Ketika hati tak lagi terikat, kenangan tentang sosok yang pergi tetap menjadi bagian perjalanan, mengajarkan bahwa melepaskan bukanlah akhir, melainkan langkah baru menuju kedewasaan.
Sepeninggal Bu Patmi, sosok yang begitu berarti dalam hidup Haikal, tak ada lagi yang memperhatikannya seperti dulu. Kehidupan yang dijalani terasa semakin berat dan panjang, seperti langkah kaki yang semakin melambat di tengah perjalanan yang tak jelas ujungnya. Sudah hampir empat bulan sejak kepergian Bu Patmi—hampir seratus hari berlalu—dan waktu itu seakan berjalan lebih lambat, seolah menambah beban di pundaknya yang sudah cukup berat.
Haikal kini lebih sering menjauh dari celana dalam, menghindari segala hal yang mengingatkannya pada kenyataan yang semakin menyesakkan. Setiap pagi, ia rela menerima hukuman dari pengurus lain dengan pasrah, bahkan tak lagi merasa disetujui. Apapun yang ditinggalkan teman-temannya, kini selalu ia terima. Dulu, dia akan menolak—karena masih ada seseorang yang peduli, yang selalu menunggu dan mengingatkan. Tapi kini, untuk apa menolak? Kebebasan itu seperti angin yang terus berhembus, semakin menggoda dan memanggil-manggil.
Besok adalah hari kelulusannya. Tiga belas tahun yang membawa lebih banyak beban daripada kebahagiaan. Meski usianya masih muda, Haikal merasa pikirannya jauh lebih matang dari sekedar angka di kalender. Banyak sekali pertanyaan yang terus mengganggu pikiran, semakin menumpuk, tak tahu harus diungkapkan ke siapa. Keinginan untuk bebas, untuk keluar dari tempat yang selalu membelenggunya sejak kecil, semakin besar. Kelulusan ini seolah menjadi gerbang sebuah masa depan yang penuh menuju dekat. Bahkan pihak panti pun belum memutuskan langkah apa yang akan diambil untuknya. Dengan banyaknya anak-anak panti seumur Haikal, keputusan tentang masa depan mereka menjadi semakin sulit. Sepertinya, masa di depannya akan terus menggantung, seperti langit yang abu-abu, tak jelas kapan hujan akan berhenti.
“Kalau aku pergi dari sini, mungkin keadaan panti akan sedikit membaik,” gumam Haikal, terhanyut dalam pikiran sambil bersiap untuk foto bersama teman-teman sekolah dan para guru. Semua aktivitas itu terasa seperti rutinitas mengosongkannya, tak bisa menghilangkan yang ada di dalam jantung. Sejak kehilangan Bu Patmi, ia mulai meremehkan segala sesuatu yang ada di sekitarnya. Semua harapan kecil itu kini bergantung pada dirinya sendiri. “Jadi, kalau bukan aku yang berusaha, siapa lagi?” pikirnya dalam hati.
Namun, suara itu kembali terngiang dalam ingatannya, seolah mengingatkan tentang segala ketidakberdayaan yang terkubur dalam dirinya. “Kamu tidak terlalu berharga, jangan harap ada yang peduli padamu, Kal!” Suaranya tajam, seolah menyakiti lebih dalam daripada yang ia kira.
Satu per satu, nama-nama murid dipanggil, orang tua mereka berjalan ke panggung untuk menerima rapor dan ijazah sebagai simbol kelulusan. Haikal tetap duduk di pojok ruangan, bersantai, menatap dengan hati yang kosong pada pemandangan orang tua yang penuh kebanggaan, seolah mereka memiliki segalanya untuk dirayakan. menatap mereka dengan penuh kasih, penuh perhatian. Berbeda dengan Haikal, yang hanya bisa merasakan sepi di dalam dirinya, tak ada yang menantinya.
Ketika namanya akhirnya dipanggil, langkahnya terasa berat, seolah ia berjalan menuju panggung bukan untuk merayakan kelulusan, melainkan untuk menandai akhir dari babak kehidupannya yang penuh kesendirian. Ia berjalan tanpa sorakan, tanpa memunculkan yang ia harap-harapkan, selain pandangan iba yang terlihat jelas di setiap mata yang memandangnya.
“Tapi, kalau ibu ada di sini, apakah ibu akan bangga dengan pencapaian Haikal?” Pertanyaan itu menggantung di udara, begitu berat, begitu penuh rasa rindu.
