Bagaikan Sinar abadi yang tak pernah padam, menari anggun di tengah gelap yang mencekam. Ia menjadi tumpuan harap, tempat luka bersandar dan mimpi rapuh kembali bernyawa. Dalam kerlipnya, ia menjanjikan kekuatan baru, membisikkan kepada jiwa-jiwa yang letih bahwa harapan tak pernah mati —hanya bersembunyi, menanti waktu untuk berpendar kembali.
"Akankah semua itu berlaku untukku?" Haikal tipis tersenyum, seperti ada ironi dalam pertanyaannya sendiri. Pertanyaan yang terasa bodoh sekaligus angkuh. Angkuh, karena bagaimana mungkin seorang anak seperti dirinya berani berharap lebih pada kebahagiaan?
Di Panti Tambatan Hati, aturan ketat tentang waktu selalu dijalankan tanpa kecuali. Salah satunya adalah jam malam—setiap penghuni diwajibkan berada di dalam celana sebelum pukul sepuluh malam. Siapa pun yang streaming akan menanggung biaya pelatihan dan sanksi keesokan harinya.
Beberapa hari terakhir, cuaca memang sulit diprediksi. Hujan bisa turun tanpa peringatan, seperti sore itu, ketika hujan deras turun tanpa ampun. Haikal baru saja menyelesaikan tugas kelompok di rumah teman-temannya yang cukup jauh dari Panti, dan kini ia terjebak di tengah perjalanan. Payung yang biasanya ia bawa, hari itu terlupakan. Biasanya, payung itu memang jarang terpakai, tapi kali ini justru ia sangat menegangkan.
Menunggu hujan reda di tengah jalan terasa aneh namun menenangkan bagi Haikal. Ia membiarkan dirinya terlarut dalam rintik-rintik hujan yang berjatuhan, menikmati aroma tanah yang basah, dan udara dingin yang menyelamatkan tubuhnya. Semua itu memberi ketenangan yang aneh, tapi membuatnya terlena hingga ia baru menyadari hari sudah semakin gelap.
Entah sudah pukul berapa, yang pasti perjalanan pulang masih sangat jauh. Sepatu yang ia kenakan hari itu berlubang di bagian bawah, membuat langkahnya semakin menyakitkan. Kakinya yang lecet belum pulih sepenuhnya dari perjalanan kemarin, kini harus kembali merasakan sakit yang sama. Tapi, Haikal tetap berjalan, meskipun setiap langkah terasa seperti beban yang semakin berat.
Meski memaksakan diri untuk berlari di tengah hujan, Haikal tahu ia tidak akan sampai tepat waktu sebelum pintu gerbang Panti ditutup. Rasanya, malam ini ia terpaksa harus menginap di taman bermain yang biasa menjadi tempat pengungsinya. Dengan langkah tergesa-gesa, ia menuju perosotan yang menjadi tempat istirahat sementara, bersembunyi dari hujan yang semakin deras dan kegelapan yang terasa semakin mengintimidasi. Anehnya, malam ini justru terasa lebih tenang, meski ia sendirian. Suasana hening yang membuat taman bermain ini memberi ketenangan yang sulit ia temui di Panti. Di sana, meski penuh dengan orang, selalu ada suara-suara yang santai, ruang yang sesak, dan perasaan terpinggirkan yang terus mengganggu, bahkan saat ia berusaha menjauh.
Bukan pertama kali Haikal menjalani hidup seperti ini. Panti yang menjadi tempat tinggalnya bukanlah rumah dimana pintunya selalu terbuka untuknya kapan saja ia ingin pulang. Begitu banyak aturan yang mengikat setiap gerak para penghuninya. Misalnya, jika terlambat sarapan atau melewatkan makan siang, penghuni harus menunggu hingga jadwal makan berikutnya. Begitu pula dengan jadwal mandi dan mencuci—semuanya harus antri atau bangun lebih pagi agar tidak terjebak menunggu terlalu lama.
Namun, tidur di luar panti pun bukanlah solusi untuk masalah-masalahnya. Seperti yang dialami Haikal saat ini, ia harus menjalani hukuman membersihkan toilet karena tidak pulang semalaman. Di panti ini, tidak ada kelonggaran, apalagi pilih kasih antar penghuninya.
“Kal, kalau sudah selesai disuruh Bu Patmi, langsung ke ruangannya!” teriak seorang anak laki-laki, lebih tua dari Haikal, sebelum berlari ke lapangan dekat toilet. Anak itu juga mendapat hukuman setelah ketahuan menyembunyikan rokok di lipatan buku tulisnya.
