Ia tak punya siapa-siapa, tapi malam itu, dunia tak lagi terasa sendirian.
Pagi berikutnya, meski lelah, Haikal memutuskan untuk menginap lagi di tempat yang sama. Namun, dalam pencariannya akan sang ibu, ia sadar bahwa hanya berdiam diri bukanlah pilihan. Uangnya semakin menipis, dan hidup harus terus berjalan. Haikal tahu, ia harus mulai bekerja—apapun itu—untuk bisa bertahan hidup di kota yang begitu asing baginya.
Suatu hari, ia menemukan brosur lowongan kerja di toko bangunan. Tanpa ragu, Haikal melangkah masuk dan mendapatkan pekerjaan pertamanya sebagai kuli panggul. Meskipun usianya baru tiga belas tahun, tubuhnya cukup kuat untuk memikul beban berat yang terkadang lebih besar dari dirinya.
Setelah resmi diterima bekerja, Haikal juga mendapat jatah makan siang, sehingga ia tidak perlu lagi menghabiskan uang tabungannya yang semakin menipis. Hari demi hari berlalu dengan cepat, dan Haikal mulai merasa cukup senang menjalani rutinitas barunya—kerja keras dari pagi hingga sore. Setiap kali pulang, meski lelah, ia selalu meluangkan waktu untuk mencari kabar tentang sang ibu dan kakaknya. Sebab, meskipun hidupnya telah berubah, harapan untuk menemukan mereka belum pernah padam.
Meski kini dijalaninya terasa menyegarkan dan penuh tantangan, Haikal tahu betul bahwa kebahagiaan yang ia rasakan tak akan selalu mulus. Selalu ada saja duri yang muncul di sepanjang jalan, seperti beberapa bapak-bapak yang sudah lama bekerja sebagai kuli panggul di toko itu. Mereka sering melontarkan tak suka ke sana, seakan-akan kehadirannya menjadi gangguan bagi mereka yang sudah bertahun-tahun bekerja di sana.
Puncaknya terjadi saat seorang perempuan paruh baya datang ke toko untuk membeli beberapa sak air mani. Ia langsung meminta Haikal untuk mengangkat sak-sak itu dan mengantarkannya ke rumahnya yang tidak terlalu jauh dari toko. Haikal tak menyangka, pekerjaan itu ternyata memberikan rezeki yang cukup besar. Namun, rezeki itu justru membuatnya semakin dibenci. Di mata pekerja lain, Haikal menjadi bahan perbincangan yang tak pernah ada habisnya. Ia mulai sering menyendiri saat jam makan siang, menghindari terjadinya sinis yang semakin hari semakin terasa menusuk.
Untungnya, pemilik toko sangat baik hati dan selalu memperlakukan Haikal dengan adil, tanpa memandang status atau usia. Pemilik toko itu tidak pernah menilai Haikal hanya karena omongan orang lain.
Meski mendapat perlakuan yang kurang menyenangkan dari beberapa orang di sekitarnya, Haikal berusaha menguatkan dirinya. Bukankah sejak kecil ia sudah terbiasa dengan perlakuan kasar dan sikap sinis yang lebih buruk dari sekadar diabaikan? Ia tahu, inilah bagian dari hidup yang harus dijalani, dan meski berat, ia sudah siap untuk menghadapinya.
Ketika malam mulai menyapa, Haikal baru saja keluar dari toko bangunan tempat ia bekerja. Postur tubuhnya yang kini lebih tinggi dan semakin kurus, jauh berbeda dari dirinya yang dulu, saat masih tinggal di celana dalam. Setiap pagi, ia berlomba dengan waktu, melihat anak-anak seumurnya berlalu-lalang di depan gerbang sekolah yang selalu ia lewati dalam perjalanan menuju tempat kerja.
Bukan hal baru bagi Haikal, diperlakukan buruk atau mendapat lirikan sinis. Namun, hidup terasa semakin tidak adil ketika ia terus-menerus menghadapi sarkasme dari rekan kerjanya—para pria dewasa yang jauh lebih tua darinya. Bukannya menerima Haikal, mereka malah mengira sebagai gangguan dan sumber masalah.
Seperti yang terjadi saat ini, kegaduhan pecah di toko. Semua pekerja panik, sibuk mencari uang yang hilang. Dalam kekalutan itu, sayangnya, tak ada seorang pun yang ingat bahwa ada kamera pengawas di sudut ruangan. Semua orang di ruangan itu sepakat bahwa Haikal lah yang mengambil uang dari dalam nakas milik Pak Gibran. Hanya Haikal yang tersisa sebelum jam pulang kerja. Padahal, Pak Gibran—pemilik toko—selalu menitipkan kunci cadangan jika dia harus pulang lebih dulu karena urusan mendadak.