Menjadi juara umum sekaligus siswa teladan, meraih penghargaan setelah lomba matematika nasional, tak pernah membendung rasa iri dalam hati Haikal. Ia lebih sering merasa iri melihat anak-anak lain yang tampaknya tidak perlu berjuang keras untuk mendapatkan perhatian orang tua mereka. Mereka hanya perlu sedikit usaha, sementara Haikal harus menahan rasa lelahnya, memikirkannya, hanya untuk bisa meraih sedikit kebanggaan. Tapi yang ia dapatkan, justru memunculkan iba dari orang-orang di sekitarnya, bukan senyuman penuh cinta yang ia harapkan.
Setelah pulang dari acara kelulusan, langkah Haikal semakin tegap, dengan tekad yang membara. Dia tahu, untuk pertama kalinya, dia harus mengandalkan dirinya sendiri. Ia telah menabung, menyumbangkan keinginan-keinginan kecilnya untuk membeli barang-barang yang ia impikan. Sejak kepergian Bu Patmi, Haikal menyadari betapa kesepiannya dirinya, betapa ia harus bertanggung jawab atas jalan hidupnya sendiri.
Pukul tiga dini hari, ketika semua orang masih terlelap, Haikal keluar dari ruangan dengan langkah hati-hati. Tas kecil yang ia bawa berisi baju dan surat-surat penting yang sudah disiapkan sejak sore kemarin.
“Bu Patmi, maafin Haikal,” suara Haikal bergetar, lirih namun penuh dengan perasaan yang dalam. "Tapi setelah ibu nggak ada, Haikal merasa sendiri banget. Ibu selalu bilang, ibu percaya sama Haikal. Jadi, Haikal nggak akan kecewain ibu meski harus keluar dari panti. Haikal janji, Bu, Haikal akan buat ibu bangga. Makasih ya, Bu, selama ini ibu sudah jaga dan ngerawat Haikal — anak yang bahkan nggak pernah diinginkan oleh ibu kandungnya sendiri. Haikal pamit, Bu.”
Di samping pusara Bu Patmi, Haikal menangis tersedu. Air matanya jatuh begitu saja, bercampur dengan hujan gerimis yang turun perlahan, seakan alam pun ikut merasakan kesedihannya. Ia mengusap wajahnya, mencoba menenangkan diri, namun hatinya terasa begitu berat. "Kalau Haikal ngerasa nggak sanggup memutarnya terlalu susah, Haikal pasti pulang, Bu," bisiknya, berharap Bu Patmi mendengarnya, meski tahu, hanya angin dan rintikan hujan yang membalas.
Berbekal tekad yang menguat, bocah laki-laki yang kini telah beranjak remaja itu memutuskan untuk merantau ke kota. Ia sudah sering bepergian sendiri meskipun jaraknya tidak terlalu jauh, tapi kali ini terasa berbeda. Tidak ada orang yang bisa ia andalkan. Hanya dirinya sendiri yang harus menghadapi apa pun yang akan datang kelak.
Setelah membeli tiket kereta, ia duduk menunggu kedatangan kereta tujuan Bandung-Jakarta, yang akan membawa menuju kebebasan yang telah lama ia dambakan.
Perjalanan yang cukup panjang ini menjadi pengalaman pertama sambil menaiki salah satu transportasi yang sewaktu-waktu kecil sangat ia sukai. Dulu, ia hanya bisa menyaksikan kereta yang melaju kencang, ditemani sang kakak. Setelah itu, mereka berdua selalu berjalan beriringan menuju swalayan, sekadar untuk membeli es krim favorit yang menjadi kenangan manis dalam kenangan Haikal.
Memandangi pemandangan di luar jendela, perlahan kantuk pun menyerangnya. Haikal terbangun saat kereta yang ia naiki akhirnya berhenti di Stasiun Gambir. Saat menjejakkan kaki di peron, ia merasakan kesendirian yang anehnya menenangkan—untuk pertama kalinya. Di tengah keramaian, ia hanya bisa menyaksikan lalu-lalang manusia yang sibuk dengan tujuan masing-masing. Ada yang keluar masuk kereta, ada yang menunggu kedatangan, dan ada pula yang hanya berdiri menatap kosong, seperti dirinya yang kini berada di tengah-tengah mereka.
Daripada terus menyamakan nasibnya dan membandingkannya dengan orang-orang di sekitarnya, Haikal memutuskan untuk segera mencari tempat bermalam. Ia mengelilingi taman kota, menyaksikan orang-orang yang sibuk bermain atau sekadar berbincang, sementara langit yang merah merona mengantar senja menuju peraduannya. Beruntung, setiap jalan yang ia lewati penuh dengan brosur penginapan per jam yang dipasang di tiang-tiang lampu. Haikal hanya perlu menemukan satu penginapan yang terjangkau, dan ia yakin ia masih bisa tidur nyenyak meski hanya beralas tikar.