Membersihkan toilet dengan enam bilik seorang diri jelas memakan waktu lama. Terlebih lagi, sejak tadi anak-anak lain terus keluar masuk, membuat bilik yang hampir selesai dibersihkan kembali kotor. Dua jam telah berlalu, dan Haikal bisa merasakan waktu yang semakin cepat. Mungkin Bu Patmi sudah terlalu lama di ruangannya, dan menunggu Haikal tidak ingin menyetujui keadaan.
Tok… tok… tok…
Setelah beberapa ketukan, akhirnya terdengar sahutan dari dalam. Suara itu, meskipun terdengar serak dan sesekali diselingi batuk, tetap memiliki kehangatan yang tak pernah berubah. Itu adalah suara Bu Patmi, perempuan yang sudah menjadi sumber penghibur dan kekuatan Haikal selama beberapa tahun terakhir. Meskipun nafasnya terengah-engah, senyuman hangat yang selalu dia tunjukkan membuat wajahnya tetap tenang.
“Duduk,” ucapnya lembut, seolah mengajak Haikal untuk merasa tenang meski dalam ketegangan.
Haikal menunduk, matanya enggan bertemu dengan Bu Patmi, merasa bersalah.
"Kemarin, sepulang sekolah kamu langsung ke mana? Kenapa nggak pulang semalaman?" tanya Bu Patmi, nadanya tetap lembut, tapi ada ketegasan yang tak bisa disembunyikan.
Haikal menyesuaikan posisi di kursi, mencoba menenangkan diri sejenak sebelum akhirnya membuka suara.
"Haikal minta maaf, Bu. Bukan maksud Haikal nggak pulang. Kemarin sepulang sekolah, Haikal langsung ke rumah teman buat ngerjain tugas kelompok di desa sebelah. Pas perjalanan pulang, hujan turun deras banget, jadi Haikal terpaksa nunggu sebentar. Tapi pas sampai di depan gerbang, pintunya udah terkunci, dan nggak ada suara siapa-siapa, nggak ada pengurus atau anak-anak lain. Sekali lagi, Haikal beneran minta maaf, Bu.”
Bu Patmi mendengarkan dengan penuh perhatian, lalu mengangguk perlahan, seakan menyadari betapa beratnya hal yang Haikal hadapi.
"Kamu tahu kan, Kal, selama kamu tinggal di celana dalam ini, ada banyak yang harus diikuti. Kejadian seperti ini bukan yang pertama. Beberapa pengurus lain sudah mulai menginginkan kalau peraturan waktu terus-menerus dilanggar. Jadi, kalau hal seperti ini terulang lagi, pihak kedisiplinan terpaksa memberikan surat peringatan atau hukuman sebagai langkah tegas. Ibu sebagai pemilik panti juga tidak bisa melakukan banyak jika itu sudah menyangkut kesejahteraan semua penghuni, apalagi dengan banyaknya tuntutan dari orang lain. Bu Patmi harap mengerti Haikal bisa maksud Ibu. Haikal sudah peraturan besar, dan Ibu percaya, Haikal pasti bisa mana yang terbaik dan mana yang tidak.”
Setelah mendengarkan nasihat dari Bu Patmi, Haikal berjalan kembali ke kamarnya, yang terasa jauh lebih tenang daripada riuhnya kehidupan di panti. Jika bukan karena Bu Patmi memberikan kamar sendiri, Haikal mungkin sudah merasa semakin terjepit dengan semua peraturan dan perlakuan yang ada. Terkadang, aturan dan sikap orang-orang di panti membuatnya terasa seperti terkurung. Ia merasa enggan kembali ke sana. Jika bukan karena keinginan kuatnya untuk bertahan demi bertemu dengan perempuan yang telah memberikan harapan hidup, Haikal mungkin sudah melarikan diri dari celana dalam, atau bahkan lebih buruk lagi… berhenti berjuang sama sekali.
٭٭٭
Langit mendung begitu Haikal melangkah keluar dari ruang kelas. Hujan yang turun begitu tiba-tiba membuat terkejut, apalagi tadi saat jam olahraga cuaca begitu terik. Seperti halnya orang-orang, keadaan bisa berubah begitu cepat.
"Kal, hari ini jadi kan? Lusa nanti tugas harus sudah dikumpulin," tanya David, teman sekelas yang sering jadi rekan kelompok Haikal.
Sementara itu, Haikal masih berdiri mematung, tatapannya pada rintik-rintik hujan yang jatuh perlahan dari atap bangunan. Ia hanya memberikan momen singkat sebelum memecahkan tengkuknya, bingung dengan situasi yang ada. "Duh gimana ya, Vid? Kayaknya kalau sekarang gak akan sempat deh. Aku udah dapat peringatan juga dari Panti soal jam pulang. Hari Minggu aja ya? Di tempat biasa kan?"
