil menggelengkan kepala, terkesan melihat Haikal yang tampak begitu rapi. “Sampai mau menyekolahkan anak ini juga. Kalau Haikal sekolah, siapa yang bantu-bantu kamu di sini, Ta?” Suaranya sedikit bernada protes, seolah tak mengerti keputusan Pak Brata yang begitu besar hati.
Pak Brata hanya tersenyum tipis, tidak membalas kata-kata Bu Ritma. Ia malah lebih fokus pada Haikal, merapikan dasi anak angkatnya yang sedikit miring. Dengan lembut, ia menepuk bahu Haikal pelan, sebuah gestur sayang yang menyiratkan bahwa, bagi pria itu, Haikal bukan lagi anak asing. Tanpa menanggapi keluhan Bu Ritma lebih lanjut, ia mulai menyiapkan sarapan pagi untuk kedua anaknya.
Setelah Haikal dan Aira berangkat sekolah, Pak Brata menghampiri Bu Ritma yang masih terlihat menggerutu, jelas tidak terima dengan sikapnya yang diabaikan. “Bu, saya mohon, jangan berbicara seperti tadi di hadapan kedua anak saya, terutama Haikal,” ucapnya dengan nada tegas namun penuh pengertian, matanya menatap Bu Ritma serius.
“Dia itu hanya orang asing, Ta. Bagaimana bisa kamu begitu saja menerima kehadirannya, memberi tempat tinggal, dan sekarang malah menyekolahkan dia? Aira juga akan butuh biaya lebih besar ke depannya,” jawab Bu Ritma, tetap dengan nada khawatir.
Pak Brata menghela napas panjang, lalu menatap Bu Ritma dengan penuh keyakinan. “Haikal sekarang adalah anak saya,” jawabnya dengan tegas, suaranya penuh keteguhan. “Jadi, tolong jangan pernah mengatakan kalau dia orang asing. Masalah ke depannya, Tuhan selalu ada, Bu. Saya tidak seharusnya mengkhawatirkan banyak hal yang di luar batas kemampuan saya.”
Ada ketenangan dalam suara beliau, meski itu datang dari sebuah keputusan besar. Ia tahu bahwa keputusan ini bukan hanya untuk Haikal, tetapi juga untuk keluarganya—untuk Aira, untuk dirinya sendiri. Dengan hati yang penuh kasih, ia percaya bahwa apapun yang terjadi, mereka akan menghadapinya bersama.
Sementara itu, di pemberhentian bus, Aira tampak begitu ceria. Wajahnya bersinar, merasa bahagia karena kini ia memiliki Haikal. Tidak ada lagi rasa kesepian saat berangkat atau pulang sekolah sendirian. Ia merasa lebih lengkap, seolah ada seseorang yang selalu ada untuknya. Namun, perasaan itu tak sama dengan yang dirasakan Haikal.
Anak laki-laki itu berdiri sedikit terpisah, berusaha menahan gejolak emosi yang semakin sulit ia pendam. Di dalam hatinya, rasa sedih dan malu bercampur aduk. Ia merasa seperti hanya menjadi beban, sebuah parasit seperti yang sering dikatakan orang-orang padanya dulu. Setiap langkah yang ia ambil terasa berat, seolah ia tak layak berada di tempat yang penuh kasih ini.
Haikal takut, sangat takut, bahwa kebahagiaan yang baru saja ia rasakan ini hanya sebentar. Ia khawatir, jika setelah kebahagiaan ini datanglah kepedihan lagi—seperti yang selalu terjadi. Kenangan buruk tentang ditinggalkan berulang kali, tentang merasa tak diinginkan, begitu menghantui pikirannya. Apakah kebahagiaan ini hanya sebuah ilusi? Apakah akhirnya, ketika ia mulai merasa ada yang peduli padanya, semua itu akan hancur begitu saja?
Pikirannya berputar-putar, seakan ia harus membayar kebahagiaan yang ia rasakan sekarang dengan rasa sakit yang tak terhindarkan. Tapi di tengah ketakutannya, ada sedikit harapan yang mulai tumbuh—harapan yang ia sembunyikan rapat-rapat, berharap kali ini semuanya akan berbeda.
‘Akankah kelak Pak Brata, sama seperti orang-orang?’