"Tuh kan, apa aku bilang, Pak! Bocah ini sejak pertama datang ke sini udah kelihatan nggak beres. Sekarang, kalau udah begini, mau gimana? Itu uang kita buat modal lagi, loh, Pak. Bisa karma apa, punya pekerja yang nggak tahu diri!" bentak istri Pak Gibran, yang ikut-ikutan menyalahkan Haikal dengan nada keras.
Di tengah kegaduhan itu, Haikal hanya bisa diam, terpojok di sudut ruangan. Ia tahu, tak boleh menangis di hadapan banyak orang seperti bocah cengeng. Air matanya seharusnya sudah habis, tak tersisa, setelah ia menangisi kepergian sang ibu yang tak pernah kembali.
Di ruangan sempit itu, tak ada seorang pun yang membela Haikal. Semua mata memandangnya penuh dengan kualitas buruk. Bahkan setelah mendengar penuturan istri Pak Gibran, lelaki paruh baya bayang itu hanya diam, tidak memberikan pembelaan atau nasihat lembut seperti biasanya. Mereka yang dulu seperti keluarga, ayah dan anak, kini tampak begitu jauh. Keakraban yang terjalin selama berbulan-bulan tidak cukup untuk mengalahkan prasangka buruk yang tiba-tiba muncul.
"Kunci cadangannya, tolong kembalikan. Ini gaji kamu untuk bulan ini. Terlepas dari apakah kamu yang mengambil atau bukan, saya tak bisa lagi mempertahankan kamu di sini," ujar Pak Gibran dengan nada datar, setelah beberapa lama hening.
Haikal menjawab. Tak ada yang bisa ia katakan, tak mampu membela dirinya untuk hal yang tidak pernah ia lakukan. Dengan suara yang hampir tak terdengar, ia hanya bisa berkata, “Terima kasih, Pak.”
Dengan uang gaji yang diterimanya, Haikal merasa bahwa inilah saatnya untuk meninggalkan tempat yang sudah terlalu lama ia tinggali. Baik itu lingkungan kerja yang penuh dengan ketegangan, orang-orang yang hanya datang dan pergi, atau kos tempat ia melepas lelah setelah seharian berjuang dengan ego dan prasangka—semua itu terasa seperti dunia yang tak pernah ramah padanya.
'Kenapa harus aku, Tuhan? Kenapa aku dibuang oleh Ibu? Kenapa aku yang selalu diperlakukan tidak adil oleh orang lain? Kenapa tak ada yang bersedia bertahan untukku lebih lama?' Pikir Haikal dalam hati, setiap kata itu menggema di pikiran, menyakitkan.
Kembali ke kampung halamannya seperti membuka luka lama yang belum sembuh. Namun, Haikal tak punya pilihan lain selain kembali. Ia tak kembali ke panti, tempat yang pernah menjadi bagian dari kehidupan yang kelam, tempat di mana ia dibuang oleh perempuan yang melahirkannya ke dunia ini. Ia hanya kembali ke kota Bandung, kota yang mengingatkannya akan semua kenangan pahit itu.
Sekitar pukul delapan pagi, kereta tujuan Jakarta-Bandung berhenti di Stasiun Hall. Untuk pertama kalinya, langkah Haikal kembali menapak di tanah kelahirannya, di kota ini, kota yang entah mengapa selalu terasa asing baginya.
Jalan Braga menjadi tujuan pertamanya. Ia berjalan menyusuri trotoar yang penuh dengan keramaian-pikuk orang, melihat para pedagang yang sibuk menawarkan barang dagangan, sementara yang lainnya sekadar menikmati udara pagi yang sejuk. Sisa uang yang ia miliki tidak cukup untuk menyewa tempat tinggal malam ini. Sementara jarak ke celana sangat jauh. Ia sengaja turun di stasiun ini, mencoba mengurangi kemungkinan kembali ke panti. Toh, di sana tak ada yang menunggunya. Tidak ada tangan yang mengulurkan kasih.
Terkadang cuaca memang tidak bisa diprediksi. Barusan siang, matahari terik bakar, membuat tengkuknya terasa seperti disengat api. Namun kini, hujan turun deras tanpa ampun. Setiap tetesnya membasahi tubuh Haikal yang sudah tak lagi bisa menghindar. Pakaian yang menempel di tubuhnya tampak seperti sapu basah, menempel erat, dingin, dan berat. Beruntung, tas yang ia bawa, yang menyimpan uang dan pakaian cadangan, kedap udara—setidaknya itu satu-satunya hal yang masih ia syukuri. Namun, yang lebih ia khawatirkan kini adalah langit yang semakin gelap, sementara hujan pun tak kunjung datang.