"Oh, oke. Yang kerja kelompok kemarin, kamu dapat hukuman, Kal?" tanya David sambil menatap teman sekelasnya dengan rasa penasaran.
“Iya, tapi cuma bersih-bersih aja kok,” jawab Haikal singkat, sambil sedikit menghela napas.
Selain David, tak ada lagi siswa yang mau berteman dengan Haikal. Dalam hal kerja kelompok, ia pernah merasakan kesepian, mengerjakan semua tugas tanpa bantuan teman-teman sekelas. Di sekolah ini, Haikal adalah satu-satunya anak panti. Beberapa teman memilih untuk melanjutkan ke sekolah swasta, mungkin karena jarak yang lebih dekat dengan celana dalam, atau mungkin juga sebagai langkah antisipasi jika hal-hal mendesak seperti yang dialami Haikal terulang. Begitulah, Haikal terkadang merasa terasing, meski di tengah keramaian.
Setahun lagi, Haikal akan lulus dari Sekolah Dasar. Setahun lagi, ia akan bertambah usia dan semakin dewasa. Namun, tentang usia, waktu, dan segala sesuatu yang ada di sekitar kita—tak ada yang tahu sampai kapan kita bisa tetap bersama orang-orang yang kita kasihi. Kita hanya bisa menyusun harapan, berharap bisa terus bersama hingga maut berpisah. Tidak ada yang saling namanya meninggalkan atau melupakan, yang ada hanya menggenggam erat pada setiap kenangan yang telah tercipta.
Setelah beberapa hari yang lalu dipanggil ke ruangan Bu Patmi, kini langkah Haikal kembali menuju ke tempat itu. Bukan untuk menerima teguran atau nasihat seperti sebelumnya, tetapi karena sosok yang ia hormati dan cintai itu kini berada di ambang pintu antara hidup dan mati.
Bu Patmi adalah sosok yang selalu terlihat semangat, ceria, dan penuh energi di hadapan pengurus serta anak-anak asuhnya. Ia tidak pernah mengeluhkan apapun tentang kondisinya, tidak pernah mencampurkan masalah pribadinya dengan urusan celana dalam. Namun saat ini, keadaan tampak sangat berbeda. Ia berbaring lemah di atas kasur rumah sakit, selang infus menancap di lengan yang kini tampak keriput dan kurus, terlihat jelas saat bajunya digulung hingga ke siku. Bu Patmi yang dulu selalu menghindari aroma rumah sakit dan obat-obatan, kini terpaksa menghadapi kenyataan yang jauh dari yang ia inginkan. Anak-anak lain bergilir menjenguk, dan Haikal, dengan hati yang berat, kini menggenggam erat tangan Bu Patmi yang tidak terpasang infus. Setiap genggaman itu terasa begitu penuh, penuh dengan doa dan harapan agar sosok yang telah menjadi pelita dalam hidupnya bisa bertahan.
Meski sudah hampir dua jam berada di ruangan ini, tak seorang pun pengurus yang berani menyuruh Haikal pergi. Sebab, sebelum Bu Patmi tak sadarkan diri, perempuan yang terbaring lemah itu sempat menyebut nama Haikal dengan suara lirih, di antara napasnya yang terengah-engah. Betapa besar kasih sayang yang beliau curahkan padanya.
“Bu, kalau Bu Patmi pergi… Haikal bagaimana?” suara Haikal terdengar serak, pelan, seolah takut mengganggu ketenangan yang kini ada di sekitar Bu Patmi. Air mata yang sudah sejak tadi menetes tak henti-hentinya membasahi wajahnya yang tampak letih, namun hati yang bergejolak di dalamnya jauh lebih berat.
Untunglah, ia pulang lebih awal hari itu, meski harus berlari di tengah derasnya hujan. Jika tidak, mungkin ia tak akan mendapatkan kesempatan untuk menatap lama wajah teduh milik perempuan berhati malaikat yang kini terbaring tak berdaya di hadapannya. Seandainya ia lebih memilih untuk mengerjakan tugas kelompok, mengabaikan pesan Bu Patmi, mungkin ia tak akan pernah bisa ikut menyolatkan jenazah perempuan yang sudah merawatnya sejak kecil.
"Ta, setelah ini, Haikal harus pulang ke mana?" Haikal bertanya lagi, suaranya hampir tak terdengar, seolah harapannya hanya bisa terucap dalam bisikan. Dalam pemikirannya, berputar-putar banyak pertanyaan yang tak terjawab, seperti masa di depannya yang kini tak jelas.