Di sebuah gang kecil, dengan atap yang hanya cukup untuk sedikit menghalangi hujan, Haikal duduk bersandar, mereproduksi dalam kenyamanan malam yang semakin mencekam. Tangannya memeluk tubuhnya sendiri, berusaha memberikan sedikit kehangatan dalam kedinginan yang menggigit. Sesekali ia melirik jalanan yang lengang, berharap ada sesuatu yang bisa mengubah takdirnya malam ini.
'Kenapa?'
Pertanyaan-pertanyaan seperti ini terus berputar, seakan tanpa henti, menikam hati dengan kenangan-kenangan ketika ia masih bisa tertawa, sebelum akhirnya terbuang.
Entah sudah jam berapa, suasana sekitar begitu sunyi. Tak ada yang menyadari atau peduli dengan keberadaan seorang anak yang kini tersembunyi di jalan sempit ini. Di saat dunia terlelap dalam kenyamanan kasur empuk dan selimut hangat, Haikal hadir di jalanan kotor yang terasa begitu dingin dan keras. Namun, tiba-tiba, langkah kaki mulai terdengar aneh. Mata yang belum sepenuhnya terlelap berusaha dipaksa untuk terpejam, menanggalkan rasa cemas yang menggelayuti. Instingnya berbisik, yang mendekat bukanlah orang biasa, tapi mungkin saja makhluk-makhluk yang terbiasa berkeliaran di malam yang sepi ini.
“Ayah, nanti rotinya bisa langsung Aira makan ya?” suara ceria seorang anak kecil terdengar samar-samar, membuyarkan kesunyian yang menyelamatkannya.
“Iya, tapi habis makan dan sikat gigi, Aira harus langsung bobo ya?” jawab suara pria dewasa yang lebih jelas terdengar, membuat Haikal menarik nafas panjang, sedikit merasa lega, kelelahan kecemasan yang sempat menggerayangi.
“Yah, apa?” tanya Aira dengan suara penasaran yang memecah keheningan malam.
Haikal mengernyit, berusaha menyesuaikan posisi duduknya setelah cahaya terang dari lampu senter terarah tepat. Kedua kejadian di depannya mengejutkan—seorang anak laki-laki yang tampak terabaikan, pakaian basah kuyup dan tubuh penuh kotoran, berada di tengah jalan gelap yang tak kenal belas kasihan ini.
"Nak, kenapa belum pulang? Kenapa bisa ada di sini, dengan pakaian basah seperti ini?" Suara pria paruh baya itu penuh rasa khawatir, meskipun ada ketegangan yang samar-samar terlihat di matanya. Ia melangkah lebih dekat, mencoba mengulurkan perhatian pada Haikal.
Tak ada kata pun yang keluar dari mulut Haikal. Lidahnya terasa berat, seolah terbungkam oleh rasa dingin yang menyelubungi tubuhnya terlalu lama.
Melihat Haikal dalam kondisi seperti itu, beliau hanya bisa merawat dengan penuh rasa iba, tak mampu berbuat banyak selain merawat dengan perasaan yang mendalam.
“Yah, ayo ajak kakaknya pulang,” ucap gadis kecil yang berdiri di balik tubuh tegap pria itu, menunggu.
Jika bukan karena gadis kecil itu yang dengan polosnya menarik perhatian, Haikal mungkin masih berada di jalan gelap tadi, kehilangan harapan akan dunia yang begitu dingin dan tidak peduli.
Berjalan mengikuti kedua orang asing di depannya, Haikal merasa ada secercah harapan yang kembali menyala dalam dirinya. Ada rasa syukur yang mengalir pelan, menghangatkan dada—mungkin Tuhan masih memberikan kesempatan untuk merasakan kebaikan, meski dunia terasa terlalu kejam padanya.
"Sekarang bersih-bersih dulu ya, Nak. Setelah itu, langsung istirahat. Besok baru kita bicara," ucap pria paruh baya bayangan itu, sambil menunjuk ke kamar yang telah disiapkan untuk Haikal. Setelahnya, ia kembali berjalan menuju ruang depan, membiarkan Haikal menikmati momen yang baru pertama kali ia rasakan dalam waktu lama.
Sementara itu, di balik dinding, seorang gadis kecil mengintip dengan rasa penasaran yang tak terbendung. Senyum manisnya menyungging, menampilkan lesung pipit di dekat bibir, seolah memberikan salam tanpa kata-kata, namun terasa lebih hangat dari seribu kata yang bisa diucapkan.